Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan | Bidah-Bidah di dalam Vatikan II |
Dignitatis Humanae – Deklarasi Vatikan II tentang Kebebasan Beragama
Kembali ke rangkuman bidah utama Vatikan II.
Deklarasi tentang Kebebasan Beragama Vatikan II tidak diragukan merupakan dokumen Vatikan II yang paling terkenal keburukannya. Untuk mengerti mengapa ajaran Vatikan II tentang kebebasan beragama adalah ajaran sesat, seseorang harus mengerti ajaran Gereja Katolik yang infalibel tentang hal ini.
Gereja Katolik mendogmakan bahwa Negara memiliki hak, dan memang, sebuah kewajiban untuk mencegah pengikut-pengikut agama sesat untuk menyebarkan dan mengakui kepercayaan sesat mereka di depan umum. Negara harus melakukan hal ini untuk melindungi kebaikan bersama – kebaikan dari jiwa-jiwa – yang dicelakakan oleh penyebaran kejahatan secara publik. Inilah mengapa Gereja Katolik selalu mengajarkan bahwa Katolisisme haruslah menjadi satu-satunya agama Negara, dan bahwa Negara harus selalu mencegah dan melarang pengakuan dan penyebaran secara publik agama lain.
Mari melihat tiga pernyataan yang dikecam oleh Paus Pius IX di dalam Silabus Kesalahan-kesalahannya yang otoritatif.
Perhatikan bahwa ide bahwa agama Katolik tidak harus menjadi agama Negara dan bahwa agama-agama lain tidak perlu dilarang, dikecam. Hal ini berarti bahwa agama Katolik harus menjadi satu-satunya agama Negara dan bahwa agama-agama lain harus dilarang untuk melakukan ibadah secara publik, pengakuan iman, praktik dan penyebarannya. Gereja Katolik tidak memaksakan orang-orang yang tidak percaya akan iman Katolik untuk percaya akan iman Katolik, karena kepercayaan (dari definisinya sendiri) adalah aksi dari kehendak bebas.
Tetapi Gereja mengajarkan bahwa Negara harus melarang penyebaran dan pengakuan iman dari agama-agama sesat yang menuntun jiwa-jiwa ke Neraka.
Di dalam Quanta Cura, Paus Pius IX juga mengecam ide bahwa setiap manusia harus diberikan hak sipil kebebasan beragama.
Tetapi Vatikan II mengajarkan hal yang justru berlawanan:
Vatikan II mengajarkan bahwa kebebasan beragama harus menjadi hak sipil, yang padahal dikecam secara langsung oleh Paus Pius IX. Vatikan II juga mengajarkan bahwa hak kebebasan beragama ini juga berlaku untuk ekspresi publik dan pribadi; dan bahwa tidak seorang pun boleh dicegah untuk mengungkapkan ataupun mempraktikkan secara publik agamanya. Ajaran Vatikan II ini adalah bidah yang berlawanan secara langsung kepada ajaran infalibel Paus Pius IX dan berbagai Paus lain. Ajaran Vatikan II tentang kebebasan beragama dapat secara harfiah ditambahkan di dalam daftar kesalahan-kesalahan di dalam Silabus Kesalahan-kesalahan yang dikecam oleh Paus Pius IX.
Benediktus XVI mengakui bahwa ajaran Vatikan II tentang Kebebasan Beragama menentang ajaran Silabus Kesalahan-kesalahan dari Paus Pius IX!
Yang menakjubkan adalah bahwa Benediktus XVI mengakui apa yang kami buktikan di atas!
Benediktus XVI di sini mengakui bahwa ajaran Vatikan II (yang ia pegang) secara langsung bertentangan dengan ajaran dari Silabus Kesalahan-kesalahan dari Paus Pius IX. Dalam kata lain, ia baru saja mengakui bahwa ajaran Vatikan II bertentangan dengan ajaran Magisterium Katolik. Seseorang tidak dapat meminta penegasan yang lebih jauh bahwa ajaran Vatikan II adalah sesat. Di dalam bukunya, Benediktus XVI mengulang-ulangi hal ini, dan menyebut ajaran Vatikan II ‘kontra-silabus’, dan mengatakan bahwa kita tidak bisa lagi kembali kepada Silabus Kesalahan-kesalahan!
Bidah Vatikan II mungkin diungkapkan paling jelas dalam kutipan berikut:
Vatikan II berkata bahwa Negara melanggar otoritasnya jika ia berani untuk mencegah aktivitas keagamaan. Ini adalah ajaran sesat.
Di sini kita melihat bahwa Paus Leo XIII (yang hanya mengulangi ajaran yang konsisten dari para Paus) mengajarkan bahwa Negara tidak hanya dapat, tetapi harus mengekang dan melarang hak-hak dari agama-agama lain untuk melakukan tindak keagamaan – yang sama sekali berlawanan dengan yang dideklarasikan Vatikan II. Tindakan-tindakan publik tersebut, doktrin-doktrin kebohongan, dan ajaran-ajaran sesat haruslah dikekang oleh otoritas publik (yaitu Negara) menurut ajaran Gereja Katolik, agar jiwa-jiwa tidaklah disesatkan atau tergoda oleh mereka.
Bidah Vatikan II tentang hal tersebut sangatlah jelas, tetapi akan selalu terdapat bidah-bidah yang mencoba untuk membela hal yang tidak dapat dipertahankan.
Membantah pembelaan-pembelaan akan ajaran Vatikan II tentang Kebebasan Beragama
Beberapa pembela ajaran Vatikan II tentang kebebasan beragama berargumentasi bahwa Vatikan II hanya mengajarkan bahwa kita tidak seharusnya memaksakan orang-orang untuk percaya.
Seperti yang kita telah lihat, hal ini sama sekali salah. Vatikan II bukan hanya mengajarkan bahwa Gereja Katolik tidak memaksakan seseorang yang tidak percaya untuk menjadi Katolik. Tetapi, Vatikan II mengajarkan bahwa Negara tidak memiliki hak untuk mengekang ekspresi publik dan penyebaran serta praktik agama-agama sesat (karena hak sipil untuk kebebasan beragama harus diakui secara universal). Sekali lagi, kita harus mengerti perbedaan antara kedua hal yang berbeda yang kadangkala sering dicampuradukkan oleh para pembela Vatikan II yang tidak jujur. Masalah pertama) Gereja Katolik tidak memaksakan seseorang yang tidak percaya untuk percaya, karena kepercayaan adalah suatu hal yang bebas – benar; Masalah kedua) Negara tidak boleh mengekang ekspresi publik agama-agama sesat ini – di sinilah di mana Vatikan II menentang Gereja Katolik akan kebebasan beragama. Masalah kedua adalah kuncinya.
Untuk mengerti hal ini dengan lebih baik, marilah melihat sebuah contoh: Jika sebuah Negara melihat, sebagai contoh, orang-orang Muslim dan Yahudi menyelenggarakan ibadah dan perayaaan mereka di tempat umum (bahkan jika mereka tidak mengganggu kedamaian ataupun memasuki properti perorangan tanpa izin tidak pun mengganggu ketertiban publik sama sekali), Negara dapat dan harus (menurut ajaran Katolik) mengekang ibadah dan perayaan tersebut dan memulangkan para Muslim dan Yahudi (atau menangkap mereka, jika terdapat hukum yang mapan) karena mereka menjadi sebuah skandal untuk orang lain dan mungkin membuat orang lain mengikuti agama sesat mereka. Negara akan memberitahukan mereka akan kewajiban mereka untuk menjadi Katolik di depan Allah dan mencoba untuk mengonversikan mereka dengan cara menuntun mereka kepada imam Katolik, tetapi tidak memaksakan mereka untuk melakukannya. Ini adalah contoh akan perbedaan yang jelas antara 1) memaksakan seseorang untuk menjadi Katolik, sesuatu yang dikecam Gereja, karena kepercayaan adalah hal yang bebas dan 2) hak Negara untuk mengekang aktivitas agama sesat, sesuatu yang diajarkan Gereja.
Tetapi Vatikan II justru mengajarkan kebalikannya. Paragraf yang dikutip di bawah ini merupakan bidah yang paling jelas dari Vatikan II akan kebebasan beragama. Kami mengutipnya lagi karena paragraf ini benar-benar tidak dapat dipertahankan dan menyingkapkan segala pemutarbalikan, seperti yang dilakukan oleh Patrick Madrid di atas.
Di sini Vatikan II mengatakan bahwa Negara melampaui batas otoritasnya jika ia berani mengarahkan atau mencegah aktivitas keagamaan. Kita baru saja melihat di atas bahwa Silabus Kesalahan-kesalahan mengecam ide bahwa Negara tidak dapat mencegah aktivitas agama-agama lain. Hal ini membuktikan bahwa ajaran Vatikan II tentang kebebasan beragama jelas-jelas salah dan sesat, dan bahwa Vatikan II bukan semata-mata mengajarkan bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk menjadi Katolik.
Dalih ‘Dalam Batasan-batasan yang Ditentukan’
Untuk mencoba membela ajaran sesat Vatikan II akan kebebasan beragama dengan segala cara, para pembela Vatikan II akan mencoba melakukan sebuah pemutarbalikan yang besar. Mereka akan mengutip paragraf berikut dari Vatikan II dan memutarbalikkan ajarannya agar paragraf tersebut (yang telah diputarbalikkan) dapat menjadi sesuai dengan ajaran tradisional tentang kebebasan beragama. Mereka menyatakan bahwa Vatikan II tidak mengizinkan kebebasan beragama publik tanpa syarat, tetapi menyebutkan ‘batasan-batasan’ tertentu.
“Lihat kan”, kata mereka, “Vatikan II mengajarkan bahwa Negara dapat menaruh batasan-batasan akan ekspresi keagamaan ini; dan ini sesuai dengan ajaran tradisional.” Ini adalah sebuah argumen yang sangat tidak jujur, sebuah pemutarbalikan naskah tersebut, sehingga orang-orang Katolik haruslah malu akan hal itu. Di dalam paragraf di atas, sambil mengajarkan bahwa tidak seorang pun (tidak peduli agamanya) dapat dicegah untuk mengekspresikan agamanya secara publik, Vatikan II hanyalah berhati-hati dan memastikan untuk tidak menuliskan sesuatu yang mengizinkan anarki di dalam Negara.
Vatikan II harus menambahkan klausul ‘dalam batasan-batasan yang ditentukan’ supaya tidak memberi kesan bahwa ia mendukung, sebagai contoh, sebuah kelompok keagamaan yang memblokir lalu lintas di waktu yang paling sibuk atau ibadat keagamaan yang diselenggarakan di tengah-tengah jalan tol yang padat. Inilah mengapa ia mengajarkan bahwa “tidak seorang pun boleh... dilarang untuk berbuat sesuai hati nuraninya, secara pribadi ataupun publik, dalam batasan-batasan yang ditentukan.” Vatikan II sama sekali tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa Negara Katolik dapat membatasi hak kebebasan beragama dari rakyat non-Katolik; Vatikan II tetap mengajarkan bidah yang tidak terpungkiri tentang kebebasan beragama: bahwa kebebasan beragama harus menjadi hak sipil dan tidak seorang pun akan dicegah oleh Negara untuk bertindak sesuai hati nuraninya di depan umum; tetapi ia hanya mengungkapkan bahwa ketertiban publik tidak boleh dilanggar oleh orang-orang yang menggunakan hak tersebut.
Untuk membuktikan bahwa itulah maksudnya – yang, tentunya, jelas kepada orang yang jujur yang menilai hal ini – kami hanya perlu mengutip #2 yang sama di dalam Deklarasi tersebut:
Kita bisa melihat bahwa ‘dalam batasan-batasan yang ditentukan’ hanyalah berarti ‘selama ketertiban publik tetap terjaga’. Maka, menurut Vatikan II, setiap orang memiliki hak kebebasan beragama, termasuk ekspresi dan praktik publik agamanya, yang Negara tidak bisa batasi selama ketertiban publik tetap terjaga. Ini adalah ajaran sesat. Vatikan II tidak sesuai dengan ajaran tradisional, tidak peduli betapa pun para bidah seperti ‘Romo’ Brian Harrison mencoba dengan tidak jujur untuk menggunakan kata-kata tersebut. Vatikan II mengajarkan bahwa Negara tidak dapat mencegah ekspresi publik akan agama-agama sesat, seperti yang kita lihat dengan sangat jelas di dalam kutipan yang kita telah diskusikan.
Ajaran sesat Vatikan II tentang kebebasan beragama sama sekali tidak dapat dipertahankan.
Bantahan: “Ajaran tentang Kebebasan Beragama bukanlah sebuah dogma”
Berkaitan dengan pertentangan antara ajaran Vatikan II tentang kebebasan beragama dan ajaran tradisional, pembela lain dari kemurtadan setelah Vatikan II mengedepankan bahwa, walaupun terdapat pertentangan, ajaran Vatikan II bukanlah sebuah bidah karena ajaran tradisional tentang kebebasan beragama tidak diajarkan secara infalibel sebagai dogma.
Hal ini salah sama sekali, dan dengan mudah dibantah. Ide yang diajarkan Vatikan II, bahwa setiap manusia harus diberikan hak sipil untuk kebebasan beragama, agar secara hukum, ia diberikan hak untuk mempraktikkan secara publik dan menyebarkan agama sesatnya, telah secara dogmatis, khidmat, dan infalibel dikecam oleh Paus Pius IX di dalam Quanta Cura. Gaya bahasa yang digunakan Pius IX lebih dari cukup untuk memenuhi persyaratan definisi dogmatis. Perhatikan terutama bagian-bagian yang dicetak tebal dan digarisbawahi.
Paus Pius IX secara khidmat mengecam, menolak, dan melarang pendapat yang jahat tersebut lewat kekuasaan apostoliknya, dan menyatakan secara khidmat bahwa semua anak-anak Gereja Katolik harus mencamkan bahwa pendapat yang jahat tersebut telah dikecam. Ini adalah sebuah gaya bahasa yang khidmat dan sebuah ajaran yang infalibel dari tempat yang tertinggi. Tidak diragukan lagi bahwa Quanta Cura merupakan pengecaman dogmatis akan ide bahwa kebebasan beragama harus menjadi hak sipil untuk diberikan kepada setiap orang. Ajaran Vatikan II, oleh karena itu, merupakan bidah yang bertentangan secara langsung dengan ajaran dogmatis infalibel tentang hal tersebut.
Ajaran Vatikan II tentang Kebebasan Beragama menentang seluruh Sejarah Kristiani dan menghancurkan Masyarakat Katolik
Kita telah menunjukkan bahwa ajaran Vatikan II tentang kebebasan beragamaa adalah ajaran sesat. Terdapat banyak contoh lain yang dapat diberikan untuk menggambarkan bahwa ajaran Vatikan II akan kebebasan beragama adalah sesat, jahat, dan tidak Katolik. Misalnya, Konsili Vienne yang dogmatis secara khusus memerintahkan pemimpin-pemimpin Katolik dari Negara dan mengharuskan mereka untuk mengontrol secara publik (yaitu dengan mengekang secara publik) praktik publik ibadah Islam. Paus Klemens V mengingatkan Negara akan kewajibannya untuk melarang pengakuan secara publik agama-agama sesat.
Menurut Vatikan II, ajaran Konsili Vienne ini salah. Adalah suatu hal yang juga salah, menurut ajaran Vatikan II, bahwa agama Kristiani harus dideklarasikan sebagai agama dari Kekaisaran Romawi oleh Theodosius pada tahun 392 Masehi, dan seluruh kuil-kuil pagan {penyembah berhala} ditutup.[22] Hal ini menunjukkan kembali bahwa ajaran Vatikan II tentang kebebasan beragama adalah jahat dan sesat.
Ajaran sesat Vatikan II tentang kebebasan beragama tepatnya adalah alasan mengapa dengan mengikuti Vatikan II, sejumlah bangsa-bangsa Katolik mengubah konstitusi Katolik mereka menjadi sekuler! Konstitusi Katolik dari Spanyol dan Kolombia bahkan dikekang secara sengaja atas petunjuk dari Vatikan, dan hukum-hukum di negara-negara tersebut diubah untuk mengizinkan praktik publik agama-agama non-Katolik.
Perubahan-perubahan kepada Hukum Katolik Spanyol akibat ajaran Vatikan II
Kita dapat melihat bahwa, sesuai dengan ajaran Katolik tradisional, hukum Spanyol mendekretkan bahwa satu-satunya perayaan dan manifestasi keagamaan yang diizinkan secara publik adalah yang Katolik. Tetapi, setelah Vatikan II, ‘Ley Organica del Estado’ {Hukum Organik Negara} (10 Januari 1967) mengubah paragraf kedua dari artikel tersebut sebagai berikut:
Terlebih lagi, pembukaan Konstitusi Spanyol, yang diubah oleh ‘Ley Organica del Estado’ yang sama setelah Vatikan II, secara eksplisit mendeklarasikan:
Kita dapat melihat bahwa bagian kedua dari Artikel 6 dari Konstitusi 1945 yang digantikan di tahun 1967 bertepatan untuk menyesuaikan hukum Spanyol dengan deklarasi Vatikan II! Revisi hukum Katolik di dalam sebuah negara Katolik ini yang dibuat untuk menyesuaikan diri dengan agama baru dari Vatikan II, mungkin adalah gambaran yang paling jelas akan kekuatan-kekuatan yang bekerja di balik layar. Spanyol berubah dari sebuah bangsa Katolik menjadi bangsa yang tidak ber-Allah, yang sekarang memberikan perlindungan hukum untuk perceraian, semburit {sodomi}, pornografi, dan kontrasepsi, akibat Vatikan II.
Sejalan dengan ajaran sesatnya tentang kebebasan beragama, Vatikan II mengajarkan bidah bahwa semua agama memiliki kebebasan berbicara dan kebebasan pers.
Ide bahwa semua orang memiliki hak kebebasan berbicara dan kebebasan pers telah dikecam oleh banyak Paus. Kita hanya perlu mengutip Paus Gregorius XVI dan Paus Leo XIII. Perhatikan bahwa Paus Gregorius XVI menyebut ide ini (hal yang diajarkan Vatikan II) berbahaya dan ‘tidak pernah cukup dikecam’.
Semua ajaran Katolik ini menentang secara langsung ajaran sesat Vatikan II.