Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sebagai orang muda yang di kemudian hari menjadi rasul Brazil, Padre Jose de Anchieta [abad ke-16] gembira dan disukai orang. “Namun Jose sering kali bersedih hati dan melankolis. Dalam suasana hatinya yang gelisah, ia mencari kesunyian untuk berdoa dan bermeditasi: jiwanya merindukan sesuatu yang lebih dari kesalehan, pengetahuan dan rasa sayang yang biasa-biasa saja. Ketika dikuasai oleh semangat itu, ia akan meninggalkan studinya yang berat dan berjalan di sepanjang tepian Sungai Mondego. Dalam kecantikan sungai itu, ia menemukan pelepasan yang membuatnya sanggup merenungkan tragedi kelemahan manusia. Setelah melakukan salah satu perjalanannya dalam pencarian untuk memuaskan rasa lapar itu, Jose memasuki Katedral Coimbra. Ketika ia berlutut dalam keheningan yang mendalam dan berbayang-bayang di hadapan gambar Perawan Suci, ia seketika menemukan damai dan sukacita yang didamba-dambakannya. Kerinduan samar yang sebelumnya mengganggu dirinya dan kadang kala menguasainya sekarang berubah menjadi keinginan untuk membaktikan hidupnya demi melayani Allah ....” (Helen G. Dominian, Apostle of Brazil [Rasul Negeri Brazil], hal. 6)
Ketika mengonversikan para budak pagan di Amerika Selatan, St. Petrus Klaver (1580-1654) mengajarkan mereka bahwa mereka harus meminta “ampun atas dosa-dosa kehidupan mereka yang dahulu pagan, terutama atas penyembahan berhala, hawa nafsu dan kemabukan.” (Romo Angel Valtierra, Peter Claver – Saint of the Slaves [Petrus Klaver – Santo bagi Para Budak], 1960, hal. 127)
Soal para misionaris Yesuit dari abad XIX di padang belantara Amerika: “Pada beberapa darmawisata pertama yang ditempuh oleh Romo Van Quickenborne dan Christian Hoecken, mereka sering kali tersesat selama berhari-hari pada waktu tertentu, dan mengarungi padang rumput yang luar biasa besar pada setiap penjurunya namun berjuang sia-sia untuk menemukan letak mereka berada. Padang-padang ini tampak seperti lautan luas: sejauh mata memandang, tiada yang terlihat selain bentangan padang rumput hijau dan langit biru: kijang, kambing gunung dan rusa roe berlimpah ruah; ayam padang dan binatang buruan lainnya ada banyak sekali. Serigala-serigala dan beruang-beruang yang merangkak dari liang mereka untuk memangsa biri-biri menakuti manusia dan hewan liar. Namun dalam kesukaran-kesukaran semacam itu pun, mereka tidak ditelantarkan oleh Penyelenggaraan Ilahi. Malam hari tiba, para Romo sering kali melempar tali kekang pada leher kuda, membiarkan si kuda menempuh arahnya sendiri, dan tidak lama kemudian mendapati diri mereka menyaksikan adanya semacam tempat tinggal. Pernah sekali, ada seekor anjing besar dan aneh muncul tiba-tiba di depan kuda mereka, dan membuat jalan setapak menyeberangi rerumputan tinggi, lalu membawa mereka sampai ke rumah seorang Katolik, tempat mereka beristirahat dan kembali bugar. Itu menjadi penghiburan bagi mereka serta tuan rumah mereka pula, dan mereka pun menyelenggarakan Misteri-Misteri Ilahi.” (The Life of Fr. De Smet [Riwayat Hidup Romo De Smet], hal. 78.)
Amsal 15:8 – “Korban orang fasik adalah kekejian bagi Tuhan ....”
Yesaya 66:2 – “Tangan-Kulah yang membuat semuanya ini, sehingga semuanya ini terjadi, demikianlah firman Tuhan. Tetapi kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang rendah hati dan remuk rohnya dan gentar kepada firman-Ku.”
St. Agustinus (428): “Keselamatan yang dipunya agama ini tiada pernah kekurangan bagi siapa saja yang patut mendapatkannya; dan barang siapa kekurangan keselamatan itu, tidak patut mendapatkannya.”
Padre Pio (1913): “Wanita yang berlebihan dalam hal berpakaian tidak pernah bisa berpakaian dalam hidup Yesus kristus dan ia kehilangan perhiasan jiwa sekalinya berhala ini masuk dalam hatinya. Hendaknya para wanita ini berhias diri, sebagaimana yang dikehendaki St. Paulus (1 Tim. 2:9), dengan sopan dan sewajarnya dalam pakaian yang layak ....” (Surat kepada Romo Agostino, 2 Agustus 1913)
St. Optatus (367): “Engkau sungguh tahu, tak dapat kausangkal, bahwa kepada Petrus yang pertama itu telah dianugerahkan takhta keuskupan di kota Roma: di situlah terduduk kepala para Rasul, Petrus ….”
Paus St. Gregorius I: “Sebab seorang manusia menjadi serupa dengan malaikat pemurtad sewaktu ia membenci bahwa dirinya serupa dengan umat manusia. Demikianlah, setelah ia memiliki manfaat dari kerendahan hati, Saul yang berada pada puncak kekuasaannya berbusung dada dengan gembungnya kecongkakan. Ia memang dahulu berkenan kepada Allah berkat kerendahan hati, tetapi bahwasanya menjadi terkutuk akibat kecongkakan, sebagaimana kesaksian Tuhan sewaktu Ia berkata: ‘Bukankah engkau, meskipun engkau dahulu kecil di hadapan matamu sendiri, kau Kujadikan kepala atas suku-suku Israel?’ Dan tidak lama setelahnya: ‘Sekarang, dengan suatu cara yang luar biasa, sewaktu ia dahulu tampak kecil di hadapan dirinya sendiri, ia besar di mata Tuhan, tetapi bahwasanya sewaktu ia tampak besar di hadapan dirinya sendiri, ia kecil di mata Tuhan.’” (dikutip oleh Paus St. Gregorius VII, 15 Maret 1081)
St. Yustinus Martir (148): “ … setiap manusia akan menerima hukuman atau imbalan kekal yang pantas seturut perbuatan-perbuatannya. Bahwasanya seandainya semua orang menyadari hal ini, tidak akan ada yang memilih kejahatan bahkan untuk sebentar saja, karena tahu dirinya akan terkena hukuman api yang kekal.”
St. Louis De Montfort (+1706): “Kalau anda berkenan, buatkanlah saya jalan baru menuju Yesus, dan lapisilah jalan itu dengan segala jasa orang-orang terberkati, hiasilah jalan itu dengan kebajikan-kebajikan mereka yang gagah perwira, sinarilah dan riasilah jalan itu dengan segala terang dan kecantikan para malaikat, dan biarlah semua malaikat dan orang kudus ada di sana secara pribadi, untuk mendampingi, membela serta menopang mereka yang siap berjalan di sana; sesungguhnya, saya berkata dengan berani, dan saya ulangi yang saya katakan itu dengan segenap ketulusan hati, akan lebih saya sukai jalan Maria tak bernoda, daripada jalan baru yang sempurna itu.” (True Devotion to Mary [Devosi Sejati kepada Maria] #158)
St. Ambrosius (382): “Waktu sehari saja tidak cukup untuk menyebutkan nama-nama semua sekte bidah yang berbagai macam itu.”
St. Basilius, Surat 224: “Mereka telah menulis, sebagaimana yang telah mereka tulis, karya yang sepenuhnya – atau hampir sepenuhnya, sebab saya tidak ingin melebih-lebihkan – dusta, dalam rangka meyakinkan manusia dan bukan Allah, dan demi menyenangkan manusia dan bukan Allah, yang bersama-Nya tiada yang lebih berharga daripada kebenaran.”
Konsili Konstantinopel IV (869-870), Sesi 8, Para Legatus Romawi: “Bagi semua kaum bidah, anatema! … Bagi mereka yang dengan sepengetahuan mereka berkomunikasi dengan mereka yang menghina dan menista gambar-gambar terhormat, anatema! Bagi mereka yang berkata bahwa yang telah menyelamatkan kita dari berhala-berhala itu lain dari Kristus Allah kita, anatema! Bagi mereka yang berani berkata bahwa Gereja Katolik pernah menerima berhala, anatema!”
“Ciri orang kudus lain yang mulai terwujud pada diri Fransiskus selepas penampakan Gadis itu (1917) [Bunda Maria dari Fatima] adalah cinta akan kesendirian. Pada suatu pagi di bulan Mei, ia meninggalkan kedua anak perempuan (Yasinta dan Lusia) bersama domba-domba, dan mendaki puncak bukit batu yang tinggi. ‘Kalian tidak boleh naik ke sini!’ serunya ke bawah. ‘Biarkan aku sendiri!’ … Lusia dan Yasinta mulai berlari mengejar kupu-kupu. Tiba saat mereka jemu berbuat demikian, mereka telah lupa sama sekali tentang Fransiskus, dan tidak lagi terpikir tentang dia sampai menyadari diri mereka lapar, dan saat bersantap mereka pastinya sudah lama berlalu. Di sana, Fransiskus, masih terbaring tak bergerak di atas bukit batu ... ‘Apa yang kamu lakukan selama ini?’ ‘Aku memikirkan Allah, yang begitu sedih karena begitu banyaknya dosa’, jawab anak laki-laki itu dengan serius. ‘Coba saja aku bisa memberi-Nya sukacita!’” (William Thomas Walsh, Our Lady of Fatima, hal. 61-62)
St. Thomas Aquinas (1274): Apabila Seorang Ayah Bisa Memaksa Putranya untuk Menikah: “Saya menjawab bahwa, karena dalam pernikahan istilahnya ada semacam pengabdian sepanjang masa, seorang ayah tidak bisa dengan perintahnya memaksa putranya untuk menikah, karena putranya berkeadaan bebas ....” (Summa Theologiae, Suplemen, Pertanyaan 48, Jawaban 6)
St. Thomas Aquinas (1274): Apabila Percabulan Sederhana Adalah Dosa Berat: “Saya menjawab bahwa, sama sekali tidak diragukan bahwa kita harus memandang percabulan sederhana sebagai dosa berat ....” (Summa Theologiae, Bagian II-II, Pertanyaan 154, Artikel. 2.)
Paus Benediktus XIV, Apostolica (#6), 26 Juni 1749:
“Penilaian Gereja lebih baik daripada penilaian seorang Doktor yang terkenal oleh karena kesucian dan ajarannya.”
St. Alfonsus Liguori: “St. Fransiskus Borgia berkata bahwa doa memasukkan cinta kasih Allah ke dalam jiwa, tetapi mati raga mempersiapkan suatu tempat untuk cinta kasih-Nya, dengan mengusir dari hati keterlekatan-keterlekatan duniawi, yang merupakan rintangan-rintangan yang terkuat terhadap kasih … ‘Doa tanpa mati raga’, ujar Romo Balthasar Alvarez, ‘adalah suatu ilusi, atau hanya berlangsung secara singkat.’”
Paus St. Agato, Konsili Konstantinopel III, 680-681: “ … bagaimanakah ilmu tentang Kitab Suci bisa ditemukan seutuh-utuhnya, jikalau ini tidak dilakukan: apa yang telah didefinisikan secara kanonik oleh para Pendahulu kami yang kudus dan apostolik, dan oleh kelima konsili yang terhormat, Kami jaga di dalam kesederhanaan hati, dan Kami menjaga iman yang diwariskan kepada Kami dari para Bapa tanpa suatu penyesatan pun, dan senantiasa menghendaki dan berjuang untuk memiliki kebaikan yang satu dan yang terutama itu, yakni: agar tiada suatu hal pun dikurangi dari hal-hal yang telah didefinisikan secara kanonik dan agar tiada suatu hal pun diubah atau ditambahkan kepadanya, tetapi agar hal-hal yang sama itu, baik di dalam kata-katanya serta maknanya, dijaga sehingga tak terjamah ….”
^