Benediktus XVI berdoa untuk orang mati bersama Kepala Rabbi dari Roma, mempromosikan slogan Revolusi Prancis: kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, dsb. (2011)

Baca lebih lanjut Bidah-Bidah Terkini Benediktus XVI

Sambutan Benediktus XVI, 27 Maret 2011, untuk perayaan dirgahayu ke-67 pembantaian 355 orang Italia. Benediktus XVI berlutut dan mengucapkan sebuah doa bersama Kepala Rabbi dari Roma, Riccardo Di Segni: “Saudara-Saudari yang Terkasih, dengan amat gembira saya menerima undangan dari Asosiasi Nasional Keluarga-Keluarga Italia dari Para Martir yang meninggal demi kebebasan Tanah Air untuk datang berziarah ke Sakrarium ini, yang disayangi oleh semua orang Italia dan terutama warga Roma. Saya memberi salam kepada Kardinal Vikaris, Kepala Rabbi… di tempat ini, kenangan dukacita dari kejahatan yang paling mengerikan, tanggapan yang paling benar adalah untuk memegang tangan seorang dengan yang lain, sebagai saudara dan saudari dan untuk berkata: ‘Bapa Kami, kami percaya akan dirimu dan dengan kekuatan cintamu kami ingin berjalan bersama, dalam damai, di Roma, di Italia, di Eropa, dan di seluruh dunia’. Amin”[1]

Ini adalah suatu kemurtadan yang mencengangkan. Benediktus XVI berlutut bersama Kepala Rabbi  dan ia mengucapkan suatu doa untuk orang yang telah meninggal bersama Rabbi tersebut! Ia bahkan mendoakan suatu bentuk doa “Bapa Kami” dengan seorang rabbi! Dengan melakukannya, Benediktus XVI mencemooh dan menyangkal Yesus Kristus. Kitab Suci berkata jelas bahwa mereka yang menyangkal Yesus (misalnya, rabbi yang dengannya Benediktus XVI berdoa) tidak memiliki Bapa. Tetapi, Benediktus XVI menujukan kepada Bapa bersama sang rabbi seakan-akan Ia adalah Bapa dari mereka berdua. Ini adalah penghujatan secara langsung terhadap Allah.

1 Yohanes 2:23 – “Setiap orang yang menyangkal Putra, dia juga tidak memiliki Bapa; orang yang mengakui Putra, dia juga memiliki Bapa.”

Yohanes 5:23 – “…supaya semua orang menghormati Putra sama seperti mereka menghormati Bapa. Siapa tidak menghormati Putra, dia tidak menghormati Bapa yang telah mengutus-Nya.”

Pada tanggal 22 April 2011, Benediktus XVI diwawancarai untuk suatu program yang berjudul: “Di dalam citranya – Program Khusus Jumat Agung”:
Benediktus XVI: “Secara alami, semua institusi yang sungguh memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu di Irak untuk diri anda harus melakukannya. Takhta Suci secara permanen berkontak dengan komunitas-komunitas yang beragam, bukan hanya dengan komunitas-komunitas Katolik dan komunitas-komunitas Kristiani lainnya, tetapi juga dengan saudara-saudari kita orang Muslim, Syiah dan Sunni. Kami hendak menciptakan rekonsiliasi dan pengertian…

Pertanyaan dari seorang wanita Muslim kepada Benediktus XVI: “Pertanyaan selanjutnya datang kepada anda dari seorang wanita Muslim dari Pantai Gading, suatu negara yang telah mengalami perang selama bertahun-tahun. Nama wanita ini adalah Bintu dan ia menyalami anda dalam bahasa Arab, dan berkata ‘Semoga Allah berada di dalam semua perkataan yang kita katakan satu kepada yang lainnya dan semoga Allah menyertai anda’…

Tanggapan dari Benediktus XVI: ‘Saya ingin menanggapi salam anda: Semoga Allah juga menyertai anda dan membantu anda selamanya. Saya harus berkata bahwa saya telah menerima surat-surat yang memilukan dari Pantai Gading di mana saya melihat dukacita, dalamnya penderitaan, dan saya menjadi sedih karena saya tidak dapat berbuat banyak. Kita selalu dapat melakukan suatu hal: tetap berdoa bersama anda dan, sejauh mungkin, kita dapat menawarkan tindakan amal.”[2]

Benediktus XVI berkata bahwa orang-orang Muslim adalah saudara-saudari kita. Benediktus XVI lalu berkata kepada seorang wanita Muslim “semoga Allah menyertai anda selamanya” walaupun wanita itu menyangkal Allah Tritunggal Mahakudus dan seluruh iman Katolik! Hal ini tentunya berarti bahwa wanita Muslim itu dapat diselamatkan sebagai seorang Muslim. Benediktus XVI lalu berkata bahwa ia akan selalu tetap berdoa bersama orang Mulsim itu. Ia sepenuhnya seorang bidah.

Refleksi Benediktus XVI, 22 Mei 2011 kepada para peziarah dari gerakan pro-kehidupan: “Teman-teman yang terkasih, saya menyelamati anda terutama atas komitmen yang dengannya anda membantu para wanita yang mengalami kehamilan yang sulit, para pasangan yang bertunangan dan orang-orang yang menikah yang mengharapkan prokreasi yang bertanggung jawab…”[3]

Benediktus XVI tidak berkata bahwa para pasangan yang menikah harus berprokreasi. Ia berkata bahwa mereka harus melaksanakan “prokreasi yang bertanggung jawab.”

Sambutan Benediktus XVI, 16 Mei 2011, kepada “para uskup India dari ritus Latin”: “Kehidupan Kristiani di dalam masyarakat-masyarakat semacam itu selalu menuntut kejujuran dan ketulusan hati tentang keyakinan-keyakinan diri sendiri, dan rasa hormat terhadap sesama manusia… karena umat Kristen India berjuang untuk hidup dalam damai dan keharmonisan dengan sesama mereka yang menganut keyakinan-keyakinan lain, kepemimpinan anda yang berhati-hati akan menjadi penting di dalam tanggung jawab sipil dan moral untuk bekerja demi menjamin hak-hak manusiawi yang mendasar, yakni kebebasan beragama dan kebebasan beribadah. Seperti yang anda ketahui, hak-hak ini didasari martabat bersama dari semua umat manusia dan diakui di sepanjang persekutuan bangsa-bangsa. Gereja Katolik berjuang untuk memajukan hak-hak ini untuk semua agama di seluruh dunia. Saya mendorong anda, oleh karena itu, untuk bekerja dengan penuh kesabaran untuk menetapkan alasan umum yang dibutuhkan untuk menikmati secara harmonis hak-hak yang mendasar ini di dalam komunitas-komunitas anda. Bahkan jika ia menjumpai perlawanan, kasih dan kesabaran orang Kristen akan berguna untuk meyakinkan orang lain tentang benarnya toleransi keagamaan, yang darinya para pengikut agama-agama lain akan memperoleh faedah.”[4]

Benediktus XVI berkata bahwa kehidupan Kristiani selalu menuntu rasa hormat terhadap keyakinan sesama manusia. Itu adalah kemurtadan. Ia juga berkata bahwa kebebasan beragama/beribadah adalah suatu hak manusiawi yang mendasar. Kebebasan beragama dan beribadah telah dikutuk oleh banyak Paus. Ia lalu berkata bahwa Gereja Katolik berjuang untuk mempromosikan ide-ide (yang dikutuk) tersebut di seluruh dunia. Ia adalah seorang bidah.

Pesan Benediktus XVI, 29 April 2011, kepada para partisipan Sesi Paripurna dari Akademi Kepausan untuk Pelayanan Sosial. Benediktus XVI membuat suatu panggilan baru kepada semua Negara demi “pengakuan hak asasi untuk kebebasan beragama”: “Sebagaimana yang telah saya perhatikan pada berbagai peristiwa, akar-akar dari budaya Kristen di dunia Barat tetaplah mendalam; budaya itulah yang memberikan kehidupan dan ruangan bagi kebebasan beragama dan terus menyuburkan kebebasan beragama dan kebebasan beribadah yang dijamin secara konstitusional yang dinikmati oleh banyak orang pada hari ini. Karena rezim-rezim ateis pada abad ke-20 menyangkalnya dalam skala besar, kebebasan-kebebasan ini diakui dan dihormati oleh komunitas internasional di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Persekutuan Bangsa-Bangsa. Pada hari ini, hak-hak asasi manusia yang mendasar ini kembal terancam akibat sikap-sikap dan ideologi-ideoligi yang akan menghambat ungkapan keagamaan secara bebas. Itulah mengapa, tantangan untuk membela dan memajukan hak kebebasan beragama dan kebebasan beribadah harus sekali diperjuangkan pada hari-hari kita. Itulah mengapa, saya berterima kasih kepada Akademi ini atas kontribusinya terhadap perdebatan ini… hak kebebasan beragama harus dipandang sebagai bersifat lahiriah di dalam martabat yang mendasar dari setiap umat manusia, sesuai dengan keterbukaan yang lahiriah dari hati manusia terhadap Allah. Kenyataannya, kebebasan beragama yang autentik akan mengizinkan pribadi manusia untuk mencapai kepuasan dan oleh karena itu akan berkontribusi terhadap kebaikan bersama di dalam masyarakat. Atas kesadaran terhadap perkembangan-perkembangan budaya dan masyarakat, Konsili Vatikan Kedua mengajukan suatu fondasi antropologis yang diperbarui untuk kebebasan beragama… Konsili ini secara berhati-hati mengklarifikasikan bahwa kebebasan ini adalah suatu hak yang dinikmati setiap orang secara lahiriah dan yang oleh karena itu juga harus dilindungi dan dipupuk oleh hak sipil… Takhta Suci terus menuntut pengakuan hak asasi kebebasan beragama dari pihak semua negara, dan menuntut mereka untuk menghormati, dan jika diperlukan, melindungi, minoritas-minoritas keagamaan yang, walaupun terikat oleh iman yang berbeda dari mayoritas di sekeliling mereka, mendambakan untuk hidup bersama rekan-rekan berwarga negara mereka dalam damai dan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sipil dan politis dari bangsa, yang bemanfaat bagi semua orang.”[5]

Benediktus XVI memuji kebebasan beragama dan beribadah yang dijamin oleh kontitusi. Seperti yang telah kami tunjukkan sebelumnya, kebebasan beragama/beribadah yang dijamin oleh konstitusi telah berulang kali dikutuk oleh Gereja Katolik. Paus Pius IX menyatakan bahwa orang-orang yang bersikeras berpendapat bahwa kebebasan beribadah dan beragama harus dijamin di dalam hukum negara-negara diekskomunikasikan dari Gereja Katolik. Sang bidah Benediktus XVI juga menuntut negara-negara untuk menghormati dan melindungi para penganut agama-agama sesat lainnya.

Paus Pius IX, Quanta Cura (#3-6), 8 Desember 1864, ex cathedra: “ Maka dari ide tentang pemerintahan sosial yang sama sekali salah tersebut, mereka tidak ragu-ragu mengedepankan opini yang sesat tersebut, yang dampak-dampaknya paling mematikan kepada Gereja Katolik dan keselamatan jiwa-jiwa, yang disebut oleh pendahulu Kami, Gregorius XVI, sebuah kegilaan, YAITU BAHWA ‘KEBEBASAN BERHATI NURANI DAN BERIBADAH MERUPAKAN HAK PRIBADI SETIAP MANUSIA, YANG HARUS DINYATAKAN SECARA HUKUM DAN DISEBUTKAN DI DALAM SETIAP MASYARAKAT YANG TERBENTUK SECARA BENAR dan bahwa rakyat memiliki sebuah hak kebebasan absolut yang tidak boleh dibatasi otoritas apa pun, gerejawi maupun sipil, YANG MEMPERBOLEHKAN MEREKA UNTUK MEWUJUDKAN DAN MENYATAKAN SECARA TERBUKA DAN PUBLIK IDE-IDE APA PUN, SECARA LISAN, LEWAT PERS, ATAU DENGAN CARA APA PUN. Tetapi sewaktu mereka menekankan hal ini dengan sembrono, mereka tidak mengerti dan tidak memperhatikan bahwa mereka mengajarkan kebebasan untuk kebinasaan… Maka, DENGAN KEKUASAAN APOSTOLIK, KAMI MENOLAK, MELARANG, DAN MENGUTUK SELURUH OPINI-OPINI YANG JAHAT DAN DOKTRIN-DOKTRIN YANG SECARA KHUSUS DISEBUTKAN DI DALAM SURAT INI, DAN MEMERINTAHKAN KEPADA ANAK-ANAK GEREJA KATOLIK UNTUK MENCAMKAN BAHWA OPINI-OPINI DAN DOKTRIN-DOKTRIN TERSEBUT DITOLAK, DILARANG, DAN DIKUTUK.”

Paus Gregorius XVI, Inter Praecipuas (#14), 8 Mei 1844: “Memang, adalah suatu hal yang konsisten dan yang telah dibuktikan oleh pengalaman dari masa lalu, bahwa ketidakacuhan dalam hal agama, yang disebarkan oleh para pengikut sekte itu atas nama Kebebasan beragama, adalah jalan yang amat pasti untuk memisahkan orang-orang dari kesetiaan dan kepatuhan yang mereka harus berikan kepada para Pangeran.”

Sambutan Benediktus XVI  kepada seorang delegasi dari B’nai Brith International: “Teman-teman yang terkasih, saya gembira karena saya dapat menyambut delegasi dari B’nai Brith International ini. Dengan senang hati saya mengingat pertemuan saya yang lebih awal dengan seorang delegasi dari organisasi anda sekitar lima tahun lalu… Pertemuan itu menandai ulang tahun keempat puluh dari dialog, yang diorganisir bersama oleh Komisi Takhta Suci untuk Hubungan-Hubungan Keagamaan dengan Orang-Orang Yahudi dan Komite Yahudi Internasional tentang Konsultasi-Konsultasi Internasional. Apa yang telah terjadi pada masa empat puluh tahun ini harus dipandang sebagai suatu karunia yang besar dari Tuhan dan suatu alasan untuk bersyukur secara tulus terhadap Ia yang membimbing langkah-langkah kita dengan hikmat-Nya yang tak terbatas dan abadi. Pertemuan di Paris menegaskan kehendak orang-orang Katolik dan Yahudi untuk berdiri bersama untuk menanggapi tantangan-tantangan besar yang menghadapi komunitas-komunitas kita di dalam dunia yang secara cepat mengalami perubahan dan, yang secara signifikan, tanggung jawab keagamaan kita bersama untuk memerangi kemiskinan, ketidakadilan, diskriminiasi dan penyangkalan terhadap hak-hak manusia universal. Terdapat banyak cara di mana orang-orang Yahudi dan Kristen dapat bekerja sama untuk memperbaiki dunia sesuai dengan kehendak Yang Mahakuasa demi kebaikan umat manusia… Pada suatu percakapan baru-baru ini antara delegasi-delegasi untuk Kepala Rabbinat dari Israel dan Komisi Takhta Suci untuk Hubungan-Hubungan Keagamaan dengan Orang-Orang Yahudi, yang dilangsungkan di Yerusalem pada akhir bulan Maret, penekanan diberikan kepada kebutuhan untuk memajukan pengertian yang selaras dengan akal budi untuk peran agama di dalam kehidupan masyarakat-masyarakat kita di masa kini sebagai suatu pengoreksi terhadap cara pandang pribadi manusia dan koeksistensi yang sepenuhnya horizontal dan oleh karena itu cacat. Kehidupan dan karya semua umat beriman harus senantiasa memberikan kesaksian terhadap hal yang transenden, menunjuk kepada realitas-realitas yang tidak kelihatan yang berada di luar diri kita, dan yang mewujudkan keyakinan bahwa suatu Penyelenggaraan yang penuh kasih dan pemurah membimbing hasil akhir sejarah, terlepas betapa sulitnya dan betapa besarnya ancaman yang mungkin terkadang tampak di sepanjang jalan. Melalui sang nabi, kita memiliki jaminan ini: “Sebab Aku mengetahui rencana-rencana yang kumiliki untukmu, ujar Tuhan, rencana-rencana kesejahteraan dan bukan kejahatan, untuk memberikan kepadamu suatu masa depan dan suatu harapan” (Yer 29:11) Dengan sentimen-sentimen ini, saya mendoakan bagi anda dan keluarga-keluarga anda berkat ilahi dalam hikmat, kerahiman, dan damai.”[6]

Benediktus XVI memandang orang-orang yang menolak bahwa Yesus adalah sang Mesias sebagai “teman-teman”-nya yang “terkasih”. Benediktus XVI berkata bahwa hikmat yang tak terbatas dan abadi membimbing langkah-langkah orang Yahudi. Ia berkata bahwa orang-orang Yahudi dan Katolik “berdiri bersama” dan memiliki “tanggung jawab keagamaan bersama”. Ia berkata bahwa orang-orang Yahudi dan Katolik “bekerja sama untuk memperbaiki dunia sesuai dengan kehendak Yang Mahakuasa demi kebaikan umat manusia.” Ia lalu berkata kepada orang-orang Yahudi tentang “kebutuhan untuk memajukan pengertian yang selaras dengan akal budi untuk peran agama di dalam kehidupan masyarakat-masyarakat kita di masa kini sebagai suatu pengoreksi.” Hal ini setara dengan berkata bahwa agama Yahudi dan semua agama sesat lainnya adalah solusi bagi masyarakat dan menuntun kita kepada Allah. Ia lalu menutup sambutannya yang bidah dengan berkata bahwa orang-orang Yahudi adalah “umat beriman” di dalam Allah yang sejati, dan bahwa janji Allah melalui Yeremia berlaku kepada orang-orang Yahudi yang menolak Kristus.

Pesan Benediktus XVI, 25 Maret 2011, kepada orang muda di Paris: “Di hati dari ‘Kota Cahaya’, di hadapan karya agung yang mengagumkan dari budaya religius Prancis, yang adalah Notre Dame de Paris, suatu lapangan besar telah diciptakan demi memberikan suatu alat yang baru untuk pertemuan yang penuh hormat dan bersahabat antara orang-orang yang memiliki keyakinan-keyakinan yang berbeda. Anda, orang muda, baik umat beriman dan yang tidak beriman, telah memilih untuk datang bersama pada sore hari ini, seperti yang anda lakukan di dalam keseharian anda, demi bertemu satu dengan lainnya dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang besar dari eksistensi umat manusia. Pada hari ini, banyak orang mengakui bahwa mereka bukan bagian dari agama mana pun, tetapi mereka mendambakan suatu dunia baru, dunia yang lebih bebas, yang lebih dari bersatu, lebih damai dan bahagia. Saat berbicara kepada anda pada malam hari ini, saya berpikir tentang segala hal yang anda akan katakan satu kepada yang lainnya. Anda sekalian yang tidak beriman, terutama, dengan menuntut dari mereka kesaksian dari suatu hidup yang konsisten dengan iman yang mereka akui dan dengan penolakan anda terhadap segala penyesatan agama yang akan membuatnya tidak patut diakui oleh manusia… Orang muda yang terkasih, andalah yang bertanggung jawab, di dalam negara-negara anda dan di Eropa secara keseluruhan, untuk membantu para umat beriman dan orang-orang tak beriman untuk kembali menemukan jalan dialog. Agama-agama sama sekali tidak perlu menakuti sekularitas yang adil, yang terbuka dan yang mengizinkan individu-individu untuk hidup sesuai dengan apa yang mereka percayai menurut hati nurani mereka. Jika kita harus membangun suatu dunia yang penuh dengan kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, maka umat beriman dan orang-orang tak beriman harus merasa bebas untuk menjadi demikian, setara dalam hak mereka untuk hidup sebagai individu-individu dan di dalam komunitas sesuai dengan keyakinan-keyakinan mereka; dan bersaudara dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.”[7]

Benediktus XVI menyemangati rasa hormat untuk keyakinan-keyakinan dan agama-agama sesat, dan menyemangati orang-orang untuk percaya apa pun yang dikehendaki oleh hati nurani mereka. Benediktus XVI lalu mempromosikan slogan dari Revolusi Prancis – kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.

Baca lebih lanjut Bidah-Bidah Terkini Benediktus XVI

Catatan kaki:

[1] L’ Osservatore Romano, 30 Maret 2011, hal. 12. Versi Bahasa Inggris.

[2] L’ Osservatore Romano, 27 April 2011, hal. 3-4.

[3] L’ Osservatore Romano, 25 Mei 2011, hal. 2.

[4] L’ Osservatore Romano, 18 Mei 2011, hal. 5.

[5] L’ Osservatore Romano, 11 Mei 2011, hal. 3.

[6] L’ Osservatore Romano, 18 Mei 2011, hal. 11.

[7] L’ Osservatore Romano, 30 Maret 2011, hal. 6.