^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan | ![]() |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Protokol 122/49 (Suprema haec sacra)
Richard Cushing, pemurtad
Gambar: City of Boston Archives, diperoleh dari common.wikimedia.org
Sekitar empat bulan setelah dibungkamnya Romo Feeney pada bulan April oleh Richard Cushing, sang pemurtad Uskup Agung dari Boston, Takhta Suci mengeluarkan sebuah dokumen pada tanggal 8 Agustus 1949. Sesungguhnya, dokumen tersebut adalah suatu surat yang ditujukan kepada Uskup Cushing, dan ditandatangani oleh Kardinal Marchetti-Selvaggiani, yang dikenal banyak orang sebagai Protokol No. 122/49. Dokumen ini juga dikenal sebagai Suprema haec sacra dan surat Marchetti-Selvaggiani. Ini adalah salah satu dokumen yang paling penting sehubungan dengan kemurtadan modern dari iman. Protokol 122/49 tidaklah diterbitkan di dalam Akta-Akta Takhta Suci (Acta Apostolicae Sedis) melainkan di dalam The Pilot, badan surat kabar untuk Keuskupan Agung Boston. Ingatlah bahwa surat ini diterbitkan di Boston, karena pentingnya hal ini akan menjadi lebih jelas di dalam bagian yang berjudul “Terbukti Jelas: Boston Membuka Jalan dalam Skandal Imamat Besar yang Mengguncang Negara.”
Tiadanya Protokol 122/49 dari Akta-Akta Takhta Apostolik membuktikan bahwa dokumen tersebut tidaklah mengikat; yakni, Protokol 122/49 bukanlah ajaran Gereja Katolik yang infalibel ataupun mengikat. Protokol 122/49 tidak pun ditandatangani oleh Paus Pius XII, dan memiliki otoritas dari korespondensi dua Kardinal (Marchetti-Selvaggiani yang menuliskan surat tersebut, serta Kardinal Ottaviani yang juga menandatanganinya) kepada seorang uskup agung – yakni tidak berotoritas sama sekali. Kenyataannya, surat ini sederhananya penuh dengan bidah, kelicikan, ambiguitas dan pengkhianatan. Segera setelah diterbitkannya Protokol 122/49, The Worcester Telegram menerbitkan Berita Utama:
VATICAN RULES AGAINST HUB DISSIDENTS – [Vatican] Holds No Salvation Outside Church Doctrine To Be False
atau
VATIKAN MENINDAKI KELOMPOK PEMBANGKANG – [VATIKAN] Percaya bahwa Doktrin Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan Itu Salah[1]
Inilah kesan yang disampaikan kepada hampir seluruh dunia Katolik oleh Protokol 122/49 – surat Marchetti-Selvaggiani. Protokol 122/49, sebagaimana yang dinyatakan oleh berita utama di atas, percaya bahwa “Doktrin Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan” itu salah. Surat yang amat penting ini tampaknya membenarkan para musuh dogma itu dan musuh Gereja dan mengalahkan para pembela dogma itu. Masalahnya bagi kubu yang tampaknya menang itu, bagaimanapun, adalah bahwa dokumen tersebut tidaklah lebih dari suatu surat dari dua kardinal bidah dari Takhta Suci, yang sudah memeluk bidah yang kemudian dipeluk oleh Vatikan II, kepada seorang uskup agung yang murtad di Boston. Beberapa orang mungkin terkejut bahwa saya mendeskripsikan Kardinal Ottaviani sebagai seorang bidah, karena ia dianggap oleh banyak orang sebagai ortodoks. Jika tandatangannya di Protokol tersebut bukanlah bukti yang cukup untuk bidahnya itu, pertimbangkanlah bahwa ia menandatangani seluruh dokumen Vatikan II dan ia sendiri pun sejalan dengan revolusi pasca-Vatikan II.
Menarik bahwa bahkan Monsinyur Joseph Clifford Fenton, penyunting yang terkenal dari The American Ecclesiastical Review [Ulasan Gereja Amerika] sebelum Vatikan II, yang sayangnya membela Protokol 122/49, terpaksa mengakui bahwa dokumen itu tidak infalibel:
Dalam kata lain, menurut Fenton, ajaran Suprema haec sacra tidaklah infalibel dan harus ditemukan di dalam dokumen-dokumen yang lebih awal; tetapi nyatanya tidak, seperti yang kita akan lihat. Pendek kata, Fenton salah sewaktu ia berkata bahwa Suprema haec sacra bagaimanapun otoritatif. Suprema haec sacra tidaklah otoritatif dan tidak pun mengikat, melainkan bidah dan sesat.
Karena masyarakat secara umum telah (dan memang) diberikan kesan bahwa Protokol 122/49 melambangkan ajaran resmi dari Gereja Katolik, dokumen ini adalah pengkhianatan terhadap Yesus Kristus, doktrin-Nya dan Gereja-Nya kepada dunia, pengkhianatan yang harus berlangsung sebelum kemurtadan besar-besaran dari Vatikan II. Oleh Protokol 122/49 dan penganiayaan terhadap Romo Feeney, masyarakat diberikan kesan bahwa Gereja Katolik sekarang telah menjungkirbalikkan dogma iman yang berumur 20 abad; bahwa Iman Katolik pastinya dibutuhkan untuk keselamatan. Dan bahkan sampai pada masa ini, jika seseorang bertanya kepada hampir semua “imam Katolik” di dunia tentang dogma Di Luar Gereja Katolik Tidak Terdapat Keselamatan, ia akan menjawab dengan referensi terhadap kontroversi Romo Feeney dan Protokol 122/49, bahkan jika sang imam tidak dapat menunjukkan ataupun mengingat nama-nama dan tanggal-tanggalnya. Cobalah hal ini, saya tahu dari pengalaman. Pada dasarnya, semua imam Novus Ordo yang mengenali suatu hal pun tentang masalah ini akan menggunakan Protokol 122/49 dan “pengecaman” terhadap Romo Feeney untuk membenarkan kepercayaan mereka yang bidah, anti-Katolik, antikristus, anti-magisterial bahwa manusia dapat diselamatkan di dalam agama-agama non-Katolik dan tanpa Iman Katolik. Ini adalah buah-buah dari Protokol 122/49 yang terkenal keburukannya. Dan oleh buah-buahnyalah engkau akan mengenal mereka (Matius 7 :16).
Nah, marilah melihat beberapa kutipan dari Protokol itu.
Mari berhenti di sini. Sudah jelas bahwa penulis Protokol ini mempersiapkan pikiran sang pembaca untuk menerima sesuatu yang berbeda dengan, pendek kata “pernyataan yang infalibel itu yang olehnya kita diajarkan bahwa tidak terdapat keselamatan di luar Gereja.” Sang penulis jelas mencoba menjelaskan kata-kata “Di Luar Gereja Katolik Tidak Terdapat Keselamatan” secara berbeda dari yang dinyatakan dan dideklarasikan oleh kata-kata tersebut sendiri. Jika sang penulis tidak mempersiapkan sang pembaca untuk menerima suatu pengertian yang berbeda daripada apa yang dinyatakan dan dideklarasikan oleh kata-kata dari dogma tersebut, lantas ia akan sederhananya menulis: “Dogma ini harus dimengerti sebagaimana yang telah didefinisikan oleh Gereja, persis seperti yang dinyatakan dan dideklarasikan oleh kata-katanya.”
Bandingkan upaya Protokol ini untuk memberikan penjelasan yang salah dengan cara Paus Gregorius XVI menangani masalah yang sama di dalam ensikliknya Summo Iugiter Studio.
Paus Gregorius XVI tidak berkata, “Tetapi, dogma ini harus dimengerti di dalam arti yang sesuai dengan pengertian Gereja sendiri”, seperti yang dikatakan oleh Protokol 122/49 yang bidah. Tidak, Paus Gregorius XVI menegaskan dengan jelas bahwa INI MEMANG ADALAH AJARAN GEREJA KATOLIK. Di sepanjang ensiklik tersebut, Gregorius XVI tidak mengabaikan untuk menegaskan berulang kali arti yang sejati dan harfiah dari kata-kata Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan, tanpa pengecualian, seperti yang telah didefinisikan. Romo Feeney dan para rekannya yang membela dogma ini mengulangi secara persis apa yang telah diajarkan secara resmi oleh Gregorius XVI di atas. Orang tidak perlu menjadi pintar-pintar amat untuk menemukan bahwa jika Protokol 122/49 ditulis untuk “mengoreksi” pengertian Romo Feeney tentang dogma Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan (memang, itulah tujuannya), maka Protokol 122/49 juga “mengoreksi” pengertian Paus Gregorius XVI dan segala pernyataan yang infalibel tentang hal ini selama 20 abad.
Perhatikan pula bahwa Paus Gregorius XVI membuat rujukan terhadap definisi dogmatis dari Konsili Lateran IV untuk mendukung posisinya dan pengertian harfiahnya tentang rumusan Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan. Di sepanjang dokumen tersebut, Protokol 122/49 sama sekali tidak membuat satu rujukan apa pun kepada definisi-definisi dogmatis tentang hal tersebut. Hal ini dikarenakan Paus Gregorius XVI, yang adalah seorang Katolik, mengetahui bahwa satu-satunya pengertian tentang sebuah dogma yang ada adalah pengertian yang telah dideklarasikan satu kalinya oleh Bunda Gereja yang Kudus; sedangkan para penulis Protokol tersebut, yang adalah bidah, tidak percaya bahwa sebuah dogma harus dimengerti persis sebagaimana yang telah dideklarasikan satu kalinya. Hal tersebut menjelaskan mengapa Paus Gregorius mengutip secara persis apa yang telah dideklarasikan sekalinya oleh Bunda Gereja yang Kudus, sedangkan para penulis Protokol itu tidak melakukannya.
Jika pengertian akan dogma Di Luar Gereja Tidak Terdapat Keselamatan tidaklah jelas dari ajaran Takhta Petrus (definisi-definisi infalibel tentang hal ini), maka tentunya sebuah surat tahun 1949 dari Kardinal Marchetti-Selviggiani tidak akan memberikan pengertian tersebut kepada kita! Dan jika tidak terdapat pengecualian terhadap dogma ini yang dimengerti pada waktu dogma tersebut didefinisikan – tidak pun pada masa Paus Gregorius XVI – maka, tidaklah mungkin kita dapat mengerti suatu pengecualian pun untuk dogma itu setelah saat tersebut (misalnya, pada tahun 1949), sebab dogma itu sudah didefinisikan sejak lama sebelumnya. Penemuan suatu pengertian dari dogma di tahun 1949 adalah suatu penyangkalan terhadap pengertian dogma tersebut seperti yang telah didefinisikan. Tetapi, Protokol itu justru mencoba untuk mendefinisikan dogma baru. Marilah kembali melihat Protokol tersebut.
Di sini, Protokol tersebut mulai memberikan penjelasan baru tentang dogma Di Luar Gereja Katolik Tidak Terdapat Keselamatan, tetapi di dalam suatu cara yang, secara satanik, amat licik. Ambiguitas Protokol didasari oleh fakta bahwa pernyataan ini benar: tidak seorang pun akan diselamatkan, ia yang mengetahui bahwa Gereja telah ditetapkan secara ilahi oleh Kristus, bagaimanapun menolak untuk tunduk kepada Gereja dan Paus Roma. Tetapi semua orang yang membaca dokumen ini juga diberikan kesan yang jelas oleh gaya bahasa ini bahwa beberapa orang, yang dalam ketidaktahuan tidak tunduk kepada Gereja dan Paus Roma, dapat diselamatkan. Ini adalah bidah dan kenyataannya membuat upaya untuk meyakinkan orang-orang bahwa Gereja Katolik itu ditetapkan secara ilah menjadi sesuatu yang kontraproduktif!
Bandingkan definisi dogmatis Gereja Katolik dengan penambahan kepada dogma tersebut oleh Protokol 122/49.
Sang pembaca dapat dengan mudah melihat bahwa arti yang dimaksudkan oleh Protokol 122/49 bergeser dari pengertian dari dogma yang telah dideklarasikan satu kalinya oleh Bunda Gereja yang Kudus. Tidak seorang pun dapat menyangkal hal ini. Dogma tentang diperlukannya kepatuhan kepada Paus Roma untuk keselamatan telah diubah dari penerapannya terhadap setiap makhluk manusia (Bonifasius VIII) menjadi “ia yang mengetahui bahwa Gereja telah ditetapkan secara ilahi” (Protokol 122/49), yang membuat upaya untuk meyakinkan orang-orang bahwa Gereja itu ditetapkan secara ilahi menjadi suatu kebodohan. Saya akan kembali ke Protokol tersebut:
Di sini, kita melihat suatu penyangkalan lain terhadap dogma sebagaimana yang telah didefinisikan, dan suatu pergeseran dari pengertian terhadap dogma seperti yang telah dideklarasikan sekalinya oleh Bunda Gereja yang Kudus. Bandingkan definisi dogmatis berikut dari Paus Eugenius IV dengan paragraf-paragraf dari Protokol 122/49, terutama bagian-bagian yang digarisbawahi.
Kita melihat bahwa Protokol 122/49 (yang dikutip di atas) menyangkal diperlukannya inkorporasi ke dalam ecclesiastici corporis, yang adalah bidah!
Adalah suatu hal yang selalu dibutuhkan untuk berada di dalam “kesatuan” Gereja (Eugenius IV), tetapi sekarang “tidaklah selalu dibutuhkan bahwa ia dipersatukan ke dalam Gereja secara nyata sebagai seorang anggota” (Protokol 122/49). Dogma INKORPORASI yang telah didefinisikan dan yang secara nyata mengikat di dalam tubuh gerejawi (ecclesiastici corporis) telah disangkal. Ini adalah bidah!
Sama sekali mustahil bahwa ajaran Protokol 122/49 itu selaras dengan ajaran Paus Eugenius IV dan Paus Bonifasius VIII. Untuk menerima, percaya, atau mempromosikan Protokol tersebut adalah untuk bertindak secara bertentangan dengan definisi-definisi tersebut.
Saya kembali ke Protokol tersebut.
Di sini bidah tersebut terlihat secara terang-terangan. Orang-orang yang tidak memiliki Iman Katolik, yang “berada di dalam ketidaktahuan yang tidak teratasi” – juga dapat dipersatukan dengan keinginan “implisit”, selama “seseorang menginginkan kehendaknya untuk bersesuaian dengan kehendak Allah.” Dan saya mengingatkan sang pembaca bahwa Protokol 122/49 ditulis secara khusus untuk menentang pernyataan Romo Feeney bahwa semua orang yang meninggal sebagai non-Katolik binasa. Dalam kata lain, Protokol tersebut ditulis untuk membedakan secara khusus ajarannya dari pernyataan Romo Feeney bahwa semua orang yang meninggal sebagai non-Katolik binasa, yang menunjukkan bahwa Protokol tersebut mengajarkan bahwa orang-orang yang meninggal sebagai non-Katolik dan di dalam agama sesat dapat diselamatkan. Maka, pernyataan di atas jelas-jelas, dan menyatakan secara persis bidah bahwa seseorang dapat diselamatkan di dalam agama apa pun ataupun tanpa suatu agama apa pun selama moralitas dijaga.
Bandingkan teks dari Protokol di atas dengan definisi-definisi dogmatis berikut:
Saya kembali ke Protokol tersebut:
Dengan mencoba memberikan analisis yang salah atas ensiklik Paus Pius XII Mystici Corporis, Suprema haec sacra mengajarkan bahwa orang-orang yang “bukan merupakan bagian” dari tubuh Gereja dapat diselamatkan. Hal yang menarik dari teks yang sesat dari Protokol 122/49 ini adalah bahwa bahkan Monsinyur Fenton (salah satu pembelanya yang paling terkemuka) mengakui bahwa seseorang tidak dapat berkata bahwa Jiwa Gereja lebih luas daripada Tubuh Gereja.
Maka, untuk berkata bahwa tidaklah diperlukan untuk menjadi bagian dari Tubuh Gereja, seperti yang dikatakan oleh Suprema haec sacra (Protokol tersebut) adalah untuk berkata bahwa tidaklah diperlukan untuk menjadi bagian Gereja. Maka, oleh pernyataannya di atas, Protokol 122/49 mengajarkan bidah bahwa tidaklah perlu untuk menjadi bagian dari Gereja Katolik untuk diselamatkan, hal yang sama yang dikutuk oleh Pius XII.
Hal ini sangatlah penting, sebab hal ini membuktikan bahwa ajaran Suprema haec sacra – dan oleh karena itu, ajaran Monsinyur Joseph Clifford Fenton yang membelanya – adalah bidah. Mereka berdua menyangkal perlunya “keanggotaan” di dalam Gereja sejati untuk memperoleh keselamatan.
Kurang dari tiga bulan setelah surat Marchetti-Selvaggianni diterbitkan sebagian di dalam surat kabar The Pilot, Romo Feeney diusir dari Ordo Yesuit pada tanggal 28 Oktober 1949. Romo Feeney berteguh melawan upaya-upaya para bidah untuk mengalahkan dirinya dan untuk membuatnya tunduk kepada bidah bahwa para non-Katolik dapat diselamatkan. Romo Feeney merujuk kepada surat tanggal 8 Agustus dari Marchetti-Selvaggiani (Protokol 122/49) dengan berkata secara benar: “hal tersebut dapat dianggap sebagai suatu penetapan kebijakan dua belah sisi yang bertujuan untuk menyebarkan kesalahan.”
Kenyataannya adalah bahwa pengusiran Romo Feeney dari Ordo Yesuit sama sekali tidak memiliki validitas. Pria yang mengusirnya dan para imam yang menentangnya secara otomatis terusir dari Gereja Katolik karena mereka berpegang kepada bidah bahwa orang-orang yang meninggal sebagai non-Katolik dapat diselamatkan. Hal ini mirip dengan situasi pada abad ke-5, sewaktu Patriark dari Konstantinopel, Nestorius, mulai mengkhotbahkan bidah bahwa Maria bukanlah Bunda Allah. Para umat beriman bertindak, menuduh bahwa Nestorius mengajarkan bidah dan mencelanya sebagai bidah yang berada di luar Gereja Katolik. Dan Nestorius kemudian dikutuk di Konsili Efesus pada tahun 431. Berikut pernyataan Paus Selestinus I tentang orang-orang yang telah diekskomunikasikan oleh Nestorius setelah ia mulai mengkhotbahkan bidah tersebut.
Paus St. Selestinus secara otoritatif menegaskan prinsip bahwa seorang bidah terang-terangan adalah seseorang yang tidak memiliki otoritas untuk menggulingkan, mengekskomunikasikan atau mengusir. Kutipan ini ditemukan di dalam De Romano Pontifice, karya dari St. Robertus Bellarminus. Hal ini menjelaskan mengapa seluruh penganiayaan terhadap Romo Feeney (pengusiran, larangan, dsb.) tidak memiliki keabsahan, karena ia itu benar dan mereka yang menentangnya salah. Ia membela dogma bahwa tidak terdapat keselamatan di luar Gereja, sedangkan para musuhnya membela bidah bahwa terdapat keselamatan di luar Gereja.
Keadaan antara Romo Feeney dan para bidah di Boston tetap tidak berubah sampai tanggal 14 September 1952. Pada saat ini, Richard Cushing, “Uskup Agung” dari Boston, meminta agar Romo Feeney menarik “interpretasinya” akan dogma tersebut – yang berarti menarik dogma tersebut – dan membuat pengakuan kepatuhan yang eksplisit terhadap surat Marchetti-Selvaggiani (Protokol 122/49). Bersama empat saksi, Romo Feeney menghadirkan dirinya di hadapan Cushing. Ia berkata kepadanya bahwa satu-satunya pilihannya adalah untuk menyatakan bahwa surat Marchetti-Selvaggiani “secara mutlak menyebabkan skandal karena surat itu pendek kata bidah.” Ini adalah hal yang persis yang akan telah dikatakan oleh Paus Gregorius XVI tentang surat Protokol yang buruk ini, sebagaimana pula yang akan dikatakan orang Katolik mana pun.
Pada saat pertemuan mereka, Romo Feeney bertanya kepada “Uskup Agung” Cushing bila ia setuju dengan surat Marchetti-Selvaggiani dari tanggal 8 Agustus 1949. Cushing menjawab, “Saya bukan seorang teolog. Yang saya tahu adalah apa yang diperintahkan kepada saya.” Jawabannya tidak berkomitment dan bertujuan untuk mengelak; jawabannya ini menunjukkan sifat asli Cushing, yakni seorang bidah, pastor yang palsu, dan musuh Yesus Kristus. Jika Cushing percaya bahwa seseorang terikat kepada surat tersebut, maka ia seharusnya menjawab tanpa keraguan bahwa ia setuju dengan surat itu. Tetapi, karena ia tidak ingin membela surat itu di dalam satu pun dari detailnya, terutama penyangkalan surat itu terhadap dogma, ia menjawab dengan mengelak dari pertanyaan tersebut. Pengelakkan ini mencegah Romo Feeney untuk menyingkapnya dan menyatakannya bersalah terhadap dogma yang disangkalnya itu. Romo Feeney menuduh Cushing gagal di dalam kewajibannya dan pergi.
Catatan kaki:
[1] Romo Robert Mary, Father Feeney and The Truth about Salvation [Romo Feeney dan Kenyataan tentang Keselamatan], hal. 21.
[2] Monsinyur Joseph Clifford Fenton, The Catholic Church and Salvation {Gereja Katolik dan Keselamatan}, hal. 103.
[3] Diterjemahkan dari Terjemahan Resmi Berbahasa Inggris Protokol 122/49, dikutip oleh Romo Jean-Marc Rulleau, Baptism of Desire [Pembaptisan Keinginan], hal. 69.
[4] The Papal Encyclicals {Ensiklik-Ensiklik Paus}, Vol. 1 (1740-1878), hal. 229.
[5] Denzinger 1800.
[6] Diterjemahkan dari Terjemahan Resmi Berbahasa Inggris Protokol 122/49, dikutip oleh Romo Jean-Marc Rulleau, Baptism of Desire [Pembaptisan Keinginan], hal. 70.
[7] Denzinger 468-469.
[8] Diterjemahkan dari Terjemahan Resmi Berbahasa Inggris Protokol 122/49, dikutip oleh Romo Jean-Marc Rulleau, Baptism of Desire [Pembaptisan Keinginan], hal. 70.
[9] Diterjemahkan dari Terjemahan Resmi Berbahasa Inggris Protokol 122/49, dikutip oleh Romo Jean-Marc Rulleau, Baptism of Desire [Pembaptisan Keinginan], hal. 70.
[10] Decrees of Ecumenical Councils {Dekret-Dekret Konsili-konsili Ekumenis}, Vol. 1, hal.578; Denzinger 714.
[11] Diterjemahkan dari Terjemahan Resmi Berbahasa Inggris Protokol 122/49, dikutip oleh Romo Jean-Marc Rulleau, Baptism of Desire [Pembaptisan Keinginan], hal. 71.
[12] Romo Michael Muller, C.SS.R, The Catholic Dogma {Dogma Katolik}, New York: Benzinger Bros., 1888, hal. 217-218.
[13] Decrees of the Ecumenical Councils {Dekret-Dekret Konsili-Konsili Ekumenis}, Sheed & Ward and Georgetown University Press, 1990, Vol. 1, hal. 550-553; Denzinger 39-40.
[14] Denzinger 1000.
[15] Denzinger 1473.
[16] Decrees of Ecumenical Councils {Dekret-Dekret Konsili-konsili Ekumenis}, Vol. 2, hal.803.
[17] Dikutip dan diterjemahkan oleh Monsinyur Fenton, The Catholic Church and Salvation {Gereja Katolik dan Keselamatan}, hal. 102.
[18] The Papal Encyclicals {Ensiklik-Ensiklik Paus}, Vol. 4 (1939-1958), hal. 179; Denzinger 2319.
[19] Decrees of Ecumenical Councils {Dekret-Dekret Konsili-konsili Ekumenis}, Vol. 1, hal.646.
[20] Dikutip oleh St. Robertus Bellarminus, De Romano Pontifice, II, 30.
Artikel-Artikel Terkait
Ya. Bunuh diri adalah dosa berat, dan orang-orang yang mati dalam keadaan dosa berat langsung masuk Neraka. https://vatikankatolik.id/dosa-asal-dosa-berat-neraka/ Menarik pula bahwa Kitab Hukum Kanonik tahun 1917, kanon 1240 §1 no....
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Sayang sekali mayoritas orang Nusantara mengikut agama diabolis itu. Semoga Roh Kudus mencerahkan hati para umat muslim dan mengeluarkan mereka dari kegelapan.
Ray 3 bulanBaca lebih lanjut...apakah benar bahwa orang yang bunuh diri tidak akan diampuni dosanya dan akan selamanya berada di neraka?
Maria Melanie Aryanti 3 bulanBaca lebih lanjut...Anda sebetulnya perlu menonton dan menyimak video ini (yang tampaknya belum/tidak anda simak dengan baik). Kelihatannya, nenurut anda gelar santo/santa itu tidak penting. Tetapi gelar ini begitu pentingnya karena di...
Biara Keluarga Terkudus 4 bulanBaca lebih lanjut...Sibuk semua dengan liturgis masing masing... hakim yang punya otoritas yaitu Yesus... terserah pada mau sibuk apaan soal santa santo... apa yang dilakukan di dunia akan dihakimi secara pribadi oleh...
ngatno 4 bulanBaca lebih lanjut...terima kasih min penjelasannya terima kasih juga kalendernya, sangat bermanfaat
Yulius Kristian 5 bulanBaca lebih lanjut...Halo – Kongregasi Suci bagi Ritus (Sacra Rituum Congregatio) melarang warna biru dalam pakaian ibadat dan menyatakan penggunaan warna tersebut sebagai suatu penyelewengan.[a] “Prefek Kongregasi Abdi Santa Perawan Maria dari...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...Orang yang tidak jujur seperti anda ini adalah yang sesat. Membantah poin video ini anda tidak bisa. Poin-poin yang kami ajukan di dalam artikel dan video ini berasal dari buku...
Biara Keluarga Terkudus 7 bulanBaca lebih lanjut...yang sesat kayaknya anda si penulis
CanonMR 7 bulanBaca lebih lanjut...permisi boleh tanya klo warna liturgi biru itu apa ya? apakah dulu gereja mewajibkan/mengharuskan biru menjadi warna liturgi trimakasih
Yulius Kristian 10 bulanBaca lebih lanjut...