Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan | Bidah-Bidah di dalam Vatikan II |
Jawaban-Jawaban untuk Penolakan-Penolakan terhadap Sedevakantisme (19 Penolakan Dijawab)
Terdapat banyak bantahan-bantahan melawan posisi sedevakantis – yaitu, posisi yang diuraikan di dalam buku ini yang menurutnya, Takhta St. Petrus kosong karena ‘Paus-paus’ setelah Vatikan II bukanlah Paus-Paus sejati, melainkan para Anti-Paus non-Katolik. Kami sekarang akan menjawab semua bantahan-bantahan terbesar melawan posisi ini.
Penolakan 1): Sedevakantisme menentang janji Kristus bahwa Ia akan bersama Gereja-Nya sampai akhir zaman (Matius 28).
Penolakan 2): Sedevakantisme: interpretasi pribadi dari pernyataan-pernyataan dogmatis.
Penolakan 3): Seseorang disebut bidah hanya jika sudah diadili & divonis sebagai bidah.
Penolakan 4): Para Paus Vatikan II kemungkinan hanya bidah material.
Penolakan 5): Tanpa Paus, Tiada Gereja.
Penolakan 6): Keabadian Kepausan (Vatikan I) menentang Sedevakantisme.
Penolakan 7): Tidak seorang pun dapat menghakimi Takhta Suci.
Penolakan 8): Seorang Paus tidak dapat digulingkan, tetapi dapat dilawan.
Penolakan 9): Paus Liberius menyerah kepada bidah Arian tetapi toh tetap Paus...
Penolakan 10): Kardinal yang diekskomunikasikan, dapat terpilih menjadi Paus.
Penolakan 11): Benediktus XVI bukan seorang Paus? Tidak penting bagi saya.
Penolakan 12): Bagaimana bisa seluruh Gereja dan kardinal mengakui seorang Anti-Paus?
Penolakan 13): Yohanes XXII adalah seorang bidah, tetapi ia tetap menjadi Paus.
Penolakan 14): Honorius dikutuk akibat bidahnya, tetap dianggap Paus.
Penolakan 15): Gereja dan hierarkinya akan selalu kelihatan..
Penolakan 16): Para Paus Vatikan II belum mengajarkan bidah secara terang-terangan, karena pernyataan-pernyataan mereka ambigu dan memerlukan komentar.
Penolakan 17): Kitab Hukum Kanonik 1917 dan 1983: deklarasi dibutuhkan bagi seseorang untuk kehilangan jabatannya akibat bidah.
Penolakan 18): Konsili Konstanz mengutuk ide bahwa bidah berhenti menjadi Paus.
Penolakan 19): Deklarasi Gabungan dengan Para Lutheran tidak ditandatangani YP2 & B16.
Jawaban: Tidak, indefektibilitas (janji bahwa Kristus akan selalu bersama Gereja-Nya, dan bahwa pintu-pintu Alam Maut tidak akan mengalahkannya) berarti bahwa Gereja akan, sampai akhir zaman, tetap menjadi Gereja. Indefektibilitas Gereja memerlukan supaya paling tidak sisa-sisa Gereja tetap ada sampai akhir zaman, dan bahwa seorang Paus sejati tidak akan sama sekali mengajarkan kesalahan secara otoritatif kepada seluruh Gereja. Hal tersebut tidak mengecualikan Anti-Paus yang mengaku-ngaku Paus (seperti yang kita telah lihat berkali-kali di masa lalu, bahkan di Roma), atau sebuah sekte yang mengurangi umat-umat Gereja Katolik sejati sehingga menjadi sisa-sisanya pada akhir zaman. Itulah yang secara persis diperkirakan akan terjadi di akhir zaman dan apa yang terjadi pada krisis Arian.
Terlebih lagi, harus dicatat bahwa Gereja telah mendefinisikan bahwa para bidah adalah pintu gerbang Alam Maut seperti yang disebutkan Tuhan kita di Matius 16!
Perhatikan bahwa para bidah adalah pintu Alam Maut. Bidah bukanlah anggota Gereja. Itulah mengapa seorang bidah tidak akan pernah bisa menjadi seorang Paus. Pintu Alam Maut (bidah) tidak akan pernah memiliki otoritas di atas Gereja Kristus. Bukanlah orang-orang yang menyingkap para Anti-Paus Vatikan II yang menyatakan bahwa pintu Alam Maut telah menang melawan Gereja; melainkan mereka yang dengan keras kepala membela mereka sebagai Paus, walaupun dapat dibuktikan bahwa mereka adalah bidah terang-terangan.
Tidak terdapat satu Gereja Katolik pun yang dapat dikutip yang bertentangan dengan fakta bahwa terdapat pada saat ini sebuah sekte sesat yang telah menyusutkan Gereja Katolik sejati menjadi sebuah sisa-sisa pada hari-hari Kemurtadan Besar, yang dipimpin oleh para Anti-Paus yang telah mengaku-ngaku sebagai Paus. Mereka yang menyatakan bahwa sekte Vatikan II adalah Gereja Katolik menyatakan bahwa Gereja Katolik secara resmi mendukung agama-agama sesat dan doktrin-doktrin sesat. Hal ini mustahil dan berarti bahwa pintu Alam Maut telah menang melawan Gereja Katolik.
Jawaban: Otoritas yang dimiliki seorang Katolik untuk menentukan bahwa para bidah bukanlah anggota-anggota Gereja adalah dogma Katolik, yang mengajarkan kita bahwa mereka yang meninggalkan Iman dianggap terasing dari Gereja.
Terlebih lagi, untuk menyatakan bahwa dengan memegang dogma Katolik ini adalah untuk menerapkan interpretasi pribadi, seperti yang dilakukan penolakan ini, adalah untuk menyatakan secara persis apa yang dikutuk oleh Paus St. Pius X di dalam Silabus Kesalahan-Kesalahan melawan para Modernis.
Paus St. Pius X
Perhatikan, ide bahwa dogma-dogma hanyalah interpretasi-interpretasi itu dikutuk. Tetapi inilah yang dikedepankan oleh penolakan ini, tidak peduli jika seseorang akan mengakuinya ataupun tidak. Mereka mengatakan bahwa untuk menerapkan kebenaran dari sebuah dogma adalah ‘interpretasi pribadi’. Untuk membantah penolakan ini lebih lanjut adalah fakta bahwa di dalam Dekret Sakramen Imamat, Konsili Trente secara khidmat menyatakan bahwa kanon-kanon dogmatis diperuntukan bagi semua umat beriman.
Kata ‘kanon’ (dalam bahasa Yunani: kanon) berarti sebuah buluh; sebuah tongkat yang lurus; tongkat pengukur; suatu benda yang digunakan untuk menentukan, mengatur, atau mengukur. Konsili Trente secara infalibel menyatakan bahwa kanon-kanonnya merupakan tongkat pengukur untuk ‘semua’ agar mereka, dengan menggunakan aturan-aturan Iman ini, dapat mengenali dan membela kenyataan di tengah-tengah kegelapan! Pernyataan yang sangat penting ini menghancurkan klaim mereka yang berkata bahwa menggunakan dogma-dogma untuk membuktikan poin-poin adalah ‘interpretasi pribadi’. Dogma Katolik adalah otoritas untuk semua yang sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang benar ini.
Jawaban: Tidak juga. Sebuah deklarasi vonis yang mengikuti sebuah ekskomunikasi otomatis adalah semata-mata sebuah pengakuan secara hukum tentang sesuatu yang sudah ada.
Orang yang terekskomunikasikan itu sudah dipotong dari Gereja. Kebanyakan bidah sudah diketahui sebagai bidah tanpa pengadilan ataupun deklarasi vonis, dan harus dicela seperti itu.
Seperti yang kita lihat di sini, Gereja Katolik mengajarkan bahwa proses-proses serta penghakiman-penghakiman yang formal tidak diperlukan agar ekskomunikasi ipso facto (lewat fakta tersebut) berlangsung. Mereka sering, seperti di dalam kasus bidah Martin Luther, merupakan pengakuan-pengakuan resmi akan ekskomunikasi ipso facto yang telah berlangsung. Hal ini seharusnya sudah jelas untuk seorang Katolik; tetapi, untuk menggambarkan poin tersebut, inilah apa yang dikatakan Martin Luther sebelum ia dikutuk sebagai bidah oleh sang Paus.
Martin Luther, sewaktu ia berbicara di depan Bulla Paus Leo X yang memberikannya selambat-lambatnya enam puluh hari untuk mencabut {pernyataannya} sebelum diterbitkannya deklarasi ekskomunikasi: “Bagi saya, hal ini sudah mantap: saya membenci dukungan dan murka Roma; saya tidak ingin berdamai dengannya ataupun bersekutu dengannya. Biarkan ia mengutuk dan membakar buku-buku saya; saya, sebagai balasannya, kecuali saya tidak bisa menemukan api, akan mengutuk dan membakar secara publik semua hukum Paus, rawa-rawa bidah itu.’”[13]
Martin Luther, bidah Protestan
Apakah kita harus percaya bahwa seorang pria yang mengatakan kutipan ini (lama sebelum ia dikutuk secara resmi sebagai seorang bidah lewat sebuah deklarasi vonis) adalah seorang Katolik atau dapat dianggap Katolik? Tidak ada hal yang lebih absurd. Jelas-jelas, Martin Luther adalah seorang bidah terang-terangan sebelum deklarasi resmi itu, dan seorang Katolik mana pun yang mengetahui kepercayaan-kepercayaannya dapat dan seharusnya mencelanya sebagai seorang bidah terang-terangan sekalinya orang Katolik itu mengenal pandangan-pandangannya yang bukan main sesatnya.
Itulah mengapa, sebelum pengadilan Luther, Kardinal Cajetan ‘menghubungi Elektor Frederick, penguasa dan pelindung Luther, memohonnya untuk tidak ‘mengotori nama baik para nenek moyangnya’ dengan mendukung seorang bidah’.[14]
Prinsip yang sama diterapkan kepada seorang bidah seperti John Kerry, pendukung aborsi yang terkenal. Hampir semua orang-orang yang mengaku diri Katolik yang berpikiran konservatif akan langsung setuju bahwa John Kerry adalah seorang bidah dan tidak Katolik, karena ia berteguh menolak ajaran Katolik melawan aborsi. Tetapi mereka membuat ‘penghakiman’ sendiri, karena tidak satu pun deklarasi vonis pernah dikeluarkan untuknya. Maka mereka membuktikan poin bahwa sebuah deklarasi tidak diperlukan untuk mengutuk seorang bidah. Kebanyakan bidah di dalam sejarah Gereja, dan hampir semua bidah di dunia masa kini, telah dan harus dianggap bidah tanpa deklarasi apa pun sewaktu bidah mereka menjadi nyata.
Sewaktu bidah menjadi nyata dan jelas bidah itu keras kepala, seperti di dalam kasus Luther atau Benediktus XVI (yang berkata bahwa kita tidak boleh mengonversikan orang-orang non-Katolik dan berpartisipasi secara aktif di dalam ibadat Sinagoga), orang-orang Katolik bukan hanya dapat mencelanya sebagai non-Katolik tanpa sebuah penghakiman, tetapi harus melakukannya. Itulah persisnya mengapa St. Robertus Bellarminus, Dokter Gereja, dalam menjawab pertanyaan yang khusus ini, mengatakan dengan jelas bahwa sang bidah terang-terangan itu digulingkan dan harus dihindari sebagai seorang non-Katolik tanpa otoritas sebelum ‘ekskomunikasi ataupun vonis yuridis’ apa pun. Di dalam konteks ini, St. Robertus menggunakan kata ‘ekskomunikasi’ untuk merujuk kepada hukuman ferendae setentiae (deklarasi resmi oleh Paus ataupun hakim).
Izinkan kami mengulangi hal ini: YANG BERARTI SEBELUM EKSKOMUNIKASI ATAUPUN VONIS YURIDIS APA PUN! Maka, kita bisa melihat bahwa para non-sedevakantis, dengan berargumentasi bahwa para Katolik tidak dapat mencela para bidah terang-terangan seperti Benediktus XVI karena tidak terdapat pengadilan resmi, salah sama sekali. Kesimpulan mereka mengolok-olok kesatuan Iman di dalam Gereja. Supaya kita tidak lupa, terdapat suatu kesatuan Iman di dalam Gereja Katolik (yang satu, kudus, Katolik, dan apostolik).
Menurut kesimpulan para non-sedevakantis, orang-orang Katolik haruslah bersekutu dengan seorang manusia yang secara terang-terangan mengaku bahwa ia tidak ingin bersekutu dengan Gereja Katolik, dan berpegang bahwa seluruh hukum Paus adalah rawa-rawa bidah; atau seseorang yang bersikeras pro-aborsi, hanya karena tiada deklarasi resmi yang dibuat untuknya. Untuk menyatakan bahwa orang-orang Katolik harus bersekutu dengan seorang bidah terang-terangan karena sebuah proses untuknya belumlah tuntas adalah hal yang bertentangan dengan ajaran Katolik, Tradisi Katolik dan pengertian Katolik.
Jawaban: Seorang bidah ‘material’ adalah seorang Katolik yang salah kaprah di dalam itikad baik tentang suatu masalah dogma. Para Anti-Paus Vatikan II tidak diragukan lagi adalah bidah-bidah sungguh-sungguhan. Mereka tidak mungkin adalah bidah material (orang-orang Katolik yang salah mengerti dengan itikad baik) karena berbagai alasan, terutama 1) mereka tidak berpegang kepada misteri-misteri esensial dari Iman; 2) mereka menolak dogma-dogma yang jelas yang mereka secara penuh ketahui.
‘Bidah material’ adalah sebuah istilah yang digunakan para teolog untuk menyebut seorang Katolik yang salah kaprah dengan itikad baik tentang beberapa ajaran Gereja, yang tidak menolaknya secara sengaja. Satu-satunya cara seseorang dapat menjadi ‘bidah material’ adalah dengan tidak menyadari bahwa posisi yang ia pegang bertentangan dengan ajaran Gereja. Orang semacam itu akan mengubah posisinya segera setelah diberikan informasi tentang ajaran Gereja tentang hal tersebut. Maka, seorang ‘bidah material’ bukanlah seorang bidah, tetapi seseorang Katolik yang kebingungan yang tidak menolak hal apa pun yang ia ketahui telah diajarkan Gereja. Fakta bahwa seorang ‘bidah material’ bukanlah seorang bidah dibuktikan oleh fakta bahwa seorang ‘bidah material’ tidak berhenti menjadi anggota dari Gereja; dan kami telah menunjukkannya lewat banyak kutipan bahwa semua bidah berhenti menjadi anggota-anggota Gereja.
Terlebih lagi, seorang ‘bidah material’ (seorang Katolik yang salah kaprah) tidak menjatuhkan hukuman kekal di atas kepalanya untuk menolak iman; dan semua bidah menjatuhkan hukuman kekal di atas kepala mereka karena mereka menolak iman.
Seorang bidah material, oleh karena itu, bukanlah seorang bidah, tetapi seorang Katolik yang dengan tidak berdosa salah mengerti tentang beberapa ajaran Gereja. Maka, mereka yang mengklaim bahwa Benediktus XVI tidak menyadari semua dogma yang ia tolak, dan oleh karena itu hanyalah seorang ‘bidah material’ (dalam kata lain, seorang Katolik yang salah kaprah) bukan hanya berargumentasi tentang suatu hal yang absurd, tetapi juga yang MUSTAHIL. Adalah suatu hal yang mustahil bahwa Benediktus XVI hanyalah seorang ‘bidah material’ untuk tiga alasan:
Di dalam kutipan-kutipan ini kita melihat sekelumit dari keakraban Benediktus XVI dengan ajaran Katolik termasuk konsili-konsili yang ia tolak. Hal yang sama juga terlihat di dalam Yohanes Paulus II dan para ‘pendahulunya’. Misalnya, pada persetujuan tahun 1999 bersama Gereja Lutheran tentang Pembenaran, yang disetujui oleh Yohanes Paulus II, Yohanes Paulus II setuju bahwa Konsili Trente tidak lagi berlaku.
Jelas sudah bahwa ia tidak mungkin tidak mengenal Konsili Trente jika ia setuju bahwa hal tersebut tidak lagi berlaku. Terlebih lagi, Benediktus XVI memiliki beberapa gelar doktorat teologi dan telah menuliskan banyak buku yang mengulas tentang kerumitan dogma Katolik. Salah satu dari kami telah membaca 24 bukunya, dan dapat berkata bahwa Benediktus XVI lebih akrab dengan apa yang Gereja Katolik ajarkan daripada hampir semua orang di dunia. Untuk mengatakan bahwa Benediktus XVI atau Yohanes Paulus II atau Paulus VI atau Yohanes XXIII tetap tidak menyadari ajaran-ajaran Gereja yang paling sederhana yang mereka tolak tentang Tuhan kita, melawan Protestantisme, tentang keselamatan, melawan agama-agama sesat, melawan kebebasan beragama, dst. adalah salah dan sangat amat konyol. Untuk menyatakan, contohnya, bahwa Benediktus XVI tidak menyadari akan dogma bahwa orang-orang Protestan terikat untuk menerima Kepausan, yang jika tidak, mereka melakukan dosa bidah – ingatlah bahwa ia mengajarkan hal yang justru bertentangan – benar-benar adalah kegilaan. Hal itu sama seperti menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi kepala juru masak dari restoran bintang lima dan tidak tahu apa itu selada. Tetapi itulah hal yang orang-orang yang mengedepankan argumen ‘bidah material’ ingin kita percaya.
Dalam kata lain, setiap orang Katolik yang di atas usia akal harus memiliki sebuah pengetahuan positif tentang misteri-misteri iman tertentu untuk dapat diselamatkan. Tidak ada alasan, bahkan untuk ketidaktahuan. Maka, jika seseorang memegang suatu kepercayaan yang menghancurkan iman akan misteri-misteri tersebut, bahkan jika ia telah diajarkan secara salah, ia bukan seorang Katolik.
Contohnya, jika seseorang benar-benar percaya akan tiga allah yang berbeda dan bukanlah satu Allah di dalam tiga pribadi ilahi, maka ia bukanlah Katolik – tanda titik. Hal ini benar bahkan jika ia tidak pernah diajarkan tentang doktrin sejati akan Allah Tritunggal. Ia bukan Katolik, karena kepercayaannya bertentangan dengan misteri esensial yang harus dimilikinya untuk memegang Iman sejati.
Begitu pula, jika seseorang percaya bahwa agama-agama lain, seperti Islam, Yahudi, dst. adalah baik, maka seseorang tidak percaya bahwa Kristus (dan, oleh karena itu, Gereja-Nya) adalah satu-satunya kebenaran. Jika seseorang tidak percaya bahwa Kristus (dan, oleh karena itu, Gereja-Nya) adalah satu-satunya kebenaran, maka seseorang tidak memiliki Iman Katolik – tanda titik. Hal ini benar bahkan jika ia tidak pernah diajarkan tentang doktrin sejati akan hal ini; inilah mengapa Paus Pius XI berkata bahwa semua yang berpegang kepada pendapat bahwa semua agama ‘kurang lebih baik dan patut dipuji’ telah meninggalkan agama yang sejati – tanda titik.
Nah, kami telah menunjukkan bahwa Benediktus XVI dan para ‘pendahulunya’ percaya bahwa Yahudi, Islam, dst. adalah baik. Benediktus XVI bahkan diinisiasikan ke dalam Islam di dalam sebuah mesjid pada tanggal 30 November 2006. Ia dan para ‘pendahulunya’ memuji agama-agama ini. Benediktus XVI secara khusus menyebut Islam ‘mulia’ dan berkata bahwa Islam melambangkan ‘keagungan’. Tidaklah mungkin baginya untuk percaya akan hal ini dan menjadi seorang ‘bidah material’ Katolik, karena ia tidak percaya akan misteri esensial yang harus ia miliki untuk berpegang kepada Iman sejati: bahwa Kristus adalah satu-satunya kebenaran. Maka, Benediktus XVI bukanlah seorang Katolik – tanda titik.
Hal ini juga dibuktikan dari sudut pandang lain. Karena adalah sebuah misteri esensial tentang Iman Katolik bahwa Kristus (dan, oleh karena itu, Gereja-Nya) adalah satu-satunya kebenaran, mengalir secara logis bahwa mereka yang percaya akan misteri ini juga berpegang bahwa Gereja Kristus haruslah dipercayai. Ini adalah ajaran Paus Leo XIII.
Jika seseorang berpegang bahwa agama Katolik tidak perlu diterima oleh para non-Katolik, maka seseorang tidaklah Katolik. Seperti yang kita telah tunjukkan, para Anti-Paus Vatikan II mengajarkan bahwa agama Katolik tidak perlu diterima oleh para non-Katolik; mereka secara khusus mengajarkan bahwa para Skismatis Timur tidak perlu berkonversi ke dalam Iman Katolik.
Terlebih lagi...
Hukum Gereja menganggap kekerasan kepala hadir di dalam bidah kecuali hal yang berlawanan terbukti.
Di samping fakta-fakta di atas yang membuktikan bahwa para Anti-Paus Vatikan II benar-benar bidah formal, praduga dari hukum menentang mereka.
Sebuah komentar akan kanon ini oleh Rev. Eric F. Mackenzie, A.M., S.T.L., J.C.L., menyatakan:
Bukan hanya para Anti-Paus Vatikan II telah membuat secara harfiah ratusan pernyataan yang bertentangan dengan dogma yang telah diwahyukan dan didefinisikan, tetapi mereka juga telah secara terang-terangan menyatakan diri mereka sendiri bersekutu dengan – di dalam Gereja yang sama dengan – para skismatis dan bidah. Mereka telah, terlebih lagi, menegaskan pernyataan-pernyataan ini dengan tindakan-tindakan yang lebih lanjut menunjukkan bahwa mereka melekat kepada bidah, seperti communicatio in sacris (komunikasi dalam hal-hal suci) dengan berbagai agama-agama sesat. Maka bukanlah hukum atau semangat Gereja untuk membebaskan seseorang yang secara publik memuntahkan bidah, tetapi untuk menganggapnya bersalah.
St. Robertus Bellarminus menjelaskan mengapa hal ini harus terjadi.
Sebuah gambaran yang sederhana juga akan menunjukkan mengapa hal ini harus terjadi.
Andaikan anda memiliki beberapa biri-biri dan anda telah menunjuk seorang gembala untuk menjaga mereka. Andaikan satu hari sang gembala menjadi serigala dan mulai memakan para domba dan mencabik-cabik mereka. Apakah anda, yang mencari kesejahteraan domba ini, tetap berkata bahwa sang serigala adalah kepala dari domba? Apakah anda menuntut agar para domba yang lain yang belum dimakan untuk menundukkan diri mereka kepada sang serigala, dan oleh karena itu menempatkan diri mereka di dalam bahaya dimakan yang sangat dekat? Tentunya tidak, dan tentunya Allah pun tidak.
Allah tidak pernah dapat membiarkan seseorang yang menyebarkan bidah secara terang-terangan di dalam forum eksternal untuk tetap mempertahankan otoritasnya di dalam Gereja ataupun dapat menuntut para Katolik untuk tunduk, tidak peduli apa pun niatnya. Ingat, bidah membunuh jiwa-jiwa. Andaikan sang serigala di dalam cerita kita hanyalah kelaparan, atau hanya mengalami hari yang buruk. Apakah hal ini mengubah kenyataan bahwa para domba sedang dibunuh? Tidak.
Terlebih lagi, serigala macam mana yang mencoba menipu orang-orang akan terang-terangan menyatakan dirinya sendiri sebagai seorang non-Katolik atau seorang musuh Gereja?
Cara yang paling efektif untuk membantu seorang nabi palsu adalah untuk bersikeras bahwa ia, walaupun ia mengakui bidah secara publik, memiliki otoritas di dalam Gereja. Paus St. Selestinus secara otoritatif menegaskan prinsip bahwa kita tidak dapat memandang seorang bidah publik sebagai seseorang yang memiliki otoritas sewaktu menghadapi kasus bidah Nestorius. Nestorius, Patriark dari Konstantinopel, memulai mengkhotbahkan ajaran sesat bahwa Maria bukanlah Bunda Allah. Para umat beriman menentangnya dengan memutus hubungan dengannya, karena mereka telah sadar bahwa sebab Nestorius mengkhotbahkan bidah secara publik dan terang-terangan, ia tidak mungkin memiliki otoritas di dalam Gereja Katolik. Kutipan dari Paus St. Selestinus berikut ditemukan di dalam De Roman Pontifice, karya dari St. Robertus Bellarminus.
Paus Pius IX menegaskan prinsip ini dengan mengajarkan bahwa seseorang dianggap sebagai bidah atau skismatis, walaupun ia belum dinyatakan seperti itu oleh Takhta Suci.
Inilah mengapa para santo-santa, teolog, dokter, kanonis dan Paus yang berbicara tentang hal ‘Paus bidah’ menghindari istilah-istilah bidah ‘material’ dan ‘formal’, karena istilah-istilah tersebut menyiratkan keputusan dari forum internal. Tetapi mereka menggunakan kata-kata publik, terang-terangan, dst. – istilah-istilah yang berhubungan dengan forum eksternal.
Apa maksudnya jatuh secara publik dari iman?
Maka, kami telah menunjukkan secara sangat rinci mengapa adalah sesuatu yang sangat salah untuk menyatakan bahwa para Anti-Paus Vatikan II semata-mata adalah ‘bidah material’. Mereka bukanlah bidah material karena 1) mereka benar-benar mengenali dogma-dogma yang mereka tolak; 2) mereka harus mengenal Iman Katolik sebagai ‘uskup-uskup’, terutama dogma-dogma yang mereka tolak; dan 3) mereka tidak mengakui dan menentang misteri-misteri esensial dari Iman yang harus dipegang seseorang untuk menjadi seorang Katolik.
Jawaban: Gereja telah ada selama bertahun-tahun tanpa seorang Paus, dan juga demikian sewaktu seorang Paus meninggal. Gereja telah mengalami interregnum Paus (yaitu kurun waktu tanpa seorang Paus) selama lebih dari 200 kali di dalam sejarah Gereja. Interregnum Paus yang terpanjang (sebelum kemurtadan Vatikan II) adalah antara Paus St. Marselinus (296-304) dan Paus St. Marselus (308-309). Hal tersebut berlangsung selama lebih dari tiga setengah tahun.[35] Terlebih lagi, para teolog mengajarkan bahwa Gereja dapat berada bahkan selama lebih dari berdekade-dekade tanpa seorang Paus.
ROMO EDMUND JAMES O’REILLY MENGHANCURKAN ARGUMENTASI UTAMA NON-SEDEVAKANTIS TENTANG SELANG WAKTU INTERREGNUM PAUS (KURUN WAKTU TANPA SEORANG PAUS) DENGAN MENGAJARKAN BAHWA GEREJA DAPAT BERADA SELAMA BERDEKADE-DEKADE TANPA SEORANG PAUS
Romo Edmund James O’Reilly adalah seorang teolog terkemukan yang hidup pada waktu Vatikan I. Ia menulis setelah Vatikan I dan definisi-definisinya atas kekekalan Kepausan, ia mengajarkan bahwa Allah dapat membiarkan Gereja tanpa Paus selama lebih dari 39 tahun – yaitu, sepanjang Skisma Barat Besar (1378-1417). Berikut adalah kutipan dari diskusi Romo O’Reilly tentang Skisma Barat Besar:
Romo O’Reilly berkata bahwa sebuah interregnum (sebuah kurun waktu tanpa seorang Paus) yang menutupi selang waktu Skisma Besar Berat sama sekali tidak bertentangan dengan janji-janji Kristus tentang Gereja-Nya. Kurun waktu yang dikatakan Romo O’Reilly dimulai pada tahun 1378 dengan kematian Paus Gregorius XI dan pada dasarnya berakhir pada tahun 1417 sewaktu Paus Martinus V terpilih. Hal tersebut merupakan interregnum (kurun waktu tanpa seorang Paus) selama 39 tahun. Dan Romo O’Reilly adalah salah satu teolog yang terkemuka di abad ke-19.
Jelaslah bahwa Romo O’Reilly berada di sisi orang-orang yang, dengan menolak para Anti-Paus Vatikan II, berpegang kepada kemungkinan kekosongan jangka panjang Takhta Suci. Bahkan, di halaman 287 dari bukunya, Romo O’Reilly memberikan peringatan yang bernubuat ini:
Ini adalah sebuah poin yang sangat baik. Romo O’Reilly menjelaskan bahwa jika Skisma Barat Besar tidak pernah terjadi, orang-orang Katolik akan berkata bahwa situasi semacam itu (tiga klaiman Kepausan yang saling bersaing tanpa sebuah kepala yang pasti selama beberapa dekade) tidaklah mungkin – seperti mereka yang pada hari ini berkata bahwa ‘tesis’ sedevakantis tidak mungkin, walaupun fakta-faktanya terbukti benar.
Skisma Barat Besar memang terjadi, seperti yang Romo O’Reilly katakan, dan kita tidak memiliki kepastian apa pun bahwa hal-hal yang lebih buruk, yang tidak dikecualikan oleh janji-janji ilahi, tidak akan terjadi. Tidaklah bertentangan dengan indefektibilitas untuk mengatakan bahwa kita tidak memiliki seorang Paus sejak kematian Paus Pius XII di tahun 1958. Adalah suatu hal yang bertentangan dengan indefektibilitas Gereja Katolik untuk menyatakan bahwa para Paus sejati dapat mempermaklumkan Vatikan II, mendukung secara resmi agama-agama yang sesat dan pagan, mempermaklumkan Misa Baru yang Protestan, dan memegang bahwa para non-Katolik tidak perlu berkonversi untuk memperoleh keselamatan. Gereja dibiarkan tanpa seorang Paus selama waktu yang lama di dalam Kemurtadan Besar, inilah hukuman yang dijatuhkan Allah kepada generasi kita untuk kejahatan dunia.
Konsili Vatikan I
Jawaban: Dogma Vatikan I tidak bertentangan dengan kekosongan Takhta Paus; faktanya, hanya orang- orang yang menolak para Anti-Paus Vatikan II-lah yang dapat menerima dogma-dogma Paus ini, karena Benediktus XVI {dan Fransiskus} menolak mereka sepenuhnya.
JAWABAN-JAWABAN UNTUK BACAAN-BACAAN SPESIFIK DARI VATIKAN I YANG DIKUTIP OLEH PARA NON-SEDEVAKANTIS – DAN KEKONYOLAN AKAN SEORANG ‘PAUS’ YANG TIDAK PERCAYA AKAN VATIKAN I
Orang-orang yang mencoba untuk menyanggah sedevakantisme sering mengutip tiga bacaan dari Vatikan I. Kami akan secara khusus menjawab ketiga bacaan tersebut. Sebelum kami melakukannya, kami harus menekankan fakta yang baru saja didiskusikan: Telah terdapat kurun waktu yang panjang di mana Gereja tidak memiliki Paus sama sekali. Kami telah menyebutkan interregnum tiga setengah tahun antara Paus St. Marselinus dan Paus St. Marselus.
Walaupun Paus St. Gregorius VII meninggal pada tanggal 25 Mei 1085, baru hampir dua tahun kemudian – 9 Mei 1087 – penerusnya, Paus Viktor III terpilih. Pada tanggal 25 Juni 1243, Paus Inosensius IV menjadi penerus ke-179 dari St. Petrus; tetapi, pendahulunya yang langsung, Paus Selestinus IV, telah meninggal lebih dari satu setengah tahun sebelumnya – 10 November 1241. Di dalam abad yang sama, setelahnya, para Katolik terpaksa menunggu hampir tiga tahun sembari Gereja, setelah kematian Paus Klemens IV pada tanggal 29 November 1268 menunda untuk menamakan seorang Paus Baru sampai St. Gregorius X terpilih pada tanggal 1 September 1271. Contoh-contoh lain di mana terdapat satu taun atau lebih antara Paus-Paus dapat dikutip, maksudnya di sini adalah walaupun pemindahan tangan untuk kekuasaan Paus secara cepat merupakan hal yang sering terjadi, terdapat pengecualian-pengecualian. Krisis pada hari ini, oleh karena itu, tentunya bukan pertama kalinya Gereja telah menderita selama suatu waktu yang panjang tanpa seorang Paus.
Kami telah mendiskusikan para Anti-Paus yang memimpin dari Roma sembari mengaku sebagai Paus, sesuatu yang kita lihat dalam kasus Anakletus II dan Skisma Barat Besar. Juga terdapat suatu kebenaran teologi, “tambah atau kurang tidak mengubah spesies, perubahaan derajat tidak mengubah prinsip.” Jika Gereja tidak cela ataupun kehilangan suksesi abadi Paus selama kekosongan tiga tahun tujuh bulan, maka Gereja tidak akan cacat atau kehilangan suksesi abadi Paus selama kekosongan empat puluh tahun. Prinsip ini sama, kecuali seseorang dapat mengutip sebuah ajaran spesifik dari Gereja yang menyatakan batasan untuk interregnum Paus.
Karena tidak terdapat ajaran yang menaruh batasan untuk interregnum (kurun waktu tanpa seorang Paus) Paus semacam itu, dan karena definisi-definisi dari Vatikan I tentang keabadian Kepausan sama sekali tidak menyebutkan kekosongan Kepausan atau berapa lama hal itu akan berlangsung, jika definisi-definisi dari Vatikan I menentang posisi sedevakantis (seperti yang diajukan beberapa orang), maka mereka juga menentang indefektibilitas Gereja Katolik – setiap kali Gereja tidak memiliki seorang Paus. Tetapi hal ini mustahil dan tentunya konyol.
Hal ini jelas-jelas absurd dan sama sekali salah. Sang penulis mengetahui bahwa hal ini salah karena, di dalam kalimat berikutnya, ia berkata:
Pertama, interregnum yang disebutkannya bukanlah yang terpanjang di dalam sejarah Gereja (seperti yang kita lihat di atas). Kedua, ia mengakui bahwa Gereja ada tanpa Paus selama bertahun-tahun. Maka, telah terdapat beberapa ‘waktu’ di dalam sejarah Gereja di mana Gereja tidak memiliki seorang Paus. Mengapa ia berkata bahwa Gereja tidak bisa tidak memiliki seorang Paus ‘bahkan untuk satu waktu pun’ sewaktu ia mengetahui bahwa hal ini tidak benar?
Setelah kita telah menetapkan fakta bahwa Gereja dapat berada tanpa Paus di dalam kurun waktu yang lama, mari melihat bacaaan-bacaan dari Vatikan I:
Bahwa apa yang didirikan Kristus di dalam St. Petrus (KEPAUSAN) tetap merupakan prinsip abadi dan fondasi kelihatan dari kesatuan BAHKAN PADA HARI INI, DAN SEWAKTU TIDAK TERDAPAT PAUS, terbukti setiap kali seorang Katolik yang sedevakantis mengonversikan seorang ‘Ortodoks’ Timur Skismatis kepada Iman Katolik.
Sang Katolik (yang sedevakantis) dengan penuh kasih memberi tahu sang Skismatis Timur bahwa ia (sang Skismatis timur) tidak bersatu dengan Gereja karena ia tidak menerima apa yang didirikan di dalam St. Petrus (Kepausan), di samping tidak menerima apa yang para penerus St. Petrus telah ajarkan secara mengikat di dalam sejarah (Konsili Trente, dst.). Hal ini adalah sebuah contoh yang jelas bagaimana Kepausan tetap merupakan – dan akan tetap merupakan – prinsip abadi dari kesatuan kelihatan, membedakan para umat berimannya dari yang sesat (dan Gereja sejati dari gereja yang sesat). Hal ini benar sewaktu tidak terdapat seorang Paus, dan untuk para sedevakantis pada hari ini. Ajaran dogmatis Vatikan I tidak mengecualikan kurun-kurun waktu tanpa seorang Paus dan tidak bertentangan dengan tesis sedevakantis sama sekali.
Bahkan, walaupun definisi ini tetaplah benar untuk sang sedevakantis, harus dinyatakan secara jelas bahwa DEFINISI VATIKAN I INI HANYALAH BENAR UNTUK SANG SEDEVAKANTIS. DEFINISI VATIKAN I INI BAHWA KEPAUSAN MERUPAKAN PRINSIP ABADI DAN FONDASI KELIHATAN DARI KESATUAN SAMA SEKALI TIDAK BENAR UNTUK MEREKA YANG BERADA DI BAWAH BENEDIKTUS XVI. Ajaran Vatikan I ini hanya tetap benar untuk sedevakantis (bukan mereka yang di bawah Benediktus XVI) karena Vatikan II justru mengajarkan yang sebaliknya:
Kita melihat bahwa Vatikan II mengajarkan bahwa Kepausan bukanlah fondasi kelihatan dari persatuan-persatuan iman dan persekutuan. Hal ini mengajarkan bahwa mereka yang menolak kepausan bersekutu dengan Gereja. Karena ini adalah ajaran resmi dari sekte Vatikan II dan para Anti-Pausnya, mereka yang percaya hal ini menentang ajaran Vatikan I di atas.
Kedua, ajaran Vatikan I tentang keabadian Kepausan hanyalah tetap benar untuk sang sedevakantis karena Benediktus XVI secara terang-terangan mengajarkan bahwa penerimaan Kepausan tidaklah diperlukan untuk kesatuan!
Seperti yang kami telah tunjukkan – tetapi diperlukan untuk mengutip kembali hal tersebut di sini – Benediktus XVI secara khusus menyebutkan, lalu menolak terang-terangan, ajaran tradisional Gereja Katolik bahwa para Protestan dan Skismatis Timur harus dikonversikan kepada Iman Katolik dan menerima Vatikan I (‘sesuai yang didefinisikan pada tahun 1870’) untuk kesatuan dan keselamatan. Ia secara khusus menolak bahwa definisi dogmatis Vatikan I (untuk menerima Kepausan, dst.) adalah mengikat untuk kesatuan Gereja. Di samping fakta bahwa ini adalah sebuah contoh yang jelas akan bidah terang-teragan dari para Anti-Paus Vatikan II, hal ini membuktikan bahwa Benediktus XVI (PRIA YANG MEREKA KLAIM SEBAGAI ‘PAUS’) MENOLAK DOGMA YANG SAMA DARI VATIKAN I YANG DIKEDEPANKAN PENOLAKAN INI!
Ya, apa yang didirikan oleh Kristus di dalam St. Petrus (yaitu, KEPAUSAN) harus bertahan selamanya sampai akhir zaman. Apakah Kepausan itu? Kepausan adalah jabatan St. Petrus yang ditempati oleh setiap Uskup Roma yang benar dan sah. Hal ini berarti dan memastikan bahwa setiap kali terdapat seseorang yang menjabati jabatan tersebut ia diberikan oleh Kristus infalibilitas (di dalam kapasitas pengajarannya yang otoritatif dan mengikat), ia dikaruniai yurisdiksi tertinggi di atas Gereja universal, dan ia adalah kepala yang kelihatan dari Gereja. Hal ini tetaplah benar untuk setiap orang yang menjabat secara benar dan sah Kepausan sampai akhir zaman. Hal ini tidak berarti bahwa Gereja akan selalu memiliki seseorang yang menjabati jabatan tersebut, seperti yang dibuktikan sejarah Gereja dan lebih dari 200 kekosongan Paus, tidak pun hal ini berarti bahwa para Anti-Paus memimpin dari Roma adalah sebuah kemustahilan (seperti dalam kasus Anti-Paus Anakletus II, yang memimpin dari Roma dari tahun 1130-1138). Definisi ini tidak membuktikan apa-apa untuk para non-sedevakantis, mari berlanjut ke hal berikutnya.
Ini adalah kanon kegemaran mereka yang berargumentasi melawan ‘tesis’ sedevakantis; tetapi, seperti yang kita akan lihat, hal ini tidak membuktikan apa-apa sama sekali untuk posisi mereka. Kata-kata dan perbedaan-perbedaan sangatlah penting. Pengertian perbedaan-perbedaan dan kata-kata sering dapat menjadi perbedaan antara Protestantisme dan Katolisisme.
Kanon dari Vatikan I mengutuk mereka yang menolak ‘bahwa Petrus yang terberkati memiliki penerus selama-lamanya di dalam keutamaan atas Gereja universal.’ Perhatikan kata-kata “penerus selama-lamanya DI DALAM KEUTAMAAN.” Ini, seperti yang kita telah lihat, tidak berarti dan tidak dapat berarti bahwa kita akan selalu memiliki seorang Paus. Itulah mengapa hal ini tidak berkata bahwa “kita akan selalu memiliki seorang Paus.” Ini adalah sebuah fakta bahwa sudah terdapat periode-periode tanpa seorang Paus. Lalu apa arti kanon ini?
Untuk mengerti kanon ini, kita harus mengingat bahwa terdapat para skismatis yang percaya bahwa St. Petrus sendiri diberikan keutamaan di atas Gereja universal oleh Yesus Kristus, tetapi keutamaan di atas Gereja universal berhenti pada St. Petrus. Mereka percaya bahwa para Uskup Roma bukanlah penerus keutamaan yang dimiliki St. Petrus. Mereka percaya bahwa seluruh kekuatan dari keutamaan tidak turun kepada para Paus, walaupun mereka meneruskan St. Petrus sebagai Uskup Roma. Sekali lagi: para ‘Ortodoks’ skismatis akan mengakui bahwa para Uskup Roma adalah penerus St. Petrus di dalam suatu cara tertentu karena mereka meneruskannya sebagai Uskup Roma, tetapi bukan penerus-penerus dengan keutamaan yurisdiksi di atas Gereja universal yang dipegang oleh St. Petrus di dalam hidupnya. Ini adalah bidah yang dibahas oleh kanon di atas.
Bidah ini – yang menyangkal bahwa seorang Paus adalah penerus St. Petrus di dalam keutamaan yang sama selamanya (yaitu, setiap kali terdapat seorang Paus sampai akhir zaman, ia adalah penerus di dalam keutamaan yang sama, dengan keutamaan yang sama yang dimiliki St. Petrus) – secara persis merupakan apa yang dikutuk oleh kanon ini.
Sewaktu kita mengerti hal ini, kita mengerti secara jelas arti dari kanon ini. Hal ini ditekankan pada akhir kata-kata ‘atau bahwa Paus Roma bukanlah penerus Petrus yang terberkati di dalam keutamaan yang sama, terkutuklah dia’. Kanon tersebut tidak menyatakan bahwa kita akan selalu memiliki seorang Paus di setiap waktu atau bahwa tidak akan ada kekosongan, seperti yang kita telah lihat dengan jelas. Arti dari kanon ini jelas dari apa yang dikatakannya. Hal ini mengutuk semua yang menentang bahwa Petrus memiliki penerus selama-lamanya di dalam keutamaan – yaitu, mereka yang menolak bahwa setiap kali terdapat seorang Paus yang benar dan sah sampai akhir zaman, ia adalah penerus di dalam keutaaan yang sama, dengan otoritas yang sama yang dimiliki St. Petrus.
Kanon ini tidak membuktikan apa-apa untuk para non-sedevakantis, tetapi hal ini membuktikan sesuatu untuk kita. Ingat, Benediktus XVI juga menolak dogma ini tentang keutamaan para Paus!
BENEDIKTUS XVI MENOLAK SAMA SEKALI KANON INI DAN VATIKAN I
Hal ini berarti, sekali lagi, bahwa menurut Benediktus XVI semua orang Kristiani tidak terikat untuk percaya akan Kepausan seperti yang didefinisikan oleh Vatikan I pada tahun 1870. Hal ini berarti bahwa para skismatis ‘Ortodoks’ bebas untuk menolak Kepausan. Ini adalah penolakan terang-terangan akan Konsili Vatikan I dan perlunya untuk menerima keutamaan oleh sang pria yang mengaku-ngaku sebagai ‘sang Paus’. Siapa yang akan berteriak melawan kegilaan yang keji ini?
Terlebih lagi, perhatikan bahwa Benediktus XVI mengakui bahwa gerak-gerik simbolis Paulus VI dengan sang Patriark skismatis ‘adalah sebuah upaya untuk mengungkapkan hal ini secara persis’ – yaitu untuk mengatakan bahwa gerak-geriknya (seperti berlutut di depan perwakilan dari Patriak Athenagoras yang non-Katolik dan skismatis) mengungkapkan bahwa para skismatis tidak perlu percaya akan Kepausan dan Vatikan I! Pertimbangkan bahwa hal ini adalah pembelaan untuk semua yang kita telah katakan tentang gerak-gerik tanpa henti Yohanes Paulus II kepada para skismatis: memberikan mereka relikui-relikui, memberikan mereka sumbangan; memuji ‘Gereja-gereja’ mereka; menduduki takhta yang sama dengan mereka; menandatangani deklarasi-deklarasi bersama mereka; menghapuskan ekskomunikasi melawan mereka.
Kami menunjukkan berulang-ulang kali bahwa tindakan-tindakan ini sendiri (bahkan tidak mempertimbangkan pernyataan-pernyataannya yang lain) merupakan sebuah ajaran bahwa para skismatis tidak perlu menerima dogma Kepausan. Tidak terhitung jumlah tradisionalis palsu dan anggota dari Gereja Vatikan II yang menolak hal ini dan mencoba untuk menjelaskan gerak-gerik ini semata-mata sebagai skandal atau yang lain, tetapi bukan sebagai bidah. Nah, Ratzinger - Benediktus XVI, ‘kepala’ baru dari Gereja Vatikan II – mengakui secara persis apa yang kami katakan.
Di dalam bagian tentang bidah-bidah Benediktus XVI, kami telah membahas secara lebih rinci penolakan-penolakannya yang lain akan Vatikan II. Kami tidak akan mengulangi semuanya di sini; mohon membaca bagian tersebut untuk tahu lebih banyak.
Maka, katakan kepada saya, wahai pembaca: siapakah yang menolak Vatikan I? Siapa yang menolak dogma akan kekekalan, otoritas, dan hak-hak Kepausan? Siapakah yang menolak apa yang didirikan Kristus di dalam St. Petrus? Para sedevakantis, yang secara benar menunjukkan bahwa seseorang yang menolak Vatikan I adalah di luar Gereja, di luar kesatuan – karena ia menolak, di antara lain, prinsip kekal kesatuan (Kepausan) – dan oleh karena itu tidak dapat menempati jabatan atau mengepalai sebuah Gereja ia bahkan tidak percayai?
Atau apakah para penyangkal Kepausan dan Vatikan I mereka yang mengakui kesatuan dengan seorang pria yang jelas-jelas tidak percaya akan Vatikan I; seorang pria yang bahkan tidak percaya bahwa Kepausan dan Vatikan I mengikat semua umat Kristiani; seorang pria yang bahkan tidak percaya bahwa Kepausan dipegang selama seribu tahun pertama?
Jawabannya jelas untuk seseorang yang tulus dan jujur yang mempertimbangkan fakta-fakta ini. Anti-Paus Benediktus XVI dan semua yang yang bersikeras bersekutu dengannyalah yang menolak Kepausan; para sedevakantislah yang setia kepada Kepausan.
Jawaban: Pertama, orang-orang perlu mengerti apa arti ajaran “Tidak seorang pun dapat menghakimi Takhta Suci.” Hal ini berasal dari Gereja perdana. Di dalam Gereja perdana, sewaktu seorang uskup dituduh melakukan kejahatan, kadangkala akan dilangsungkan sebuah pengadilan yang dipimpin oleh uskup-uskup lain atau oleh seorang patriark yang memiliki otoritas yang lebih tinggi. Uskup-uskup ini akan duduk di dalam pengadilan dari sang uskup tersangka. Tetapi Uskup Roma, karena ia adalah uskup tertinggi di dalam Gereja, tidak dapat tunduk kepada pengadilan apa pun oleh uskup-uskup lain atau oleh orang-orang lain.
Inilah arti “Tidak seorang pun dapat menghakimi Takhta Suci.” Hal ini tidak merujuk kepada fakta untuk mengakui bahwa seorang bidah terang-terangan yang mengaku sebagai Paus bukanlah seorang Paus sejati. Dan hal ini membawa kita kepada poin kedua, yang terpenting di dalam hal ini.
Kedua, Takhta Suci telah memberi tahu kita bahwa tidak seorang bidah pun dapat diterima sebagai pejabat yang sah dari Takhta Suci (Paus)! Dengan kepenuhan otoritasnya, Paus Paulus IV mendefinisikan bahwa seseorang yang telah dipromosikan ke tingkat Kepausan sebagai seorang bidah bukanlah Paus yang benar dan sah, dan bahwa ia dapat ditolak sebagai seorang penyihir, penyembah berhala, pemungut cukai dan bidah.
Maka, seseorang mematuhi dan berpegang kepada ajaran Takhta Suci jika mereka menolak sebagai tidak sah para klaiman pasca-Vatikan II yang sesat. Mereka bukanlah Paus-Paus sejati, menurut ajaran dari Takhta Suci.
Ketiga, dekat permulaan Bulla ini, sebelum pernyataan bahwa para umat beriman dapat menolak sebagai sama sekali tidak sah ‘pemilihan’ seorang bidah, Paus Paulus IV mengulangi ajaran bahwa tidak seorang pun dapat menghakimi sang Paus.
Paus Paulus IV, tidak seperti para non-sedevakantis yang menggunakan argumen ‘tidak seorang pun dapat menghakimi Takhta Suci’ secara benar membedakan antara seorang Paus Katolik sejati yang tidak seorang pun dapat hakimi, dan seorang bidah terang-terangan (contoh, Benediktus XVI) yang telah menunjukkan dirinya sendiri sebagai seorang non-Katolik yang bukanlah sang Paus, karena ia terdapat di luar Iman sejati. Ini adalah sebuah bukti yang penting bahwa para sedevakantis yang menganggap sebagai tidak sah ‘pemilihan’ sang bidah terang-terangan Joseph Ratzinger tidak menghakimi seorang Paus.
Keempat, banyak orang yang mencoba membela para ‘Paus’ Vatikan II dengan berkata “tidak seorang pun dapat menghakimi Takhta Suci” sendiri bersalah karena mereka menghakimi tindakan-tindakan yang paling otoritatif yang mereka anggap menjabat di Takhta Suci. Kebanyakan tradisionalis menolak Vatikan II, ‘kanonisasi-kanonisasi’ dari para ‘Paus’ Vatikan II, dst. Ini adalah posisi yang skismatis, yang menolak tindakan-tindakan otoritatif orang yang mereka anggap adalah Takhta Suci. Hal ini membuktikan bahwa ‘Paus-paus’ ini bukanlah Paus-Paus sama sekali dan faktanya sama sekali tidak menjabat di Takhta Suci.
Jawaban: Banyak dari mereka yang percaya bahwa Benediktus XVI adalah sang Paus, tetapi menentang tindakan-tindakan resmi ‘Gerejanya’, seperti Vatikan II, mencoba untuk melihat sebuah pembenaran untuk posisi mereka yang salah di dalam tulisan St. Robertus Bellarminus ini. Faktanya, tulisan ini adalah salah satu bukti yang paling sering digunakan yang orang-orang coba ajukan untuk melawan posisi sedevakantis. Sayangnya, tulisan ini telah disalahgunakan dan diputarbalikkan.
Pertama, di dalam bab yang langsung mengikuti kutipan dari Bellarminus di atas, ia mengajarkan hal ini:
Tunggu dulu. Di dalam bab 29 (di dalam kutipan di penolakan 2), St. Robertus berkata bahwa anda tidak dapat ‘menghakimi, menghukum, atau menggulingkan’ sang Paus. Di bab 30, ia berkata bahwa seorang bidah terang-terangan berhenti menjadi Paus (yaitu, ia digulingkan) dan ia dapat ‘dihakimi dan dihukum’ oleh Gereja.
Pertanyaan saya untuk sang pembantah adalah berikut: Apakah St. Bellarminus seorang idiot?
St. Robertus Bellarminus bukanlah seorang idiot dan tidak pun ia menentang dirinya sendiri. Ia adalah seorang dokter Gereja dan tahu persis apa yang ia coba katakan. Sangatlah jelas, oleh karena itu, bahwa ia tidak berbicara tentang seorang Paus yang adalah bidah terang-terangan di bab 29, melainkan seorang Paus sejati yang memberikan contoh yang buruk, yang bukan seorang bidah terang-terangan. Konteks dari bab ini menegaskan hal ini tanpa keraguan.
Santo Robertus Bellarminus
Bab 29 melibatkan pembantahan St. Robertus akan sembilan argumen yang mendukung posisi bahwa sang Paus tunduk pada kekuatan sekuler (kaisar, raja, dst.) dan kepada konsili ekumenis (bidah konsiliarisme). Selama Abad Pertengahan, bidah konsiliarisme (membuat seorang Paus tunduk kepada sebuah konsili ekumenis) menjadi sebuah masalah besar. Untuk menentang bidah ini, St. Robertus Bellarminus berkata bahwa walaupun seorang Katolik dapat melawan seorang Paus yang buruk, ia tidak dapat menggulingkannya, walaupun Paus tersebut memberikan contoh yang buruk, mengganggu keadaan atau membunuh jiwa-jiwa lewat tindaknya. Ia berbicara tentang seorang Paus buruk yang bukanlah bidah terang-terangan; karena ia membahas tentang reaksi yang benar untuk bidah terang-terangan di dalam bab selanjutnya! Ini begitu jelas. Ia berkata bahwa seorang bidah terang-terangan dianggap bukan sebagai sang Paus di dalam bab yang selanjutnya!
Dengan mengetahui hal ini, penolakan yang muncul dari Bellarminus melawan sedevakantisme ditolak. Ia tidak berbicara tentang seorang bidah terang-terangan di dalam bab 29, tetapi tentang seorang Paus sejati yang bertindak dengan tidak pantas; karena ia menjelaskan bahwa seorang Paus yang adalah bidah secara terang-terangan digulingkan, dihakimi dan dihukum di bab 30. Adalah sebuah dosa besar kelalaian bagi para penulis ‘Katolik’ untuk mengutip berulang-ulang kali tulisan dari bab 29, tanpa pernah memberikan pernyataan St. Robertus tentang para Paus yang adalah bidah terang-terangan di bab 30. Dari antara orang-orang tersebut, kami mengikutsertakan mereka yang menulis untuk beberapa terbitan “tradisional” yang lebih populer. Para penulis ini menghapuskan ajaran St. Robertus di dalam bab 30 bersama seluruh ajaran para santo-santa, Paus dan kanonis yang mengajarkan bahwa Paus-Paus yang adalah bidah secara terang-terangan kehilangan jabatan mereka, karena mereka ingin menipu para pembacanya agar mereka berpikir bahwa St. Robertus mengutuk sedevakantisme, walaupun sebenarnya ia dan seluruh Bapa-bapa Gereja Perdana mendukung fakta bahwa seorang bidah terang-terangan bukanlah seorang Paus.
Dan kembali St. Robertus Bellarminus menulis:
Paus Liberius
Jawaban: Tidak benar bahwa Paus Liberius menyerah kepada para Arian, menandatangani rumusan Arian apa pun, ataupun mengekskomunikasikan St. Atanasius. Paus Liberius adalah pembela yang teguh akan kebenaran pada saat krisis Arian, tetapi kembalinya ia dari pengasingan membuat ia tampak seolah-olah ia telah berkompromi, sewaktu faktanya, tidak. Kami mengutip Paus Pius IX.
Menurut Paus Pius IX dan Paus Benediktus XV, Paus Liberius tidak bimbang sama sekali pada saat krisis Arian, dan dituduh secara palsu oleh para musuh Gereja karena ia berdiri tegak. Paus St. Anastasius I juga menyaksikan ini.
Paus St. Anastasius I, surat Dat mihi plurimum, sekitar 400 Masehi:
“Karena pada saat ini sewaktu Konstantius dari ingatan suci memegang dunia sebagai pemenang, fraksi Afrika yang sesat tidak dapat tanpa tipuan apa pun menanamkan kehinaannya karena, seperti yang kita percayai, Allah kita menjaga iman yang suci dan tidak ternoda agar tidak tercemarkan lewat penghujatan ganas apa pun dari para manusia pemfitnah... Untuk iman ini, mereka yang waktu itu dihormati sebagai uskup-uskup suci dengan senang hati menanggung pengasingan, yaitu Dionisius, oleh karenanya seorang hamba Allah, yang disiapkan oleh petunjuk ilahi, atau mereka yang mengikuti contoh ingatan sucinya, LIBERIUS, uskup Gereja Roma, Eusebius juga dari Vercelli, Hilarius dari Gaul, ini hanyalah sedikit dari sekian banyak, yang memutuskan untuk diikat kepada salib dan tidak menghujat Kristus Allah, yang para bidah Arian tuntut, atau memanggil Putra Allah, Kristus Allah, sebuah ciptaan Allah.”[55]
Bukanlah Paus Liberius, melainkan pseudo-uskup Ischyras, yang, sebelum ia merenggut Takhta Aleksandria, mengusir St. Atanasius dari Takhtanya.
JAWABAN: Seperti yang kami telah tunjukkan, adalah sebuah dogma bahwa 1) para bidah bukanlah anggota Gereja dan 2) bahwa seorang Paus adalah kepala dari Gereja. Oleh karena itu, adalah suatu fakta dogmatis bahwa seorang bidah tidak dapat menjadi kepala dari Gereja, karena ia bukanlah anggotanya.
Lalu apa yang Paus Pius XII maksudkan di Vacantis Apostolicae Sedis? Pertama-tama, seseorang perlu mengerti bahwa ekskomunikasi dapat terjadi untuk berbagai hal. Di dalam sejarah, ekskomunikasi-ekskomunikasi dibedakan dengan istilah mayor dan minor. Ekskomunikasi mayor diberikan untuk bidah dan skisma (dosa-dosa melawan iman) dan beberapa dosa berat lainnya. Mereka yang menerima ekskomunikasi mayor untuk bidah bukanlah anggota dari Gereja (seperti yang kami telah buktikan panjang lebar). Tetapi, ekskomunikasi minor, tidak mengenyahkan seseorang dari Gereja, tetapi melarang seseorang untuk mengambil bagian di dalam kehidupan sakramental Gereja. Paus Benediktus XIV membuat catatan akan perbedaan ini.
Ekskomunikasi minor, di sisi lain, diberikan untuk hal-hal seperti membocorkan rahasia Takhta Suci, memalsukan relikui (c. 2326), melanggar sebuah biara (c. 2342), dst. Ini semua adalah hukuman gerejawi. Tindakan-tindakan tersebut, walaupun merupakan dosa berat, tidak memisahkan seseorang dari Gereja. Dan walaupun istilah dari ekskomunikasi mayor dan minor tidak lagi digunakan, tetaplah merupakan sebuah fakta bahwa seseorang bisa mendapatkan sebuah ekskomunikasi (untuk sesuatu yang lain dari bidah) yang tidak akan memisahkannya dari Gereja, dan ia bisa mendapatkan suatu ekskomunikasi akibat bidah yang akan memisahkannya dari Gereja.
Maka, seorang kardinal yang menerima ekskomunikasi untuk bidah bukanlah lagi seorang kardinal karena para bidah ada di luar Gereja Katolik (de fide, Paus Eugenius IV). Tetapi seorang kardinal yang menerima sebuah ekskomunikasi untuk hal yang lain tetaplah seorang kardinal, walaupun ia berada di dalam keadaan dosa berat.
Maka sewaktu Paus Pius XII berkata bahwa semua kardinal, tidak peduli halangan gerejawi apa pun, dapat memilih dan terpilih di dalam konklaf Paus, hal ini mensyaratkan bahwa para kardinal tersebut telah menerima ekskomunikasi untuk sesuatu yang lain daripada bidah, karena seorang kardinal yang telah menerima ekskomunikasi untuk bidah bukan sama sekali seorang kardinal. Poin utamanya adalah untuk mengerti bahwa bidah bukanlah hanya semata-mata suatu halangan gerejawi – maka, itu bukanlah apa yang dibicarakan Pius XII – tetapi suatu halangan oleh hukum ilahi.
Sang kanonis Maroto menjelaskan: “Para bidah dan skismatis dilarang dari Kepausan Tertinggi oleh hukum ilahi sendiri, karena, walaupun oleh hukum ilahi mereka tidak dianggap tidak sanggup untuk mengambil bagian di dalam jenis-jenis tertentu yurisdiksi gerejawi, bagaimanapun, mereka harus benar-benar dipandang sebagai dikecualikan untuk menjabat Takhta Apostolik...”[58]
Perhatikan, para bidah tidak dikecualikan dari Kepausan semata-mata oleh halangan gerejawi, tetapi halangan yang mengalir dari hukum ilahi. Legislasi Pius XII tidak diterapkan untuk bidah karena ia berbicara tentang halangan gerejawi: ‘...atau halangan gerejawi lainnya....’ Maka, legislasinya tidak menunjukkan bahwa para bidah dapat terpilih dan tetap menjadi Paus, inilah alasan ia tidak menyebut bidah. Paus Pius XII merujuk kepada para kardinal Katolik yang mungkin ada di bawah ekskomunikasi.
Untuk membuktikan hal ini lebih lanjut, mari mengandaikan untuk argumen bahwa legislasi Paus Pius XII memang berarti bahwa seorang kardinal bidah dapat terpilih Paus. Perhatikan yang dikatakan Paus Pius XII:
Pius XII berkata bahwa ekskomunikasi tersebut dicabut hanya pada waktu pemilihan; di waktu lain, mereka tetap berlaku. Hal ini berarti bahwa ekskomunikasi untuk bidah akan berlaku kembali segera setelah pemilihan tersebut dan sang bidah yang telah terpilih sebagai Paus akan kehilangan jabatannya! Maka, tidak peduli bagaimana anda melihat hal ini, seorang bidah tidak dapat terpilih secara valid dan tetap menjadi Paus.
Jika seorang bidah (seseorang yang menolak iman) dapat menjadi kepala di dalam Gereja, maka dogma bahwa Gereja adalah satu di dalam iman (seperti di dalam satu, kudus, Katolik, dan apostolik) adalah salah.
Jawaban: Bilamana Benediktus XVI adalah seorang Paus atau tidak tidak berarti apa-apa, maka ketidak-Katolikan sekte Vatikan II sama sekali tidak berarti apa-apa, Misa Baru tidak berarti apa-apa, dst. Seseorang tidak dapat memisahkan satu dari yang lain. Anda tidak dapat memisahkan Paus dan Gereja. Terlebih lagi, untuk berkeras bahwa Benediktus XVI adalah kepala dari Gereja Katolik adalah untuk menyatakan bahwa pintu Alam Maut telah menang melawan Gereja.
Selanjutnya, untuk bersikeras mengakui Benediktus XVI sebagai Paus adalah untuk melakukan sebuah dosa melawan Iman; karena hal tersebut adalah untuk menyatakan bahwa seseorang memiliki Iman sejati yang, faktanya, adalah seorang bidah terang-terangan dan murtad melawannya. Terlebih lagi, untuk mengakui bahwa Benediktus XVI dan para Anti-Paus Vatikan II lainnya sebagai Paus-Paus sejati adalah sebuah skandal bagi para non-Katolik; hal tersebut menyebabkan seseorang tidak dapat menyajikan Iman kepada seorang non-Katolik. Untuk poin ini, kita sekarang harus melihat Dilema yang Menghancurkan untuk menunjukkan betapa isu ini sangat penting.
Dilema yang Menghancurkan: Mengapa orang-orang Katolik bahkan tidak dapat menyajikan Iman kepada seorang Protestan jika mereka menerima para Anti-Paus Vatikan II sebagai Paus-Paus sejati
Andaikata besok anda bertemu dengan seorang Protestan yang cukup berpengetahuan yang tertarik menjadi Katolik. Walaupun orang ini mengaku tertarik untuk menjadi ‘Katolik’, ia bermasalah besar dengan ajaran Gereja Katolik tentang pembenaran: ia menolak kanon-kanon dan dekret-dekret dari abad ke-16 Konsili Trente. Selagi ia menjelaskan posisinya, anda berpikir kepada diri anda sendiri: “Bagaimana orang ini bisa berharap menjadi Katolik jika ia tidak percaya akan ajaran Konsili Trente akan pembenaran?”
Maka anda, sebagai seorang Katolik yang pengasih, memberitahukannya bahwa jika ia ingin menjadi seorang Katolik, ia harus menerima dan percaya akan ajaran Konsili Trente tentang pembenaran dan menolak pandangan Luther tentang pembenaran hanya lewat iman (sola fide), karena gereja Katolik (belum lagi Kitab Suci – Yakobus 2:24) mengutuk ide tentang pembenaran hanya lewat iman.
Tetapi sang Protestan membalas sebagai berikut:
#1) Sang Protestan pertama mengutip Deklarasi Gabungan dengan Para Lutheran tentang Doktrin Pembenaran, yang disetujui oleh Vatikan pada tanggal 31 Oktober 1999. Ia mengutip dua pilihan dari Deklarasi Gabungan dengan Para Lutheran tentang Doktrin Pembenaran, yang ia kebetulan miliki di dalam kopernya.
Setelah mengutip hal ini, sang Protestan menjelaskan dengan benar bahwa hal ini mengesampingkan pengutukan apa pun akan pandangan Lutheran tentang pembenaran (hanya dengan iman, dst.). Lalu ia mengutip #13.
Setelah mengutipnya, sang Protestan dengan benar menjelaskan bahwa hal ini juga berarti bahwa pengutukan-pengutukan Trente (pada abad ke-16) akan pandangan Lutheran tentang pembenaran tidak lagi berlaku.
#2) Untuk mendukung lebih lanjut poinnya, sang Protestan lalu mengutip dua poin lagi dari Deklarasi Gabungan dengan Para Lutheran.
Sang Protestan menunjukkan fakta yang jelas bahwa hal ini berarti bahwa tidak satu pun ajaran Lutheran yang terkandung di dalam Deklarasi Gabungan tersebut dikutuk oleh Konsili Trente. Lalu ia membuktikan bahwa pembenaran hanya lewat iman adalah salah satu dari ajaran gereja-gereja Lutheran di dalam Deklarasi Gabungan.
Ia menyimpulkan, dengan logika yang sempurna, bahwa menurut persetujuan Vatikan sendiri dengan Lutheran tentang pembenaran, iman saja sama sekali tidak dikutuk oleh Konsili Trente. Maka ia berkata kepada anda:
#3) Akhirnya, sang Protestan yang pintar ini tahu bahwa anda akan mencoba berkata bahwa Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI tidak menandatangani Deklarasi Gabungan dengan Para Lutheran tentang Doktrin Pembenaran. Maka ia menunjukkan bahwa Deklarasi Gabungan ditandatangani di bawah dukungan dari Yohanes Paulus II dan berulang-ulang kali disetujui oleh Benediktus XVI.
Sang Protestan mengakhiri penyajiannya dengan berkata:
Anda tahu bahwa sebagai seorang Katolik, anda memiliki kewajiban ketat untuk memberi tahu orang ini bahwa kepercayaan akan iman saja dan kepercayaan akan agama Katolik itu bertentangan. Maka apa yang anda katakan untuk menjawabnya?
Jika anda percaya bahwa Benediktus XVI dan Yohanes Paulus II adalah Paus-Paus yang valid, anda mengutarakan jawaban berikut, satu-satunya hal yang anda pikirkan:
Sang Protestan yang pintar, yang segera menemukan kecacatan di dalam jawaban yang tidak logis ini, membalas:
Jika anda percaya bahwa Benediktus XVI adalah Paus yang valid, anda tidak akan memiliki jawaban apa-apa lagi kepada sang Protestan ini. Debat ini berakhir sudah dan anda sudah kalah. Anda tidak dapat lagi berkata bahwa penerimaan iman saja dan Deklarasi Gabungan dengan Para Lutheran tentang Doktrin Pembenaran bertentangan dengan masuknya sang Protestan ke dalam Gereja Katolik (yang anda harus lakukan sebagai seorang Katolik, karena hal ini telah didefinisikan secara infalibel di Konsili Trente), sedangkan anda pada waktu yang sama patuh kepada Benediktus VI sebagai kepala dari Gereja Katolik, yang telah menunjukkan penerimaannya akan Deklarasi Gabungan dengan Para Lutheran tentang Doktrin Pembenaran secara sangat publik. Sang Protestan telah memojokkan anda dan anda terpaksa mengakui bahwa ia dapat menjadi Katolik dan percaya akan apa yang diajarkan di dalam Deklarasi Gabungan. Hal ini membuktikan bahwa mereka yang menerima Benediktus XVI sebagai sang Paus bahkan tidak dapat secara konsisten menyajikan Iman Katolik untuk seorang Protestan. MEREKA HARUS MENGAKUI BAHWA SESEORANG DAPAT MENJADI ‘KATOLIK’ DAN MEMEGANG BAHWA IMAN SAJA BUKANLAH SEBUAH Bidah YANG TERKUTUK, DAN BAHWA KANON-KANON TRENTE TIDAK BERLAKU KEPADA PANDANGAN LUTHERAN TENTANG PEMBENARAN.
Selama seseorang mengakui Benediktus XVI sebagai Paus Katolik, ia membela sebuah Gereja yang telah menolak Konsili Trente, sebuah ‘Gereja’ yang, dari definisinya, adalah sebuah Gereja non-Katolik – sebuah Gereja yang terdiri dari bidah-bidah.
Keputusan dan otoritas yang sama yang anda gunakan untuk menentukan bahwa sang Protestan non-denominasional ini adalah seorang bidah dan di luar Gereja Katolik – sebuah penghakiman yang anda buat sewaktu anda bertemu dengannya dan menemukan apa yang ia percayai dan bagaimana ia menolak Konsili Trente – adalah keputusan yang persis sama yang anda secara mutlak terpaksa buat tentang Benediktus XVI. Hal tersebut haruslah menyadarkan anda secara kuat dan menerangkan anda bahwa anda tidak bersalah karena anda menghakimi Takhta Suci atau seorang Paus sewaktu anda secara benar menghakimi Benediktus XVI sebagai seorang non-Katolik; melainkan, anda mengidentifikasikan seorang non-Katolik untuk kenyataannya, seperti anda telah secara benar mengidentifikasikan sang Protestan non-denominasional yang anda temui itu sebagai seorang non-Katolik, seperti layaknya orang-orang Kalvinis, Metodis, atau Episkopal.
Jawaban: Paus Paulus IV menyatakan bahwa para Katolik tidak boleh menerima seorang klaiman yang bidah, walaupun ‘semua orang’ patuh kepadanya – yang mengindikasikan lewat pernyataan semacam itu bahwa adalah sesuatu yang mungkin bahwa semua orang patuh kepada seorang Anti-Paus tersebut.
Tetapi, kita sudah pernah mengalami sebuah situasi di mana seluruh kardinal mengakui seorang Anti-Paus! Seperti yang dibahas lebih awal di dalam buku ini, pada waktu Skisma Barat Besar, 15 dari 16 kardinal yang telah memilih Paus Urbanus VI tidak lagi mematuhinya atas dasar bahwa massa Romawi yang kacau telah membuat pemilihannya tidak kanonis. Satu kardinal yang tidak menolak Paus Urbanus VI adalah Kardinal Tebaldeschi, tetapi ia meninggal tidak lama setelahnya, pada tanggal 7 September – yang menjadikan suatu keadaan di mana tidak satu kardinal pun dari Gereja Katolik mengakui Paus sejati, Urbanus VI. Semua kardinal yang masih hidup pada waktu itu memandang pemilihannya sebagai tidak valid.[67]
Pada abad ke-12, Anti-Paus Anakletus II – yang memimpin selama delapan tahun di Roma sewaktu ia melawan sang Paus sejati, Inosensius II – memenangkan kebanyakan dari para kardinal, Uskup dari Porto, Dekan dari Kementerian Suci, dan seluruh rakyat Roma sebagai pendukungnya.[68]
Jawaban: Yohanes XXII bukanlah seorang bidah, dan kepemimpinannya bukanlah sebuah bukti bahwa bidah-bidah dapat menjadi Paus.
Pertama, kami ingin pembaca untuk memperhatikan sesuatu yang sangat menarik: sewaktu Ferrara (orang yang memberikan pembantahan ini) sedang mendiskusikan Yohanes XXII, perhatikan bahwa masalah tersebut dibesar-besarkan. Ia tidak ragu-ragu untuk mencap hal tersebut sebagai sebuah contoh bidah sungguh-sungguhan. Tetapi sewaktu ia sedang membahas bidah-bidah yang jelas dari para ‘Paus’ Vatikan II, mereka semua sangat dikecilkan sampai ia menolak semuanya bahkan yang memang benar bidah. Misalnya:
Baiklah, jadi tidak satu pun dari bidah Yohanes Paulus II dan Paulus VI (misalnya, ajaran bahwa terdapat santo-santa di dalam agama-agama lain; menyatakan bahwa kita tidak boleh mengonversikan para non-Katolik; dst.) bahkan adalah bidah. Benar-benar omong kosong! Tidakkah seseorang melihat kemunafikan yang dalam dan kebohongan terang-terangan di sini? Sewaktu Ferrara dan para non-sedevakantis merasa bahwa dengan mengecilkan bidah, hal tersebut menjadi bermanfaat untuk mereka, mereka menaikkan standar untuk bidah, sehingga pada dasarnya tiada tindakan-tindakan yang ia anggap bidah sungguh-sungguhan. Tetapi sewaktu mereka menganggap berguna untuk membesar-besarkan sebuah bidah (dalam kasus Yohanes XXII), karena mereka berpikir bahwa hal tersebut akan berhasil menentang sedevakantisme, mereka menghebohkannya dan membuatnya tampak jauh lebih buruk dari yang sebenarnya.
Faktanya adalah Yohanes XXII bukanlah seorang bidah. Posisi Yohanes XXII bahwa jiwa-jiwa dari orang-orang yang terberkati tidak melihat Visiun Beatifis {berkomunikasi langsung dengan Allah} sampai setelah Pengadilan Terakhir bukanlah sebuah hal yang telah secara khusus didefinisikan sebagai sebuah dogma. Definisi ini dikeluarkan dua tahun setelah kematian Paus Yohanes XXII oleh Paus Benediktus XII di dalam Benedictus Deus,[71] tetapi tampaknya Ferrara tidak merasa bahwa hal itu penting untuk disebutkan.
Fakta bahwa Kardinal Orsini mencela Yohanes XXII sebagai seorang bidah tidak membuktikan apa-apa terutama sewaktu kita mempertimbangkan konteks dari kejadian-kejadian tersebut. Untuk memberikan sebuah konteks singkat, Yohanes XXII telah mengutuk sebagai bidah ajaran dari para ‘Spiritual’. Kelompok ini percaya bahwa Kristus dan para rasul tidak memiliki kepunyaan secara individu ataupun bersama-sama. Yohanes XXII mengutuk pandangan ini sebagai bertentangan dengan Kitab Suci, dan menyatakan bahwa semua yang berpegang secara teguh kepadanya adalah bidah.[72] Para ‘Spiritual’ dan orang-orang lain yang seperti mereka, termasuk Raja Louis dari Bavaria telah dikutuk sebagai bidah.
Sewaktu kontroversi tentang pernyataan-pernyataan Yohanes XXII tentang Visiun Beatifis terjadi, para Spiritual dan Raja Louis dari Bavaria memanfaatkannya dan menuduh sang Paus sebagai bidah. Para musuh Gereja ini didukung oleh Kardinal Orsini, pria yang disebutkan Ferrara di dalam artikelnya.
Dengan latar belakang ini, kita dapat melihat bahwa pernyataan Ferrara bahwa “Kardinal Orsini menggelar sebuah konsili umum untuk menyatakan bahwa sang Paus adalah bidah...” terkesan lain: Ya, Kardinal Orsini dan teman-teman baiknya, para bidah yang terekskomunikasi. Bahkan, ‘Paus’ Ferrara sendiri, di dalam bukunya Dogmatic Theology {Teologi Dogmatis}, mencatat bahwa skandal tersebut dimanfaatkan oleh para musuh Gereja untuk tujuan politis:
Ferrara menempatkan dirinya sendiri di kubu musuh-musuh Gereja dengan pernyataanya yang dibesar-besarkan tentang kasus Yohanes XXII. Yohanes XXII bukanlah seorang bidah. Di samping faka bahwa masalah tersebut belum didefinisikan sebagai suatu dogma, Yohanes XXII juga memperjelas bahwa ia tidak mengikat seorang pun kepada pendapatnya (yang salah) dan tidak sampai kepada kesimpulan yang definitif akan hal tersebut:
Segala hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa Yohanes XXII bukanlah seorang bidah. Ia memegang suatu pendapat pribadi yang sangatlah salah, yang ia nyatakan secara terang-terangan sama sekali hanyalah sebagai sebuah pendapat. Faktanya, walaupun kesalahannya yang signifikan, Yohanes XXII sangatlah menentang bidah. Pengutukannya akan para Spiritual dan Raja Louis dari Bavaria adalah sebuah bukti bahwa ia memang mengutuk bidah. Untuk membandingkannya kepada para Anti-Paus Vatikan II yang bahkan tidak percaya bahwa bidah itu ada adalah sangat konyol. Seperti yang telah ditetapkan, Benediktus XVI bahkan tidak percaya bahwa Protestantisme adalah sebuah ajaran sesat! Benar-benar sebuah lelucon satanik bahwa seseorang bersikeras (walaupun ia mengetahui kebenaran tersebut) untuk menyatakan bahwa pria ini adalah seorang Katolik! Faktanya adalah di mana pun para non-sedevakantis ingin berbelok (menuju dogma Kepausan, atau tindakan-tindakan Luther, dst.), mereka dapat dibantah. Misalnya, karena kita sedang membahas hal tentang Yohanes XXII dan Hari Penghakiman, harus diingat bahwa Benediktus XVI menentang mungkin dogma Katolik yang paling penting tentang Hari Penghakiman: Kebangkitan Badan, seperti yang kami telah tunjukkan di bagian yang sebelumnya tentang bidah-bidahnya.
Maka, sewaktu para non-sedevakantis mengajukan isu akan Yohanes XXII dan Pengadilan Terakhir, mereka hanya mengingatkan kita akan sebuah dogma lain yang Benediktus XVI tolak dan sebuah bukti lain mengapa ia bukan seorang Paus.
Jawaban: Seperti yang kita telah lihat, adalah sebuah fakta dogmatis bahwa seorang bidah tidak bisa menjadi Paus, karena adalah suatu dogma yang telah definisikan bahwa seorang bidah bukanlah anggota dari Gereja Katolik.
Kasus Paus Honorius tidak membuktikan bahwa seorang bidah dapat menjadi Paus. Konsili Konstantinopel III yang mengutuk Paus Honorius sebagai bidah setelah kematiannya, tidak membuat pernyataan apa pun – tidak pun Gereja membuat sebuah pernyataan – bahwa ia tetap menjadi Paus sampai pada akhir hayatnya.
Paus Honorius I
Gereja tidak mengatasi isu tentang jika Honorius kehilangan Jabatan Kepausan setelah jatuh kedalam bidah; Gereja hanya mengutukinya. (Honorius juga dikutuk di Konsili Konstantinopel IV dan Konsili Nicea II.) Karena Honorius adalah seorang Paus yang dipilih secara valid (yang merupakan alasan mengapa ia dicatat di dalam urut-urutan Paus sejati), jika ia benar menjadi seorang bidah sejati pada saat kepemimpinannya, ia benar-benar kehilangan Kepausan; karena, seperti yang bahkan para non-sedevakantis yang membuat argumen tersebut akui, “bidah bukanlah Katolik, dan para non-Katolik tidak bisa menjadi Paus.”
Paus Honorius telah meninggal selama lebih dari 40 tahun sewaktu ia dikutuk oleh Konsili Konstantinopel III. Honorius tidak pernah mengeluarkan dekret dogmatis, dan hanya ‘memimpin’ selama tiga setengah tahun setelah kejadian bidah tersebut. Maka, pertanyaan akan jika ia tetap menjadi Paus dan memimpin Gereja universal selama tiga setengah tahun terakhir dari Kepausannya yang berlangsung selama tiga belas tahun tidaklah begitu relevan untuk para umat pada saat itu.
Maka, sangatlah dimengerti bahwa Gereja tidak mengeluarkan pernyataan apa pun bahwa Honorius kehilangan jabatannya karena pertanyaan tersebut tidak didiskusikan pada masa tersebut, dan hal tersebut dapat melibatkan sebuah debat teologis yang besar di samping masalah-masalah lain yang tidak perlu dipermasalahkan.
Juga, orang-orang masih kebingungan (termasuk di kalangan penerus Honorius) apakah Paus Honorius telah menjadi bidah atau hanya semata-mata bersalah karena ia gagal untuk mengenyahkan bidah atau apakah orang-orang salah paham akan ia, seperti yang dikemukakan The Catholic Encyclopedia tahun 1907. Beberapa pelajar yang telah mempelajari pertanyaan tersebut dengan sangat rinci tetap tidak yakin bahwa Honorius benar-benar dikutuk sebagai seorang bidah sejati oleh Konsili Konstantinopel III. Argumen mereka bertumpu di atas fakta bahwa Paus St. Agathus yang masih hidup pada waktu konsili tersebut berlangsung, meninggal sebelum konsili tersebut berakhir. Karena dekret-dekret konsili hanya memiliki otoritas yang diberikan kepadanya di dalam konfirmasi dari sang Paus, mereka berargumentasi bahwa Paus St. Leo II, Paus yang sesungguhnya menegaskan konsili tersebut, hanya menegaskan pengutukan Honorius dalam arti bahwa ia gagal untuk mengenyahkan bidah tersebut, dan oleh karena itu memperkenankan pencemaran iman. Kebingungan ini adalah alasan yang pasti mengapa kita melihat St. Fransiskus De Sales mengatakan hal berikut (di bawah) tentang Honorius.
Untuk membedakan lebih lanjut kasus Honorius dari para Anti-Paus Vatikan II, penting untuk mengemukakan bahwa jatuhnya Paus Honorius sama sekali tidak diketahui pada saat kepemimpinannya dan pada tahun-tahun setelah kepemimpinannya. Kedua surat Honorius yang mendukung bidah monotelitisme (ditulis pada tahun 634) adalah surat-surat kepada Sergius, Patriark Konstantinopel. Surat-surat ini bukan hanya tidak diketahui pada waktu itu, tetapi juga disalahpahami oleh seorang Paus yang memimpin segera setelah Honorius.
Contohnya, Paus Yohanes IV (640-643), Paus kedua yang memimpin setelah kematian Paus Honorius, membela Honorius dari segala tuduhan bidah. Paus Yohanes IV yakin bahwa Honorius tidak mengajarkan bidah monotelitisme (bahwa Kristus hanya memiliki satu kehendak), tetapi bahwa Honorius hanya semata-mata menekankan bahwa Tuhan kita tidak memiliki dua kehendak yang bertentangan.
Di dalam hal-hal ini, kita dapat melihat: 1) kasus Paus Honorius tidak membuktikan bahwa bidah dapat menjadi Paus, karena Gereja tidak pernah menyatakan bahwa ia tetap menjadi Paus setelah kejatuhannya; dan 2) fakta dari kasus Paus Honorius sangatlah berbeda dari kasus Anti-Paus Vatikan II, karena kedua surat Honorius mengandung bidah yang sama sekali tidak diketahui pada saat itu, dan bahkan disalahpahami oleh para Paus yang meneruskannya. Untuk membandingkan kedua surat Paus Honorius kepada tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan para bidah seperti Paulus VI, Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI adalah bagaikan membandingkan sebutir pasir dengan pantai.
Akhirnya, jika anda ingin konfirmasi lebih lanjut bahwa para bidah secara ipso facto berhenti menjadi Paus, dan bahwa di dalam kasus Honorius, tidak terdapat bukti yang bertentangan, anda tidak perlu mengandalkan kata-kata kami.
Di dalam paragraf yang sama di mana St. Fransiskus De Sales (Dokter Gereja) menyebutkan Paus Honorius, ia menyatakan dengan jelas bahwa seorang Paus yang akan menjadi bidah akan berhenti menjadi Paus. St. Fransiskus De Sales tidak yakin jika Paus Honorius adalah seorang bidah atau apakah ia hanya gagal untuk mengenyahkan bidah; tetapi apa pun hal itu, St. Fransiskus tahu bahwa kasus Honorius tidak memengaruhi kenyataan bahwa bidah tidak bisa menjadi Paus.
St. Robertus Bellarminus dan St. Alfonsus juga akrab dengan kasus Paus Honorius. Kasusnya tidak menyebabkan mereka ragu untuk menyatakan:
Dengan mempertimbangkan fakta-fakta ini, kita dapat melihat bahwa argumen dari Honorius tidak membuktikan apa-apa sama sekali untuk sang non-sedevakantis, tetapi mengingatkan kita bahwa para Dokter Gereja yang, sambil mengingat kasusnya, menyatakan bahwa para bidah tidak bisa menjadi Paus.
Jawaban: 1) Orang-orang salah paham tentang arti Gereja yang kelihatan; 2) Sekte Vatikan II tidak bisa menjadi Gereja Kristus yang kelihatan; dan 3) Sekte Vatikan II menolak ajaran tentang Gereja yang kelihatan ini.
Tidak seorang pun menolak bahwa Gereja Katolik dapat berhenti berada di seluruh dunia kecuali satu. Gereja yang kelihatan tidak mengharuskan bahwa umat atau hierarkinya kelihatan di setiap lokasi geografis di dunia. Ini tidak pernah terjadi. Sungguh, Gereja yang kelihatan berarti umat Katolik sejati yang secara eksternal mengakui satu agama sejati, bahkan jika jumlahnya berkurang menjadi sangat sedikit. Para umat ini yang mengakui secara eksternal agama yang satu dan sejati akan selalu menjadi Gereja Kristus yang sejati, bahkan jika jumlah mereka hanya sedikit sekali.
Dan hal ini benar-benar apa yang dinubuatkan akan terjadi pada akhir dunia.
Tuhan kita sendiri menunjukkan bahwa Gereja akan menjadi sangat amat kecil pada akhir zaman.
Wahyu kepada St. Yohanes tampaknya menunjukkan hal yang sama.
Versi Haydock dari Alkitab Douay-Rheims {Terjemahan Alkitab Katolik dari bahasa Latin Vulgata ke bahasa Inggris}, sebuah kompilasi komentar-komentar Katolik tentang Kitab Suci oleh Romo Geo. Leo Haydock, memiliki komentar berikut tentang Wahyu 11:1-2:
Magisterium Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa harus terdapat sekian banyak uskup atau umat beriman agar Gereja tetap ada. Selama terdapat paling tidak satu imam atau satu uskup dan paling tidak beberapa umat beriman, Gereja dan hierarkinya tetap hidup dan kelihatan. Hari ini terdapat lebih dari sekelumit umat beriman yang tetap mempertahankan Iman Katolik yang tidak berubah. Maka, argumentasi dari para lawan kami di dalam sudut pandang Gereja yang Kelihatan tidak memiliki arti dan bertentangan dengan nubuat-nubuat Kitab Suci.
Terlebih lagi, pada saat krisis Arian, Iman sejati telah dilenyapkan dari seluruh daerah, sampai hampir tidak terdapat uskup Katolik di mana pun.
Bidah Arian ini menyebar begitu luasnya pada abad ke-4 sampai para Arian (yang menolak Keilahian Kristus) menduduki hampir semua gereja-gereja Katolik dan tampak seperti hierarki yang legitim di mana-mana.
Hal tersebut begitu buruknya sampai St. Gregorius dari Nazianzus merasa terdorong untuk mengatakan sisa-sisa umat Katolik yang hari ini dapat katakan.
Periode ini di dalam sejarah Gereja, oleh karena itu, membuktikan sebuah poin yang penting untuk zaman kita: Jika tugas Gereja yang indefektibel untuk mengajarkan, memimpin serta menyucikan memerlukan seorang uskup yang memimpin (yaitu yurisdiksi) dari Gereja Kristus untuk hadir dan beroperasi dari takhta atau dioses tertentu, maka seseorang harus mengatakan bahwa Gereja Kristus cacat di dalam seluruh daerah tersebut di mana tidak terdapat uskup Katolik yang memimpin pada saat terjadinya bidah Arian. Tetapi, adalah suatu fakta bahwa di abad ke-4, di mana para umat beriman menjaga iman Katolik sejati, bahkan di takhta-takhta tersebut di mana uskupnya tunduk kepada Arianisme, para umat Katolik yang tersisa merupakan Gereja Kristus sejati. Di dalam sisa tersebut, Gereja Katolik berada dan bertahan di dalam misinya untuk mengajarkan, memimpin dan menyucikan tanpa seorang uskup yang memimpin, yang oleh karena itu membuktikan bahwa indefektibilitas Gereja Kristus dan misi untuk mengajar, memimpin dan menyucikan tidak memerlukan kehadiran uskup yurisdiksi.
Harus juga dicatat bahwa hierarki tersebut dapat didefinisikan di dalam dua cara: hierarki yurisdiksi dan hierarki gerejawi.[88]
Hanya mereka yang memiliki yurisdiksi biasa (yaitu, yurisdiksi yang melekat kepada sebuah jabatan) merupakan hierarki yurisdiksi. Semua imam Katolik yang valid, di sisi lain, merupakan bagian dari hierarki gerejawi. Hal ini mungkin terjadi selama hierarki gerejawi tetap berada.
Para non-sedevakantis yang menolak hal ini tidak dapat menunjuk kepada satu uskup Katolik sejati dengan yurisdiksi biasa. Kepada siapa mereka akan menunjuk? Apakah mereka akan menunjuk kepada ‘Uskup’ Bruskewitz, yang melakukan Seder Paskah antaragama dengan sekelompok rabbi di dalam katedralnya pada Pekan Suci?[90] Apakah mereka akan menunjuk kepada ‘Kardinal’ Mahony atau ‘Kardinal’ Keeler?
Jika benar bahwa harus terdapat satu uskup dengan yurisdiksi biasa di suatu tempat (yang merupakan sesuatu yang belum pernah terbukti), maka ia terdapat di suatu tempat. Tetapi hal ini tidak mengubah fakta bahwa Benediktus XVI dan para uskupnya yang murtad bukanlah Katolik dan oleh karena itu bukanlah bagian dari hierarki. Tidak terdapat argumen untuk melawan suatu fakta; melawan fakta ini, tidak terdapat sebuah argumen.
Akhirnya, dan poin yang paling penting, sekte Vatikan II menolak Gereja Katolik yang kelihatan, maka membuktikan lagi bahwa Vatikan II bukanlah Gereja Katolik yang kelihatan!
Ingat yang satu ini? Pada permulaan dari Dekret Ekumenismenya, Vatikan II mengajarkan bahwa hampir semua orang menantikan Gereja yang sungguh universal dan kelihatan yang misinya adalah untuk mengonversikan seluruh dunia kepada Injil. Sekali lagi, untuk mereka yang meragukan bahwa Vatikan II di sini menolak bahwa Gereja Katolik sudah ada, kami akan mengutip interpretasi Anti-Paus Yohanes Paulus II sendiri akan tulisan tersebut:
Maka, jika anda menerima ajaran Gereja yang kelihatan, anda memiliki satu alasan lagi untuk menolak sekte Vatikan II dan para Anti-Pausnya.
Di samping hal ini, ide tentang Gereja yang tidak kelihatan – yang diajarkan oleh sekte Vatikan II – telah dikutuk paling tidak tiga kali: Paus Leo XIII, Satis Cognitum (#3), 29 Juni 1896;[93] Paus Pius XI, Mortalium Animos (#10), 6 Januari 1928;[94] Paus Pius XII, Mystici Corporis Christi (#64), 29 Juni 1943.[95]
Terlebih lagi, berikut adalah sebuah kutipan yang menarik dari krisis Kontroversi Penobatan (1075-1122). Di saat krisis ini, Raja Jerman yang jahat, Henry IV, menobatkan seorang Anti-Paus (yang didukung banyak uskup-uskup Jerman). Henry juga menunjuk uskup-uskupnya sendiri yang juga tunduk kepada sang Anti-Paus. Hasilnya adalah dua uskup di kebanyakan dioses dan kebingungan yang besar.
Poinnya adalah: walaupun kita sekarang menghadapi sebuah kemurtadan yang tidak tertandingi, Gereja telah menghadapi waktu yang membingungkan sebelumnya, termasuk waktu di mana hierarki sejati tidak dengan mudah dapat dipastikan.
Jawaban: Orang yang membuat penolakan ini, Chris Ferrara, salah sama sekali, seperti biasa. Pertama, terdapat banyak sekali contoh bidah terang-terangan dari para Anti-Paus pasca-konsili Vatikan II yang tidak memerlukan penjelasan atau komentar, seperti yang kita telah lihat. Kedua, otoritas Paus mengajarkan kita bahwa bidah-bidah tertentu memang memerlukan penjelasan, penelaahan yang mendalam dan analisis untuk membongkar dan mengutuknya seperti yang kita akan lihat.
Sebelum kami menguraikan tentang kedua poin tersebut, sang pembaca perlu memeriksa contoh bidah yang diberikan Ferrara. Ferrara memberikan contoh bidah: “Tidak terdapat Allah Tritunggal Mahakudus.” Menurut Ferrara, hal ini adalah suatu contoh yang tidak terpungkiri tentang bidah terang-terangan. Ia memang benar sewaktu ia mengatakan bahwa pernyataan ini adalah bidah, tetapi perhatikan bahwa di dalam contoh ini kita tidak menghadapi penolakan yang persis kata demi kata tentang definisi dogmatis. Sejauh yang kami ketahui, tidak terdapat definisi dogmatis tentang Allah Tritunggal Mahakudus yang menyatakan “Terdapat Allah Tritunggal Mahakudus.” Terdapat definisi-definisi, seperti yang berikut:
Paus Gregorius X
Tentunya, para Katolik segera mengakui bahwa pernyataan “Tidak terdapat Allah Tritunggal Mahakudus” sama dengan penolakan secara langsung definisi dogmatis ini, walaupun hal tersebut tidak menolak definisi dogmatis tersebut kata demi kata. Maka, dengan memberikan contoh bidahnya itu – satu contoh yang Ferrara mungkin ciptakan karena ia merasa percaya diri bahwa para sedevakantis tidak dapat menciptakan bidah yang sama tentang Allah Tritunggal Mahakudus dari Benediktus XVI – Ferrara membuktikan poin kami: pernyataan-pernyataan yang sama dengan sebuah penolakan secara langsung dari dogma, walaupun mereka tidak secara kata demi kata menolak definisi dogma, adalah contoh-contoh dari bidah terang-terangan.
Maka, layaknya para Katolik segera mengakui bahwa pernyataan “Tidak terdapat Allah Tritunggal Mahakudus” adalah bidah terang-teragan, walaupun tidak terdapat dogma yang menyatakan yang bertentangan kata demi kata, mereka langsung mengakui bahwa pernyataan Benediktus XVI bahwa Protestantisme bukanlah bidah adalah, tentunya, penolakan secara langsung dogma-dogma Katolik yang mengutuk ajaran-ajaran Protestan sebagai bidah-bidah. Terima kasih untuk membuktikan poin kami kembali, Tuan Ferrara.
Kami sekarang akan mengutip lebih dari 10 pernyataan dari Benediktus XVI (dan satu dari Yohanes Paulus II) dan tidak memberikan komentar apa pun. Semua orang yang tulus dan jujur akan melihat bahwa pernyataan-pernyataan ini sama dengan penolakan secara langsung dogma Katolik tanpa memerlukan analisis lebih lanjut.
Kami tidak perlu berkomentar.
Kami tidak perlu berkomentar.
Kami tidak perlu berkomentar.
Kami tidak perlu berkomentar.
Kami tidak perlu berkomentar.
Kami tidak perlu berkomentar.
Kami tidak perlu berkomentar.
Kami tidak perlu berkomentar.
Kami tidak perlu berkomentar.
Kami tidak perlu berkomentar.
Kami tidak perlu berkomentar.
Terdapat banyak hal yang lain, tetap hal-hal ini merupakan lebih dari sepuluh contoh tentang bidah-bidah terang-terangan yang sama dengan penolakan secara langsung dogma Katolik tanpa perlu ada komentar.
CHRIS FERRARA VS. PAUS PIUS VI TENTANG AMBIGUITAS DI DALAM Bidah = SEBUAH KNOCKOUT UNTUK PAUS PIUS VI
Di samping fakta bahwa terdapat bidah-bidah terang-terangan yang tidak perlu dikomentari dari para Anti-Paus Vatikan II, seperti yang kita telah lihat di atas, YANG BENAR-BENAR MENGHANCURKAN POIN FERRARA adalah fakta bahwa Paus Pius VI mengajarkan hal yang benar-benar bertentangan dengan Ferrara tentang bidah dan ambiguitas.
Paus Pius VI menyatakan bahwa para bidah, seperti Nestorius, telah selalu menyamarkan bidah-bidah dan kesalahan-kesalahan doktrin mereka di dalam kontradiksi diri dan ambiguitas!
Paus Pius VI mengajarkan bahwa jika seseorang mengerudungi bidah di dalam ambiguitas, seperti yang dilakukan para bidah sepanjang masa, seorang Katolik harus mencela sang bidah akan arti perkataannya yang sesat dan mencela arti sesat dari pernyataan yang tersembunyi di bawah ambiguitas! Hal ini sendiri menghancurkan seluruh rentetan artikel dan penolakan Chris Ferrara tentang sedevakantisme. (Juga, mohon mencatat suatu perbedaan yang penting: kami tidak menyatakan bahwa dokumen-dokumen atau pernyataan-pernyataan yang semata-mata ambigu, tetapi tidak mengajarkan kontradiksi doktrin yang jelas akan Iman Katolik, adalah sesat; tidak, kami menyatakan bersama Paus Pius VI bahwa dokumen-dokumen yang mengandung pernyataan-pernyataan bidah atau pendapat-pendapat yang jelas-jelas menentang dogma Katolik (‘pernyataan-pernyataan mengejutkan’, menurut Pius VI) tetapi yang juga mengandung kontradiksi diri dan ambiguitas bersama dengan pernyataan-pernyataan bidah tersebut, tetaplah bidah tidak peduli ambiguitas dan kontradiksi diri yang menemani bidah tersebut. Sebuah contoh adalah seseorang yang mengaku ‘Katolik’ yang terus-menerus mendukung aborsi, tetapi kadangkala berkata bahwa ia menerima ajaran Gereja tentang aborsi. Orang ini adalah bidah terang-terangan, walaupun kontradiksi dirinya dan ambiguitas dari posisinya. Suatu contoh lain adalah seorang pria yang berkata bahwa kita tidak boleh mengonversikan para Protestan (sebuah bidah terang-terangan), tetapi yang juga menyatakan bahwa Gereja Katolik sendiri adalah kepenuhan dari Iman Kristiani semua orang harus peluk. Ia adalah seorang bidah terang-terangan, tidak peduli fakta bahwa pernyataan-pernyataannya selanjutnya {tentang Gereja Katolik adalah kepenuhan dari Iman Kristiani} kelihatannya bertentangan dengan pernyataan yang sebelumnya. Para bidah sangatlah tidak jujur dan pembohong, maka mereka sering mencoba untuk menentang atau mengurangi keofensifan bidah-bidah mereka lewat taktik yang halus yaitu kontradiksi diri dan ambiguitas; itulah poin dari Paus Pius VI.)
Perhatikan betapa Chris Ferrara menentang secara langsung ajaran Paus Pius VI.
“Maka, kita menghadapi sebuah dokumen [Dignitatis Humanae dari Vatikan II] yang tampaknya mengandung kontradiksi diri, yang kelihatanya berasal dari upaya Konsili untuk menyenangkan kedua fraksi konservatif dan liberal dari antara Bapa-bapa Konsili. Suatu dokumen yang menentang dirinya sendiri karena tampak mendukung dan menentang ajaran tradisional pada waktu yang bersamaan hampir tidak bisa dikatakan sebagai mengandung pertentangan terang-terangan akan ajaran tradisional... Karena masalah yang kita hadapi adalah ambiguitas, ketidakkonsistenan internal, dan keanehan...”
“Adalah sebuah teknik yang paling tercela untuk menyusupkan kesalahan-kesalahan doktrin, karena hal tersebut dijelaskan di dalam banyak sekali kata-kata, yang dilihat oleh pendahulu kami, Santo Selestinus pada zaman dahulu kala di dalam tulisan-tulisan Nestorius, uskup Konstantinopel, dan yang ia telah singkap untuk mengutuknya dengan hukuman yang paling besar yang mungkin dijatuhkan...”
Tentunya, Paus Pius VI benar dan Chris Ferrara sama sekali salah. Perhatikan bahwa Pius VI juga berkata bahwa beberapa dari kesalahan-kesalahan doktrin ini (yang juga adalah bidah dalam kasus ini, karena ia merujuk kepada bidah-bidah dari Nestorius, sang bidah tinggi) yang hanya tersingkap lewat penelaahan dan analisis yang cermat!
Tetapi bukankah analisis dan penelaahan tersebut tidak diperlukan untuk kontradiksi terang-terangan dari ajaran Katolik? Itulah yang dikatakan Chris Ferrara.
Chris Ferrara sangatlah salah. Para bidah menipu lewat kontradiksi dan ambiguitas karena bidah sendiri adalah suatu kebohongan dan pertentangan.
Perhatikan, ajaran-ajaran sesat timbul lewat para bidah yang terbuka dan tidak mencoba menipu, tetapi juga lewat para penipu yang lihai seperti Benediktus XVI, yang mencampuradukkan pernyataan-pernyataan serta tindakan-tindakan yang konservatif di antara bidah-bidahnya yang mencengangkan dan tidak terpungkiri. Untuk menggambarkan poin ini kembali, pertimbangkanlah fakta bahwa sang bidah tinggi Arius membuat dirinya sendiri disetujui oleh Konstantinus {Kaisar Romawi yang menggelar Konsili Nicea I di abad ke-4} dengan memberinya suatu pengakuan iman yang ambigu. Tetapi, St. Atanasius tidak tertipu, dan menolak untuk menganggapnya sebagai seorang Katolik,
Menurut Chris Ferrara, orang-orang Katolik seharusnya menerima Arius yang menolak Kristus, sebagai seorang Katolik seperti yang dilakukan Konstantinus sebab pengakuan imannya ambigu. Chris Ferrara adalah penipu sempurna dari Setan; segala yang harus dilakukan Iblis adalah untuk memerintahkan bidah setelah mengajarkan ajaran sesatnya adalah membumbuinya dengan sedikit ambiguitas, dan meladainya dengan sedikit kontradiksi, dan ia akan memerintahkan seluruh dunia untuk mengikuti sang bidah dan tetap berada di bawah perlindungannya. Dan inilah persisnya bagaimana sang Iblis begitu berhasil mengurung orang-orang di dalam sekte Vatikan II yang murtad dan terang-terangan sesat. Orang-orang melihat sedikit pernyataan-pernyataan atau tindakan-tindakan konservatif dari para bidah, dan mereka meyakinkan diri mereka sendiri bahwa orang-orang tersebut bukanlah bidah yang berbahaya, walaupun mereka hanya menolak dan menghancurkan Iman di sekeliling mereka, seperti yang kami telah tunjukkan. Dalam cara ini, Iblis menang.
Untuk menggambarkan lebih lanjut ‘keabsurdan paten’ dari ‘teologi’ Chris Ferrara, seseorang dapat menulis sebuah dokumen yang menolak bahwa Bunda Maria tidak berdosa berulang-ulang kali, dan berkata pada akhir dokumen tersebut bahwa ia mengakui ajaran Gereja tentang Dikandung Tanpa Noda Dosa, dan dokumen tersebut tidak akan menjadi sesat karena mengandung ‘kontradiksi diri’. Apakah ada hal yang lebih bodoh dari hal ini? Ferrara menerapkan teologi sesat ini, yang secara langsung bertentangan dengan ajaran Paus Pius VI (seperti yang kita lihat di atas), kepada analisisnya tentang Deklarasi Vatikan II tentang Kebebasan Beragama.
Deklarasi Vatikan II tentang Kebebasan Beragama mengandung bidah yang jelas melawan dogma Gereja bahwa Negara memiliki hak untuk mengekang ungkapan secara publik dari agama-agama sesat. Fakta bahwa Deklarasi Vatikan II tentang Kebebasan Beragama mengaku ‘tidak mengubah doktrin Katolik tradisional’ sama sekali tidak berarti apa-apa. Para ‘Katolik Lama {orang-orang yang memisahkan diri dari Gereja Katolik di bawah Serikat Gereja-gereja Katolik Lama Utrecht dan bersekutu secara penuh dengan Gereja Anglikan}’ mengatakan hal yang sama persis, seperti yang dikatakan para bidah di sepanjang sejarah.
Paus Pius IX
Maka, menurut Ferrara, kasus bahwa para ‘Katolik Lama’ adalah bidah tidaklah sah, karena mereka mengulang-ulang pernyataan bahwa mereka bersemangat untuk kemurnian doktrin Katolik, dan bahwa mereka secara terang-terangan berkata bahwa mereka tidak menolak ajaran Katolik. Tetapi tidak, Gereja Katolik mengajarkan bahwa mereka adalah bidah terang-terangan, dan semua orang yang mengikuti ajaran serta sekte mereka dianggap sebagai bidah.
Kita dapat melihat bahwa ‘teologi’ Chris Ferrara secara langsung bertentangan bukan hanya dengan ajaran para Paus, tetapi dengan akal sehat. Bahkan, kebodohan satanik dari posisi Ferrara (dan banyak orang lain) – bahwa para pria yang murtad serta Anti-Paus Vatikan II bukanlah bidah terang-terangan karena kadangkala mereka menentang diri mereka sendiri dan menggunakan ambiguitas bersama bidah-bidah mereka yang mencengangkan –mungkin ditunjukkan dengan cara melihat kasus John Kerry yang murtad.
Kami akan meragukan bahwa hampir semua yang membaca artikel ini percaya bahwa John Kerry adalah seorang Katolik. Bahkan orang-orang di Fransiscan University mengakui bahwa: “Anda tidak bisa menjadi seorang Katolik dan menjadi pro-aborsi,” seperti yang diserukan oleh papan-papan protes mereka sewaktu ia berbicara di Ohio. Tetapi John Kerry menyatakan bahwa ia menerima ajaran Katolik, walaupun ia secara konsisten memberikan suara untuk mendukung aborsi.
Pada saat Debat Kepresidenan pada tahun 2004 dengan George W. Bush, John Kerry menyatakan:”Saya tidak bisa memaksakan kepercayaan iman saya kepada orang lain.” Anda lihat? John Kerry telah menyatakan secara publik bahwa ajaran Gereja melawan aborsi adalah kepercayaan imannya, tetapi ia hanya tidak dapat menerapkannya atau memaksakannya di dalam ruangan publik. Argumennya sangatlah konyol, suatu kebohongan, sebuah kontradiksi, tentunya – layaknya seluruh bidah. Tetapi menurut Chris Ferrara, John Kerry harus dianggap sebagai seorang Katolik, untuk suatu hal yang:
Kita dapat melihat di sini bahwa pernyataan ini adalah sebuah omong kosong. Jika hal ini benar, John Kerry hampir tidak bisa dianggap sebagai seorang bidah terang-terangan sewaktu ia menyatakan secara publik bahwa ajaran Gereja melawan aborsi adalah kepercayaan imannya, padahal ia menentang hal tersebut dengan bersikukuh mendukung aborsi. John Kerry harus dianggap sebagai seorang Katolik, menurut kebejatan yang hina dari ajaran Katolik, yang diilhami oleh Setan, bahwa sang bidah Chris Ferrara menjajakan penerbitan ‘tradisional’. Kesimpulan ini juga membuat Ferrara bertentangan dengan salah satu rekan dan teman baiknya, Michael Matt, yang menyatakan dengan jelas (dengan otoritasnya sendiri, karena hal ini belum pernah dinyatakan oleh ‘Paus’-nya) bahwa John Kerry adalah seseorang yang murtad.
Kelihatannya Ferrara dan Matt banyak sekali berbicara. Dan memang, kasus tentang John Kerry membuktikan poin tersebut, karena jika anda tidak dapat berkata bahwa Benediktus XVI yang mengambil bagian secara aktif di dalam ibadat Yahudi, tidak percaya bahwa Yesus benar-benar adalah Mesias dan Putra Allah, mengajarkan bahwa kita seharusnya tidak mengonversikan para Protestan, diinisiasikan ke dalam Islam, dst. tidak bisa dianggap sebagai seorang bidah – maka anda tidak memiliki pembenaran apa pun untuk melabeli John Kerry. Faktanya, dogma-dogma yang ditolak oleh Benediktus XVI telah didefinisikan jauh lebih sering daripada dogma yang ditolak oleh Kerry.
Jawaban: Hal ini sama sekali tidak benar. Kitab Hukum Kanonik 1983 Anti-Paus Yohanes Paulus II yang sesat dan tidak sah menyatakan bahwa pernyataan semacam itu diperlukan di dalam Kanon 194 § 3. Tetapi hal ini tidak terdapat di dalam Kitab Hukum Kanonik 1917. Kanon yang paralel dengan kanon 194 di dalam Kitab Hukum Kanonik tahun 1917 adalah kanon 188. Kanon 188 dari Kitab Hukum Kanonik 1917 tidak berisikan hal tersebut, dan hanya menyatakan bahwa seorang imam yang “jatuh secara publik dari iman” (188 § 4) kehilangan jabatannya oleh karena fakta itu sendiri ‘tanpa pernyataan apa pun’.
Perhatikan bahwa Kitab Hukum Kanonik 1917 tidak berkata apa pun tentang apabila suatu pernyataan diperlukan; malah ia berkata hal yang bertentangan – ‘tanpa pernyataan apa pun’! Sewaktu seseorang membandingkan kedua kanon tersebut, ia dapat melihat perbedaan yang mencolok.
Inilah mungkin sebab Ferrara tidak memberikan kutipan kepada Kitab Hukum Kanonik 1917 di dalam catatan kakinya; ia hanya memberikan suatu rujukan kepada Kitab Hukum Kanonik 1983. Maka, kita menghadapi suatu kebohongan lain yang terang-terangan dari Ferrara.
Jawaban: Tidak, Konsili Konstanz tidak mengutuk ide bahwa seorang bidah akan berhenti menjadi Paus sama sekali. Ini adalah kesalahpahaman yang serius akan hal tersebut. Seperti yang kita telah lihat dengan jelas di atas, Konsili tersebut mengutuk sesuatu yang jauh berbeda. Konsili Konstanz mengutuk pernyataan bahwa seseorang yang jahat akan berhenti menjadi kepala Gereja, karena ia bukan anggotanya. Pernyataan dari sang bidah Hus dengan benar menyatakan bahwa seseorang yang bukanlah anggota dari Gereja tidak bisa menjadi kepala dari Gereja, tetapi ia jatuh ke dalam masalah sewaktu ia mengatakan bahwa sang Paus berhenti menjadi seorang anggota jika ia ‘jahat’.
Seorang Paus yang semata-mata jahat tidak berhenti menjadi Paus, tetapi seorang bidah atau skismatis berhenti menjadi Paus. Hal ini dikarenakan bidah dan skisma dan kemurtadan memisahkan seseorang dari Gereja, sedangkan dosa-dosa lain (tidak peduli seberat atau sejahat apa pun) tidak memisahkan seseorang dari Gereja. Bukanlah suatu hal yang bertentangan dengan kebenaran bahwa seorang bidah berhenti menjadi seorang Paus. Bahkan, banyak dari pernyataan-pernyataan lain dari Yohanes Hus yang dikutuk oleh Konsili Konstanz yang mengulangi ide sesat yang diungkapkan di atas dalam berbagai cara: bahwa orang-orang jahat bukanlah bagian dari Gereja.[126]
Jawaban: Deklarasi Gabungan dengan Para Lutheran dengan sendirinya membuktikan bahwa para ‘Paus’ Vatikan II adalah Anti-Paus. Fakta bahwa Yohanes Paulus II tidak pun Benediktus XVI menulis dokumen tersebut ataupun menandatanganinya tidaklah relevan. Mereka berdua mendukungnya secara publik berulang kali, dan setuju dengannya.
Seseorang bernama James Smith dapat menuliskan suatu dokumen yang menentang Dikandungnya Bunda Maria Tanpa Dosa Asal, dan jika anda memberi pidato untuk mendukung dokumen Smith, hal tersebut akan membuat anda seorang bidah terang-terangan. Fakta bahwa anda tidak menulis dokumen Smith ataupun menulisnya sama sekali tidak berarti apa-apa; anda menyetujuinya secara publik. Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI menyetujui secara publik Deklarasi Gabungan dengan Para Lutheran tentang Pembenaran, yang mengajarkan bahwa bidah-bidah Lutheran terburuk tidaklah dikutuk oleh Konsili Trente. Mereka adalah bidah-bidah terang-terangan.
Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak menerima Posisi Sedevakantis
Kami telah membahas secara sangat rinci penolakan-penolakan melawan posisi sedevakantis. Kita dapat melihat bahwa tidak terdapat satu ajaran Gereja Katolik pun yang dapat menyebabkan seseorang untuk menerima fakta yang tidak terpungkiri bahwa sekte Vatikan II bukanlah Gereja Katolik, dan bahwa para pria yang telah mengepalai sekte ini (para ‘Paus’ pasca-Vatikan II) bukanlah Paus sama sekali, tetapi, para Anti-Paus non-Katolik. Sebaliknya, terdapat bukti yang tidak terbantahkan untuk posisi ini dan segala alasan untuk menerimanya.