^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Protokol 122/49 (Suprema haec sacra)
Sekitar empat bulan setelah dibungkamnya Romo Feeney pada bulan April oleh Richard Cushing (Uskup Agung pemurtad dari Boston), Kementerian Suci mengeluarkan sebuah dokumen pada tanggal 8 Agustus 1949. Dokumen itu sebenarnya adalah sepucuk surat yang ditujukan kepada Uskup Cushing dan ditandatangani oleh Kardinal Marchetti-Selvaggiani. Kebanyakan orang mengenal dokumen itu sebagai Protokol 122/49, yang juga dijuluki Suprema haec sacra dan surat Marchetti-Selvaggiani. Ini merupakan salah satu dokumen paling krusial soal kemurtadan dari iman di zaman modern ini. Protokol 122/49 tidak diterbitkan dalam Akta-Akta Takhta Apostolik (Acta Apostolicae Sedis), namun diterbitkan di The Pilot, perangkat media Keuskupan Agung Boston. Harap diingat, bahwa surat ini diterbitkan di Boston; alasan pentingnya hal ini akan menjadi lebih jelas pada Bagian “Terbukti Jelas: Boston Membuka Jalan dalam Skandal Imamat Besar yang Mengguncang Negara.”
Tiadanya Protokol 122/49 dalam Akta-Akta Takhta Apostolik membuktikan bahwa dokumen ini sama sekali tidak mengikat; maksudnya, Protokol 122/49 bukanlah ajaran infalibel/mengikat dari Gereja Katolik. Protokol 122/49 pun tidak ditandatangani Paus Pius XII; otoritasnya sepadan dengan korespondensi antara dua orang Kardinal (Marchetti-Selvaggiani, penulis surat tersebut, dan Kardinal Ottaviani, yang juga menandatanganinya) kepada seorang uskup agung: artinya, dokumen ini sama sekali tidak punya otoritas. Bahkan, singkat kata, surat itu sarat dengan bidah, penipuan, ambiguitas dan pengkhianatan. Segera setelah diterbitkannya Protokol 122/49, The Worcester Telegram menerbitkan tajuk berita utama ini:
VATICAN RULES AGAINST HUB DISSIDENTS – [Vatican] Holds No Salvation Outside Church Doctrine To Be False
atau bisa diterjemahkan sebagai berikut:
VATIKAN KELUARKAN PUTUSAN MELAWAN KELOMPOK PEMBANGKANG – [VATIKAN] Percaya bahwa Doktrin Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan Itu Salah[1]
Demikianlah kesan yang didapat oleh hampir seantero dunia Katolik dari Protokol 122/49, atau surat Marchetti-Selvaggiani itu. Seperti yang dinyatakan pada tajuk berita utama di atas, Protokol 122/49, percaya bahwa “Doktrin Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan” itu salah. Dengan surat yang bukan main pentingnya ini, para musuh dogma Keselamatan dan Gereja tampaknya telah dinyatakan benar, dan para pembela dogma tersebut tampak telah ditaklukkan. Namun masalah bagi yang tampak sebagai pihak pemenang itu, adalah dokumen tersebut tidak lebih dari sepucuk surat keluaran dua orang kardinal bidah dari Kementerian Suci, yang sudah menganut bidah yang di kemudian hari diadopsi oleh Vatikan II, kepada seorang uskup agung pemurtad di Boston. Beberapa orang mungkin kaget karena saya menyebut Kardinal Ottaviani bidah, sebab banyak orang dulu menganggapnya ortodoks. Kalau tanda tangannya pada Protokol itu tidak cukup sebagai bukti dia menganut bidah, coba anda pertimbangkan, bagaimana dia menandatangani semua dokumen Vatikan II dan berpihak pada kubu revolusi pasca-Vatikan II.
Menarik adanya, bahwa Mons. Joseph Clifford Fenton saja, penyunting The American Ecclesiastical Review sebelum Vatikan II, yang sayangnya dulu membela Protokol 122/49, terpaksa mengakui bahwa dokumen tersebut tidak infalibel:
Dalam kata lain, menurut Fenton, ajaran Suprema haec sacra tidak infalibel dan pasti ditemukan dalam dokumen-dokumen lebih awal; namun, sebenarnya tidak demikian, seperti yang akan kita lihat. Fenton sama sekali salah ketika berkata bahwa Suprema haec sacra, walau bagaimanapun, bersifat otoritatif. Suprema haec sacra tidak otoritatif maupun infalibel, melainkan bidah dan salah.
Hampir seluruh khalayak umum dulu dan sekarang mendapat kesan bahwa Protokol 122/49 mewakili ajaran resmi Gereja Katolik. Oleh sebab itulah dokumen tersebut tergolong pengkhianatan terhadap Yesus Kristus, doktrin-Nya dan Gereja-Nya. Pengkhianatan yang berpihak kepada dunia, pengkhianatan yang harus berlangsung sebelum terjadinya kemurtadan besar-besaran Vatikan II. Dengan Protokol 122/49 dan penindasan terhadap Romo Feeney, khalayak umum mendapat kesan bahwa Gereja Katolik sekarang sudah membatalkan dogma iman kuno berusia 20 abad itu: yakni bahwa Gereja Katolik pastinya diperlukan untuk keselamatan. Dan sampai masa ini pun, seandainya orang bertanya kepada hampir semua “imam Katolik” di dunia tentang dogma Di Luar Gereja Katolik Tidak Terdapat Keselamatan, orang itu akan diberi jawaban yang mengacu kepada kontroversi Romo Feeney dan Protokol 122/49, kalaupun pihak imamnya tidak mampu menunjuk atau mengingat nama-nama dan tanggal-tanggalnya secara spesifik. Bisa anda coba, saya tahu ini dari pengalaman. Pada dasarnya, semua imam Novus Ordo yang tahu sedikit pun tentang perkara ini akan menggunakan Protokol 122/49 dan “kutukan” atas Romo Feeney untuk membenarkan kepercayaan mereka yang bidah, anti-Katolik, antikristus dan anti-magisterium, bahwa manusia bisa selamat dalam agama-agama non-Katolik dan tanpa Iman Katolik. Inilah buah-buah busuk nan terkenal dari Protokol 122/49 itu. Dan dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka (Matius 7:16).
Sekarang, coba kita lihat beberapa cuplikan Protokol itu:
Mari kita berhenti di sini. Di sini sudah jelas, bahwa penulis Protokol itu sedang mempersiapkan pikiran pembaca agar menerima sesuatu yang berbeda dari “pernyataan infalibel ini, yang mengajarkan kita bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja” secara sederhana. Si penulis jelas sedang mengakrabkan pembaca kepada penjelasan frasa “Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan”, dengan makna yang lain dari yang dinyatakan dan dideklarasikan oleh kata-katanya sendiri. Seandainya si penulis tidak mempersiapkan pembaca agar menerima pemahaman yang berbeda dari yang dinyatakan dan dideklarasikan oleh kata-kata dogma itu, lantas dia hanya akan berkata: “Dogma ini harus dipahami sebagaimana yang telah didefinisikan oleh Gereja, persis seperti yang dinyatakan dan dideklarasikan oleh kata-katanya”.
Coba kita bandingkan cara Protokol itu mengaburkan dogma tersebut melalui “penjelasannya”, dengan cara Paus Gregorius XVI membahas perkara ini dalam surat ensikliknya, Summo Iugiter Studio.
Paus Gregorius XVI tidak berkata, “Namun, dogma ini harus dipahami dengan makna yang dengannya Gereja sendiri memahami dogma tersebut”, seperti yang dikatakan oleh Protokol 122/49 yang bidah itu. Tidak, Sri Paus secara jelas menegaskan: DEMIKIANLAH DOKTRIN GEREJA KATOLIK TENTANG PERKARA INI. Di sepanjang ensiklik tersebut, Paus Gregorius XVI tidak abai menegaskan berulang kali makna yang sebenarnya dan harfiah dari frasa Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan tanpa kualifikasi maupun pengecualian, seperti yang sudah terdefinisi. Romo Feeney dan para sekutunya dalam membela dogma tersebut, pada waktu itu sedang mengulangi secara persis ajaran resmi yang disampaikan oleh Paus Gregorius XVI di atas. Tak perlu otak jenius untuk menemukan bahwa kalau Protokol 122/49 dulu ditulis demi “mengoreksi” pemahaman Romo Feeney tentang Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan (memang demikian), lantas dokumen tersebut juga “mengoreksi” pemahaman Paus Gregorius XVI serta semua pernyataan infalibel pada perkara tersebut selama 20 abad.
Dan juga, perhatikan pula bahwa Paus Gregorius XVI merujuk kepada definisi dogmatis Konsili Lateran IV untuk memperkuat posisinya serta pemahaman harfiah rumusan Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan. Di sepanjang dokumen itu, Protokol 122/49 sama sekali tidak merujuk kepada satu pun definisi dogmatis pada perkara ini. Sebabnya, Paus Gregorius XVI itu orang Katolik, dan karena itu tahu bahwa satu-satunya pemahaman akan dogma yang ada, adalah yang telah sekalinya dinyatakan oleh Bunda Gereja yang Kudus; sedangkan para pengarang Protokol itu adalah kaum bidah, dan karena itu tidak percaya bahwa dogma harus dipahami persis seperti yang telah sekalinya dinyatakan. Itulah penjelasan Paus Gregorius XVI mengutip secara persis ajaran yang telah sekalinya dinyatakan oleh Bunda Gereja yang Kudus dan para pengarang Protokol tidak berbuat demikian.
Kalau pemahaman dogma Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan tidak jelas dari ajaran Takhta Petrus (definisi-definisi infalibelnya pada perkara tersebut), lantas sepucuk surat tahun 1949 dari Kardinal Marchetti-Selvaggiani tentunya tidak akan memberikan pemahaman itu kepada kita! Dan seandainya tidak ada pengecualian-pengecualian atau kualifikasi-kualifikasi pada dogma ini yang dipahami pada waktu adanya definisi-definisi tersebut – tidak pun pada masa Paus Gregorius XVI – lantas mustahil pengecualian-pengecualian itu datang pada pemahaman kita akan dogma tersebut setelah saat itu (misal. pada tahun 1949), sebab dogma itu sudah didefinisikan dan diajarkan jauh sebelumnya. Penemuan pemahaman baru atas dogma itu di tahun 1949 adalah suatu penyangkalan terhadap pemahaman dogma itu sebagaimana yang sudah terdefinisi. Namun mendefinisikan dogma baru adalah yang bahwasanya diupayakan oleh Protokol tersebut. Saya bahas lebih lanjut Protokol itu.
Di sini, Protokol itu mulai masuk pada penjelasan barunya atas dogma Di Luar Gereja Katolik Tidak Terdapat Keselamatan, namun dengan cara yang licik seperti Setan. Ambiguitasnya termuat dalam fakta bahwa pernyataannya ini benar: tidak seorang pun selamat, kalau tahu bahwa Gereja telah didirikan secara ilahi, namun menolak untuk patuh kepada Gereja dan Paus Roma. Tetapi, setiap orang yang membaca dokumen ini juga mendapat kesan jelas dari rumusannya, bahwa beberapa orang yang tanpa sepengetahuan mereka gagal untuk patuh kepada Gereja dan Paus Roma, bisa selamat. Ini bidah dan sebetulnya akan membuat perbuatan meyakinkan orang bahwa Gereja Katolik didirikan secara ilahi sebagai perbuatan kontraproduktif!
Bandingkan definisi dogmatis Gereja Katolik dengan tambahan yang dibuat oleh Protokol 122/49.
Dogma:
Tambahan yang dibuat oleh Protokol 122/49:
Pembaca bisa dengan mudah melihat bahwa makna yang dimaksud oleh Protokol 122/49 adalah suatu penyimpangan dari pemahaman dogma yang telah sekalinya dinyatakan oleh Bunda Gereja yang Kudus. Tidak ada orang yang bisa menafikan ini. Dogma perlunya patuh kepada Paus Roma untuk keselamatan sudah beralih penerapannya dari bagi setiap makhluk manusia (Paus Bonifasius VIII) menjadi mereka yang “tahu bahwa Gereja telah didirikan secara ilahi” (Protokol 122/49), kembali lagi menjadikan bodoh perbuatan meyakinkan orang bahwa Gereja didirikan secara ilahi. Saya lanjutkan dengan Protokol itu:
Di sini orang bisa mendeteksi suatu penyangkalan lain terhadap dogma keselamatan sebagaimana yang telah didefinisikan, dan suatu penyimpangan dari pemahaman dogma tersebut yang telah sekalinya dinyatakan oleh Bunda Gereja yang Kudus. Bandingkan definisi dogmatis dari Paus Eugenius berikut dengan paragraf-paragraf Protokol 122/49 ini, terutama bagian bergaris bawah.
Dogma:
Kita melihat bahwa Protokol 122/49 (dikutip di atas) sedang menyangkal perlunya penyaturagaan (inkorporasi) ke dalam ecclesiastici corporis (tubuh gerejawi), yang adalah bidah!
Orang dulu perlu berada “di pangkuan dan di dalam kesatuan” (Eugenius IV), namun sekarang “tidak selalu diwajibkan bagi orang itu untuk disaturagakan ke dalam Gereja secara riil sebagai seorang anggota” (Protokol 122/49). Dogma terdefinisi soal PENYATURAGAAN dan benar-benar bertekun di dalam tubuh gerejawi (ecclesiastici corporis) sudah disangkal. Ini adalah bidah!
Sama sekali mustahil di atas bumi ini, ajaran Protokol 122/49 selaras dengan ajaran Paus Eugenius IV dan Paus Bonifasius VIII. Menerima, percaya dan mempromosikan Protokol itu setara bertindak melawan definisi-definisi ini.
Saya lanjutkan dengan Protokolnya:
Di sini, bidahnya terungkap dengan sangat blak-blakan. Orang yang tidak percaya Iman Katolik – yang “terlibat dalam ketidaktahuan tak teratasi” – juga dapat dipersatukan berkat keinginan “implisit”, selama “orang berkeinginan kehendaknya selaras dengan kehendak Allah”. Dan saya ingatkan pembaca, bahwa Protokol 122/49 itu dulu ditulis khusus secara berlawanan dengan pernyataan Romo Feeney, bahwa semua orang yang meninggal sebagai non-Katolik binasa. Maksudnya, Protokol itu ditulis demi tujuan khusus membedakan dirinya sendiri dari penegasan Romo Feeney, bahwa semua orang yang meninggal non-Katolik binasa, suatu bukti bahwa Protokol tersebut mengajarkan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik dan dalam agama-agama sesat bisa selamat. Lantas, pernyataan Protokol di atas itu jelas-jelas tidak berbeda dari bidah, dan memang sungguh bidah: bidah bahwa orang bisa selamat dalam agama apa saja atau tanpa agama apa-apa, selama moral dipertahankan.
Coba bandingkan perikop Protokol yang ada di atas itu dengan definisi-definisi dogmatis berikut.
Dogma:
Saya lanjutkan dengan Protokolnya:
Sementara mengutarakan analisis sesatnya atas surat ensiklik Mystici Corporis dari Paus Pius XII, dokumen Suprema haec sacra mengajarkan bahwa orang-orang yang “bukan anggota” tubuh Gereja Katolik bisa selamat. Yang menarik dari perikop bidah dalam Protokol 122/49 ini adalah Mons. Fenton saja (salah seorang pembela terbesar dokumen tersebut) mengakui bahwa orang tidak bisa berkata bahwa Jiwa Gereja lebih luas dari Tubuhnya.
Lantas, berkata bahwa orang tidak perlu menjadi anggota Tubuhnya, seperti yang dikatakan Suprema haec sacra (Protokol), setara berkata bahwa orang tidak perlu menjadi anggota Gereja. Dengan demikian, melalui pernyataannya di atas itu, Protokol 122/49 mengajarkan bidah bahwa orang tidak perlu menjadi anggota Gereja Katolik untuk beroleh keselamatan, hal yang justru dicela oleh Pius XII.
Ajaran Paus Pius XII ini luar biasa signifikan, sebab membuktikan bahwa ajaran Suprema haec sacra – dan karena itu ajaran Mons. Joseph Clifford Fenton yang membelanya – adalah bidah. Kedua-duanya menyangkal perlunya “keanggotaan” dalam Gereja sejati demi beroleh keselamatan kekal.
Kurang dari tiga bulan menyusul terbit sebagiannya surat Marchetti-Selvaggiani dalam The Pilot, Romo Feeney dikeluarkan dari Ordo Yesuit pada tanggal 28 Oktober 1949. Romo Feeney berdiri tegak melawan upaya-upaya kaum bidah untuk menjatuhkannya dan membuatnya tunduk kepada bidah bahwa orang-orang non-Katolik bisa selamat. Merujuk kepada surat tanggal 8 Agustus dari Marchetti-Selvaggiani itu (Protokol 122/49), Romo Feeney berkata secara benar: “surat itu boleh dianggap telah menetapkan suatu kebijakan bersisi dua demi menyebarkan kesalahan.”
Pada kenyataannya, pengeluaran Romo Feeney dari Ordo Yesuit itu sama sekali tidak valid. Orang-orang yang mengeluarkannya serta para klerus yang melawan Romo Feeney itu secara otomatis keluar dari Gereja Katolik, karena menganut bidah bahwa mereka yang meninggal sebagai non-Katolik bisa selamat. Ini mirip dengan situasi di abad V, ketika Patriark Konstantinopel, Nestorius, mulai mengkhotbahkan bidah bahwa Maria bukan Bunda Allah. Para umat beriman bereaksi, menuduh Nestorius bidah dan mencelanya sebagai seorang bidah yang berada di luar Gereja Katolik. Dan Nestorius di kemudian hari dikutuk pada Konsili Efesus pada tahun 431. Berikut yang dinyatakan Paus St. Selestinus soal mereka yang telah diekskomunikasi oleh Nestorius setelah Nestorius mulai mengkhotbahkan bidah.
Paus St. Selestinus secara otoritatif meneguhkan asas bahwa seorang bidah publik adalah orang yang tak berotoritas memakzulkan, mengekskomunikasi atau mengeluarkan orang. Kutipan ini ditemukan dalam De Romano Pontifice, karya St. Robertus Bellarminus. Itulah sebabnya segala persekusi terhadap Romo Feeney (pengeluaran, interdiksi, dll.) sama sekali tidak ada validitasnya, sebab Romo Feeney benar dan mereka yang melawan dirinya salah. Romo Feeney membela dogma bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja, sedangkan para musuhnya itu membela bidah bahwa ada keselamatan di luar Gereja.
Keadaan antara Romo Feeney dan kaum bidah di Boston tetap tak berubah sampai tanggal 14 September 1952. Pada saat ini, Richard Cushing, “Uskup Agung” Boston, menuntut Romo Feeney agar menarik “tafsiran”-nya atas dogma itu – maksudnya, menarik dogma tersebut – dan membuat pengakuan ketundukkan eksplisit kepada surat Marchetti-Selvaggiani (Protokol 122/49). Bersama empat orang saksi, Romo Feeney hadir di hadapan Cushing. Romo Feeney berkata kepada ushing, bahwa satu-satunya opsi yang dia punya adalah menyatakan surat Marchetti-Selvaggiani itu “benar-benar menyebabkan skandal, karena terus terang, surat itu bidah” (“absolutely scandalous because it was frankly heretical.”). Akan persis seperti inilah yang dikatakan Paus Gregorius XVI tentang surat Protokol durjana itu, sama seperti orang Katolik mana pun.
Pada pertemuan mereka, Romo Feeney bertanya kepada “Uskup Agung” Cushing apabila Cushing setuju dengan surat Marchetti-Selvaggiani tertanggal 8 Agustus 1949 itu. Cushing menjawab, “Saya bukan teolog. Saya hanya tahu perintah yang diberikan kepada saya.” Jawaban berkelit tak berkomitmen itu menyingkap jati diri Cushing yang sebenarnya: dia seorang bidah, gembala palsu dan musuh Yesus Kristus. Seandainya Cushing percaya bahwa orang terikat pada surat itu, lantas ia seharusnya menjawab tanpa ragu-ragu bahwa dia setuju dengan surat tersebut. Namun, karena tak mau membela surat itu pada satu pun detailnya, terutama penyangkalan-penyangkalan surat itu terhadap dogma keselamatan, lantas Cushing menjawab dengan mengelak pertanyaan Romo Feeney. Pengelakan ini membuat Romo Feeney tidak sanggup menyorot Cushing dan menyatakannya bersalah melawan dogma yang sedang disangkal itu. Romo Feeney menuduh Cushing gagal menunaikan tanggung jawabnya dan kemudian pergi.
Catatan kaki:
[1] Romo Robert Mary, Father Feeney and The Truth about Salvation [Romo Feeney dan Kenyataan tentang Keselamatan], hal. 21.
[2] Mons. Joseph Clifford Fenton, The Catholic Church and Salvation [Gereja Katolik dan Keselamatan], hal. 103
[3] Disadur dari terjemahan resmi bahasa Inggris Protokol 122/49, yang dikutip oleh Romo Jean-Marc Rulleau, Baptism of Desire [Pembaptisan Keinginan], hal. 69.
[4] L'Abbé André, Vikaris Jenderal Quimper, Cours alphabétique et méthodique de droit canon, Edisi Ketiga, Vol. IV, Paris, chez l'auteur et à la librairie catholique de F. Boullotte, 1859, hal. 431-434.
[5] Denzinger 1800.
[6] Disadur dari terjemahan resmi bahasa Inggris Protokol 122/49, yang dikutip oleh Romo Jean-Marc Rulleau, Baptism of Desire [Pembaptisan Keinginan], hal. 70.
[7] Denzinger 468-469.
[8] Disadur dari terjemahan resmi bahasa Inggris Protokol 122/49, yang dikutip oleh Romo Jean-Marc Rulleau, Baptism of Desire [Pembaptisan Keinginan], hal. 70.
[9] Diterjemahkan dari Terjemahan Resmi Berbahasa Inggris Protokol 122/49, dikutip oleh Romo Jean-Marc Rulleau, Baptism of Desire [Pembaptisan Keinginan], hal. 70.
[10] Decrees of Ecumenical Councils {Dekret-Dekret Konsili-konsili Ekumenis}, Vol. 1, hal.578; Denzinger 714.
[11] Diterjemahkan dari Terjemahan Resmi Berbahasa Inggris Protokol 122/49, dikutip oleh Romo Jean-Marc Rulleau, Baptism of Desire [Pembaptisan Keinginan], hal. 71.
[12] Romo Michael Muller, CSSR, The Catholic Dogma [Dogma Katolik], 1888, hal. 217-218
[13] Decrees of the Ecumenical Councils {Dekret-Dekret Konsili-Konsili Ekumenis}, Sheed & Ward and Georgetown University Press, 1990, Vol. 1, hal. 550-553; Denzinger 39-40.
[14] Denzinger 1000.
[15] Denzinger 1473.
[16] Decrees of Ecumenical Councils {Dekret-Dekret Konsili-konsili Ekumenis}, Vol. 2, hal.803.
[17] Dikutip dan diterjemahkan oleh Monsinyur Fenton, The Catholic Church and Salvation {Gereja Katolik dan Keselamatan}, hal. 102.
[18] The Papal Encyclicals {Ensiklik-Ensiklik Paus}, Vol. 4 (1939-1958), hal. 179; Denzinger 2319.
[19] Decrees of Ecumenical Councils {Dekret-Dekret Konsili-konsili Ekumenis}, Vol. 1, hal.646.
[20] Dikutip oleh St. Robertus Bellarminus, De Romano Pontifice, II, 30.
Artikel-Artikel Terkait
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 2 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 3 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 3 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 3 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 4 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 5 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 5 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 6 bulanBaca lebih lanjut...