^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Ensiklik Pascendi Dominici Gregis - Paus St. Pius X, 1907 - Uraian tentang Doktrin Para Modernis
Pada tanggal 8 September 1907, Paus St. Pius X mengeluarkan surat ensiklik Pascendi Dominici Gregis, yang menguraikan pandangan-pandangan para Modernis serta landasan-landasan pemikiran mereka yang berbahaya terhadap iman Katolik. Sri Paus juga menetapkan langkah-langkah untuk diambil Gereja untuk menghadapi bahaya tersebut.
Daftar Isi
1. Salam Sri Paus
2. Beratnya situasi ini
3. Pembagian Ensiklik ini
BAGIAN I
4. Analisis tentang ajaran Modernis
5. Agnostisisme - Fondasi filosofis dari ajaran Modernis
6. Imanensi vital
7. Penyesatan sejarah religius adalah dampaknya
8. Asal muasal dogma
9. Evolusi dogma
10. Sang Modernis sebagai umat beriman: pengalaman individual dan kepastian religius
11. Pengalaman dan tradisi religius
12. Iman dan ilmu pengetahuan
13. Iman tunduk kepada ilmu pengetahuan
14. Metode-metode para Modernis
15. Sang Modernis sebagai teolog: prinsip-prinsipnya, imanensi, dan simbolisme
16. Dogma dan sakramen-sakramen
17. Kitab Suci
18. Gereja
19. Hubungan antara Gereja dan Negara
20. Magisterium Gereja
21. Evolusi doktrin
22. Sang Modernis sebagai sejarahwan dan kritikus
23. Kritik dan prinsip-prinsipnya
24. Bagaimana mereka memperlakukan Kitab Suci
25. Sang Modernis sebagai apologis
26. Argumen-argumen subjektif
27. Sang Modernis sebagai pembaru
28. Modernisme dan semua bidah
BAGIAN II
29. Penyebab Modernisme
30. Metode propaganda
BAGIAN III
31. Obat untuk Modernisme
32. Studi filsafat skolastik
33. Penerapan praktis
34. Kewaspadaan para uskup atas publikasi
35. Sensor
36. Para imam sebagai penyunting
37. Kongres-kongres
38. Komite pengawasan dioses
39. Peringatan tiga tahunan
Surat Ensiklik dari Bapa Suci Kita, Paus Pius X, tentang Doktrin-Doktrin Para Modernis
Kepada para Patriark, Primat, Uskup Agung, Uskup dan Ordinaris setempat dalam damai dan persekutuan dengan Takhta Apostolik
PIUS X, PAUS
Saudara-saudara yang terhormat,
Salam dan Berkat Apostolik
Atas tugas yang telah dipercayakan kepada diri Kami dari Surga, untuk menggembalakan kawanan domba Tuhan, Yesus Kristus telah mengembankan tanggung jawab yang utama untuk menjaga khazanah iman tradisional dengan kewaspadaan terbesar dengan melawan kebaruan-kebaruan profan dalam kesastraan, seperti juga melawan kontradiksi-kontradiksi dari ilmu pengetahuan yang palsu. Bahwasanya tiada pernah ada masa di mana kewaspadaan semacam itu tidak diperlukan bagi para umat Katolik: sebab, akibat upaya-upaya yang dikerahkan oleh musuh umat manusia, jumlah ‘manusia yang menyampaikan ajaran sesat’[1], ‘pembual dan penipu’[2], yang ‘menyesatkan dan disesatkan’[3] tidak berkekurangan. Namun demikian, harus diakui bahwa jumlah musuh salib Kristus telah meningkat pesat pada hari-hari terakhir ini, mereka yang berjuang dengan tipu daya yang sama sekali baru dan penuh dengan kelicikan untuk menghancurkan daya vital Gereja, dan jika mereka sanggup, untuk sama sekali memorakporandakan kerajaan Kristus sendiri. Oleh karena itu, Kami tidak lagi boleh diam, supaya Kami tidak tampak gagal dalam tanggung jawab Kami yang tersuci, dan agar jangan sampai kebaikan yang telah Kami pertunjukkan kepada mereka sampai saat ini dalam harapan agar mereka menjadi lebih bijak, dijadikan sebab kelalaian dalam penunaian jabatan Kami.
BERATNYA SITUASI INI
Kami pun dituntut untuk menindaki perkara ini tanpa menunda, terutama oleh kenyataan bahwa para pendukung kesesatan dapat dicari tidak hanya di kalangan para musuh Gereja yang terbuka; haruslah sangat diratapi dan ditakuti bahwa mereka bersembunyi di pangkuan dan di dalam jantung Gereja sendiri, dan semakin penampilan mereka lebih tidak kentara, semakin besar bahaya yang mereka timbulkan. Saudara-Saudara yang Terhormat, Kami berbicara tentang banyak orang yang tergolong kalangan Katolik awam, dan yang bahwasanya jauh lebih memilukan, orang-orang yang berada dalam jajaran imam sendiri. Berdalihkan cinta akan Gereja, dan tanpa berpedomankan filsafat dan teologi yang kukuh, dan justru meneguk habis-habisan racun kesesatan yang diperah dari para musuh iman Katolik, mereka mempertunjukkan diri mereka sendiri dengan segala keangkuhan sebagai para pembaru Gereja. Telapak tangan terkepal, mereka dengan pongah menyerang segala hal yang tersuci dalam karya Yesus Kristus, tanpa menghormati pribadi-Nya yang mereka rendahkan dengan kelancangan yang nista sampai hanya semata-mata menjadi manusia belaka.
Meskipun orang-orang itu mungkin terkejut karena diri mereka Kami anggap sebagai jajaran musuh Gereja, tidak seorang pun akan terkejut oleh alasan Kami memperlakukan mereka secara demikian, jika, tanpa membahas benak jiwa mereka yang hanya Allahlah yang dapat menilainya, seseorang sungguh hendak mencermati doktrin-doktrin mereka, dan dengan demikian, memeriksa cara mereka berbicara serta bertindak. Mereka bahwasanya adalah musuh Gereja, sungguh benar, dan berkata bahwa tiada musuh Gereja yang lebih buruk daripada mereka bukanlah perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Kami telah mencatat bahwa mereka merekayasakan kehancuran Gereja bukan dari luar, melainkan dari dalam: bahayanya sekarang hampir menggapai urat dan lambung Gereja sendiri; pukulan-pukulan mereka sedemikian dahsyatnya sebab mereka lebih tahu di mana harus memukul. Harus ditambahkan pula bahwa bukan kepada ranting atau dahanlah, kapak mereka ayunkan, melainkan kepada akarnya sendiri, yakni kepada iman dan kepada serat-seratnya yang terdalam. Lalu, sekalinya akar kehidupan kekal ini terbelah, mereka pun berupaya menyebarkan racun ke seluruh pohonnya: tiada bagian dari iman Katolik yang tak terjamah oleh tangan mereka, tiada hal yang tak mereka usahakan untuk membejatkan segala-galanya. Dan meskipun mereka mengejar rancangan mereka yang durjana itu melalui ribuan jalan, tiada suatu hal pun yang menandingi kelicikan dan kedurhakaan dari siasat yang mereka gunakan: mencampuradukkan dalam diri mereka pribadi rasionalis dan pribadi Katolik. Mereka melakukannya dengan kelicinan yang sedemikian cerdiknya sehingga mereka dapat dengan mudah menyesatkan pikiran-pikiran yang kurang waspada. Di samping itu, karena mereka termakan oleh kelancangan, tiada kesimpulan macam apa pun yang membuat mereka bergidik, atau yang sebaliknya, tidak mereka junjung tinggi-tinggi dan dengan keras kepala. Bersama hal itu, mereka pun memberi kesan yang mengecoh, dengan kehidupan mereka yang penuh aktivitas, kerajinan dan semangat mereka yang amat besar akan segala jenis bahan pembelajaran, serta perilaku mereka yang pada umumnya bereputasi harum oleh karena keketatan diri mereka. Pada akhirnya, hal inilah yang tampaknya melenyapkan segala harapan akan kesembuhan diri mereka: doktrin-doktrin mereka telah begitu membejatkan pikiran mereka, sehingga mereka menjadi benci akan segala otoritas, dan sama sekali tak mengindahkan batasan apa pun; berlandaskan hati nurani yang sesat, mereka melakukan segala sesuatu supaya apa yang merupakan buah kebersikerasan dan kecongkakan dianggap sebagai hasil dari semangat akan kebenaran yang murni.
Kami tentunya telah berharap bahwa mereka kelak akan berubah pikiran; dan karena itulah Kami pertama-tama memperlakukan mereka dengan kelemahlembutan, bagaikan memperlakukan anak-anak, lalu dengan keketatan, dan pada akhirnya Kami pun mengeluarkan teguran-teguran publik yang menyakitkan hati Kami. Saudara-Saudara yang terhormat, anda sekalian tidak mengabaikan betapa mandulnya usaha-usaha Kami: sesaat mereka menundukkan kepala, dan seketika mengangkatnya kembali dengan keangkuhan yang lebih besar. Ah! Seandainya saja permasalahan ini hanya menyangkut diri mereka, Kami mungkin dapat menyembunyikannya, namun yang dipertaruhkan di sini adalah agama Katolik dan keselamatannya. Maka dari itu, marilah berhenti berdiam diri, sebab sejak saat ini berdiam diri akan menjadi suatu kejahatan! Sudah tiba saatnya untuk melepas kedok orang-orang itu dan menguak diri mereka kepada Gereja universal sebagaimana diri mereka adanya.
PEMBAGIAN ENSIKLIK INI
Salah satu taktik yang digunakan kaum Modernis (demikianlah sebutan diri mereka secara umum, suatu sebutan yang sungguh benar), taktik yang bahwasanya amat licik, adalah mereka tidak pernah mendedahkan doktrin-doktrin mereka dengan tertata rapi dan secara keseluruhan, namun dengan suatu cara tertentu memecah-belahkan doktrin-doktrin mereka dan mencerai-beraikannya yang satu terpisah dari yang lain. Taktik ini cenderung membuat doktrin-doktrin mereka dinilai ragu-ragu dan tidak pasti, meskipun sebaliknya, gagasan-gagasan mereka benar-benar teguh dan konsisten. Maka dari itu, penting adanya di sini supaya kita pertama-tama menyajikan doktrin-doktrin yang sama ini dalam satu pandangan yang tunggal, dan menunjukkan hubungan logika yang mengaitkan doktrin mereka yang satu dengan yang lain. Kami berniat untuk lalu memperlihatkan sebab-sebab dari kesalahan-kesalahan mereka dan meresepkan obat yang pantas untuk melenyapkan kejahatan itu.
BAGIAN I.
ANALISIS TENTANG AJARAN MODERNIS
Dan supaya perkara yang bahwasanya sungguh rumit ini dapat dibahas dengan jelas, harus pertama-tama dicatat bahwa kaum Modernis istilahnya mengumpulkan dan mencampur-campurkan dalam diri mereka, beberapa kepribadian: yakni, filsuf, umat beriman, teolog, sejarawan, kritikus, apologis, pembaru. Kepribadian-kepribadian ini penting untuk dibedakan dengan baik, kalau kita ingin mengenali sistem mereka secara mendalam dan mengenali prinsip-prinsip serta konsekuensi-konsekuensi dari doktrin-doktrin mereka.
AGNOSTISISME – FONDASI FILOSOFIS DARI AJARAN MODERNIS
Kita memulai dengan sang filsuf. Landasan yang diletakkan oleh kaum Modernis sebagai dasar dari filsafat keagamaan mereka adalah doktrin yang secara umum disebut agnostisisme. Akal manusia terkurung dalam alam fenomena, yaitu hal-hal yang tampak kepada pancaindra sebagaimana tampak adanya. Dan akal manusia tidak memiliki kemampuan ataupun hak untuk melampaui batasan-batasan ini; maka akal tidak dapat mengangkat dirinya sendiri sampai kepada Allah, dan bahkan tidak memiliki kemampuan untuk tahu bagaimana cara melakukannya melalui hal-hal yang tercipta serta keberadaan. Demikianlah doktrin agnostisisme itu. Dari situ, ada dua hal yang menjadi kesimpulannya: 1) Allah bukanlah objek langsung dari ilmu pengetahuan; 2) Allah bukanlah suatu pribadi historis. Lantas, apakah yang lalu menjadi nasib dari teologi alam, motif kredibilitas, dan wahyu lahiriah? Mudah adanya untuk memahaminya. Semuanya itu mereka pada dasarnya hapuskan sama sekali, dan mereka anggap semata-mata sebagai bagian dari intelektualisme, suatu sistem yang menurut mereka patut dihina dan ketinggalan zaman. Tiada sesuatu pun yang menghentikan mereka, bahkan kutukan-kutukan yang telah dijatuhkan Gereja kepada kesalahan-kesalahan yang menyeramkan itu pun tidak; sebab Konsili Vatikan telah mendekretkan hal berikut: “Barang siapa berkata bahwa Allah yang satu dan sejati, Pencipta kita dan Tuhan kita, tidak dapat diketahui secara pasti oleh terang kodrati dari akal manusia melalui hal-hal yang telah diciptakan: terkutuklah dia.”.[4] Dan juga: “Barang siapa berkata bahwa mustahil adanya atau tidaklah berguna bahwa melalui wahyu ilahi, manusia diajarkan tentang Allah dan penyembahan yang harus diberikan kepada-Nya: terkutuklah dia.”;[5] dan pada akhirnya: “Barang siapa berkata bahwa wahyu ilahi tidak dapat dibuat menjadi dapat dipercayai melalui tanda-tanda lahiriah, dan oleh karena alasan ini, manusia harus dibawa kepada iman oleh pengalaman batiniah atau oleh ilham pribadi dari masing-masing insan: terkutuklah dia.”[6] Sekarang, bagaimanakah kaum Modernis beralih dari agnostisisme, yang pada akhirnya adalah ketidaktahuan, sampai kepada ateisme ilmiah dan historis, gagasan yang bercirikhaskan penyangkalan; menimbang ketidaktahuan mereka apakah Allah telah campur tangan dalam sejarah umat manusia, muslihat apakah yang mereka gunakan sebagai dasar untuk menjelaskan sejarah yang sama, yang secara mutlak mengabaikan Allah sama sekali, yang dianggap tidak pernah mengambil bagian di dalamnya? Hendaknya orang yang mampu menjelaskannya, memahaminya. Bagi mereka, prinsip yang sungguh tetap dan tak berubah adalah ilmu pengetahuan dan sejarah harus bersifat ateis; ruangan yang tersedia, dalam ranah yang satu maupun yang lain, hanyalah ruangan bagi fenomena saja: Allah dan keilahian telah sama sekali dikucilkan daripadanya. Lalu kesimpulan-kesimpulan apakah yang ditarik dari doktrin yang absurd ini sehubungan dengan pribadi sang Juru Selamat yang kudus, misteri-misteri kehidupan dan wafat-Nya, Kebangkitan-Nya dan Kenaikan-Nya yang mulia? Kita akan segera melihatnya.
IMANENSI VITAL
Agnostisisme hanyalah sisi negatif dalam doktrin kaum Modernis; sisi positifnya terdiri dari apa yang disebut sebagai imanensi vital. Berikut cara mereka beralih dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Agama, baik yang bersifat kodrati maupun adikodrati (supernatural), memerlukan penjelasan, sama seperti segala fakta yang lain. Namun sekalinya teologi alam ditolak, segala jalan menuju wahyu pun tertutup akibat penolakan terhadap motif kredibilitas; di samping itu, karena segala wahyu lahiriah telah ditiadakan, maka jelas adanya bahwa penjelasan itu tidak boleh dicari di luar diri manusia. Maka dalam diri manusia sendirilah penjelasan itu berada, dan karena agama adalah suatu bentuk kehidupan, lantas penjelasan itu ditemukan dalam kehidupan manusia. Demikianlah imanensi agamawi. Namun semua fenomena vital – dan seperti yang telah dikatakan, agama termasuk di dalamnya – disebabkan pertama-tama oleh suatu keperluan, suatu kebutuhan; dan perwujudan pertamanya adalah gerakan hati yang disebut sentimen. Maka dari itu, karena objek agama adalah Allah, iman, yang merupakan asal dan landasan segala agama, bertempat dalam sebuah sentimen yang tersembunyi, yang juga pada hakikatnya terlahir dari kebutuhan akan keilahian. Di samping itu, kebutuhan akan keilahian ini hanya menampakkan dirinya sendiri pada kondisi-kondisi tertentu yang menguntungkan, dan oleh karena itu pada hakikatnya bukanlah bagian dari alam sadar. Pada pangkalnya, kebutuhan itu terpendam dalam apa yang disebut-sebut oleh filsafat modern sebagai alam bawah sadar, yang akarnya tetap tersembunyi, dan tak dapat dijangkau oleh pikiran. Apa orang sekarang ingin tahu bagaimana cara kebutuhan akan keilahian itu (ketika manusia mengalaminya) pada akhirnya berubah menjadi agama? Kaum Modernis menjawab. Ilmu pengetahuan dan sejarah terkurung dalam dua batasan: yang satu bersifat lahiriah, bagian dari dunia yang terlihat; yang lain bersifat batiniah, bagian dari kesadaran. Mustahil adanya bagi ilmu pengetahuan dan sejarah untuk melampaui batasan-batasan itu, sekalinya batasan-batasan itu tercapai; di luar batasan-batasan itu, yang ada adalah yang tak dapat diketahui. Bahwasanya, dalam menghadapi yang tak dapat diketahui itu, entah yang ada di luar manusia dan melampaui dunia alam yang terlihat, atau yang terpendam dalam lubuk alam bawah sadar, kebutuhan akan keilahian itu, tanpa penilaian sebelumnya oleh pikiran (atas dasar asas fideisme murni), menimbulkan suatu sentimen tertentu dalam jiwa yang condong tertarik kepada agama. Sentimen ini memiliki realitas ilahi secara tersirat dalam dirinya sendiri, baik sebagai objeknya sendiri maupun sebagai sebab intrinsiknya; dan dalam suatu cara tertentu mempersatukan manusia dengan Allah. Sentimen inilah yang dinamai iman oleh kaum Modernis, dan yang mereka anggap sebagai awal mula agama.
Namun filsafat mereka, atau, sebutannya yang lebih akurat: kegilaan mereka, tidak terbatas sampai di sana saja. Dalam sentimen itu mereka lalu menemukan iman; namun juga, bersama iman dan dalam iman, mereka menemukan wahyu. Dan sehubungan wahyu, apa lagi yang bahwasanya diinginkan orang dari wahyu? Bukankah sentimen yang tampak dalam kesadaran, dan Allah, yang dalam sentimen itu meski masih secara samar, mewujudkan diri-Nya kepada jiwa, adalah wahyu, atau setidak-tidaknya awal mula wahyu? Bahkan, kalau diperhatikan secara saksama, sejak saat Allah menjadi sebab dan objek dari iman pada waktu yang bersamaan, maka dalam iman kita menemukan wahyu yang berasal dari Allah dan bercerita tentang Allah, dalam kata lain, di sana, ada Allah yang mewahyukan dan diwahyukan pada saat itu juga.
Itulah, Saudara-Saudara yang Terhormat, asal muasal doktrin kaum Modernis yang absurd, yaitu semua agama pada saat itu juga bersifat kodrati dan adikodrati, menurut pandangan mereka. Alhasil, kesetaraan antara kesadaran dan wahyu. Alhasil, pada akhirnya, asas yang menetapkan kesadaran agamawi sebagai hukum universal, yang sama sekali sederajat dengan wahyu, dan kepada kesadaran agamawi itu segala sesuatu harus menundukkan diri, sampai-sampai otoritas tertinggi dalam perwujudannya yang rangkap tiga: pengajaran, peribadatan dan kedisiplinan.
PENYESATAN SEJARAH RELIGIUS ADALAH DAMPAKNYA
Gambaran tentang asal muasal iman dan wahyu seperti yang dimaksudkan kaum Modernis, tidak akan dijelaskan secara lengkap, kalau kita tidak menarik perhatian kepada suatu poin yang sangat penting, sebab poin ini menghasilkan konsekuensi-konsekuensi kritis-historis yang mereka tarik. - Yang tak dapat diketahui tak boleh dipercaya mewujudkan diri kepada iman secara terisolir dan tersendiri; yang tak dapat diketahui itu justru terkait erat dengan suatu fenomena, yang, walaupun tergolong bagian ilmu pengetahuan dan sejarah, sedikit banyak melampaui batasan-batasan ilmu pengetahuan dan sejarah. Fenomena semacam itu mungkin merupakan suatu kenyataan alamiah, yang di dalamnya termuat suatu misteri tertentu; mungkin pula seorang manusia, yang sifat, perbuatan-perbuatan serta perkataannya tampak menggelisahkan bagi asas-asas umum sejarah. Namun berikut apa yang terjadi: yang tak dapat diketahui, dalam hubungannya dengan suatu fenomena, mulai merintis iman. Iman lalu menggapai fenomena itu dan meresapkan kehidupannya sendiri entah bagaimana ke dalam fenomena itu. Dari situ timbullah dua konsekuensi.
Pertama-tama, fenomena itu mengalami sejenis transfigurasi: iman mengagungkan fenomena itu lebih tinggi daripada fenomena itu sendiri dan daripada realitasnya yang sebenarnya, seakan-akan agar fenomena itu dapat disesuaikan secara lebih baik, layaknya materi, dengan rupa ilahi yang hendak diberikan iman kepada fenomena itu.
Kedua, terjadi semacam disfigurasi fenomena itu (kalau penggunaan istilah itu diizinkan) karena iman telah memisahkan fenomena itu dari kondisi tempat dan waktu, dan lalu memberikannya ciri-ciri yang sebenarnya tidak pantas bagi fenomena itu. Hal ini sering terjadi terutama kepada fenomena di masa lalu, dan jauh lebih mudah terjadi kalau fenomena itu dahulu berlangsung di masa yang amat lampau.
Dari kejadian berganda ini, kaum Modernis menarik dua asas, yang disertai dengan asas ketiga yang telah disediakan oleh Agnostisisme. Bersama-sama, ketiga asas itu menjadi landasan kritik historis mereka. Hal ini akan dijelaskan dengan satu contoh, dan Yesus Kristuslah yang akan menjadi contohnya. Ujar mereka, ilmu pengetahuan dan sejarah tidak mendapati apa-apa dalam diri Kristus selain seorang manusia. Maka dari itu, atas dasar asas pertama yang dilandasi oleh Agnostisisme, segala sesuatu yang bersifat ilahi harus dihapuskan dari sejarah Kristus. Pribadi historis Kristus telah ditransfigurasi oleh iman: maka dari itu, atas dasar asas kedua, segala sesuatu yang mengangkat Kristus di atas kondisi-kondisi historis-Nya harus dilenyapkan pula. Pada akhirnya, pribadi Kristus yang sama itu telah didisfigurasi oleh iman: maka atas dasar asas yang ketiga, harus ditiadakan dari sejarah-Nya, perkataan, perbuatan, pendek kata, segala sesuatu yang tak selaras dengan sifat-Nya, kondisi-Nya, pendidikan-Nya, tempat dan waktu kehidupan-Nya. – Cara berpikir ini tentunya akan tampak aneh, namun begitulah kritik Modernis.
Sentimen religius yang muncul secara demikian melalui imanensi vital dari lubuk alam bawah sadar, merupakan bibit segala agama, dan juga merupakan alasan bagi segala sesuatu yang sudah terjadi atau yang akan pernah terjadi, dalam agama apa pun. Sentimen itu pada awalnya samar-samar dan hampir tak berbentuk, namun lalu, berkat pengaruh tersembunyi dari sebuah prinsip yang merupakan asal muasalnya, berkembang bersama hidup manusia yang merupakan bentuk sentimen itu. Demikianlah kelahiran semua agama, termasuk agama-agama supernatural: semua agama itu hanyalah perkembangan sentimen tersebut. Dan hendaknya orang tidak mengharapkan adanya pengecualian yang bermanfaat bagi agama Katolik: agama ini sama sekali disetarakan dengan agama-agama lainnya. Tunas agama Katolik adalah kesadaran akan Yesus Kristus, manusia dengan sifat terluhur, karena tidak ada seorang pun yang ada sebelumnya dan takkan ada lagi orang yang seperti diri-Nya. Di situlah lahirnya agama Katolik, yaitu dari prinsip yang tak lain dari imanensi vital. – Orang terkejut ketika menghadapi kelancangan perkataan semacam itu, ketika melihat betapa mudahnya mereka menghujat. Dan Saudara-Saudara yang Terhormat, orang-orang yang menuturkan kelancangan-kelancangan semacam itu bukan hanya orang-orang yang tak percaya: namun orang-orang Katolik dan para imam sendiri, yang banyak jumlahnya, yang menyebarkan kelancangan-kelancangan itu dengan penuh kemegahan. Dan dengan kegilaan-kegilaan semacam itu mereka membual bahwa mereka sedang memperbarui Gereja! Bahwasanya ini bukan lagi perkara kesalahan lama, yang dahulu mengaruniakan kepada kodrat manusia semacam hak atas tatanan supernatural. Betapa kesalahan mereka itu melampauinya! Dalam diri manusia Yesus Kristus, dan dalam diri kita pula, agama kita yang suci tidak lain daripada buah yang terbentuk secara spontan dari kodrat sendiri! Adakah bahwasanya sesuatu yang dapat dengan begitu radikalnya menghancurkan tatanan supernatural? Itulah sebabnya Konsili Vatikan dengan amat benar telah mendekretkan hal berikut: “Barang siapa berkata bahwa manusia tidak dapat diangkat oleh kuasa ilahi untuk sampai kepada suatu pengetahuan dan kesempurnaan yang melampaui kodratnya, tetapi bahwa manusia, oleh karena dirinya sendiri, dapat dan harus mencapai kepemilikan atas segala kebenaran dan kebaikan melalui suatu perkembangan yang berkelanjutan: terkutuklah dia.”.[7]
ASAL MUASAL DOGMA
Sejauh ini, Saudara-Saudara yang terhormat, intelek belum dibahas. Menurut kaum modernis, intelek walau bagaimanapun berperan dalam perwujudan iman, dan penting adanya untuk membahas cakupannya. – Sentimen yang telah kita bahas ini – karena memang merupakan sentimen dan bukan pengetahuan – memunculkan Allah dalam diri manusia, namun dengan sedemikian kaburnya sehingga di dalam sana Allah tak dapat dibedakan, atau sulit dibedakan, dari manusia sendiri. Maka dari itu, perlu adanya suatu terang yang datang mencerahkan sentimen itu, dan membuat Allah menjadi jelas, sehingga sentimen manusia dapat dibedakan dari Allah. Itu adalah tugas intelek, yaitu daya pikir dan analisis yang digunakan manusia untuk menafsirkan, pertama-tama dalam gambaran pikiran, lalu dalam ekspresi-ekspresi verbal, fenomena-fenomena kehidupan yang dialaminya. Dari situlah timbul kata yang sering digunakan kaum Modernis: manusia harus memikirkan imannya. Maka dari itu, intelek menjumpai sentimen dan mengarahkan dirinya sendiri entah bagaimana kepada sentimen itu, serta bekerja padanya seperti seorang pelukis dan sebuah kanvas tua. Pada kanvas tua itu, sang pelukis kembali menemukan dan menampakkan garis-garis lukisan yang telah terhapuskan: seperti itulah kira-kira perumpamaan yang diberikan oleh salah seorang guru Modernis. Namun dalam karya itu, intelek mempunyai dua proses: pertama-tama, dengan perbuatan yang alamiah dan spontan, intelek merumuskan sesuatu dalam pernyataan yang sederhana dan biasa; lalu, dengan merenung dan mengkaji, dengan menguraikan pikirannya, demikianlah istilah yang mereka gunakan, intelek menafsirkan rumusan awal itu dengan menggunakan rumusan-rumusan turunan yang lebih mendalam dan jelas. Rumusan-rumusan turunan inilah, ketika sudah disetujui oleh Magisterium Gereja, yang lalu menjadi dogma.
Dogma, asal muasalnya, sifatnya, demikianlah poin utama dalam doktrin kaum Modernis. Menurut mereka, dogma berasal dari rumusan-rumusan awal yang sederhana, dan yang dalam suatu hubungan tertentu dengan iman, bersifat esensial; sebab wahyu yang benar mensyaratkan penampakan Allah secara jelas dalam kesadaran. Dogma itu sendiri, kalau kaum Modernis dipahami baik-baik, termuat secara tepat dalam rumusan-rumusan yang kedua. Sekarang, supaya sifat dogma dapat dipahami dengan baik, kita harus terutama melihat hubungan macam apa yang ada antara rumusan-rumusan agamawi dengan sentimen religius. Hubungan ini takkan sulit untuk ditemukan, kalau kita melihat tujuan rumusan-rumusan itu sendiri. Tujuannya adalah memberi sarana bagi umat beriman untuk menyadari imannya. Maka rumusan-rumusan itu menjadi semacam jembatan antara umat beriman dan imannya: sehubungan dengan iman, rumusan-rumusan itu hanya merupakan tanda-tanda yang tak memadai bagi objeknya, dan secara lazim disebut simbol; sehubungan dengan umat beriman, rumusan-rumusan itu hanyalah instrumen semata.
EVOLUSI DOGMA
Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa rumusan-rumusan itu sama sekali tidak memuat kebenaran mutlak: sebagai simbol, rumusan-rumusan itu hanyalah gambaran kebenaran, yang harus disesuaikan dengan sentimen religius dalam hubungan dengan manusia; sebagai instrumen, yaitu wahana kebenaran, yang harus secara timbal balik disesuaikan dengan manusia dalam hubungan dengan sentimen religius. Dan hal yang absolut, yang merupakan objek sentimen itu, memiliki aspek yang tak terhingga, dan mungkin muncul secara berturut-turut dalam aspek yang beraneka ragam rupanya; sedangkan di sisi lain, umat beriman dapat secara berturut-turut beralih dari kondisi yang sangat berbeda yang satu dari yang lain. Maka dari itulah, rumusan-rumusan dogmatis juga harus mengalami transformasi berturut-turut yang sama, dan dengan demikian berubah-ubah. Alhasil, terbukalah jalan kepada perubahan dogma secara hakiki. Alhasil, timbunan sofisme yang tak terhingga, yang menjadi hukuman mati bagi semua agama.
Dogma tidak hanya dapat, namun harus berevolusi dan berubah: itulah yang dinyatakan dengan suara lantang oleh kaum Modernis, dan yang jelas merupakan buah prinsip-prinsip mereka. – Bahwasanya rumusan-rumusan agama, agar sungguh bersifat keagamaan dan bukan spekulasi teologis semata, harus bersifat hidup dan memiliki hidup yang sama dengan sentimen religius. Ini merupakan suatu doktrin utama dalam sistem kaum Modernis, dan disimpulkan dari prinsip imanensi vital. Janganlah anda memahami doktrin mereka itu dengan makna bahwa perlu adanya untuk menyusun rumusan-rumusan demi tujuan sentimen religius, apalagi kalau rumusan-rumusan itu bersifat khayali. Tidak, asal muasal, jumlah rumusan-rumusan agama, dan sampai suatu jenjang tertentu, kualitas rumusan-rumusan itu, tidak begitu penting; yang diharuskan, adalah usai sentimen mengubah rumusan-rumusan itu sebagaimana mestinya, sentimen harus mengasimilasi rumusan-rumusan itu secara vital. Dalam kata lain, rumusan awal menuntut supaya hati menerima dan menyetujuinya; lalu tugas selanjutnya, yang membuahkan rumusan-rumusan kedua, harus dilakukan dengan dorongan hati. Demi tujuan utama ini, dalam kata lain, demi menjadi dan tetap menjadi hidup, rumusan-rumusan dogmatis harus menjadi dan harus tetap menjadi sesuai baik dengan umat beriman maupun imannya. Ketika tiba hari berhentinya penyesuaian ini, maka pada hari itu jugalah rumusan-rumusan agama kehilangan makna awalnya: tiada posisi yang boleh diambil, selain yang mengubah rumusan-rumusan agama.
Menimbang sifat rumusan-rumusan dogmatis yang begitu berubah-ubah dan begitu labilnya, kita sungguh dapat memahami alasan kaum Modernis memandang rumusan-rumusan dogmatis dengan begitu rendahnya, jika mereka memperhinakan rumusan-rumusan agama secara terbuka. Sentimen religius serta kehidupan religius selalu mereka bicarakan dan agung-agungkan tanpa henti. Namun pada saat itu juga, mereka dengan lancang memberi teguran bahwa Gereja mengambil jalur yang salah; bahwa Gereja tidak mampu membedakan makna lahiriah rumusan-rumusan agama dari makna keagamaan serta moralnya; bahwa meskipun Gereja dengan sia-sia bersikeras berpegang kepada rumusan-rumusan yang hampa dan tak bermakna, namun Gereja membiarkan agama berjalan menuju kehancurannya. Orang buta yang menuntun orang buta, mereka itu gembung dengan kecongkakan ilmiah, dan akibat kegilaan mereka itu, mereka telah sampai membejatkan gagasan kebenaran yang abadi. Mereka, para pereka suatu sistem, di mana kita menyaksikan bahwa akibat pengaruh cinta yang buta dan tak terkendali akan kebaruan, mereka sama sekali tidak memedulikan perkara menemukan landasan kebenaran yang kukuh, namun akibat memperhinakan tradisi-tradisi kudus dan apostolik, mereka memeluk doktrin-doktrin lain yang hampa, tak berguna, tak menentu, yang telah dikutuk oleh Gereja, yang mereka, sebagai manusia yang amat congkak, jadi-jadikan alasan untuk mendukung dan membela kebenaran.[8]
SANG MODERNIS SEBAGAI UMAT BERIMAN: PENGALAMAN INDIVIDUAL DAN KEPASTIAN RELIGIUS
Demikianlah, Saudara-Saudara yang Terhormat, sang filsuf modernis. Sekarang, kita beralih kepada sang Modernis sebagai umat beriman. Kalau kita ingin tahu bagaimana pribadi orang Modernis yang sama itu, sebagai umat beriman, dapat dibedakan dari pribadinya sebagai filsuf, ada satu hal yang pertama-tama harus dicatat: yakni sang filsuf sungguh mengakui realitas ilahi sebagai objek iman; namun realitas itu bagi dirinya hanya berada dalam jiwa umat beriman sendiri, yakni, sebagai objek sentimennya dan pernyataan-pernyataannya, yang pada akhirnya tidak keluar dari alam fenomena. Apakah Allah ada secara mandiri, di luar pikiran dan di luar pernyataan-pernyataan, sang filsuf tidak memedulikannya. Namun sebaliknya bagi umat beriman, Allah ada secara mandiri, tanpa bergantung kepada diri umat beriman; sang umat beriman meyakininya, dan oleh sebab itulah ia berbeda dari sang filsuf. Jika anda sekarang bertanya, pada akhirnya, apakah landasan dari keyakinan itu, kaum Modernis menjawab: pengalaman perorangan.
Demikianlah bagaimana kaum Modernis membedakan dirinya sendiri dari kaum Rasionalis, namun mereka lalu tercemplung ke dalam doktrin kaum Protestan dan mistik palsu. Di samping itu, berikut cara mereka menjelaskannya. Kalau sentimen religius dicermati, akan mudah didapati di dalamnya suatu intuisi hati tertentu. Berkat intuisi ini, dan tanpa perantara apa pun juga, manusia mencapai realitas Allah sendiri: dari situlah ada kepastian tentang keberadaan-Nya, yang sungguh sangat melampaui segala kepastian ilmiah. Dan itu sungguh-sungguh merupakan suatu pengalaman yang nyata dan lebih luhur daripada segala pengalaman rasional. Banyak orang tentunya tidak memahami atau menyangkal pengalaman itu, seperti kaum Rasionalis, namun mereka menanggapi pengalaman itu secara demikian hanya karena mereka menolak menempatkan diri dalam kondisi-kondisi moral yang diperlukan pengalaman itu. Dalam pengalaman itu, seturut kaum Modernis, seseorang secara benar dan layak tergolong umat beriman. Betapakah segalanya itu berlawanan dengan iman Katolik, hal itu telah kita baca dalam dekret Konsili Vatikan; bagaimana akibat ajaran mereka itu, dan juga kesalahan-kesalahan mereka yang lain, terbuka jalan menuju ateisme, hal itu akan Kami bahas lebih lanjut. Apa yang hendak Kami cermati di sini adalah doktrin pengalaman, beserta doktrin yang lain, yaitu simbolisme, menganggap benar segala agama, termasuk agama pagan jua. Tidakkah orang menjumpai pengalaman-pengalaman semacam ini dalam semua agama? Banyak orang berkata demikian. Namun, dengan hak apakah kaum Modernis akan menyangkal kebenaran pengalaman-pengalaman agama yang terjadi, sebagai contoh, dalam agama Mahometan? Dan berdasarkan asas apakah mereka akan menganggap orang Katolik satu-satunya yang empunya pengalaman-pengalaman sejati? Jelas bahwa mereka tak beranggapan demikian: yang satu secara sembunyi-sembunyi, yang lain secara terbuka, mereka menganggap semua agama benar. Memang itulah yang diperlukan dalam sisem mereka. Sebab menimbang asas-asas mereka, atas dasar apakah mereka dapat berargumen bahwa suatu agama bersifat sesat? Tentunya hanya atas dasar kesalahan sentimen, atau kesalahan rumusan. Tetapi menurut mereka, sentimen selalu sama di mana-mana, dan bersifat identik pada hakikatnya; adapun rumusan agama, yang dituntut hanyalah penyesuaian dengan umat berimannya – baik seturut tingkat kecerdasannya, maupun imannya pada saat itu juga. Dalam percekcokan antara agama-agama, apa yang sejauh-jauhnya dapat mereka jadikan alasan untuk mendukung agama Katolik, adalah agama itu merupakan yang paling benar karena agama itulah yang paling hidup, karena agama itulah yang paling sejalan dengan asal muasal Kekristenan. Konsekuensi-konsekuensi semacam itu seharusnya tidak mengejutkan, karena berasal dari dasar pemikirannya. Apa yang sungguh aneh, adalah orang-orang Katolik dan para imam, yang Kami harapkan merasa ngeri akan konsekuens-konsekuensi semacam itu, justru pada praktiknya berlaku seakan-akan mereka menyetujuinya. Apa yang sungguh aneh, adalah orang-orang Katolik dan para imam memberi puji-pujian besar, memberi penghormatan yang besar kepada para kepala kesesatan; adalah mereka mengira bahwa apa yang hendak mereka lebih hormati dengan perbuatan mereka itu, bukanlah pribadi kaum Modernis sendiri, yang bukanlah orang yang mungkin tak pantas mendapat pujian, namun kesalahan-kesalahan yang dianut orang akibat ajaran kaum Modernis dan yang telah mereka upayakan penyebarluasannya.
PENGALAMAN DAN TRADISI RELIGIUS
Ada suatu poin lain di mana kaum Modernis secara terang-terangan menentang iman Katolik, yaitu prinsip pengalaman religius. Prinsip ini mereka terapkan pada tradisi, dan akibatnya, tradisi, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Gereja, mendapati kehancuran totalnya. Apakah tradisi itu, bagi kaum Modernis? Penyampaian pengalaman awal kepada orang lain, melalui khotbah dan dengan menggunakan rumusan intelektual. Sebab mereka menganggap rumusan intelektual ini, demikianlah sebutan mereka, juga memiliki suatu nilai sugestif yang bekerja, baik pada umat beriman sendiri demi membangunkan sentimen religius yang mungkin telah tertidur dalam dirinya, atau juga untuk memudahkan umat beriman dalam mengulangi pengalaman-pengalaman yang sudah dilakukan, maupun pada orang-orang tak percaya untuk melahirkan pengalaman religius dalam diri mereka dan membawa mereka kepada pengalaman-pengalaman yang diinginkan dalam diri mereka. Dengan cara demikianlah pengalaman religius lalu tersebar pada orang-orang, dan tidak hanya di kalangan orang yang hidup pada zamannya, namun juga secara turun-temurun, melalui karya tulis atau secara lisan. Namun penyampaian pengalaman itu mengalami nasib yang sangat beragam: terkadang mengakar kuat; terkadang layu dan mati. Dengan menghadapi rintangan inilah, kaum Modernis, yang baginya kehidupan dan kebenaran itu sama saja, menilai apabila suatu agama itu benar: jika suatu agama hidup, agama itu benar; jika agama itu tidak benar, maka agama itu tidak hidup. Dari situlah mereka kembali menarik kesimpulan: semua agama yang ada karena itu benar.
IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Sejauh ini, Saudara-Saudara yang Terhormat, kita sudah punya lebih dari cukup materi untuk membuat gambaran yang persis tentang hubungan-hubungan yang dibuat oleh kaum Modernis antara iman dan ilmu pengetahuan; ilmu pengetahuan di sini juga mencakup sejarah. Pertama-tama objek iman dan objek ilmu pengetahuan sama sekali terasing yang satu dari yang lainnya, yang satu di luar yang lain. Objek iman merupakan apa yang justru oleh ilmu pengetahuan dinyatakan sebagai yang tak dapat diketahui. Alhasil, ranah yang ditempati iman dan ilmu pengetahuan sama sekali berbeda: ilmu pengetahuan menempati seluruh ranah fenomena, iman sama sekali tidak ada sangkut pautnya; iman menempati seluruh ranah hal-hal Ilahi, yang melampaui ilmu pengetahuan. Dari situlah mereka pada akhirnya menyimpulkan bahwa tidak mungkin terjadi konflik antara ilmu pengetahuan dan iman: hendaknya mereka menempati ranah masing-masing, dan takkan mungkin ada pertemuan antara keduanya, dan keduanya pun tidak akan mungkin menentang satu sama lain. – Kalau ada orang yang menolak gagasan mereka itu, bahwa ada hal-hal tertentu dari kodrat duniawi yang juga berada di dalam ranah iman, seperti misalnya, hidup manusiawi Yesus Kristus: mereka akan menyangkalnya. Memang sungguh benar, ujar mereka, bahwa hal-hal semacam itu pada hakikatnya sendiri tergolong ranah fenomena; namun karena fenomena-fenomena itu sudah diresapi dengan kehidupan iman, dan karena, seperti yang telah dikatakan, fenomena-fenomena tersebut ditransfigurasi dan didisfigurasi oleh iman, maka rupa fenomena ini justru telah terpisah dari ranah indrawi dan beralih menjadi materi bagi tatanan Ilahi. Dengan demikian, seandainya ada pertanyaan, apabila Yesus Kristus telah membuat mukjizat-mukjizat serta nubuat-nubuat yang nyata; apabila Ia telah bangkit dan naik ke Surga: ilmu pengetahuan agnostik akan menjawab tidak; iman akan menjawab ya. Namun demikian, di sini, orang harus menjaga diri sehingga tidak mendapati kontradiksi: negasinya berasal dari filsuf yang sedang berbicara kepada para filsuf, dan yang hanya membayangkan Yesus Kristus seturut realitas historis; afirmasinya berasal dari umat beriman yang bertutur kata kepada para umat beriman, dan yang menganggap hidup Yesus Kristus dihayati kembali oleh iman dan dalam iman.
IMAN TUNDUK KEPADA ILMU PENGETAHUAN
Namun mengingat pemikiran-pemikiran itu, akan menjadi kesalahan yang sangat besar seandainya orang membayangkan bahwa tidak ada subordinasi sama sekali antara iman dan ilmu pengetahuan. Subordinasi itu sungguh secara benar dan layak tidak digagaskan bagi ilmu pengetahuan; namun tentunya digagaskan bagi iman. Iman ditundukkan kepada ilmu pengetahuan, bukan dalam satu hal, melainkan tiga.
Pertama-tama, asas yang harus ditaati, adalah dalam segala fakta religius, terkecuali realitas Ilahi dan pengalaman yang dimiliki umat beriman, segala sesuatu yang lain, terutama rumusan-rumusan agama, tidak melampaui ranah fenomena, dan karena itu tidak dipisahkan dari ranah ilmiah. Maka kalau umat beriman hendak mengasingkan diri dari dunia ini, silakan saja; namun selama ia tetap berada di dalamnya, ia harus tunduk kepada hukum, kendali dan penilaian ilmu pengetahuan.
Kedua, kalau seseorang berkata bahwa hanya imanlah yang empunya Allah sebagai objek, hal ini harus dipahami sebagai merujuk kepada realitas Ilahi, dan bukan gagasan tentang Allah; sebab gagasannya tunduk kepada ilmu pengetahuan, menimbang ilmu pengetahuan, dalam tatanan logika, seperti yang mereka katakan, membumbung naik sampai kepada yang mutlak dan ideal. Maka ilmu pengetahuan dan filsafatlah yang empunya tugas mengetahui gagasan tentang Allah, membimbing gagasan itu dalam evolusinya dan, kalau-kalau ada suatu unsur asing yang tercampur ke dalamnya, mengoreksinya. Itulah sumber semboyan kaum Modernis: bahwa evolusi agama harus bekerja sama dengan evolusi intelektual dan moral, atau dalam istilah yang lebih baik, dan seturut perkataan salah seorang guru mereka, evolusi agama harus tunduk kepada evolusi intelektual dan moral.
Pada akhirnya, manusia tidak menderita dualisme dalam dirinya: dan umat beriman juga terangsang oleh suatu kebutuhan pribadi akan sintesis, untuk sedemikian menyelaraskan ilmu pengetahuan dan iman, sehingga iman takkan pernah menentang gagasan umum yang diajukan oleh ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Maka dengan demikian, sehubungan dengan iman, ilmu pengetahuan memiliki kemerdekaan penuh; sebaliknya, dan meskipun mereka telah menganggap yang satu terasing dari yang lain, iman diperhamba kepada ilmu pengetahuan. Saudara-Saudara yang Terhormat, segalanya ini berlawanan secara resmi dengan ajaran-ajaran Pendahulu Kami, Pius IX. Ia bahwasanya menulis bahwa tugas filsafat, dalam segala sesuatu yang berkenaan dengan agama, bukanlah memerintah, namun menaati, bukanlah menetapkan apa yang harus dipercayai, namun memeluknya dengan ketaatan dalam akal sehat, bukanlah menyelidiki kedalaman misteri-misteri Allah, namun menghormati misteri-misteri itu dalam segenap kesalehan dan kerendahan hati.[9]
Kaum Modernis sama sekali memutarbalikkan tatanan ini, dan kepada mereka berlaku secara pantas apa yang ditulis oleh Gregorius IX, salah seorang Pendahulu Kami, kepada beberapa teolog tertentu pada zamannya: Ada dari antara anda sekalian, orang-orang yang gembung dengan roh kecongkakan dan juga roh-roh lainnya, yang berjuang untuk memindahkan batasan-batasan yang telah ditetapkan para Bapa, dengan kebaruan-kebaruan profan; yang membengkokkan Nas-Nas Suci sehingga tunduk kepada doktrin-doktrin filsafat rasional, akibat keangkuhan ilmiah semata, tanpa bertujuan menghasilkan faedah apa-apa bagi para pendengarnya … yang, terpikat oleh doktrin-doktrin eksentrik dan ganjil, menempatkan ekor di kepala, dan memperhambakan ratu kepada pelayan.[10]
METODE-METODE PARA MODERNIS
Doktrin-doktrin kaum Modernis akan menjadi lebih jelas berkat perilaku mereka, perilaku yang merupakan konsekuensi penuh dari doktrin-doktrin mereka. Ketika mendengarkan kaum Modernis, ketika membaca karya-karya mereka, orang akan tergoda untuk percaya bahwa kaum Modernis berkontradiksi diri, bahwa mereka bimbang dan tidak yakin. Sama sekali tidak benar: segala sesuatu telah dipertimbangkan, segala sesuatunya mereka hendaki, namun dengan menggunakan prinsip ini, yaitu iman dan ilmu pengetahuan terasing yang satu dari yang lain. Lembar halaman yang satu dari karya-karya mereka mungkin bisa ditandatangani seorang Katolik; balikkan halamannya, anda mengira diri anda sedang membaca karya seorang rasionalis. Ketika mereka menulis sejarah, keilahian Yesus Kristus sama sekali tidak mereka disebutkan; ketika mereka naik ke mimbar suci, mereka menyerukan keilahian Yesus kuat-kuat. Sebagai sejarawan, mereka membenci para Bapa dan Konsili-Konsili; sebagai katekis, mereka mengutip para Bapa dan Konsili-Konsili dengan rasa hormat. Kalau anda memperhatikan dengan saksama, bagi mereka ada dua jenis eksegesis yang sungguh berbeda: eksegesi teologi dan pastoral, eksegesis ilmiah dan historis. Demikian pula, atas dasar prinsip yang menggagaskan bahwa ilmu pengetahuan sama sekali tidak bergantung kepada iman, jikalau mereka menulis karangan tentang filsafat, sejarah, atau kritik, dalam beribu cara mereka memperlihatkan kebencian mereka terhadap ajaran-ajaran Katolik, para Bapa yang kudus, Konsili-Konsili ekumenis, dan magisterium gereja, sebab mereka tidak takut berjalan mengikuti jejak kaki Luther[11] dalam hal itu. Ketika ditegur tentang perkara ini, mereka menjerit kencang, dan mengeluh dengan getir bahwa kebebasan mereka sedang dilanggar. Pada akhirnya, menimbang iman ditundukkan kepada ilmu pengetahuan, mereka menegur Gereja secara terbuka dan dalam semua pertemuan, bahwa Gereja bersikeras tidak menundukkan dan menyelaraskan dogma-dogma kepada pendapat-pendapat para filsuf; sedangkan mereka, setelah mengabaikan teologi kuno sama sekali, mereka berupaya memperkenalkan teologi yang baru, teologi yang bersahabat dengan kegilaan-kegilaan para filsuf yang sama ini.
SANG MODERNIS SEBAGAI TEOLOG: PRINSIP-PRINSIPNYA, IMANENSI DAN SIMBOLISME
Di sini, Saudara-Saudara yang Terhormat, hadir bagi kita sang teolog Modernis. Perkaranya luas dan rumit: Kami akan merangkumnya dalam beberapa kata saja. Intinya adalah memperdamaikan ilmu pengetahuan dan iman, tentunya dengan menundukkan iman kepada ilmu pengetahuan. Seluruh metode teolog Modernis harus diambil dari prinsip-prinsip filsafat dan menyelaraskan prinsip-prinsip itu kepada umat beriman; yaitu prinsip imanensi dan simbolisme. Prosedurnya sangat sederhana. Sang filsuf berkata: Awal mula iman bersifat imanen; sang umat beriman menambahkan: Awal mula iman adalah Allah; sang teolog menyimpulkan: Karena itulah Allah imanen dalam diri manusia. Imanensi teologis. Demikian pula, sang filsuf berkata: objek iman hanyalah simbol semata; umat beriman menambahkan: objek iman adalah Allah pada hakikatnya; sang teolog menyimpulkan: Karena itulah representasi-representasi realitas ilahi bersifat simbolis semata. Demikianlah kesalahan-kesalahan yang luar biasa besar, yang satu lebih berbahaya daripada yang lainnya, demikianlah yang akan kita lihat dengan jelas melalui konsekuensi-konsekuensinya. Dan untuk memulai dengan simbolisme, karena simbol secara keseluruhan merupakan simbol terkait objeknya, dan instrumen sehubungan subjeknya, maka ada dua konsekuensi yang ditarik: Konsekuensi pertama, umat beriman sama sekali tidak boleh berpegang secara ketat kepada rumusan sebagaimana adanya, namun menggunakan rumusan itu hanya demi mencapati kebenaran mutlak yang diselubungi dan disingkapkan rumusan itu pada waktu yang bersamaan dan yang tak pernah dapat dijelaskan oleh rumusan itu, kendati upaya yang dikerahkannya. Konsekuensi kedua, umat beriman harus menggunakan rumusan-rumusan itu sejauh mana dapat berguna bagi umat, sebab rumusan-rumusan itu telah diberikan kepada umat beriman untuk membantu dan bukan merintangi imannya; tentunya dengan senantiasa menghormati kaidah sosial yang patut diberikan kepada rumusan-rumusan itu, selama rumusan-rumusan itu dinilai magisterium publik patut disampaikan kepada kesadaran umum, dan sampai magisterium publik mengubah ajarannya itu. Adapun imanensi, cukup sulit untuk mengetahui maksud kaum Modernis yang sebenarnya pada perkara ini. Yang satu memahami imanensi dengan makna bahwa kehadiran Allah lebih besar dalam diri manusia, daripada kehadiran manusia dalam dirinya sendiri: suatu pendapat yang tidak bisa dipersalahkan, kalau dipahami secara sehat. Yang lain menghendaki supaya perbuatan Allah hanyalah satu adanya dengan perbuatan alam, karena sebab pertama meresap ke dalam sebab kedua: inilah yang pada kenyataannya menjadi kehancuran tatanan supernatural. Pada akhirnya, yang lain sungguh menjelaskan imanensi sedemikian rupa sehingga mereka membuat diri mereka dicurigai membuat interpretasi panteis: namun hal ini sewajarnya lebih konsisten dengan doktrin-doktrin mereka yang lain.
Prinsip imanensi ini berhubungan dengan suatu prinsip lain, yang dapat disebut permanensi ilahi. Permanensi ilahi berbeda dari imanensi ilahi, kira-kira sama halnya pengalaman yang terwariskan melalui tradisi berbeda dari pengalaman sederhana milik perorangan. Perihal ini akan terjelaskan dengan sebuah contoh, dan contoh ini akan diambil dari Gereja dan Sakramen-Sakramen. Ujar mereka, orang tidak boleh berpikiran bahwa Sakramen-Sakramen dan Gereja telah diinstitusikan secara langsung oleh Yesus Kristus. Pandangan itu berkontradiksi dengan agnostisisme, yang menganggap Yesus Kristus sebagai manusia belaka, yang kesadaran-Nya, sama seperti kesadaran manusia, terbentuk sedikit demi sedikit; pandangan itu juga berkontradiksi dengan asas evolusi, yang memerlukan waktu perkembangan benihnya serta serangkaian perubahan kondisi; pandangan itu pada akhirnya berkontradiksi dengan sejarah, yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa di masa lalu pada hakikatnya berlangsung seturut tuntutan-tuntutan asas-asas tersebut. Bagaimanapun, harus diakui bahwa Gereja dan Sakramen-Sakramen telah diinstitusikan secara tidak langsung oleh Yesus Kristus. Beginilah caranya. Segala kesadaran Kristiani dahulu terbungkus entah bagaimana dalam kesadaran Kristus, sama seperti tanaman terkandung dalam benihnya. Dan sebagaimana tunas-tunasnya hidup sebagai benih, demikian pula harus dikatakan bahwa semua orang Kristen menjalani kehidupan Yesus Kristus. Namun hidup Yesus Kristus bersifat ilahi, seturut iman: maka hidup orang Kristen pun juga harus bersifat ilahi. Dan karena itulah, jika hidup Kristiani di kemudian hari melahirkan Sakramen-Sakramen dan Gereja, kita akan bisa menyatakan dengan amat benar bahwa awal mula Sakramen-Sakramen dan Gereja adalah dari Yesus Kristus dan memang bersifat ilahi. Dengan prosedur yang sama itu jugalah keilahian akan diacukan kepada Kitab Suci, serta kepada dogma-dogma. Demikianlah kira-kira, lengkapnya teologi kaum Modernis: teologi yang tentunya tidak besar, namun lebih dari cukup, kalau kita, seperti mereka, percaya bahwa iman harus terombangambingkan oleh segala hasrat ilmu pengetahuan yang berubah-ubah. Kami akan membiarkan masing-masing orang melakukan penerapan teologi ini pada hal yang berikutnya: penerapan ini mudah dilakukan.
DOGMA DAN SAKRAMEN-SAKRAMEN
Sejauh ini, kita telah berbicara tentang asal muasal dan sifat dari iman. Tetapi, karena iman memiliki banyak ranting, dan yang terutama dari ranting-ranting tersebut adalah Gereja, dogma, ibadat, buku-buku yang kita sebut “suci”, kita harus mengetahui apa yang diajarkan oleh para modernis tentang hal-hal ini. Untuk memulai dengan dogma, Kami telah mengindikasikan asal muasal serta sifatnya. Dogma terlahir dari kebutuhan yang dialami oleh umat beriman untuk menguraikan pikiran religiusnya, agar dapat memperjelas pikiran religiusnya itu kepada dirinya sendiri dan orang lain. Penguraian ini sepenuhnya terdiri dari proses pendalaman dan penyempurnaan rumusan yang primitif, memang, bukan sesuai perkembangan yang logis dan rasional, melainkan didiktekan sepenuhnya oleh keadaan-keadaan. Mereka menyebutnya dengan suatu kata yang agak tidak jelas bagi orang-orang yang tidak terbiasa dengan gaya bahasa mereka, yakni secara vital. Maka, terjadilah bahwa di sekeliling rumusan primitif itu, rumusan-rumusan kedua pun lalu terbentuk secara bertahap, dan rumusan-rumusan kedua ini lalu dikumpulkan dalam suatu tubuh doktrin, atau konstruksi doktrin, seperti yang mereka lebih gemar sebutkan, dan yang lalu didukung oleh magisterium publik; sebagai tanggapan terhadap kesadaran bersama, rumusan-rumusan tersebut pun dinamakan dogma. Dogma harus dibedakan secara berhati-hati dari spekulasi para teolog, yang, walaupun tidak hidup di dalam kehidupan dogma, memang berguna untuk menyelaraskan agama dengan ilmu pengetahuan dan melenyapkan pertentangan di antara keduanya, sedemikian rupa sehingga menjelaskan agama, dan bahkan dapat digunakan untuk mempersiapkan hal-hal untuk dogma di masa depan. Mengenai ibadat, tidak terdapat banyak hal yang dapat dikatakan, karena istilah ini mencakup sakramen-sakramen, yang tentangnya para modernis melakukan kesalahan terberat. Bagi mereka, sakramen-sakramen adalah hasil dari suatu kebutuhan berganda – karena, seperti yang telah kita lihat, segala hal di dalam sistem mereka dijelaskan oleh dorongan-dorongan atau kebutuhan-kebutuhan batiniah. Kebutuhan yang pertama di sini adalah untuk memberikan kepada agama suatu perwujudan yang dapat dirasakan; yang kedua, untuk menyebarkannya, suatu hal yang tidak dapat dilakukan tanpa bentuk yang berwujud dan tindakan konsekrasi, dan hal-hal tersebut dinakan sakramen. Tetapi, bagi para modernis, sakramen-sakramen semata-mata hanya simbol atau tanda-tanda, walaupun tidaklah tanpa kemujaraban – suatu kemujaraban yang, ujar mereka, bagaikan kata-kata tertentu yang disebut oleh khalayak ramai, sebagai “menjadi populer”, sejauh mana sakramen-sakramen tersebut telah menjadi sarana untuk penyebaran gagasan-gagasan besar tertentu yang mengagumkan kepada pikiran publik. Hubungan antara perkataan dengan gagasan serupa dengan hubungan antara sakramen dengan sentimen religius – tidak lebih dari itu. Para modernis akan berbicara dengan lebih jelas jika saja mereka menyatakan bahwa sakramen-sakramen diinstitusikan hanya untuk memupuk iman – tetapi hal ini telah dikutuk oleh Konsili Trente: “Jika seseorang berkata bahwa sakramen-sakramen ini diinstitusikan hanya untuk memupuk iman, terkutuklah dia”.[12]
KITAB SUCI
Kami telah membahas sedikit banyak tentang sifat dan asal muasal dari buku-buku suci. Menurut prinsip-prinsip para modernis, buku-buku tersebut dapat secara benar dideskripsikan sebagai kumpulan pengalaman-pengalaman ; memang bukan pengalaman-pengalaman yang mungkin terjadi kepada siapa pun, melainkan pengalaman-pengalaman yang luar biasa dan mencolok yang telah terjadi di dalam agama mana pun. Dan inilah persisnya apa yang mereka ajarkan tentang kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjan Baru kita. Tetapi, untuk menyesuaikannya kepada teori-teori mereka, mereka mencatat dengan amat cerdik bahwa walaupun pengalaman adalah hal yang berhubungan dengan masa kini, bagaimanapun, pengalaman tetap dapat memperoleh materinya baik dari masa lalu maupun masa depan, sejauh mana sang umat beriman selalu kembali menghayati masa lalu lewat ingatan sebagaimana mereka hidup di masa kini, dan telah menghayati masa depan lewat antisipasi.
Hal ini menjelaskan bagaimana buku-buku historis dan apokaliptik termasuk ke dalam tulisan-tulisan suci. Allah memang berbicara di dalam buku-buku ini – bersaranakan sang umat beriman itu, tetapi, menurut teologi modernis, lewat imanensi dan permanensi vital. Jika kita bertanya, bagaimana dengan ilham? Ilham, jawab mereka, hanyalah berbeda intensitasnya dari dorongan yang menstimulasikan sang umat beriman untuk mengomunikasikan iman yang ada di dalam dirinya lewat kata-kata atau tulisan. Kita menemukan suatu hal yang serupa dalam ilham puitis, dan kita pun mengingat kata-kata yang terkenal ini: “Terdapat seorang Allah di dalam diri kita, Ialah yang mengobarkan api di dalam diri kita”. Dan dalam makna yang persis inilah Allah disebut sebagai asal-muasal dari ilham buku-buku suci. Para modernis juga menyatakan bahwa tiada hal yang terdapat di dalam buku-buku ini yang tidak diilhami. Di dalam hal ini, seseorang mungkin tergerak untuk menganggap bahwa mereka lebih ortodoks daripada para modernis lainnya, yang kurang lebih membatasi ilham sebagai suatu hal yang dinyatakan sebagai kutipan yang tersirat. Tetapi ini semua hanyalah permainan kata-kata. Sebab jika kita mengambil Kitab Suci, menurut asas-asas agnostisisme, sebagai karya manusia, yang dibuat oleh manusia untuk manusia, tetapi mengizinkan sang teolog untuk menyatakan bahwa Kitab Suci bersifat ilahi oleh imanensi, bagaimanakah ilham mungkin ada di dalamnya? Ilham umum, dalam artian modernis, mudah ditemukan, tetapi ilham dalam artian Katolik, tidak ada bekasnya sama sekali.
GEREJA
Kita sekarang sampai kepada Gereja, di mana khayalan-khayalan mereka yang begitu banyak akan kita bahas. Anda harus memulai dengan anggapan bahwa Gereja terlahirkan dari dua kebutuhan: dari kebutuhan yang dialami semua umat beriman, terutama jika umat beriman telah memiliki suatu pengalaman orisinal dan istimewa, untuk mengomunikasikan imannya kepada orang lain, dan kebutuhan untuk Misa sewaktu iman telah menjadi umum untuk banyak orang, dan untuk membentuk dirinya sendiri menjadi suatu masyarakat dan untuk menjaga, meningkatkan, dan menyebarkan kebaikan bersama. Lalu apakah Gereja? Gereja adalah hasil dari kesadaran bersama; yakni, dari kumpulan kesadaran individu yang, berkat prinsip permanensi vitalnya, yang berasal dari umat beriman pertama – bagi para Katolik, dari Yesus Kristus. Tetapi, semua masyarakat memerlukan seorang kuasa kepemimpinan untuk mengarahkan para anggotanya menuju suatu tujuan bersama, untuk menjaga secara berhati-hati, elemen kohesinya, yang di dalam masyarakat religius adalah doktrin dan ibadat. Itulah mengapa terdapat tiga otoritas di dalam Gereja Katolik – disiplin, dogmatis, dan liturgis. Sifat dari otoritas ini diperoleh dari asal-muasalnya, dan hak serta kewajibannya diperoleh dari sifatnya. Di masa lalu, adalah suatu kesalahan yang umum bahwa otoritas Gereja diperoleh dari luar; yakni, secara langsung dari Allah; dan bahwa otoritas tersebut harus dipercayai sebagai kuasa yang autokrat. Tetapi, pemikiran ini sudah menjadi ketinggalan zaman. Sebab sebagaimana Gereja adalah suatu emanasi vital dari kumpulan kesadaran, begitu pula otoritas adalah emanasi vital dari Gereja sendiri. Oleh karena itu, otoritas, layaknya Gereja, berasal dari kesadaran religius, dan, oleh karena itu, tunduk kepada kesadaran religius. Jika otoritas itu meninggalkan kebergantungan ini, otoritas itu menjadi suatu tirani. Sebab kita hidup di dalam suatu masa di mana sentimen kebebasan telah berkembang secara penuh, dan sewaktu kesadaran publik memperkenalkan sistem pemerintahan populer di dalam aturan sipil. Tetapi, tidak terdapat dua kesadaran di dalam diri manusia, sebagaimana tidak terdapat dua kehidupan. Maka, otoritas gerejawi bertanggung jawab untuk membentuk dirinya sendiri dalam suatu bentuk yang demokratis, jika tidak ingin memancing dan menimbulkan suatu konflik internal di dalam kesadaran umat manusia – penolakannya akan menyebabkan malapetaka. Karena adalah suatu kegilaan untuk berpikir bahwa sentimen kebebasan, sebagaimana yang pada saat ini menyebar di mana-mana, dapat menyerah. Jika sentimen kebebasan ini dikekang secara paksa dan dirantaikan, ledakannya akan menjadi mengerikan dan menghantam baik Gereja maupun agama. Demikianlah keadaannya bagi para modernis dan oleh karena itu, keinginan mereka yang besar adalah untuk mencari cara untuk mencapai keselarasan antara otoritas Gereja dan kebebasan para umat beriman.
HUBUNGAN ANTARA GEREJA DAN NEGARA
Tetapi, Gereja bukan hanya harus memiliki hubungan yang akur dengan para anggotanya sendiri, tetapi juga dengan pihak-pihak luar yang lain. Gereja tidak bertempat di dunia ini sendiri; terdapat masyarakat-masyarakat lain di dunia, yang dengannya Gereja pastinya harus berhubungan. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban Gereja terhadap masyarakat sipil haruslah, oleh karena itu, ditentukan, tentunya, oleh sifatnya sendiri, seperti yang telah dideskripsikan. Aturan-aturan yang harus diterapkan dalam masalah ini adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh ilmu pengetahuan dan iman, walaupun dalam kasus ilmu pengetahuan dan iman, pertanyaannya adalah tentang objek, sedangkan di sini pertanyaannya adalah tentang tujuan. Demikian pula, layaknya ilmu pengetahuan dan iman terasing satu dari yang lain, oleh alasan keberagaman objek dari keduanya, Gereja dan Negara terasing oleh alasan dari tujuan keduanya: tujuan dari Gereja adalah tujuan spiritual, sedangkan tujuan Negara adalah tujuan temporal. Sebelumnya, adalah hal yang mungkin untuk menundukkan yang temporal kepada yang spiritual, dan, kiasannya, untuk memberikan kepada Gereja posisi ratu dan penguasa dalam segala hal, sebab Gereja sebelumnya dipandang sebagai institusi yang telah didirikan secara langsung oleh Allah sebagai pencipta aturan supernatural. Tetapi doktrin ini pada zaman ini telah ditolak baik oleh filsafat maupun sejarah. Maka, Negara haruslah dipisahkan dari Gereja, dan orang-orang Katolik dari warga negara. Setiap orang Katolik, oleh karena fakta bahwa ia juga seorang warga negara, memiliki hak dan kewajban untuk bertindak demi kebaikan bersama dalam cara yang dianggapnya paling baik tanpa mengkhawatirkan tentang otoritas Gereja, tanpa memedulikan kehendak-kehendak otoritas Gereja ataupun perintah-perintahnya, bahkan untuk menentang teguran-tegurannya. Untuk memberikan batasan serta mewajibkan warga negara segala jenis aturan bertindak, atas dalih apa pun, merupakan penyalahgunaan otoritas gerejawi, yang terhadapnya seseorang wajib melawan sekuat tenaga. Prinsip-prinsip yang menghasilkan doktrin-doktrin ini telah secara khidmat dikutuk oleh pendahulu Kami, Pius VI di dalam Konstitusi “Auctorem fidei”.[13]
MAGISTERIUM GEREJA
Tetapi, tidaklah cukup bagi para kelompok modernis bahwa Negara harus dipisahkan dari Gereja. Sebab, sebagaimana iman harus tunduk kepada ilmu pengetahuan sejauh mana berhubungan dengan elemen-elemen fenomena, begitu pula, dalam hal-hal temporal, Gereja harus tunduk kepada Negara. Mereka belum mengatakan hal ini secara terbuka , tetapi mereka akan mengatakannya sewaktu mereka ingin menjadi logis di dalam pikiran mereka. Sebab, oleh karena prinsip bahwa di dalam hal-hal temporal, Negara memiliki kuasa yang mutlak, secara logis, sewaktu sang umat beriman, yang tidak seluruhnya terpuaskan oleh tindakan-tindakan agamanya secara internal, lalu melakukan tindakan-tindakan lahiriah, seperti, contohnya dalam pemberian atau penerimaan sakramen-sakramen, hal-hal ini termasuk dalam kendali Negara. Lalu apakah yang akan terjadi kepada otoritas gerejawi, yang hanya dapat dilaksanakan lewat tindakan-tindakan lahiriah? Jelas, otoritas gerejawi akan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Negara. Inilah dampak yang tidak dapat dihindari yang mendesak banyak orang Protestan liberal untuk menolak segala ibadat lahiriah serta segala komunitas religius lahiriah, dan membuat mereka mendukung apa yang mereka sebut sebagai agama individual. Jika para modernis belum mencapai titik ini, mereka memang meminta Gereja, sementara itu, untuk rela ikut ke mana mereka menuntunnya dan menyesuaikan dirinya kepada bentuk-bentuk sipil yang populer. Demikianlah gagasan mereka tentang otoritas disiplin. Tetapi yang jauh lebih berbahaya adalah ajaran-ajaran mereka tentang otoritas doktrinal dan dogmatis. Berikut adalah pemikiran mereka tentang magisterium Gereja: Tidak ada masyarakat religius mana pun, ujar mereka, yang dapat menjadi suatu kesatuan yang riil jika kesadaran religius dari pada anggotanya tidaklah satu, serta, jika rumusan yang mereka anut tidaklah satu. Tetapi, kesatuan berganda ini memerlukan sejenis pemikiran umum, yang tugasnya adalah untuk menemukan dan menetapkan rumusan yang paling bersesuaian dengan kesadaran umum, serta yang harus memiliki suatu otoritas yang cukup untuk memperbolehkannya untuk mewajibkan rumusan yang telah diputuskan kepada komunitas. Dari perpaduan tersebut, dan layaknya, peleburan kedua elemen dari pemikiran umum itu yang lalu yang membentuk rumusan serta otoritas yang mewajibkan rumusan tersebut, muncullah, menurut para modernis, gagasan tentang magisterium gerejawi. Dan karena magisterium ini berasal dari kesadaran individual, dan karena magisterium ini melaksanakan suatu pelayanan publik untuk memenuhi kegunaannya yang terbesar, sangatlah jelas bahwa magisterium ini harus tunduk kepada kesadaran individual, dan harus memiliki bentuk yang demokratis. Untuk mencegah kesadaran individual untuk mengungkapkan secara bebas dan terbuka gairah-gairah yang dirasakannya, untuk mencegah kritik mendorong dogma kepada evolusinya yang diperlukan – hal ini bukanlah penggunaan magisterium yang legitim, melainkan penyalahgunaan kekuasaan yang diberikan untuk kegunaan publik. Maka, begitu pula, suatu metode dan upaya yang tepat harus ditaati dalam pelaksanaan otoritasnya. Untuk mengutuk dan melarang suatu karya tanpa sepengetahuan sang penulisnya, tanpa mendengarkan penjelasan-penjelasannya, tanpa diskusi, tentunya adalah tanda-tanda tirani. Maka di sini, kembali, suatu jalan harus ditemukan untuk menjaga kepenuhan hak otoritas di satu sisi, dan kebebasan di sisi lain. Sementara itu, jalan yang pantas bagi seorang Katolik adalah untuk menyatakan secara publik rasa hormatnya yang mendalam untuk otoritas – tetapi, tanpa menanggalkan karakter dan gagasan-gagasannya. Pengarahan mereka kepada Gereja umumnya adalah demikian: karena tujuan dari Gereja sepenuhnya spiritual, otoritas religius harus menanggalkan segala kemegahan lahiriah yang menghiasinya di mata publik. Dan di sini mereka melupakan bahwa walaupun agama pada dasarnya diperuntukkan bagi jiwa, agama bukanlah secara eksklusif diperuntukkan bagi jiwa, dan bahwa rasa hormat yang diberikan kepada otoritas berasal dari Yesus Kristus, yang mendirikannya.
EVOLUSI DOKTRIN
Untuk menuntaskan segala perkara tentang iman dan tunas-tunasnya, kita masih harus melihat bagaimana kaum Modernis memaksudkan perkembangannya. Mereka pertama-tama menetapkan suatu prinsip umum, bahwa dalam agama yang hidup, tiada sesuatu pun yang tidak berubah, segala sesuatu harus mengalami perubahan. Atas dasar prinsip itulah kita dapat memandang evolusi sebagai pangkal utama dari sistem kepercayaan mereka. Dogma, Gereja, ibadat, kitab-kitab suci, dan bahkan iman pun, semuanya itu menghamba kepada asas-asas evolusi, di bawah ancaman hukuman mati. Hendaknya setiap ajaran kaum Modernis tentang hal-hal itu secara khusus kembali kita amati dengan saksama, supaya prinsip mereka itu tidak akan menjadi mengejutkan. Adapun penerapannya, adapun pemberlakukan asas-asas evolusi, berikut doktrin mereka, pertama-tama tentang iman.
Mereka berkata bahwa iman memiliki suatu bentuk primitif yang sama dan samar-samar bagi seluruh umat manusia: karena iman itu persisnya terlahir dalam kodrat manusia sendiri dan dalam hidup manusia. Lalu, iman pun berkembang, dan perkembangan itu terjadi melalui evolusi vital, yakni, bukan melalui penambahan rupa-rupa baru yang datang dari luar dan yang murni menyebar secara spontan, namun dengan semakin mendalami sentimen agamawi yang ada dalam hati nurani. Dan perkembangan itu terjadi dalam dua jenis: negatif, melalui eliminasi segala unsur yang asing, seperti sentimen kekeluargaan atau nasional; positif, dengan solidaritas dengan penyempurnaan akal dan moral manusia. Hasil penyempurnaan ini adalah semakin diperbesar dan dicerahkannya gagasan tentang Yang Ilahi, dan pada saat itu juga terangkat dan terasahnya sentimen religius.
Untuk menjelaskan perkembangan iman ini, tidak perlu mencari sebab-sebab terjadinya perkembangan itu, yang lain daripada sebab-sebab yang menjadi asal-muasalnya. Hanya saja, harus ditambahkan pula kepadanya perbuatan beberapa orang tertentu yang luar biasa, mereka yang kita sebut sebagai para nabi; yang teragung dari antara mereka adalah Yesus Kristus. Mereka berkontribusi kepada perkembangan iman, baik karena dalam kehidupan dan ujaran-ujaran mereka, mereka menawarkan suatu hal yang misterius, yang oleh iman dijangkau dan dianggap berasal dari Allah; maupun karena mereka diuntungkan oleh pengalaman-pengalaman awal mereka, yang selaras dengan kebutuhan-kebutuhan zaman di mana mereka hidup.
Perkembangan dogma terjadi terutama akibat hambatan-hambatan yang harus diatasi oleh iman, akibat para musuh yang harus dikalahkan oleh iman, akibat kontradiksi-kontradiksi yang harus dienyahkan oleh iman. Tambahkan pula kepada sebab-sebab itu, upaya yang terus-menerus untuk senantiasa menyelami misteri-misterinya sendiri secara lebih mendalam. Dengan cara itulah, sebagai salah satu contohnya, iman mengenali ada sesuatu yang bersifat Ilahi dalam diri Yesus Kristus, yang diangkat dan diperbesarnya sedikit demi sedikit dan secara bertahap, sehingga diri Yesus Kristus itu lalu oleh iman dijadikan sesosok Allah. Faktor utama evolusi ibadat adalah perlunya penyesuaian dengan adat dan tradisi-tradisi rakyat, dan juga perlunya memanfaatkan nilai tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan karena kebiasaan. Pada akhirnya, evolusi Gereja terjadi akibat perlunya menyelaraskan diri dengan situasi-situasi historis, dan menyesuaikan diri dengan rupa-rupa masyarakat sipil yang ada. Demikianlah evolusi secara rinci. Itulah yang hendak Kami dedahkan secara amat khusus, yaitu teori keperluan atau kebutuhan: teori ini juga telah menjadi dasar dari segalanya ini; dan teori itulah yang mendasari metode terkenal yang mereka sebut metode historis.
Kita belum selesai membahas evolusi. Tidak diragukan bahwa evolusi diakibatkan oleh dorongan-dorongan ini: yakni kebutuhan-kebutuhan; namun kalau kebutuhan-kebutuhan itu dibiarkan bertindak sesuka hatinya, evolusi akan terseret keluar dari jalur tradisional, terpisah dari benih asalinya, dan dengan demikian mengakibatkan kehancuran, bukan perkembangan. Maka marilah berkata demi mengungkapkan secara lebih lengkap pemikiran kaum Modernis, bahwa evolusi diakibatkan oleh konflik antara dua daya, yang satu mendorong kepada perkembangan (progresif), sedangkan yang lain menjaga pelestarian (konservatif). Daya konservatif dalam Gereja adalah tradisi, dan tradisi yang ada di sana dilambangkan oleh otoritas agamawi. Otoritas agamawi ini ada secara hukum dan secara fakta: secara hukum, karena membela tradisi bagaikan suatu naluri bagi otoritas; secara fakta, karena otoritas melampaui ketidakpastian-ketidakpastian hidup, dan karena itu tidak merasakan, atau hanya merasakan sedikit saja dorongan untuk perkembangan. Sebaliknya, daya progresif adalah daya yang menanggapi kebutuhan-kebutuhan, yang dierami dan dikhamiri dalam hati nurani perorangan, terutama hati nurani yang paling berhubungan mesra dengan kehidupan. Anda mulai melihat di sini, Saudara-Saudara yang Terhormat, doktrin berbahaya yang ingin menjadikan para umat awam dalam Gereja sebagai faktor perkembangan? Namun atas dasar semacam kompromi dan pertukaran antara daya konservatif dan daya progresif itulah terwujud perubahan-perubahan serta perkembangan-perkembangan. Hati nurani perorangan, setidaknya beberapa antara mereka, bertindak menanggapi kesadaran kolektif: kesadaran kolektif lalu mendesak para penjaga otoritas, sampai pada akhirnya mereka membuat suatu persetujuan; usai dibuatnya persetujuan itu, otoritas lalu melaksanakan penjagaannya. – Orang sekarang dapat memahami keterkejutan kaum Modernis ketika mereka ditegur dan dihukum. Apa yang membuat mereka ditegur sebagai kesalahan, sebaliknya mereka anggap sebagai tanggung jawab sakral. Karena merekalah yang berhubungan lebih mesra dengan hati nurani daripada orang lain, tentunya lebih mesra daripada otoritas gerejawi, mereka mengenali kebutuhan-kebutuhan hati nurani: diri mereka sendiri istilahnya merupakan penjelmaan kebutuhan-kebutuhan itu. Karena itulah, mereka wajib menggunakan perkataan dan pena secara publik. Biarlah otoritas menegur mereka sesuka hati: mereka punya dalam diri mereka hati nurani dan pengalaman mesra yang berkata kepada diri mereka secara pasti bahwa orang berutang puji-pujian kepada diri mereka, dan bukan teguran. Lalu mereka merenungkan bahwa pada dasarnya, perkembangan tidak akan datang tanpa adanya krisis, tidak pun krisis terjadi tanpa korban. Korban, jadilah mereka korban, seperti yang dahulu terjadi kepada para nabi dan Yesus Kristus. Terhadap otoritas yang menzalimi mereka, mereka tak menyimpan dendam: sebab pada dasarnya, otoritas itu sedang melakukan tanggung jawabnya sebagai otoritas. Namun mereka hanya meratap karena otoritas tetap tuli terhadap desakan-desakan mereka, sebab sementara itu, hambatan-hambatan menjadi berlipat di hadapan jiwa-jiwa yang sedang berjalan menuju keidealan. Namun akan tiba saatnya, saat otoritas pastinya akan datang, datang ke tempat di mana mereka tak perlu lagi sembunyi-sembunyi karena ada orang yang ingin menentang evolusi, tanpa perlu paksaan. Dan mereka pun mengambil jalur mereka; meskipun ditegur dan dihukum, mereka selalu datang dengan dalih ketundukkan yang mengecoh, yang menyembunyikan kelancangan tanpa batas. Dengan munafik mereka menundukkan kepala, walaupun dengan segenap pikiran dan tenaga mereka, mereka dengan menempuh rencana yang telah mereka rancang dengan kelancangan yang luar biasa. Ini bagi mereka adalah suatu keinginan dan siasat: baik karena mereka percaya bahwa mereka harus mendorong otoritas, dan bukan menghancurkannya; maupun karena penting bagi mereka untuk tetap berada di pangkuan Gereja supaya di sana, mereka bisa berkarya serta mengubah kesadaran bersama sedikit demi sedikit: dengan demikian, mereka mengakui tanpa sadar bahwa kesadaran umum tidak berpihak kepada mereka, dan bahwa mereka sama sekali tidak berhak mengaku diri sebagai penafsir kesadaran umum.
Maka, Saudara-Saudara yang Terhormat, doktrin kaum Modernis dan juga tujuan upaya-upaya mereka, adalah tiada sesuatu pun yang stabil, tiada sesuatu pun yang tak berubah dalam Gereja. Pendahulu Kami, Pius IX, menulis tentang para pendahulu mereka: “Dengan kedurhakaan yang sama, Saudara-Saudara yang Terhormat, para musuh wahyu ilahi ini mengagung-agungkan perkembangan umat manusia dan berniat, dengan kelancangan dan ketakaburan yang sungguh nista, memperkenalkan perkembangan itu ke dalam agama Katolik, seolah-olah agama itu bukanlah karya Allah, melainkan karya manusia, semacam rekaan filsafat, yang dapat disempurnakan oleh manusia.”[14] – Tentang wahyu dan dogma, terutama, doktrin kaum Modernis sama sekali tidak mengajukan sesuatu yang baru: kita mendapati doktrin mereka itu dikutuk dalam Silabus Pius IX, di mana doktrin itu dituangkan dalam perkataan ini: “Wahyu ilahi tidaklah sempurna, dan oleh karena itu dapat mengalami perkembangan yang berkelanjutan dan tidak terbatas, terkait perkembangan akal manusia.”[15] Dan doktrin mereka pun telah dikutuk secara lebih khidmat dalam Konsili Vatikan: “Sebab, doktrin iman yang telah diwahyukan oleh Allah tidaklah diajukan sebagai suatu rekaan filsafat agar disempurnakan oleh bakat manusia, melainkan sebagai suatu khazanah ilahi yang diwariskan kepada Mempelai Kristus, agar dijaganya dengan setia dan dideklarasikannya secara infalibel. Itulah pula mengapa dogma-dogma suci harus senantiasa dipertahankan dengan makna yang telah sekalinya dinyatakan oleh Bunda Gereja yang kudus; dan tidak pernah boleh ada pergeseran dari makna tersebut di balik dalih dan atas nama suatu pemahaman yang lebih mendalam.”[16] Dengan pernyataan itu, dan bahkan dalam perkara iman, perkembangan pengetahuan kita sama sekali tidak dihambat, namun justru didukung dan dimajukan. Itulah sebabnya Konsili Vatikan melanjutkan: “Maka hendaknya kecerdasan, ilmu pengetahuan, dan hikmat bertumbuh dengan subur dan penuh daya, baik bagi perorangan maupun bagi semua orang, baik bagi satu orang saja maupun bagi segenap Gereja, sepanjang segala abad; tetapi hendaknya hanya dalam ranahnya sendiri, yaitu, dalam dogma yang sama, dalam makna yang sama, dan dalam cara pandang yang sama.”[17]
SANG MODERNIS SEBAGAI SEJARAHWAN DAN KRITIKUS
Setelah kita telah mempelajari sang modernis sebagai filsuf, umat beriman, dan teolog, kita masih harus mempertimbangkan dirinya sebagai sejarahwan, kritikus, apologis, dan pembaru.
Beberapa modernis, yang menggeluti bidang sejarah, tampaknya amat takut bahwa mereka dianggap sebagai filsuf. Tentang filsafat, mereka berkata kepada anda, bahwa mereka tidak tahu apa-apa – dan dalam hal ini, mereka memampangkan kecerdikan yang luar biasa, karena mereka amat berhati-hati agar mereka tidak dicurigai mendukung teori-teori filosofis, yang akan membuat mereka rentan terhadap tuduhan bahwa mereka tidak objektif, seperti perkataan orang pada masa kini. Tetapi kenyataannya adalah bahwa sejarah mereka dan kritik mereka sarat akan filsafat mereka, dan kesimpulan historis-kritis mereka adalah buah alami dari prinsip-prinsip filsafat mereka. Hal ini akan menjadi jelas bagi siapa pun yang merenungkannya. Ketiga hukum pertama mereka terkandung di dalam ketiga prinsip filsafat mereka yang telah dibahas: prinsip agnostisisme, prinsip transfigurasi hal-hal oleh iman, dan prinsip yang Kami telah namakan disfigurasi. Marilah melihat hasil-hasil yang mengalir dari setiap prinsip tersebut. Agnostisisme berkata bahwa sejarah, seperti ilmu pengetahuan yang lain, hanya sepenuhnya membahas fenomena, alhasil, Allah, dan segala campur tangan Allah dalam urusan manusia, harus dipisahkan ke dalam dunia yang hanya dimiliki oleh iman satu-satunya. Dalam hal di mana terdapat dua elemen yang terpaut, ilahi dan manusiawi – dalam Kristus, misalnya, atau Gereja, atau sakramen-sakramen, atau berbagai objek yang sejenis, suatu pemisahan harus dilakukan dan elemen manusiawinya diberikan kepada sejarah, sedangkan elemen ilahinya dimiliki oleh iman. Maka, kita memiliki perbedaan tersebut, yang begitu sering dijumpai di kalangan modernis, antara Kristus dari sejarah dan Kristus dari iman, antara Gereja dari sejarah dan Gereja dari iman, antara sakramen-sakramen dari sejarah dan sakramen-sakramen dari iman, dan seterusnya. Lalu kita melihat bahwa elemen manusiawi tersebut, yang dimiliki oleh sang sejarahwan sebagaimana yang telah tampak di dalam dokumen-dokumen, telah ditransfigurasikan oleh iman; yakni, diangkat di atas kondisi-kondisi historisnya. Maka, adalah suatu hal yang menjadi perlu, untuk menghilangkan penambahan-penambahan yang telah dikemukakan oleh iman, dan untuk menempatkan penambahan-penambahan tersebut kepada iman saja dan kepada sejarah iman. Oleh karena itu, sewaktu membahas Kristus, sang sejarahwan harus menyingkirkan segala hal yang melampaui manusia dalam kondisi alaminya, baik menurut pemikiran psikologis tentang Kristus maupun menurut tempat dan masa di mana Ia berada. Pada akhirnya, atas dasar prinsip ketiga, mereka harus menyaring bahkan hal-hal yang tidak berada di luar dunia sejarah, dengan mengecualikan dari sejarah dan menyingkirkan kepada iman segala hal yang, dalam penilaian mereka, tidak selaras dengan apa yang mereka sebut sebagai logika fakta dan yang tidak sesuai dengan karakter dari orang-orang yang mereka perkirakan. Maka, mereka tidak akan pernah mengizinkan Kristus untuk mengatakan hal-hal yang tampaknya tidak mampu dimengerti oleh orang-orang yang mendengarkan-Nya. Maka, mereka menghapuskan dari sejarah diri-Nya yang sejati, dan memindahkan kepada iman segala alegori-alegori yang ditemukan di dalam percakapan-percakapan-Nya. Apakah anda bertanya tentang kriteria yang mereka gunakan untuk dapat membuat pemisahan-pemisahan tersebut? Jawabannya adalah bahwa mereka berargumentasi dari karakter sang pria, dari kondisi kehidupannya, dari pendidikannya, dari keadaan-keadaan di mana fakta-fakta itu bertempat – kenyataannya, dari kriteria yang, sewaktu dipertimbangkan seseorang, sepenuhnya subjektif. Metode mereka adalah untuk menempatkan diri mereka sendiri di dalam posisi dan pribadi Kristus, dan lalu mengatribusikan kepada diri-Nya apa yang mereka akan lakukan dalam keadaan-keadaan yang serupa. Dengan demikian, dengan kemutlakan yang apriori, dan atas nama prinsip-prinsip filsafat tertentu, yang mereka akui mereka percayai, tetapi yang mereka pura-pura abaikan, mereka menyatakan bahwa Kristus, menurut apa yang mereka namakan sejarah riil-Nya, bukanlah Allah dan tidak pernah melakukan suatu hal yang ilahi, dan bahwa sebagai manusia, Ia hanya melakukan dan mengatakan apa yang mereka akui dikatakan atau dilakukan-Nya, berdasarkan penilaian mereka terhadap waktu di mana Ia hidup.
KRITIK DAN PRINSIP-PRINSIPNYA
Dan sewaktu sejarah menerima kesimpulan-kesimpulan yang pasti dari filsafat, bagitu pula kritik memperoleh kesimpulan-kesimpulannya dari sejarah. Sang kritikus, saat menerima data yang disediakan oleh sang sejarahwan, membuat dua bagian dalam dokumen-dokumen tersebut. Hal-hal yang tersisa setelah eliminasi tiga kali yang telah dideskripsikan di atas membentuk sejarah yang riil; sisanya diatribusikan kepada sejarah iman, atau, istilahnya, sejarah internal. Sebab para modernis membedakan dengan amat berhati-hati antara kedua jenis sejarah ini, dan harus dicatat bahwa mereka menyejajarkan sejarah iman dengan sejarah riil, persisnya sebagai sejarah yang persisnya riil. Maka, kita mendapatkan dua Kristus: seorang Kristus yang riil dan seorang Kristus, yang dimiliki oleh iman, yang tidak pernah berada; seorang Kristus yang telah hidup pada suatu waktu dan pada suatu tempat dan seorang Kristus yang tidak pernah hidup di luar meditasi yang saleh dari sang umat beriman – sang Kristus, contohnya, yang kita temukan di dalam Injil St. Yohanes, Injil yang hanyalah suatu renungan dari awal sampai akhir.
Tetapi, kuasa filsafat atas sejarah tidak berakhir di sini. Oleh karena pemisahan yang telah Kami sebutkan, dari dokumen-dokumen tersebut menjadi dua bagian, sang filsuf kembali campur tangan dengan prinsip imanensi vitalnya, dan menunjukkan bagaimana segala hal di dalam sejarah Gereja harus dijelaskan oleh emanasi vital. Dan karena sebab atau kondisi dari segala jenis emanasi vital haruslah berasal dari suatu kebutuhan, alhasil, tidak suatu fakta pun dapat terjadi sebelum kebutuhan yang menghasilkan fakta tersebut – secara historis, fakta tersebut harus terjadi setelah kebutuhan itu. Marilah melihat bagaimana sang sejarahwan bekerja berdasarkan prinsip ini. Ia lalu kembali menelaah dokumen-dokumennya, yang ditemukan baik di dalam buku-buku suci atau di tempat lain, dan membuat suatu daftar kebutuhan-kebutuhan yang berurutan dari Gereja, baik yang berkaitan dengan dogma atau liturgi maupun tentang hal-hal lain, dan lalu ia memberikan daftar ini kepada sang kritikus. Sang kritikus mendapatkan dokumen-dokumen tersebut yang membahas sejarah tentang iman dan mendistribusikannya, periode demi periode, sehingga dokumen-dokumen itu bersesuaian dengan daftar kebutuhan, di bawah prinsip bahwa narasi harus mengikuti fakta, dan fakta mengikuti kebutuhan. Terkadang, mungkin terjadi bahwa beberapa bagian dari Kitab Suci, seperti Surat-Surat sendiri merupakan fakta yang tercipta oleh kebutuhan. Bagaimanapun, aturannya adalah bahwa usia dari dokumen mana pun hanya dapat ditentukan oleh usia di mana setiap kebutuhan telah terwujud di dalam Gereja. Terlebih lagi, suatu perbedaan harus dibuat antara permulaan suatu fakta dan pekembangannya, sebab apa yang terlahir pada suatu hari memerlukan waktu untuk bertumbuh. Maka, sang kritikus harus sekali lagi menelaah dokumen-dokumennya, mengaturnya menurut usianya dan membagi dokumen-dokumen tersebut kembali ke dalam dua bagian, dan membaginya ke dalam dua tumpukan, memisahkan dokumen yang berkenaan dengan fase pertama dari fakta-fakta dari dokumen yang berkenaan dengan perkembangan fakta-fakta, dan ia harus kembali mengaturnya sesuai periode dokumen-dokumen tersebut.
Lalu, sang filsuf harus kembali datang untuk mewajibkan sang sejarahwan dalam semua kajiannya untuk mengikuti asas-asas serta hukum-hukum evolusi. Selanjutnya, sang sejarahwan harus meneliti dokumen-dokumennya serta kondisi-kondisi yang memengaruhi Gereja pada berbagai masa, kekuatan konservasi Gereja, kebutuhan-kebutuhan, baik batiniah maupun lahiriah, yang telah mendorong Gereja untuk berkembang, halangan-halangan yang harus dihadapi oleh Gereja ; pendek kata, segala hal yang membantu untuk menentukan jalan di mana hukum-hukum evolusi telah dipenuhi di dalam Gereja. Setelah hal ini dilakukan, sang sejarahwan menuntaskan karyanya dengan menggambarkan dalam garis besar suatu sejarah perkembangan fakta-fakta. Sang kritikus lalu mengikutinya dan mengatur dokumen-dokumennya di dalam sketsa ini ; ia mengambil penanya dan segera, sejarah itu pun menjadi lengkap. Kami bertanya: siapakah penulis dari sejarah ini? Sang sejarahwan? Sang kritikus? Pastinya, bukan satu pun dari keduanya, melainkan sang filsuf. Dari awal sampai akhir, semuanya itu “apriori”, dan “apriori” dalam suatu cara yang berbau bidah. Orang-orang ini patut dikasihani, dan tentang mereka, sang rasul pantas berkata: “Mereka menjadi angkuh di dalam pikiran mereka… mereka berbuat seolah-olah penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh”.[18] Tetapi mereka membangkitkan murka yang adil sewaktu mereka menuduh Gereja menyiksa teks-teksnya, mengatur dan mencampuradukkannya sekehendak Gereja, dan untuk kebutuhan dari perkaranya sendiri. Dalam hal ini, mereka menuduh Gereja melakukan sesuatu yang ditegurkan kepada mereka secara jelas oleh kesadaran mereka.
BAGAIMANA MEREKA MEMPERLAKUKAN KITAB SUCI
Hasil dari pemenggalan buku-buku suci dan pembagian buku-buku tersebut di sepanjang abad tentunya adalah bahwa Kitab Suci tidak lagi tidak dapat diatribusikan kepada para penulis yang namanya mereka miliki. Para modernis tidak ragu-ragu sama sekali untuk menegaskan dengan sering bahwa buku-buku ini, terutama Pentateukh dan ketiga Injil pertama, telah dibentuk perlahan-lahan lewat penambahan terhadap suatu narasi primitif yang singkat – dengan penyisipan-penyisipan dari penafsiran atau alegori teologis, dengan transisi, dengan menyatukan berbagai teks yang berbeda. Pendek kata, hal ini berarti bahwa di dalam buku-buku suci, kita harus mengakui terdapatnya suatu evolusi vital, yang berasal dari dan bersesuaian dengan evolusi iman. Jejak dari evolusi ini, ujar mereka, amat terlihat di dalam buku-buku tersebut sehingga seseorang hampir mungkin menuliskan suatu sejarah tentang buku-buku tersebut. Memang, sejarah ini mereka tuliskan, dan dengan sebegitu mudahnya sehingga seseorang mungkin percaya bahwa mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri para penulis di sepanjang masa memperbesar buku-buku suci itu. Untuk membantu mereka melakukan hal ini, mereka meminta bantuan dari cabang kritik yang mereka sebut tekstual, dan berupaya untuk menunjukkan bahwa fakta tertentu atau kata-kata tertentu tidak ditempatkan dengan benar, dan menambahkan argumen-argumen lain yang sejenis. Kenyataannya, mereka tampak telah membangun untuk diri mereka sendiri sejenis narasi dan tulisan yang mendasari keputusan mereka, tentang bilamana suatu hal itu tepat atau tidak. Anda dapat menilai bagaimana para pria dengan sistem semacam itu pantas untuk melakukan kritik semacam ini. Untuk mendengarkan mereka berbicara tentang karya mereka tentang buku-buku suci, di mana mereka telah dapat menemukan begitu banyak hal yang cacat, seseorang dapat membayangkan bahwa sebelum mereka ada, tidak seorang pun bahkan pernah membaca halaman-halaman Kitab Suci, sedangkan kenyataannya adalah bahwa sejumlah Doktor, yang amat sangat mengungguli mereka dalam hal kegeniusan, pendidikan, kesucian, telah menampi buku-buku suci di dalam segala cara, dan jauh dari menemukan ketidaksempurnaan di dalam buku-buku tersebut, para Doktor itu telah bersyukur kepada Allah semakin mereka mendalami buku-buku itu atas keberlimpahan ilahi-Nya yang telah sudi berbicara demikian kepada manusia. Sayangnya, para Doktor agung ini tidak menikmati alat bantu pembelajaran yang dimiliki oleh para modernis sebagai pemandu dan aturan mereka – suatu filsafat yang berasal dari agnostisisme dan suatu kriteria – yaitu diri mereka sendiri.
Maka, Kami percaya bahwa Kami telah membahas dengan cukup jelas metode historis para modernis. Sang filsafat menuntun jalan, sang sejarahwan mengikuti, dan lalu di dalam aturan yang pantas, datanglah kritik internal dan tekstual. Dan karena ciri dari sebab pertama adalah untuk menyampaikan kebajikannya kepada sebab-sebab kedua, sangatlah jelas bahwa kritik yang kita hadapi ini bersifat agnostik, imanentis, dan evolusionis. Maka siapa pun yang memeluknya dan menggunakannya oleh karena itu mengakui kesalahan-kesalahan yang terkandung di dalamnya dan menempatkan dirinya sendiri di dalam kubu yang menentang iman Katolik. Walaupun demikian, seseorang mungkin amat terkejut akan nilai yang diberikan kepada kritik tersebut oleh beberapa orang Katolik. Terdapat dua sebab yang mungkin dapat dinyatakan untuk hal ini: pertama, persekutuan yang erat, terlepas segala perbedaan kebangsaan dan agama, yang telah dibentuk oleh para sejarahwan dan kritikus ini di antara diri mereka sendiri; kedua, kekurangajaran yang tidak terbatas dari para pria ini. Sewaktu salah seorang dari mereka membuka mulutnya, yang lain memberikan pujian secara serempak, dan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan telah membuat suatu kemajuan. Jika orang luar mengungkapkan keinginannya untuk meneliti penemuan baru para modernis dengan mata kepalanya sendiri, mereka langsung mengepungnya dalam sebuah kelompok. Jika anda menyangkal penemuan itu, anda dianggap orang bodoh; jika anda memeluknya dan membelanya, mereka akan memberikan kepada anda puji-pujian yang amat hangat. Dengan demikian, mereka memenangkan banyak orang yang, jika orang-orang itu sadar apa yang mereka lakukan, akan mundur ketakutan. Kelancangan dan kekuatan beberapa dari mereka, dan ketidakpedulian serta kelalaian yang lain menjadi terpadu untuk menghasilkan suatu wabah di udara yang memasuki segala hal dan menyebarkan penyakit tersebut. Tetapi marilah kita berpindah kepada sang apologis.
SANG MODERNIS SEBAGAI APOLOGIS
Sang apologis modernis bergantung dalam dua cara kepada sang filsafat. Pertama, secara tidak langsung, sejauh mana temanya adalah sejarah – sejarah didiktekan, seperti yang telah kita lihat, oleh sang filsuf ; dan, kedua, secara langsung, sejauh mana ia telah mengambil baik hukum-hukumnya maupun prinsip-prinsipnya dari sang filsuf. Maka, asas yang umum dari pemikiran modernis adalah apologetika baru harus diambil dari sumber-sumber psikologis dan historis. Maka, para apologis modernis memasuki gelanggang dengan menyatakan kepada para rasionalis bahwa walaupun mereka membela agama, mereka tidak memiliki niat untuk menggunakan data dari buku-buku suci ataupun dari sejarah dalam penggunaannya pada masa kini di dalam Gereja, dan yang disusun sesuai dengan metode lama, melainkan sejarah yang riil, yang ditulis berdasarkan pinsip-prinsip modern dan sesuai dengan metode-metode, yang secara ketat, modern. Di dalam semua hal ini, mereka tidak menggunakan “argumentum ad hominem”, tetapi mereka menyatakan fakta yang sederhana bahwa mereka percaya kebenaran hanya dapat ditemukan di dalam sejarah semacam ini. Begitu tenangnya mereka itu, karena mereka sudah dikenal dan dipuji oleh para rasionalis, oleh karena mereka bertempur di bawah bendera yang sama, dan mereka bukan hanya menuliskan puji-pujian itu sendiri, yang bagaikan suatu upah bagi mereka, tetapi akan menyebabkan seorang Katolik sejati merasa mual, tetapi mereka juga menggunakannya untuk mengimbangi teguran-teguran yang mereka terima dari Gereja.
Tetapi, marilah melihat bagaimana sang modernis melakukan apologetikanya. Sasaran yang ditetapkannya bagi dirinya sendiri adalah untuk membuat orang-orang yang yang tidak beriman mencapai pengalaman agama Katolik yang, menurut sistemnya, merupakan dasar dari iman. Terdapat dua jalan yang terbuka kepadanya, jalan objektif dan jalan subjektif. Jalan yang pertama berasal dari agnostisisme, dan cenderung menunjukkan bahwa agama, dan terutama agama Katolik, mengandung daya hidup yang sedemikian rupanya sehingga mendorong setiap psikolog dan sejarahwan yang beritikad baik untuk mengakui bahwa sejarah agama Katolik itu menyembunyikan suatu elemen yang tidak dikenal. Untuk mencapat sasaran ini, mereka perlu membuktikan bahwa agama ini, sebagaimana keadaannya pada masa kini, adalah agama yang didirikan oleh Yesus Kristus ; yakni, bahwa agama Katolik adalah hasil dari perkembangan yang bertahap dari benih yang dibawakan-Nya ke dalam dunia. Maka, pertama-tama, adalah suatu hal yang wajib dilakukan untuk menentukan apa itu benih ini, dan sang modernis mengklaim bahwa ia dapat melakukannya dengan rumusan berikut: Kristus mewartakan datangnya kerajaan Allah, yang harus digenapkan dalam jangka waktu yang singkat, dan yang di dalamnya Ia akan menjadi sang Mesias, serta perantara, dan penahbis ilahi. Maka haruslah ditunjukkan bagaimana benih ini yang selalu bersifat imanen dan permanen di pangkuan Gereja, menyesuaikan dirinya sendiri secara bertahap kepada berbagai sarana-sarana yang dilaluinya, dan memperoleh dari berbagai sarana tersebut lewat asimilasi vital bentuk-bentuk dogmatis, ibadat, dan gerejawi yang membantu mencapai tujuannya ; sedangkan di sisi lain, benih tersebut mengatasi segala rintangan, mengalahkan segala musuh, dan bertahan hidup terhadap segala serangan dan pertarungan. Siapa pun yang secara pantas mempertimbangkan banyaknya rintangan, musuh, serangan, pertarungan, dan daya hidup serta kesuburan yang telah Gereja tunjukkan dalam menghadapi segala masalah tersebut harus mengakui bahwa jika hukum-hukum evolusi dapat dilihat di dalam kehidupan Gereja, mereka gagal untuk menjelaskan keseluruhan sejarah Gereja – hal yang tidak dikenal muncul darinya dan menampakkan dirinya di hadapan kita. Maka, mereka berargumentasi, tanpa pernah mencurigai bahwa kepastian mereka tentang benih primitif ini adalah suatu “apriori” dari suatu filsafat agnostik dan evolusionis, dan bahwa rumusannya telah, tanpa beralasan, ditemukan demi memperkuat posisi mereka.
Tetapi, walaupun mereka berjuang lewat alasan ini untuk menghantar jiwa-jiwa kepada agama Katolik, para apologis yang baru ini sungguh siap untuk mengakui bahwa terdapat banyak hal yang tidak enak di dalam agama tersebut. Memang, mereka mengakuinya secara terbuka dan dengan kepuasan yang tidak mereka sembunyikan, bahwa mereka bahkan menemukan kesalahan dan kontradiksi di dalam dogma-dogma agama Katolik. Mereka juga menambahkan bahwa hal ini bukan hanya beralasan, tetapi, anehnya, benar dan layak. Di dalam buku-buku suci, terdapat banyak teks yang merujuk kepada ilmu pengetahuan dan sejarah di mana dapat ditemukan kesalahan yang terang-terangan. Tetapi, subjek dari buku-buku ini bukanlah ilmu pengetahuan ataupun sejarah, melainkan agama dan moral. Di dalam buku-buku tersebut, sejarah dan ilmu pengetahuan hanya berguna sebagai suatu jenis kelambu yang menutupi dan membungkus pengalaman religius dan moral, agar dengan lebih mudah dicerna oleh orang banyak. Orang banyak mengerti ilmu pengetahuan dan sejarah sebagaimana yang diungkapkan di dalam buku-buku ini, dan jelas bahwa jika ilmu pengetahuan dan sejarah telah diungkapkan di dalam suatu bentuk yang lebih sempurna, ilmu pengetahuan dan sejarah pun akan menjadi halangan, dan bukan sarana. Maka, kembali lagi, karena buku-buku ini pada dasarnya bersifat religius, maka buku-buku tersebut pastinya hidup. Kehidupan memiliki kebenarannya serta logikanya sendiri – yang sangat berbeda dari kebenaran rasional dan logika rasional, yang termasuk bagian dari aturan yang berbeda, yakni, kebenaran dari adaptasi dan proporsi baik yang bersama lingkungan di mana kehidupan berlangsung, maupun tujuan yang hendak dicapainya. Pada akhirnya, para modernis kehilangan segala kendali, sehingga mereka sampai menyatakan sebagai sesuatu yang benar dan legitim segala sesuatu yang dijelaskan oleh kehidupan.
Saudara-saudara yang terhormat, bagi Kami yang percaya bahwa hanya terdapat satu kebenaran saja, dan bahwa buku-buku suci, yang ditulis di bawah ilham Roh Kudus, Allahlah penulisnya,[19] Kami menyatakan bahwa hal itu setara dengan mengatribusikan kepada Allah sendiri kebohongan kegunaan atau kebohongan jahat [officious lie], dan Kami berkata bersama St. Agustinus: “Di dalam suatu otoritas yang begitu tinggi, akui satu saja kebohongan jahat, dan tidak akan tersisa satu teks pun yang tampaknya sulit untuk dipraktikkan atau untuk dipercayai, yang atas dasar aturan yang amat berbahaya itu tidak dapat dijelaskan sebagai suatu kebohongan yang diujarkan oleh sang penulis secara sengaja dan untuk mencapai suatu tujuan”.[20] Dan oleh karena itu, sang Doktor suci itu pun melanjutkan, bahwa setiap orang akan percaya dan menolak untuk percaya apa yang ia sukai atau yang tidak ia sukai. Tetapi, para modernis melangkah maju dengan amat gembira. Mereka mengakui pula bahwa beberapa argumen yang dikemukakan di dalam buku-buku suci, contohnya, yang berdasarkan nubuat-nubuat, tidak memiliki landasan rasional. Tetapi, mereka akan membela hal-hal semacam itu sebagai siasat untuk berkhotbah, suatu hal yang dibenarkan oleh kehidupan. Apakah mereka berhenti di situ? Tentunya tidak; sebab mereka siap untuk mengakui, bahkan, untuk menyatakan bahwa Kristus sendiri secara terang-terangan melakukan kesalahan sewaktu Ia menentukan waktu di mana kedatangan kerajaan Allah akan terjadi, dan mereka berkata bahwa kita tidak boleh terkejut akan hal ini, sebab bahkan Kristus tunduk kepada hukum-hukum kehidupan! Setelahnya, apakah nasib dari dogma-dogma Gereja? Dogma-dogma dipenuhi kontradiksi-kontradiksi terang-terangan, tetapi hal yang penting adalah bahwa, terlepas fakta bahwa logika vital menerima dogma-dogma tersebut, dogma-dogma itu tidaklah berlawanan dengan kebenaran simbolis. Bukankah ini soal ketidakterbatasan, dan tidakkah ketidakterbatasan memiliki keberagaman aspek yang tidak terbatas? Pendek kata, untuk menjaga dan membela teori-teori ini, mereka tidak ragu-ragu untuk menyatakan bahwa penghargaan termulia yang dapat diberikan kepada ketidakterbatasan adalah untuk menjadikannya objek dari gagasan-gagasan yang bertentangan! Tetapi, sewaktu mereka bahkan membenarkan pertentangan, hal apakah yang akan mereka tolak untuk benarkan?
ARGUMEN-ARGUMEN SUBJEKTIF
Tetapi orang-orang yang tidak beriman mungkin tergerak kepada iman bukan hanya lewat argumen-argumen objektif. Terdapat pula argumen-argumen subjektif yang dimiliki para modernis, dan untuk argumen-argumen semacam itu, mereka kembali kepada doktrin imanensi mereka. Mereka berjuang, kenyataannya, untuk meyakinkan orang yang tidak beriman bahwa di dalam lubuk dari sifat dan kehidupan orang yang tidak beriman itu, terdapat kebutuhan dan keinginan akan agama, dan ini bukanlah agama apa pun, melainkan agama yang khusus yang disebut Katolisisme, yang ujar mereka, secara mutlak didalilkan lewat perkembangan yang sempurna dari kehidupan. Dan di sini Kami hanya dapat mengeluhkannya sekali lagi dengan amat berat, bahwa terdapat orang-orang Katolik yang, walaupun menolak imanensi sebagai suatu doktrin, menggunakannya sebagai metode apologetika, dan yang melakukannya dengan begitu lancang sehingga mereka tampaknya mengakui bahwa terdapat di dalam sifat manusia suatu kebutuhan yang benar dan ketat sehubungan dengan aturan supernatural – dan bukan semata-mata suatu kemampuan dan kepantasan untuk hal-hal supernatural, seperti yang telah ditekankan oleh para apologis Katolik di sepanjang masa. Kenyataannya, hanya para modernis moderatlah yang mengemukakan kewajiban untuk memeluk agama Katolik. Yang lainnya, yang mungkin disebut integralis, mereka akan menunjukkan kepada orang-orang yang tidak beriman bahwa di dalam kedalaman lubuk diri orang itu, terdapat benih yang sama yang dimiliki Kristus sendiri di dalam kesadaran-Nya, dan yang diwariskan-Nya kepada dunia. Demikianlah, saudara-saudara yang terhormat, rangkuman deksripsi dari metode sang apologis modernis, yang secara sempurna selaras, seperti yang dapat anda lihat, dengan doktrin mereka – metode dan doktrin yang dipenuhi dengan kesalahan, yang dibuat bukan untuk membangun, melainkan untuk menghancurkan ; bukan untuk membentuk orang-orang Katolik, melainkan untuk menenggelamkan orang-orang Katolik ke dalam bidah; metode dan doktrin yang akan mematikan bagi agama apa pun.
SANG MODERNIS SEBAGAI PEMBARU
Kami harus mengemukakan beberapa patah kata tentang sang modernis sebagai pembaru. Dari semua hal yang telah dikatakan, beberapa gagasan dapat diperoleh dari kegilaan untuk pembaruan yang merasuki diri mereka: di dalam seluruh Katolisisme, sama sekali tidak ada suatu hal pun yang tidak mereka serang. Pembaruan filsafat, terutama di dalam seminari-seminari: filsafat skolastis harus disingkirkan ke dalam sejarah filsafat dari antara sistem-sistem yang ketinggalan zaman, dan para pria muda harus diajarkan tentang filsafat modern, satu-satunya yang benar dan yang pantas untuk waktu di mana kita hidup. Pembaruan teologi: teologi rasional harus dilandaskan filsafat modern, dan teologi positif harus didasari sejarah dogma. Dan untuk sejarah, sejarah harus dituliskan untuk masa depan dan hanya diajarkan sesuai metode-metode dan prinsip-prinsip modern mereka. Dogma-dogma dan evolusinya harus diselaraskan dengan ilmu pengetahuan dan sejarah. Di dalam katekismus, tiada dogma yang boleh dimasukkan kecuali yang telah secara layak diperbarui dan yang berada dalam jangkauan orang-orang. Mengenai ibadat, jumlah devosi lahiriah harus dikurangi, atau setidaknya langkah-langkah harus diambil untuk mencegah peningkatan devosi lahiriah, walaupun, memang, beberapa dari pengagum simbolisme tergerak untuk memberikan lebih banyak kelonggaran dalam hal ini. Pemerintahan gerejawi wajib diperbarui di dalam segala cabangnya, tetapi terutama di dalam bagian-bagian disiplin dan dogmatisnya. Semangat dan perwujudan lahiriahnya harus diselaraskan dengan kesadaran publik, yang pada saat ini sepenuhnya mendukung demokrasi ; maka, suatu bagian dari pemerintahan gerejawi harus diberikan kepada para imam yang bertingkat lebih rendah, dan bahkan kepada para awam, dan otoritas harus didesentralisasikan. Kongregasi Roma dan terutama Indeks serta Takhta Suci harus diperbarui. Otoritas gerejawi harus mengubah tata cara perilakunya dalam dunia sosial dan politik; dan walaupun tetap berada di luar organisasi politis dan sosial, otoritas gerejawi harus menyesuaikan dirinya sendiri kepada organisasi-organisasi yang ada agar dapat meresapkan semangatnya kepada organisasi-organisasi tersebut. Sehubungan dengan moral, mereka menganut prinsip Amerikanis, yakni, bahwa kebajikan aktif lebih penting daripada kebajikan pasif, baik dalam penilaiannya maupun dalam praktiknya. Para imam diminta untuk kembali kepada kerendahan hati mereka dan kemiskinan mereka di zaman dahulu, dan dalam gagasan serta tindakan mereka, mereka harus dibimbing oleh prinsip-prinsip modernisme; dan terdapat beberapa orang yang, sambil menggemakan ajaran dari para penguasa Protestan mereka, ingin menghapuskan keselibatan gerejawi. Apakah yang tersisa di dalam Gereja yang tidak akan diperbarui menurut prinsip-prinsip mereka?
MODERNISME DAN SEMUA BIDAH
Saudara-saudara yang terhormat, beberapa orang mungkin berpikir bahwa Kami terlalu lama menguraikan doktrin-doktrin dari para modernis. Tetapi, adalah hal yang diperlukan, baik untuk membantah tuduhan mereka yang biasa bahwa kita tidak mengerti ide-ide mereka maupun untuk menunjukkan bahwa sistem mereka bukanlah teori yang tercerai-berai dan tidak berhubungan, melainkan di dalam suatu badan yang terorganisir dengan sempurna, yang seluruh bagiannya tergabung secara kokoh, sehingga tidaklah mungkin untuk mengakui satu dan tidak mengakui seluruhnya. Untuk alasan ini juga, Kami telah harus memberikan uraian ini dalam suatu bentuk yang agaknya didaktik dan berani menggunakan beberapa istilah barbar yang para modernis gunakan. Lalu apakah mungkin bagi seseorang yang telah memperhatikan seluruh sistem itu untuk terkejut bahwa Kami harus mendefinisikannya sebagai sintesis dari segala bidah? Jika seseorang mencoba berupaya mengumpulkan semua kesalahan-kesalahan yang telah dibahas tentang iman dan untuk memusatkan sari dan substansinya ke dalam satu titik, ia tidak akan lebih berhasil daripada para modernis. Memang, para modernis telah melakukan lebih dari hal ini, sebab, seperti yang telah dijelaskan, sistem mereka merupakan kehancuran bukan hanya untuk agama Katolik, melainkan untuk semua agama. Itulah mengapa para rasionalis memang menyoraki mereka, sebab para rasionalis yang paling tulus dan berterus terang menyambut dengan hangat para modernis sebagai sekutu mereka yang paling berharga.
Lalu, marilah kita kembali untuk sesaat, saudara-saudara yang terhormat, kepada doktrin agnostisisme yang paling berbahaya itu. Olehnya, semua jalan yang menuntun intelek kepada Allah ditutup, tetapi para modernis akan mencoba untuk membuka jalan-jalan lain yang tersedia untuk sentimen dan tindakan. Sia-sia! Sebab, pada dasarnya, apakah sentimen itu selain tanggapan dari jiwa terhadap tindakan dari akal budi atau pancaindra? Tanpa akal budi, manusia yang condong mengikuti pancaindranya, menjadi budaknya. Sia-sia pula, dari sudut pandang lain, sebab semua khayalan tentang sentimen religius tersebut tidak akan dapat menghancurkan akal sehat, dan akal sehat berkata bahwa emosi dan segala hal yang menawan hati merupakan suatu hambatan dan bukan pertolongan dalam hal menemukan kebenaran. Tentunya, Kami berbicara tentang kebenaran sendiri – sedangkan, mengenai kebenaran yang sepenuhnya subjektif, yang merupakan buah dari sentimen dan tindakan, jika kebenaran subjektif itu mencapai tujuannya untuk mempermainkan kata-kata, kebenaran yang subjektif itu sama sekali tidak berguna bagi seseorang yang ingin mengetahui, di atas segala hal, bilamana terdapat seorang Allah di luar diri orang itu sendiri, yang ke dalam tangan-Nya, ia akan jatuh pada suatu hari. Memang, para modernis mengandalkan pengalaman untuk memperkokoh sistem mereka, tetapi apakah yang ditambahkan oleh pengalaman kepada sentimen? Sama sekali bukan apa apa, kecuali suatu intensitas tertentu dan pendalaman yang proporsional akan keyakinan tentang realitas objek tersebut. Tetapi, keduanya tidak akan membuat sentimen menjadi berbeda dari sentimen, ataupun merampasnya dari karakteristiknya, yang menyebabkan penipuan sewaktu akal budi tidak ada untuk membimbingnya; sebaliknya, keduanya hanya menegaskan dan memperburuk karakteristik ini, sebab semakin sentimen itu intens, semakin sentimen itu sentimental. Mengenai sentimen religius dan pengalaman religius, anda tahu, saudara-saudara yang terhormat, betapa diperlukannya keberhati-hatian, dan betapa diperlukannya pula, ilmu pengetahuan yang membimbing keberhati-hatian. Anda mengetahuinya dari pengalaman anda sendiri menghadapi jiwa-jiwa, dan terutama jiwa-jiwa yang terutama dikuasai oleh sentimen; anda mengetahuinya pula dari waktu anda membaca buku-buku asketis – buku-buku yang kepadanya para modernis memiliki sedikit rasa hormat, tetapi, yang menjadi saksi kepada ilmu pengetahuan dan kekokohan yang amat berbeda dari yang mereka miliki, dan kepada penyempurnaan dan ketajaman pengamatan yang tampaknya tidak dimiliki oleh para modernis. Tidakkah amat gila, atau setidaknya amat lancang, untuk memercayakan diri sendiri tanpa kendali kepada pengalaman-pengalaman para modernis? Marilah kita bertanya sesaat: jika pengalaman memiliki nilai yang begitu besar di mata mereka, mengapakah mereka tidak memberikan bobot yang sama kepada pengalaman yang dimiliki oleh ribuan dari ribuan orang-orang Katolik, bahwa para modernis berada di dalam jalan yang sesat? Apakah mungkin bahwa semua pengalaman kecuali yang dialami oleh para modernis itu salah dan menipu? Kebanyakan besar umat manusia percaya dan akan teguh percaya bahwa sentimen dan pengalaman sendiri, jika tidak dicerahkan dan dibimbing oleh akal, tidak akan menuntun kepada pengetahuan akan Allah. Lalu, apakah yang tersisa selain peniadaan segala agama – ateisme? Tentunya, bukanlah doktrin simbolisme yang akan menyelamatkan kita dari hal ini. Sebab, jika semua elemen intelektual, seperti yang mereka sebutkan, dari agama sepenuhnya adalah simbol, tidakkah nama Allah sendiri, atau pribadi ilahi juga akan menjadi suatu simbol? Dan jika hal ini diakui, tidakkah pribadi Allah akan menjadi diragukan dan tidakkah hal itu membuka jalan kepada panteisme? Dan kepada panteismelah, doktrin yang lain itu, yakni imanensi ilahi, menuntun secara langsung. Sebab, Kami bertanya, apakah hal itu membuat Allah berbeda dari manusia atau tidak? Jika ya, dalam hal apakah hal itu berbeda dari doktrin Katolik, dan mengapa seseorang menolak wahyu lahiriah? Jika tidak, kita semua seketika berada di dalam panteisme. Tetapi, doktrin imanensi, dalam artian modernis, percaya dan mengakui bahwa segala fenomena kesadaran berasal dari manusia sebagai manusia. Kesimpulan yang tidak terelakkan dari hal ini adalah identitas manusia dengan Allah, yang berarti panteisme. Kesimpulan yang sama mengalir dari perbedaan yang dibuat oleh para modernis antara ilmu pengetahuan dan iman. Objek dari ilmu pengetahuan, ujar mereka, adalah realitas dari hal yang dapat diketahui. Tetapi, apa yang membuat hal yang tidak dapat diketahui itu tidak dapat diketahui adalah disproporsinya dengan hal yang dapat diketahui – suatu disproporsi yang tidak dapat dihapuskan oleh suatu hal pun, bahkan di dalam doktrin modernis. Maka, hal yang tidak dapat diketahui itu tetap ada, dan selalu ada selama-lamanya, yang tidak dapat diketahui baik oleh sang umat beriman maupun oleh sang ilmuwan. Maka, jika suatu agama mungkin ada, agama itu hanyalah mungkin merupakan suatu agama tentang realitas yang tidak dapat diketahui. Dan mengapa tidaklah mungkin bahwa agama ini merupakan jiwa universal dari alam semesta yang dibicarakan seorang rasionalis, adalah suatu hal yang tidak Kami lihat. Tentunya, hal ini lebih dari cukup untuk menunjukkan betapa banyak jalan yang dibukakan oleh modernisme kepada peniadaan semua agama. Langkah pertama menuju tujuan ini diambil oleh Protestantisme; langkah kedua dibuat oleh modernisme; langkah selanjutnya akan langsung terpelanting ke dalam ateisme.
BAGIAN II
PENYEBAB MODERNISME
Untuk semakin mendalami modernisme, dan untuk menemukan obat yang tepat untuk luka yang begitu dalam itu, Kami wajib, saudara-saudara yang terhormat, untuk menelaah sebab-sebab yang telah menghasikannya dan yang memupuk pertumbuhannya. Bahwa sebab terdekat dan sebab langsungnya terdapat di dalam pembejatan pikiran tidak dapat diragukan. Sebab terjauhnya tampak bagi kami terangkum dalam dua hal: keingintahuan dan kesombongan. Keingintahuan sendiri, jika tidak dikendalikan secara berhati-hati, cukup untuk menjelaskan segala kesalahan. Demikianlah pendapat dari pendahulu Kami, Gregorius XVI, yang menuliskan: “Pemandangan yang menyedihkan adalah yang dihadirkan oleh penyesatan akal manusia sewaktu akal itu menyerah kepada semangat akan hal-hal yang baru, sewaktu, bertentangan dengan peringatan sang rasul, akal itu mencoba mengetahui di luar apa yang patut diketahui; dan sewaktu akal itu terlalu mengandalkan dirinya sendiri, akal pun berpikir bahwa dirinya dapat menemukan kebenaran di luar Gereja, yang di dalamnya kebenaran ditemukan tanpa sedikit pun bayangan kesalahan”.[21]
Tetapi kesombonganlah yang memiliki pengaruh yang jauh lebih besar atas jiwa sehingga membutakannya dan menenggelamkannya ke dalam kesalahan; dan kesombongan terduduk di dalam modernisme bagaikan di dalam rumahnya sendiri, dan mencari dukungan di mana pun di dalam doktrin-doktrinnya dan kesempatan untuk memamerkan dirinya sendiri di dalam segala aspeknya. Kesombonganlah yang memenuhi para modernis dengan kepercayaan akan diri mereka sendiri dan yang menuntun mereka untuk percaya bahwa diri merekalah aturan untuk segala hal, kesombongan yang mengembungkan mereka dengan keangkuhan yang membuat mereka memandang diri mereka sendiri sebagai satu-satunya yang empunya pengetahuan dan membuat mereka berkata dengan penuh kepongahan, “Kami tidak seperti para manusia yang lain”, dan yang, untuk membuat mereka tidak seperti manusia yang lain, menuntun mereka untuk memeluk segala hal-hal baru yang paling absurd. Kesombonganlah yang membangkitkan di dalam diri mereka semangat ketidaktaatan, dan yang menyebabkan mereka untuk menuntut suatu kompromi antara otoritas dan kebebasan. Kesombonganlah yang membuat mereka menjadi para pembaru orang lain, sedangkan mereka lupa untuk membarui diri mereka sendiri, dan yang menghasilkan tiadanya rasa hormat terhadap otoritas, bahkan terhadap otoritas tertinggi. Tidak, memang, tidak terdapat satu jalan pun yang menuntun secara begitu langsung dan begitu cepat kepada modernisme selain kesombongan. Sewaktu seorang Katolik awam atau seorang imam melupakan asas hidup Kristiani yang mewajibkan kita untuk menyangkal diri kita sendiri jika kita ingin mengikuti Yesus Kristus, dan lalai untuk mencabut kesombongan dari hatinya, ah! Ia pun menjadi sasaran yang paling matang bagi kesalahan-kesalahan modernisme. Maka, saudara-saudara yang terhormat, akan menjadi tugas anda yang pertama untuk menghalau para pria yang sombong tersebut, untuk mempekerjakan mereka hanya di dalam jabatan-jabatan yang palng rendah dan yang paling tidak dikenal; semakin tinggi mereka mencoba mengangkat diri, hendaknya mereka semakin ditempatkan di tempat yang lebih rendah, sehingga posisi mereka yang rendah dapat merampas mereka dari kuasa untuk menyebabkan kerusakan. Cermatilah para imam muda anda juga dengan amat berhati-hati, oleh diri anda sendiri dan oleh direktur-direktur dari seminari-seminari anda, dan sewaktu anda menemukan semangat kesombongan di antara seorang pun dari antara mereka, tolaklah mereka dari imamat tanpa rasa sesal. Semoga Allah menghendaki agar hal ini telah selalu dilakukan dengan kewaspadaan dan keteguhan yang pantas.
Jika kita berpindah dari sebab-sebab moral kepada sebab-sebab intelektual dari modernisme, sebab pertama dan yang utama, adalah ketidaktahuan. Ya, para modernis ini, yang mengaku-ngaku diri sebagai Doktor Gereja, yang mengagung-agungkan filsafat modern, dan yang amat mencibir skolastisisme, telah memeluk yang satu dengan segala pesona palsunya sebab ketidaktahuan mereka tentang yang lainnya telah meninggalkan mereka tanpa jalan untuk dapat mengenali kebingungan pikiran, dan untuk membantah sofisme. Seluruh sistem mereka, dengan segala kesalahannya, telah dilahirkan dari persekutuan antara iman dan filsafat sesat.
METODE PROPAGANDA
Jika saja mereka kurang bersemangat dan berenergi saat mereka menyebarkannya! Tetapi demikianlah kegiatan mereka dan kemampuan mereka yang tidak kenal lelah untuk memperjuangkan perkara mereka; tidak seorang pun tidak merasakan rasa sakit saat melihat mereka menyia-nyiakan usaha untuk menghancurkan Gereja ,walau mereka dapat memberikan pelayanan semacam itu kepada Gereja jika upaya-upaya mereka dipergunakan dengan lebih baik. Siasat mereka untuk menipu pikiran manusia ada dalam dua jenis: yang pertama, untuk menghilangkan halangan dari jalan mereka, yang kedua untuk merencanakan dan menerapkan dengan giat dan sabar setiap alat yang dapat mereka pergunakan untuk mencapai tujuan mereka. Mereka mengakui bahwa ketiga halangan utama bagi mereka adalah filsafat skolastik, otoritas para bapa dan tradisi, dan magisterium Gereja, dan terhadap hal-hal tersebut, mereka telah mengobarkan perang yang tiada henti. Filsafat dan teologi skolastik, mereka hanya mengolok-olok dan mencercanya. Terlepas bilamana ketidaktahuan atau ketakutan, atau keduanya, yang mengilhami perilaku ini dalam diri mereka, gairah mereka untuk hal-hal barulah yang pastinya bersatu dengan kebencian terhadap skolastisisme, dan tidak ada suatu pertanda yang lebih pasti bahwa seorang manusia berada di dalam jalan menuju modernisme daripada sewaktu ia mulai menunjukkan kebenciannya untuk sistem ini. Para modernis dan para pengagum mereka harus ingat proposisi yang telah dikutuk oleh Pius IX: “Metode dan prinsip-prinsip yang olehnya para Doktor Skolastik telah membina teologi, tidak lagi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dari zaman kita dan kemajuan dari ilmu pengetahuan.”[22] Mereka melaksanakan segala kecerdikan mereka untuk memperlemah kuasa dan memalsukan karakter dari tradisi, untuk merampasnya dari segala bobotnya. Tetapi, bagi para Katolik, Konsili Nicea II selalu akan memiliki kekuatan hukum, di mana Konsili tersebut mengutuk mereka “yang berani, dengan cara yang nista yang serupa dengan cara para bidah, untuk mencibir tradisi-tradisi gerejawi, untuk merekayasakan hal-hal baru tertentu… atau untuk berupaya dengan tujuan jahat atau merencanakan untuk menggulingkan segala tradisi apa pun yang legitim dari Gereja Katolik”. Dan orang-orang Katolik juga akan menjunjung sebagai hukum pengakuan dari Konsili Konstantinopel IV: “Oleh karena itu, Kami mengakui untuk melestarikan dan menjaga aturan-aturan yang diwariskan kepada Gereja yang Kudus, Katolik, dan Apostolik, oleh para rasul yang suci dan yang teragung, oleh konsili-konsili ortodoks, baik umum maupun setempat, dan oleh tiap-tiap dari para penafsir, para bapa dan Doktor Gereja”. Sebab para Paus Roma, Pius IV dan Pius IX, memerintahkan agar pernyataan berikut diikutsertakan di dalam pengakuan iman: “Dengan teguh saya menerima dan memeluk tradisi apostolik dan gerejawi dan segala praktik dan peraturan Gereja yang sama”. Para modernis memberikan penilaian yang sama kepada para bapa yang tersuci dari Gereja seperti yang mereka berikan kepada tradisi. Dengan kelancangan yang luar biasa, mereka menyatakan bahwa para bapa patut menerima segala penghormatan, tetapi bahwa para bapa sepenuhnya tidak tahu sejarah dan kritik, dan mereka hanya memiliki alasan untuk ketidaktahuan tersebut, oleh karena waktu di mana mereka hidup. Pada akhirnya, para modernis mengerahkan segala cara untuk mengurangi dan memperlemah otoritas dari magisterium sendiri dengan memalsukan secara nista asal-muasalnya, karakternya dan hak-haknya, dan secara bebas mengulang-ulangi fitnah dari para musuhnya. Kepada semua kelompok modernis, kata-kata yang dituliskan dengan penuh rasa sakit oleh pendahulu Kami berlaku: “Untuk membawa penghinaan dan rasa benci terhadap Pengantin Mistis Kristus, yang adalah cahaya yang sejati, anak-anak kegelapan telah terbiasa untuk melontarkan kepada wajahnya suatu fitnah yang bodoh, dan membejatkan arti dan kuasa dari hal-hal dan kata-kata, untuk menggambarkan sang Pengantin Mistis Kristus sebagai rekan kegelapan dan ketidaktahuan serta musuh dari terang, ilmu pengetahuan dan kemajuan”.[23] Oleh karena itu, saudara-saudara yang terhormat, tidaklah mengejutkan bahwa para modernis melampiaskan kepahitan dan kebencian mereka terhadap para Katolik yang dengan teguh berperang dalam pertempuran Gereja. Tetapi, dari segala ejekan yang dilontarkan para modernis kepada para Katolik tersebut, ejekan ketidaktahuan dan kebersikerasan adalah yang mereka gemari. Sewaktu seorang musuh bangkit melawan mereka dengan kependidikan dan kekuatan yang menakutkan, mereka mencoba untuk membuat suatu konspirasi kesunyian tentang orang itu untuk meniadakan dampak dari serangannya, sedangkan, bertentangan jelas dalam kebijakan ini terhadap para Katolik, mereka memuji para penulis yang memihak kubu mereka, meninggikan karya-karya mereka, yang membeberkan hal-hal baru di dalam setiap halamannya, dengan sorak-sorakan; bagi mereka, pengetahuan seorang penulis berbanding lurus dengan kesembronoan dari serangan-serangannya terhadap hal-hal dari zaman kuno, dan dari upaya-upayanya untuk memperlemah tradisi dam magisterium gerejawi. Sewaku salah satu dari mereka jatuh di bawah kutukan-kutukan Gereja, yang lain, dan ini adalah hal yang mengerikan bagi para Katolik yang baik, mengelilinginya, memberikan pujian secara publik kepadanya, menghormatinya bagaikan seorang martir kebenaran. Orang-orang muda, yang bersemangat dan kebingungan akibat semua celotehan puji-pujian dan penyalahgunaan ini, beberapa dari mereka takut dicap sebagai orang bodoh, yang lainnya berambisi untuk dianggap terpelajar, dan kedua kelompok tersebut, yang terpancing oleh keingintahuan dan kesombongan, seringkali menyerah dan menyerahkan diri mereka kepada modernisme.
Dan di sini kita telah melihat beberapa siasat yang dipergunakan oleh para modernis untuk menjajakan barang mereka. Betapa besar upaya yang mereka lakukan untuk merekrut anggota baru! Mereka meraih takhta di seminari-seminari serta universitas-universitas, dan secara bertahap, mereka mengubahnya menjadi takhta sumber penyakit. Dari takhta suci ini mereka menyebarkan, walau tidak selalu secara terang-terangan, benih-benih dari doktrin-doktrin mereka ; mereka menyatakan ajaran-ajaran mereka, tanpa bersembunyi, di dalam kongres-kongres; mereka memperkenalkan ajaran-ajaran mereka dan membuatnya terkenal di kalangan institusi sosial. Di bawah nama mereka sendiri dan di bawah nama samaran, mereka menerbitkan sejumlah buku, surat kabar, reviu dan terkadang seorang penulis yang sama menggunakan berbagai nama samaran untuk menjebak para pembaca yang tidak waspada sehingga mereka percaya adanya sekumpulan penulis modernis yang berbeda – pendek kata, mereka mencoba segala hal, dalam tindakan, pidato, karya tulis, bagaikan gila propaganda. Dan apakah hasil dari semuanya ini? Kami harus meratapi banyaknya pria muda, yang awalnya penuh janji dan dapat memberikan pelayanan yang besar kepada Gereja, sekarang mereka tersesat. Dan terdapat pula suatu pemandangan yang menyedihkan Kami, yakni banyaknya orang Katolik lain yang, walaupun tentunya mereka tidak melangkah sejauh para pria muda yang baru kami sebutkan itu, mereka menjadi terbiasa, bagaikan mereka telah menghirup udara yang tercemar, untuk berpikir, berbicara, menulis dengan kebebasan yang begitu besar, yang tidak pantas bagi para Katolik. Orang-orang semacam itu ditemukan di antara orang awam dan di kalangan para imam, dan tidaklah sedikit jumlah mereka, bahkan di mana orang tidak menyangka akan menjumpai mereka – di dalam institusi-institusi religius. Jika mereka membahas masalah-masalah alkitabiah, mereka menggunakan prinsip-prinsip modernis; jika mereka menuliskan sejarah, hal itu dilakukan oleh mereka dengan keingintahuan dan untuk menerbitkan secara terbuka, di bawah dalih untuk mengatakan seluruh kebenaran dan dengan suatu jenis kepuasan yang tidak mereka sembunyikan, tentang segala hal yang terlihat bagi mereka seperti suatu noda di dalam sejarah Gereja. Di bawah pengaruh suatu aturan apriori tertentu, mereka menghancurkan sejauh yang mereka dapat, tradisi-tradisi saleh dari orang-orang, dan mengolok-olok relikui-relikui tertentu yang amat dihormati sejak zaman kuno. Mereka dirasuki oleh gairah yang hampa untuk menjadi bahan pembicaraan orang-orang, dan mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah berhasil dalam hal ini jika mereka mengatakan apa yang telah selalu dikatakan. Kemungkinan mereka telah meyakinkan diri mereka sendiri bahwa di dalam semua ini, mereka sungguh-sungguh melayani Allah dan Gereja – kenyataannya, mereka hanya menyakiti keduanya, bukan terutama akibat karya-karya mereka sendiri, melainkan lebih akibat semangat yang mendorong mereka untuk menulis dan dorongan yang mereka berikan kepada kelancangan para modernis.
BAGIAN III
OBAT UNTUK MODERNISME
Untuk melawan kumpulan kesalahan-kesalahan yang berat ini serta gerakannya yang rahasia dan terbuka, pendahulu Kami, Leo XIII, dari kenangan yang berbahagia, bekerja dengan amat keras, terutama sehubungan dengan Kitab Suci, baik dalam perkataannya, maupun di dalam tindakannya. Tetapi, seperti yang telah kita lihat, semangat para modernis tidaklah dengan mudah dipatahkan oleh senjata-senjata semacam itu; dengan berpura-pura tunduk dan memberi hormat, mereka lalu memutarbalikkan kata-kata Sri Paus menjadi makna mereka sendiri, dan tindakan-tindakannya mereka deskripsikan sebagai melawan orang lain dan bukan diri mereka sendiri. Dan kejahatan ini telah meningkat hari demi hari. Oleh karena itu, saudara-saudara yang terhormat, Kami telah bertekad untuk menggunakan sekaligus upaya yang mujarab dalam kuasa Kami, dan Kami memohon dan meminta anda sekalian untuk memastikan bahwa di dalam masalah yang amat berat ini, tidak seorang pun akan dapat berkata bahwa anda telah sedikit pun kekurangan dalam hal kewaspadaan, semangat untuk ketegasan. Dan apa yang Kami mintakan kepada anda dan harapkan dari anda, Kami juga mintakan dan harapkan dari semua gembala jiwa yang lain, dari semua pendidik dan profesor para imam, dan dalam cara yang amat khusus, dari para superior dari institusi-institusi religius.
STUDI FILSAFAT SKOLASTIK
Pertama-tama, sehubungan dengan studi, Kami menghendaki dan memerintahkan agar filsafat skolastik dijadikan dasar dari ilmu pengetahuan suci. Sangatlah jelas bahwa jika sesuatu pun disetujui oleh para Doktor skolastik yang mungkin dipandang sebagai kehalusan yang keterlaluan atau bahkan yang kemungkinannya sangat kecil, Kami tidak memiliki keinginan sama sekali untuk mengajukannya untuk dapat ditiru oleh generasi masa kini.[24] Dan hendaknya hal ini dimengerti di atas segala hal: bahwa filsafat skolastik yang kami tentukan adalah yang sang Doktor Malaikat [Santo Thomas Aquinas] telah wariskan kepada kita, dan Kami, oleh karena itu, menyatakan bahwa segala peraturan dari pendahulu Kami tentang masalah ini terus berlaku sepenuhnya, dan, sejauh mana diperlukan, Kami kembali mendekretkan dan menegaskan serta memerintahkan agar semua peraturan itu ditaati secara ketat. Di dalam seminari-seminari di mana peraturan tersebut mungkin telah dilalaikan, hendaknya para Uskup menempatkannya dan mewajibkannya untuk ditaati, dan hendaknya hal ini berlaku pula kepada para superior institusi-institusi religius. Terlebih lagi, hendaknya para profesor mengingat bahwa mereka tidak dapat menyingkirkan St. Thomas, terutama dalam pertanyaan-pertanyaan metafisika, tanpa menyebabkan kerusakan yang besar.
Di atas landasan filosofis ini, bangunan teologis harus dibangun secara kokoh. Promosikanlah studi teologi, saudara-saudara yang terhormat, dengan segala cara yang dapat anda lakukan, agar para imam anda, sewaktu mereka meninggalkan seminari-seminari, dapat mengagumi dan mencintainya, dan selalu menemukan kegembiraan mereka di dalamnya. Sebab di dalam studi yang luas dan begitu banyak yang terbuka kepada pikiran yang bergairah terhadap kebenaran, semua orang tahu semboyan tua yang mendeksripsikan teologi sedemikian rupa berada di depan studi yang lainnya sehingga setiap ilmu pengetahuan dan keterampilan harus melayaninya dan menjadi hambanya.[25] Kami akan menambahkan bahwa kami menganggap orang-orang berikut patut untuk dipuji, yakni mereka yang dipenuhi rasa hormat untuk tradisi dan para Bapa Suci serta magisterium gerejawi, menggeluti, dengan penilaian yang seimbang, dan dengan bimbingan prinsip-prinsip Katolik (yang tidak selalu terjadi), berupaya untuk mengilustrasikan teologi positif dengan cara menjelaskannya lewat sejarah yang sejati. Tentunya, lebih banyak perhatian harus diberikan kepada teologi positif daripada di masa lalu, tetapi hal ini harus dilakukan tanpa membahayakan teologi skolastik, dan orang-orang yang memiliki kecenderungan-kecenderungan modernis yang sedemikian rupa mengagungkan teologi positif sehingga tampak membenci teologi skolastik haruslah dicela.
Sehubungan dengan studi-studi profan, cukup untuk mengingat di sini apa yang telah dikatakan oleh pendahulu Kami yang mengagumkan: “Gelutilah dengan energik studi ilmu pengetahuan alami: penemuan-penemuan yang brilian dan penerapannya yang berani dan berguna yang dibuat di zaman kita, yang telah memperoleh pujian dari orang-orang yang hidup di masa kini, akan senantiasa dipuji oleh mereka yang hidup di masa depan”.[26] Tetapi, hal ini harus dilakukan tanpa mengganggu studi-studi suci, seperti yang diperintahkan oleh pendahulu Kami dalam kata-kata ini: “Jika anda mencari dengan berhati-hati sebab dari kesalahan-kesalahan tersebut, anda akan menemukan sebabnya di dalam fakta bahwa pada hari-hari ini, sewaktu ilmu pengetahuan alami memerlukan kajian yang begitu banyak, studi yang lebih berat dan tinggi telah diabaikan secara proporsional; beberapa dari antaranya telah hampir dilupakan sama sekali, dan beberapa dipelajari dengan separuh hati atau dengan tidak mendalam, dan adalah sesuatu yang menyedihkan untuk dikatakan, bahwa sekarang studi-studi suci tersebut telah jatuh dari kemuliaannya dahulu, dan telah tercemari oleh doktrin-doktrin yang bejat dan kesalahan-kesalahan yang mengerikan.[27] Oleh karena itu, kami memerintahkan agar studi ilmu pengetahuan alam di dalam seminari dilaksanakan di bawah hukum ini”.
PENERAPAN PRAKTIS
Semua ketentuan ini dan yang dari pendahulu Kami harus dicamkan baik-baik dalam masalah pemilihan direktur dan profesor untuk seminari-seminari dan universitas-universitas Katolik. Siapa pun yang ditemukan teracuni oleh modernisme harus disingkirkan tanpa belas kasih dari jabatan-jabatan ini, dan mereka yang telah menempati jabatan-jabatan tersebut harus dicopot. Kebijakan yang sama harus dilaksanakan kepada mereka yang mendukung modernisme baik oleh puji-pujian mereka terhadap para modernis, atau yang memberikan alasan untuk tindakan mereka yang bersalah, dengan mengkritik skolastisisme, Bapa Suci, atau dengan menolak untuk taat kepada otoritas gerejawi di dalam segala bentuknya; dan kepada mereka yang menunjukkan kecintaan untuk hal-hal baru dalam bidang sejarah, arkeologi, eksegesis Alkitab, dan pada akhirnya, kepada mereka yang mengabaikan ilmu pengetahuan suci atau yang lebih menyukai ilmu pengetahuan profan daripada ilmu pengetahuan suci. Di dalam segala masalah studi ini, saudara-saudara yang terhormat, anda tidak bisa menjadi terlalu waspada atau terlalu konstan, tetapi, terutama di dalam pemilihan para profesor, sebab sebagai aturan, para murid dibentuk sesuai pola para pendidik mereka. Anda harus selalu kuat dalam kesadaran akan tugas anda, dan bertindak secara berhati-hati, tetapi penuh semangat.
Ketekunan dan keketatan yang sama harus digunakan untuk mencermati dan memilih para kandidat untuk imamat suci. Para imam haruslah jauh dari kecintaan akan hal-hal baru! Allah membenci orang-orang yang sombong dan yang keras kepala. Untuk masa depan, gelar doktorat dalam bidang teologi dan hukum kanon tidak pernah boleh dianugerahkan kepada siapa pun yang belum mengikuti kelas reguler dari filsafat skolastik; jika gelar itu telah dianugerahkan, gelar tersebut akan dianggap batal demi hukum. Aturan-aturan yang telah ditetapkan di tahun 1896 oleh Kongregasi Suci untuk Para Uskup dan Imam Reguler bagi para imam, baik sekuler maupun reguler, dari Italia, mengenai kunjungan ke universitas-universitas, Kami sekarang dekretkan untuk berlaku di semua negara. Para imam yang terdaftar dalam institusi atau universitas Katolik tidak boleh, di masa depan, mengikuti di universitas-universitas sipil kelas-kelas yang sudah tersedia di dalam institusi-institusi Katolik. Jika hal ini telah diizinkan di mana pun pada masa lalu, Kami memerintahkan agar hal tersebut tidak diperbolehkan untuk masa depan. Hendaknya para Uskup yang membentuk dewan pemerintahan untuk institusi-institusi atau universitas-universitas Katolik semacam itu mengawasi dengan penuh perhatian agar perintah-perintah Kami ini ditaati secara konstan.
KEWASPADAAN PARA USKUP ATAS PUBLIKASI
Para Uskup juga memiliki kewajiban untuk mencegah karya tulis yang tercemari modernisme atau yang mendukungnya untuk dibaca sewaktu karya tulis tersebut telah diterbitkan, atau untuk menghalangi penerbitannya jika belum diterbitkan. Buku atau makalah atau surat kabar semacam ini tidak pernah boleh diizinkan bagi para seminaris ataupun murid universitas. Penyakit yang akan disebabkan kepada mereka oleh bacaan yang imoral, tentunya akan lebih besar, sebab karya tulis semacam itu meracuni mata air kehidupan Kristiani sendiri. Keputusan yang sama harus diambil sehubungan dengan karya tulis beberapa orang Katolik, yang, walaupun mereka sendiri tidak beritikad buruk, tidak cukup terpelajar dalam studi-studi teologis dan tercemar filsafat modern, yang berjuang untuk menyelaraskan filsafat modern dengan iman, sebagaimana yang diujarkan oleh mereka, untuk menguntungkan iman. Nama dan reputasi para penulis ini menyebabkan karya tulis mereka dibaca tanpa kecurigaan, dan mereka, oleh karena itu, justru lebih berbahaya dalam persiapan jalan menuju modernisme.
Secara umum, saudara-saudara yang terhormat, berikut intinya: kerahkan segala tenaga anda untuk meniadakan dari dioses anda segala buku yang berbahaya, dan jika diperlukan, dengan menggunakan larangan yang khidmat. Takhta Suci tidak sama sekali tidak mengabaikan hal apa pun untuk meniadakan karya tulis yang bersifat demikian; tetapi jumlahnya sedemikian rupa pada masa kini, sehingga tidaklah mungkin untuk menyensor semuanya. Maka, terkadang obat itu pun tersedia secara terlambat, sebab sementara itu, penyakit tersebut telah mengakar. Karena itu, Kami menghendaki agar para Uskup mengesampingkan segala rasa takut dan keberhati-hatian daging mereka, terlepas segala seruan orang-orang yang jahat, dan dengan halus, tentunya, tetapi dengan konstan, melakukan setiap bagian dari tugasnya, sambil mengingat perintah dari Leo XIII di dalam Konstitusi Apostolik “Officiorum”: “Hendaknya para Ordinaris, dalam hal bertindak sebagai delegasi Takhta Apostolik, berupaya untuk melarang dan membuat para umat beriman agar mereka tidak dapat menjangkau buku-buku yang berbahaya ataupun karya tulis lain yang dicetak dan diedarkan di dalam dioses-dioses mereka”. Di dalam teks ini, memang, para Uskup menerima suatu hak, tetapi mereka juga diberikan suatu tugas. Hendaknya tidak seorang Uskup pun berpikir bahwa ia memenuhi tugas ini dengan melaporkan kepada Kami satu atau dua buku, sedangkan banyak buku yang lain yang sejenis dicetak dan diedarkan. Anda tidak pun boleh terhalangi sewaktu sebuah buku telah menerima “imprimatur” dari tempat lain, baik karena imprimatur tersebut mungkin semata-mata dipalsukan maupun karena dianugerahkan secara serampangan atau dengan mudah atau dalam kepercayaan yang berlebihan akan sang penulis, sebagaimana yang sering terjadi di kalangan ordo religius. Di samping itu, seperti halnya makanan yang sama tidak disukai semua orang, mungkin pula bahwa suatu buku tidak berbahaya, dalam kondisi-kondisi tertentu, tetapi berbahaya dalam kondisi-kondisi lain. Maka, jika seorang Uskup, setelah menerima nasihat dari orang bijak, menilai baik untuk mengutuk buku-buku semacam itu di dalam diosesnya, Kami bukan hanya memberikan kepadanya izin yang besar untuk melakukan hal tersebut, tetapi Kami menugaskannya untuk melakukan hal itu. Tentunya, adalah harapan Kami bahwa tindakan semacam itu dilakukan dengan bijaksana, dan terkadang, akanlah cukup untuk membatasi larangan itu bagi para imam; tetapi bahkan di dalam kasus-kasus semacam itu, toko-toko buku Katolik tidak akan diperbolehkan untuk menjual buku-buku yang dilarang oleh sang Uskup. Dan mengenai toko-toko buku, Kami berharap bahwa para Uskup memastikan agar mereka tidak, oleh karena keinginan untuk mendapat keuntungan, menjual buku-buku yang tidak baik. Jelas bahwa di dalam katalog-katalog dari toko-toko buku tersebut, buku-buku para modernis tidak jarang diberikan pujian yang besar. Jika mereka menolak untuk taat, hendaknya para Uskup tidak ragu-ragu mencabut dari mereka gelar toko buku Katolik pula; sehingga, dengan demikian, dan sepantasnya, jika mereka memiliki gelar toko buku Keuskupan, dan jika mereka memiliki gelar toko buku Kepausan, hendaknya mereka dilaporkan kepada Takhta Apostolik. Pada akhirnya, Kami mengingatkan semua akan artikel kedua puluh enam dari Konstitusi “Officiorum” yang telah disebutkan di atas: “Semua orang yang telah memperoleh izin apostolik untuk membaca dan menyimpan buku-buku terlarang tidaklah oleh karena itu diizinkan untuk membaca buku-buku serta surat kabar yang dilarang oleh para Ordinaris setempat, kecuali jika izin apostolik tersebut secara langsung menganugerahkan hak untuk membaca dan menyimpan buku-buku yang dikutuk oleh siapa pun”.
SENSOR
Tetapi, tidaklah cukup untuk menghalangi pembacaan dan penjualan buku-buku yang jahat; pencetakan buku-buku tersebut juga perlu dicegah. Maka, hendaknya para Uskup menggunakan keketatan yang terbesar dalam pemberian izin untuk mencetak. Tetapi, oleh karena jumlah buku-buku itu banyak, sesuai dengan aturan-aturan dari Konstitusi “Officiorum”, untuk karya-karya yang tidak dapat diterbitkan tanpa seizin dari Ordinaris, dan, di samping itu, karena sang Uskup tidak dapat memeriksa semuanya, di dalam dioses-dioses tertentu, telah dilantik penyensor resmi untuk menelaah karya-karya tulis. Kami memberikan pujian yang tertinggi bagi institusi ini dan Kami bukan hanya mendorong, tetapi juga memerintahkan agar penyensor itu dilantik di seluruh dioses. Maka, di dalam Kuria keuskupan, hendaknya para penyensor dilantik dan dipilih dari antara para imam, sekuler dan reguler, para pria yang pantas umurnya, ilmu pengetahuannya, keberhati-hatiannya, dan yang mengerti bagaimana cara melakukan tugas itu sebaik mungkin dengan penilaian mereka. Mereka akan ditugaskan untuk menelaah segala hal yang memerlukan izin publikasi sesuai dengan Artikel XLI dan XLII dari konstitusi yang disebutkan di atas. Sang penyensor akan memberikan keputusannya secara tertulis. Jika keputusannya mendukung karya tulis yang ditelaahnya, sang Uskup akan memberikan izin untuk publikasi lewat kata “Imprimatur”, yang harus selalu diawali dengan “Nihil obstat” dan nama sang penyensor. Di dalam Kuria Roma, para penyensor resmi akan dilantik seperti di tempat lain, dan pelantikan mereka akan dilaksanakan sesuai dengan Kardinal Vikaris dan dengan persetujuan dari Paus Tertinggi serta Kepala Rumah Tangga Kepausan. Izin untuk publikasi akan dianugerahkan olehnya dan oleh Vikaris Kardinal atau Wakilnya; dan izin ini, seperti yang telah ditetapkan di atas, harus selalu diawali dengan “Nihil obstat” dan nama sang penyensor. Hanya sesekali dan dalam peristiwa yang amat langka, dan dengan keputusan yang berhati-hati dari sang Uskup, sang penyensor boleh tidak disebutkan.Nama sang penyensor tidak pernah boleh diberitahukan kepada sang penulis sampai sang penyensor telah memberikan suatu keputusan yang positif, agar sang penyensor tidak perlu merasa gelisah saat ia melaksanakan penelaahan terhadap sebuah karya tulis atau jika ia harus menolak untuk memberikan persetujuannya. Para penyensor tidak pernah boleh dipilih dari ordo-ordo religius sampai opini dari provinsialnya, atau, di Roma, jenderalnya telah diperoleh; dan sang provinsial atau jenderal harus memberikan suatu laporan yang teliti akan karakter, pengetahuan, dan keortodoksan sang kandidat penyensor. Kami mengingatkan para superior religius akan kewajiban mereka yang khidmat untuk tidak pernah mengizinkan suatu hal pun untuk diterbitkan oleh orang-orang yang tunduk kepada mereka tanpa seizin diri mereka sendiri dan dari Ordinaris. Akhirnya, Kami menegaskan dan menyatakan bahwa gelar penyensor tidak memiliki nilai apa-apa dan tidak pernah dapat digunakan untuk mendukung opini pribadi tentang orang yang memiliki gelar tersebut.
PARA IMAM SEBAGAI PENYUNTING
Setelah berkata begitu banyak, Kami sekarang memerintahkan terutama agar Artikel XLII dari Konstitusi “Officiorum” di atas secara khusus ditaati dengan keberhati-hatian yang lebih besar. Para imam sekuler dilarang, tanpa sepersetujuan sebelumnya dari Ordinaris, untuk melaksanakan direksi atas makalah-makalah atau surat kabar. Izin tersebut akan dicabut dari seorang imam yang menyalahgunakannya setelah mendapat teguran. Sehubungan dengan para imam koresponden atau kolaborator – tidak jarang bahwa mereka menuliskan makalah atau surat kabar yang terinfeksikan modernisme – hendaknya para Uskup memastikan bahwa hal ini tidak diizinkan untuk terjadi, dan jika hal tersebut terjadi, hendaknya mereka mengingatkan para penulis atau mencegah mereka untuk menulis. Para superior dari ordo-ordo religius pula, Kami ingatkan mereka dengan seluruh otoritas untuk melakukan hal yang sama; dan jika mereka gagal melaksanakan tugas ini, hendaknya para Uskup bertindak sebagai perwakilan dari Paus Tertinggi. Hendaknya, sejauh mana hal ini mungkin, seorang penyensor khusus ditugaskan untuk surat kabar yang ditulis oleh orang-orang Katolik. Tugasnya adalah untuk membaca dengan tepat waktu setiap terbitan setelah surat kabar itu diterbitkan, dan jika ia menemukan sesuatu pun yang berbahaya di dalamnya, hendaknya ia memerintahkan agar hal tersebut dikoreksi. Sang Uskup akan memiliki hak yang sama bahkan jika penyensor tersebut belum melihat sesuatu yang patut ditolak di dalam suatu publikasi.
KONGRES-KONGRES
Kami telah menyebutkan kongres-kongres serta perkumpulan-perkumpulan publik dari antara jalan yang digunakan oleh para modernis untuk menyebarluaskan serta membela opini-opini mereka. Di masa depan, para Uskup tidak boleh mengizinkan kongres para imam kecuali dalam kesempatan yang amat langka. Sewaktu mereka memperbolehkannya, hal itu hanya dengan syarat bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan para Uskup atau Takhta Apostolik tidak boleh dibahas di dalamnya, dan bahwa tidak ada mosi atau postulasi yang diperbolehkan yang akan menyiratkan perampasan otoritas suci; dan bahwa modernisme, presbiterianisme, ataupun laisisme boleh disebutkan di dalam kongres tersebut. Di dalam kongres-kongres semacam itu, yang hanya dapat diadakan setelah izin tertulis telah diperoleh dalam waktu yang pantas dan untuk setiap kasus, adalah suatu pelanggaran hukum bahwa para imam atau dioses-dioses lain mengambil bagian tanpa izin tertulis dari Ordinaris mereka. Selebihnya, tidak seorang imam pun boleh melalaikan saran yang khidmat dari Leo XIII: “Hendaknya para imam memandang sebagai hal yang suci otoritas dari para gembala mereka; hendaknya mereka menganggap pasti bahwa pelayanan imamat yang tidak dilaksanakan di bawah bimbingan para Uskup tidak pernah dapat menjadi suci ataupun berbuah banyak ataupun terhormat”.[28]
KOMITE PENGAWASAN DIOSES
Tetapi, apa gunanya, saudara-saudara yang terhormat, perintah-perintah serta petunjuk-petunjuk Kami jika tidak dilaksanakan secara tekun dan tegas? Dan agar hal ini dapat dilakukan, tampaknya bermanfaat bagi Kami untuk meneruskan kepada semua dioses peraturan-peraturan ini yang telah ditetapkan dengan hikmat yang besar bertahun-tahun lalu oleh para Uskup Umbria untuk dioses-dioses mereka.
Mereka berkata: “Untuk menumpas kesalahan-kesalahan yang telah disebarluaskan dan untuk mencegah penyebarannya lebih lanjut, dan untuk meniadakan para guru ketidaksalehan yang olehnya dampak-dampak berbahaya dari penyebaran semacam itu diperluas, perkumpulan suci ini, dengan mengikuti teladan dari St. Carolus Borromeus, telah memutuskan untuk mendirikan di setiap dioses suatu dewan yang terdiri dari anggota-anggota yang disetujui dari kedua cabang imam, yang akan ditugaskan untuk mencatat keberadaan dari kesalahan-kesalahan, serta sarana yang olehnya kesalahan-kesalahan baru diperkenalkan dan disebarluaskan, dan untuk menginformasikan Uskup tentang keseluruhannya, agar sang Uskup dapat bermusyawarah bersama mereka untuk memutuskan jalan terbaik untuk mencabut akar kejahatan itu dan mencegahnya untuk menyesatkan jiwa-jiwa, atau bahkan yang lebih buruk, menjadi lebih kuat dan bertumbuh”.[29] Maka, Kami mendekretkan bahwa di setiap dioses, suatu dewan semacam itu, yang Kami dengan gembira namakan “Dewan Kewaspadaan”, diinstitusikan tanpa penundaan. Para imam yang akan dipanggil untuk mengambil bagian di dalamnya akan dipilih kurang lebih sesuai cara yang telah ditetapkan di atas bagi para penyensor, dan mereka akan bertemu setiap dua bulan pada suatu hari yang telah ditentukan di bawah kepemimpinan Uskup. Mereka akan terikat kepada kerahasiaan tentang musyawarah serta keputusan mereka, dan fungsi mereka adalah sebagai berikut: Mereka akan mengawasi dengan amat berhati-hati setiap jejak dan tanda modernisme, baik di dalam publikasi maupun di dalam pengajaran, dan untuk menjaga para imam serta orang muda darinya, mereka akan melakukan segala upaya-upaya yang berhati-hati, tepat waktu, dan mujarab. Hendaknya mereka memerangi hal-hal baru dalam kata-kata dan mengingat peringatan dari Leo XIII:[30] ”Tidaklah mungkin untuk menyetujui di dalam publikasi-publikasi Katolik suatu gaya bahasa yang terilhami oleh hal-hal baru yang terkutuk, yang tampak mengolok-olok kesalehan para umat beriman dan yang berbicara tentang aturan baru untuk hidup Kristiani, tentang doktrin-doktrin baru Gereja, tentang kebutuhan-kebutuhan baru dari jiwa Kristiani, tentang panggilan sosial baru para imam, tentang kemanusiaan Kristiani yang baru, dan tentang hal-hal lain yang sejenis”. Gaya bahasa semacam ini tidaklah boleh ditolerir baik di dalam buku yang membahas tradisi-tradisi suci, maupun di tentang tempat-tempat yang berbeda atau tentang relikui-relikui suci. Hendaknya mereka tidak mengizinkan hal-hal semacam itu untuk didiskusikan di dalam surat kabar yang bertujuan untuk memalsukan kesalehan, baik dengan ungkapan-ungkapan yang terkesan mengejek atau mencibir, maupun dengan pernyataan-pernyataan dogmatis, terutama sewaktu, yang sering terjadi, apa yang dinyatakan sebagai suatu kepastian tidaklah mungkin atau hanya semata-mata berdasarkan opini yang bias. Mengenai relikui-relikui suci, hendaknya hal ini menjadi aturan: Sewaktu para Uskup, yang merupakan satu-satunya hakim di dalam hal-hal semacam itu, mengetahui dengan pasti bahwa sebuah relikui tidaklah asli, hendaknya mereka menyingkirkan relikui tersebut agar tidak dihormati oleh para umat beriman; jika dokumen yang memberikan kesaksian tentang keaslian suatu relikui telah hilang akibat gangguan sipil, atau akibat hal lain, hendaknya relikui tersebut tidak dipaparkan untuk menerima penghormatan publik sampai sang Uskup telah memverifikasi relikui tersebut. Argumen keputusan atau anggapan yang memiliki dasar yang baik hanyalah memiliki bobot jika devosi kepada suatu relikui itu terpuji oleh alasan kekunoannya, sesuai dengan makna dari dekret yang dikeluarkan pada tahun 1896 oleh Kongregasi Indulgensi dan Relikui-Relikui Suci: “Relikui-reliki suci harus dipertahankan dalam hal penghormatannya, kecuali jika di dalam kasus-kasus individual, terdapat argumen-argumen yang jelas bahwa relikui-relikui tersebut palsu atau keasliannya hanya didasari asumsi”. Dalam hal penilaian tentang tradisi-tradisi suci, harus selalu diingat bahwa dalam hal ini, Gereja selalu menggunakan keberhati-hatian yang terbesar, dan bahwa Gereja tidak membiarkan tradisi-tradisi semacam ini dituliskan di dalam buku-buku kecuali dengan keberhati-hatian yang tertinggi dan setelah diikutsertakannya deklarasi yang diberlakukan oleh Urbanus VIII, dan bahkan dalam kasus tersebut, Gereja tidak menjamin kebenaran akan fakta yang dituliskan tersebut. Gereja sederhananya tidak melarang kepercayaan akan hal-hal yang untuknya terdapat cukup argumen manusia. Dalam hal ini, Kongregasi Suci untuk Ritus-Ritus, tiga puluh tahun lalu mendekretkan hal berikut: “Penampakan-penampakan serta wahyu-wahyu ini belum disetujui ataupun dikutuk oleh Takhta Suci, yang hanya sederhananya mengizinkan untuk memercayainya hanya berdasarkan iman manusia, dan tradisi yang berhubungan dengannya, yang didukung oleh kesaksian-kesaksian serta dokumen-dokumen yang patut dipercayai”.[31] Siapa pun yang mengikuti aturan ini tidak perlu takut. Sebab devosi yang berdasarkan penampakan apa pun, sejauh mana menyangkut fakta itu sendiri – yakni, sejauh mana devosi itu relatif – selalu menyiratkan syarat kebenaran fakta tersebut; sejauh mana devosi itu absolut, devosi itu harus didasari kebenaran, karena objeknya adalah pribadi santo-santa yang dihormati. Demikian pula dengan relikui-relikui. Pada akhirnya, Kami memercayakan kepada Dewan-Dewan Kewaspadaan tugas untuk mengawasi dengan cermat dan tekun institusi-institusi sosial, serta karya tulis yang membahas masalah sosial, sehingga tidak memuat sedikit pun jejak modernisme, melainkan menaati ketetapan-ketetapan Paus Roma.
PERINGATAN TIGA TAHUNAN
Agar apa yang telah Kami tetapkan sejauh ini tidak dilupakan, Kami menghendaki dan memerintahkan agar para Uskup dari semua dioses, setahun setelah diterbitkannya surat-surat ini, dan setiap tiga tahun setelahnya, menyediakan kepada Takhta Suci laporan yang cermat dan yang disumpah tentang segala ketetapan yang dimuat di dalamnya, serta tentang doktrin-doktrin yang umum di antara para imam, dan terutama di dalam seminari-seminari dan institusi-institusi Katolik lainnya, dan Kami memberlakukan kewajiban yang sama atas para jenderal ordo-ordo religius sehubungan dengan mereka yang berada di bawahnya.
Inilah, saudara-saudara yang terhormat, apa yang Kami kira merupakan tugas Kami untuk menuliskan kepada anda demi keselamatan semua orang yang percaya. Para musuh Gereja tentunya akan menyalahgunakan apa yang telah Kami katakan untuk membentuk kembali fitnah lama yang olehnya Kami diumpat sebagai musuh dari ilmu pengetahuan dan perkembangan kemanusiaan. Untuk mengajukan jawaban yang baru terhadap tuduhan-tuduhan semacam itu, yang dibantah oleh agama Kristiani oleh argumen-argumen yang tidak pernah gagal, Kami bermaksud untuk mendirikan dan mengembangkan, dengan segala cara semampu Kami, suatu institusi khusus yang di dalamnya, lewat kerja sama para Katolik yang amat terkemuka dalam hal pendidikan mereka, kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai bidang pengetahuan lainnya dapat dipromosikan di bawah bimbingan dan ajaran kebenaran Katolik. Semoga Allah mengizinkan agar Kami dapat mewujudkan rancangan Kami dengan bantuan dari semua orang yang memiliki cinta kasih yang tulus untuk Gereja Kristus. Tetapi, hal ini akan Kami bicarakan lain kali.
Sementara itu, saudara-saudara yang terhormat, dengan penuh kepercayaan terhadap semangat dan karya anda, Kami memohonkan untuk anda, dengan segenap hati dan jiwa, terang surgawi yang berlimpah, agar di tengah-tengah keresahan besar yang mengganggu pikiran manusia akibat serbuan kesalahan yang berbahaya dari berbagai arah, anda dapat melihat dengan jelas apa yang anda harus lakukan dan dapat melaksanakan tugas itu dengan segenap kekuatan dan keberanian anda. Semoga Yesus Kristus, sang pencipta dan akhir dari iman kita, menyertai anda oleh kekuatan-Nya; dan semoga sang Perawan yang Tidak bernoda, penghancur segala bidah, menyertai anda oleh doa-doa dan pertolongannya. Dan Kami, sebagai jaminan dari cinta kasih Kami serta pertolongan ilahi dalam kesulitan, menganugerahkan dengan amat penuh kasih, dan dengan segenap hati Kami kepada anda dan kepada orang-orang berkat apostolik.
Diberikan di Roma, dari Gereja Santo Petrus, pada hari ke-8 dari September 1907, tahun ke-5 dari Kepausan Kami.
PIUS X, PAUS
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari:
[Sumber utama] Ensiklik Pascendi Paus St. Pius X, diperoleh dari The American Catholic Quarterly Review, The Doctrines of the Modernists [Doktrin-Doktrin Para Modernis], Volume XXXII, Philadelphia, Januari-Oktober 1907, hal. 705-730.
[Sumber pendamping] Ensiklik Pascendi Paus St. Pius X, diperoleh dari Lettre encyclique de notre Saint-Père le pape Pie X sur les doctrines des modernistes [Surat Ensiklik dari Bapa Suci Kita Paus Pius X tentang Doktrin-Doktrin Para Modernis], Paris, Poussielgue, 1907, hal. 1-48.
[1] Kisah Para Rasul xx., 30.
[2] Titus i., 10.
[3] II. Timotius iii., 13.
[4] De Revel., can. 1.
[5] Ibid., can. 2.
[6] De Fide, can. 3.
[7] De Revel., can. 3.
[8] Gregorius XVI, Ensiklik “Singulari Nos”, 7 Kal., Jul., 1834.
[9] Brev. Ad Ep. Wratislaw, 15 Jun., 1857.
[10] Ep. Ad Magistros theol. Paris non, Jul., 1224.
[11] Prop. 29 damn. a Leone X. Bull. “Exsurge Domine,” 16 maii 1520. ”Via nobis facta est enervandi auctoritatem Conciliorum, et libere contradicendi eorum gestis, et iudicanti corum decreta, et confidenter confletendi quidquid verum videtur, sive probatum fuerit, sive reprobatum a quocumque Concilio.” -
Dalil 29 yang dikutuk oleh Leo X, surat bulla “Exurge Domino”, 16 Mei 1520: “Kita telah diberi kuasa untuk menyangkal otoritas Konsili-Konsili, untuk secara bebas menentang akta-akta dari Konsili-Konsili, untuk menjadikan diri kita sendiri hakim atas hukum yang telah diberikan konsili-konsili, dan untuk meneguhkan dengan kepastian segala sesuatu yang tampak benar bagi kita; tidak peduli apabila hal itu sudah disetujui atau dikutuk oleh Konsili mana pun.”
[12] Sess. VII. de Sacramentis in genere, can 5.
[13] Prop. 2. “Propositio, quae statuit, potestatem a Deo datam Ecclesiae ut communicaretur Pastoribus, qui sunt eius ministri pro salute animarum; sic intellecta, ut a communitate fidelium in Pastores derivetur ecclesiastici ministerii ac regimminis potestas; haeretica.” —Prop 3. “In super, quae statuit Romanum Pontificem esse caput ministeriale; sic explicata ut Romanus Pontifex non a Christo in persona beati Petri, sed ab Ecclesia potestatem ministerii accipiat, qua velut Petri successor, verus Christi vicarius ac totius Ecclesiae caput pollet in universa Ecclesia; haeretica.”
[14] Ensiklik “Qui pluribus,” 9 Nov., 1846.
[15] Syll. Prop. 5.
[16] Const. “Dei Filius,” cap. Iv.
[17] Loc. cit.
[18] Roma 1., 21, 22.
[19] Conc. Vat., De Revel., c. 1.
[20] Epist. 28.
[21] Ep. Encycl. Singulari nos, 7 Kal., Juli, 1834.
[22] Syll. Prop. 13.
[23] Motu-proprio, Ut mysticum, 14 Maret 1891.
[24] Leo XIII. Enc. “Aeterni Patris.”
[25] Leo XIII., Surat Apostolik “In Magna,” 10 Desember 1889.
[26] Leo XIII. Sambutan, 7 Maret 1880.
[27] Loco cit.
[28] Surat Ensiklik “Nobilissima Gallorum”, 10 Februari 1884.
[29] Akta Kongres Para Uskup dari Umbria, November 1849, tit. 2, art. 6.
[30] Instruct. S. C. NN. EE. EE., 27 Januari 1902.
[31] Dekret, 2 Mei 1877.
Artikel-Artikel Terkait
Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 4 mingguBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 4 mingguBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 4 mingguBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 4 mingguBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 2 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 2 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 3 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 4 bulanBaca lebih lanjut...Kami menerima semua dogma Gereja Katolik tanpa terkecuali, dan kami memandang mereka yang menerima semua dogma Gereja dan belum terpisah darinya, sebagai orang Katolik; itulah bagaimana kami bersekutu dengan Gereja...
Biara Keluarga Terkudus 5 bulanBaca lebih lanjut...