Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan | ![]() |
Ensiklik Pascendi Dominici Gregis - Paus St. Pius X, 1907 - Uraian tentang Doktrin Para Modernis
💬(0)
Pada tanggal 8 September 1907, Paus St. Pius X mengeluarkan surat ensiklik Pascendi Dominici Gregis, yang menguraikan pandangan-pandangan para Modernis serta landasan-landasan pemikiran mereka yang berbahaya terhadap iman Katolik. Sri Paus juga menetapkan langkah-langkah untuk diambil Gereja untuk menghadapi bahaya tersebut.
Daftar Isi
1. Salam Sri Paus
2. Beratnya situasi ini
3. Pembagian Ensiklik ini
BAGIAN I
4. Analisis tentang ajaran Modernis
5. Agnostisisme - Fondasi filosofis dari ajaran Modernis
6. Imanensi vital
7. Penyesatan sejarah religius adalah dampaknya
8. Asal muasal dogma
9. Evolusi dogma
10. Sang Modernis sebagai umat beriman: pengalaman individual dan kepastian religius
11. Pengalaman dan tradisi religius
12. Iman dan ilmu pengetahuan
13. Iman tunduk kepada ilmu pengetahuan
14. Metode-metode para Modernis
15. Sang Modernis sebagai teolog: prinsip-prinsipnya, imanensi, dan simbolisme
16. Dogma dan sakramen-sakramen
17. Kitab Suci
18. Gereja
19. Hubungan antara Gereja dan Negara
20. Magisterium Gereja
21. Evolusi doktrin
22. Sang Modernis sebagai sejarahwan dan kritikus
23. Kritik dan prinsip-prinsipnya
24. Bagaimana mereka memperlakukan Kitab Suci
25. Sang Modernis sebagai apologis
26. Argumen-argumen subjektif
27. Sang Modernis sebagai pembaru
28. Modernisme dan semua bidah
BAGIAN II
29. Penyebab Modernisme
30. Metode propaganda
BAGIAN III
31. Obat untuk Modernisme
32. Studi filsafat skolastik
33. Penerapan praktis
34. Kewaspadaan para uskup atas publikasi
35. Sensor
36. Para imam sebagai penyunting
37. Kongres-kongres
38. Komite pengawasan dioses
39. Peringatan tiga tahunan
Surat Ensiklik dari Bapa Suci Kita, Paus Pius X, tentang Doktrin-Doktrin Para Modernis
Kepada para Patriark, Primat, Uskup Agung, Uskup dan Ordinaris setempat dalam damai dan persekutuan dengan Takhta Apostolik
PIUS X, PAUS
Saudara-saudara yang terhormat,
Salam dan Berkat Apostolik
Jabatan yang secara ilahi dipercayakan kepada Kami untuk menggembalakan kawanan domba Tuhan memiliki tugas utama ini yang diembankan kepadanya oleh Kristus, yakni, untuk menjaga deposit iman, dengan kewaspadaan yang terbesar, yang telah diserahkan kepada para kudus, dan menolak rekayasa-rekyasa profan dari kata-kata serta perlawanan dari hal yang disebut-sebut secara salah sebagai pengetahuan. Tidak pernah terdapat suatu waktu di mana kewaspadaan dari sang gembala tertinggi ini tidak dibutuhkan untuk tubuh Katolik; karena, akibat upaya-upaya dari musuh umat manusia, selalu ada ‘manusia yang menyampaikan ajaran sesat’[1], ‘pembual dan penipu’[2], yang ‘menyesatkan dan disesatkan’[3]. Bagaimanapun, harus diakui bahwa jumlah musuh dari salib Kristus telah, pada masa kini, meningkat pesat, mereka yang berjuang, oleh tipu daya yang penuh muslihat, untuk menghancurkan energi vital dari Gereja, dan, jika mereka mampu, untuk sepenuhnya menggulingkan Kerajaan Kristus sendiri. Itulah mengapa Kami tidak lagi boleh diam, agar Kami tidak tampak gagal dalam tugas Kami yang tersuci, dan agar kebaikan yang telah Kami tunjukkan kepada mereka, dalam harapan agar mereka memperbaiki diri, tidak dianggap sebagai kelalaian terhadap tugas kami.
BERATNYA SITUASI INI
Kami pun terutama dituntut untuk berbicara tanpa menunda, sebab para pendukung kesesatan tidak perlu dicari pada masa kini dari antara musuh Gereja yang terang-terangan. Dan ini adalah suatu penyebab keresahan dan kegelisahan yang besar, karena mereka bersembunyi di tengah-tengah dada dan hati Gereja sendiri; para musuh yang semakin mengerikan, semakin mereka tersembunyi. Saudara-saudara yang terhormat, Kami berbicara tentang sejumlah besar orang awam Katolik dan, yang bahkan lebih disesalkan, para imam yang, dengan berpura-pura mencintai Gereja, yang tidak berbekalkan cukup filsafat dan teologi yang kokoh; mereka sepenuhnya meneguk doktrin-doktrin beracun yang diajarkan oleh para musuh Gereja. Mereka pun kehilangan rasa kerendahan hati mereka, dan mereka melagakkan diri mereka sendiri sebagai pembaru Gereja; yang dengan telapak tangan yang terkepal, menyerang segala hal yang suci dalam karya Yesus Kristus, tanpa menghormati pribadi-Nya yang, oleh kelancangan yang nista, mereka rendahkan sampai hanya semata-mata menjadi manusia yang sederhana.
Walaupun orang-orang itu mengungkapkan keterkejutan mereka, tidak seorang pun dapat sepantasnya terkejut bahwa Kami menganggap mereka sebagai bagian dari musuh Gereja, jika, terlepas pertimbangan terhadap kelakuan interior dari jiwa yang Allahlah satu-satunya hakim-Nya, seseorang mengenal prinsip-prinsip mereka, cara mereka berbicara, kelakuan mereka. Memang, Ia tidak akan berbuat salah sewaktu Ia menghitung mereka sebagai orang-orang yang paling berbahaya dari segala musuh Gereja. Sebab, seperti yang telah kami katakan, mereka melaksanakan rancangan untuk kehancuran Gereja bukan dari luar, melainkan dari dalam; dengan demikian, bahaya itu hadir hampir di dalam setiap urat dan hati Gereja. Semakin dalam pengetahuan mereka tentang Gereja, semakin pasti luka yang mereka sebabkan kepada Gereja. Terlebih lagi, mereka mengayunkan kapak bukan kepada batang dan ranting, melainkan kepada akarnya sendiri, yakni kepada iman dan serat-seratnya yang terdalam. Dan setelah menyerang akar imortalitas ini, mereka lalu menyebarkan racun kepada seluruh pohon, agar tidak satu bagian pun dari iman Katolik terlindung dari tangan mereka, tidak satu hal pun yang tidak mereka bejatkan sepenuhnya. Dan sewaktu mereka menempuh ribuan jalan untuk melaksanakan rancangan mereka yang jahat itu, bahaya dan kelicikan dari siasat mereka tidak tertandingi: mereka mencampuradukkan pandangan rasionalis dan Katolik, dan mereka melakukannya dengan kecerdikan yang sedemikian rupa sehingga mudah bagi mereka untuk menuntun orang-orang yang tidak waspada ke dalam kesalahan. Selain itu, karena kelancangan adalah ciri khas utama mereka, mereka pun mengurang-ngurangi atau melebih-lebihkan semua kesimpulan dari segala hal dengan kebersikerasan dan keyakinan. Harus ditambahkan pula fakta tentang hal ini, yang merupakan siasat mereka untuk menipu jiwa-jiwa, bahwa mereka menggeluti dengan rajin dan penuh semangat segala jenis ilmu pengetahuan dan bahwa mereka memiliki, pada umumnya, suatu reputasi moralitas yang terketat. Pada akhirnya, dan hal ini hampir menghancurkan segala harapan agar mereka dapat disembuhkan, doktrin-doktrin mereka itu telah amat membengkokkan pikiran mereka sehingga mereka membenci segala jenis otoritas dan sama sekali tidak mengindahkan batasan-batasan apa pun. Dengan mengandalkan hati nurani yang tersesatkan, mereka melakukan segala hal agar orang-orang beranggapan bahwa mereka memiliki cinta yang besar untuk kebenaran, walau yang sebenarnya adalah buah dari kesombongan dan kekeraskepalaan.
Tentunya, Kami telah berharap bahwa mereka kelak akan berubah pikiran. Oleh karena itu, Kami telah memperlakukan mereka, pertama-tama, dengan kelemahlembutan, bagaikan anak-anak, lalu dengan keketatan, dan akhirnya – yang tidak Kami senangi – dengan teguran secara publik. Saudara-saudara, anda mengetahui betapa tindakan Kami sungguh tidak berbuahkan hasil. Mereka menundukkan kepada mereka untuk satu saat, tetapi mereka lalu segera mengangkat kepala mereka dengan lebih angkuh daripada sebelumnya. Jika saja hal ini adalah suatu masalah yang hanya melibatkan diri mereka sendiri, Kami mungkin tidak akan mencermatinya; tetapi keselamatan dari agama Katoliklah yang dipertaruhkan. Maka dari itu, kita harus berhenti berdiam diri karena keheningan sejak saat itu akan menjadi suatu kejahatan. Tiba waktunya untuk mencabut topeng dari para pria itu dan menyingkap mereka kepada Gereja universal sebagaimana adanya mereka.
PEMBAGIAN ENSIKLIK INI
Tetapi, para modernis (sebagaimana mereka disebut secara umum dan benar) menggunakan muslihat yang amat cerdik, yakni, dengan mengemukakan doktrin-doktrin mereka tanpa urutan dan tatanan yang sistematis ke dalam satu keseluruhan, melainkan secara tercerai-berai dan terpisah-pisah satu dari yang lainnya, agar mereka tampak ragu-ragu dan tidak yakin; walaupun kenyataannya, doktrin-doktrin mereka sebaliknya sangat teguh dan konsisten. Oleh karena itu, saudara-saudara yang terhormat, akan baik adanya untuk menghimpun ajaran-ajaran mereka di sini menjadi satu kelompok, dan untuk menunjukkan hubungan antara ajaran-ajaran mereka, dan oleh karena itu, untuk menelaah sumber-sumber kesalahannya, serta untuk memberikan resep untuk mencegah kejahatan itu.
BAGIAN I.
ANALISIS TENTANG AJARAN MODERNIS
Agar kita dapat membahas dengan jelas materi yang memang amat rumit ini, harus pertama-tama dicatat bahwa para modernis dapat dikatakan menghimpun dan mencampurkan berbagai kepribadian dalam diri mereka, yakni: sang filsuf, sang umat beriman, sang teolog, sang sejarahwan, sang kritikus, sang apologis, sang pembaru. Kepribadian-kepribadian ini penting untuk dibedakan satu dari yang lainnya jika kita ingin mengetahui dengan mendalam sistem mereka serta prinsip-prinsip yang dihasilkan oleh doktrin-doktrin mereka.
AGNOSTISISME – FONDASI FILOSOFIS DARI AJARAN MODERNIS
Kita memulai dengan sang filsuf. Para modernis meletakkan landasan dari filsafat agamawi mereka di dalam suatu doktrin yang sering disebut agnostisisme. Menurut ajaran ini, akal budi manusia terkurung sepenuhnya dalam alam fenomena; yakni, hal-hal yang tampak kepada pancaindra, dan sebagaimana hal-hal itu tampak secara persis. Akal budi manusia tidak memiliki hak maupun kekuatan untuk melampaui batasan-batasan ini. Oleh karena itu, akal budi manusia tidak mampu mengangkat dirinya sendiri untuk sampai kepada Allah, ataupun untuk mengenali keberadaan-Nya, bahkan lewat hal-hal yang kelihatan. Itulah doktrin agnostisisme. Dari doktrin ini, mereka menyimpulkan dua hal: bahwa Allah tidak dapat menjadi objek langsung dari ilmu pengetahuan, dan bahwa, sehubungan dengan sejarah, Ia tidak dapat dianggap sebagai subjek dari sejarah. Berlandaskan dasar-dasar pemikiran ini, seseorang dapat segera mengetahui apa yang akan terjadi kepada teologi alam, argumen kredibilitas, dan wahyu eksternal. Para modernis sederhananya menghapuskan hal-hal tersebut, dan menganggap hal-hal tersebut semata-mata sebagai intelektualisme, sebuah sistem yang, ujar mereka, konyol dan usang. Tiada suatu hal pun yang menghentikan mereka, tidak pun kutukan-kutukan yang dijatuhkan Gereja kepada kesalahan-kesalahan tersebut, sebab Konsili Vatikan telah mendekretkan hal berikut: “Jika seseorang berkata bahwa Allah yang satu dan sejati, Pencipta dan Tuhan kami, tidak dapat dikenal secara pasti lewat hal-hal yang telah diciptakan, lewat terang alami dari akal manusia: terkutuklah dia”.[4] Dan juga: “Jika seseorang berkata bahwa tidaklah mungkin ataupun bijaksana bahwa manusia diajarkan, lewat sarana wahyu ilahi, tentang Allah dan penyembahan yang harus diberikan kepada-Nya, terkutuklah dia”;[5] dan pada akhirnya: “Jika seseorang berkata bahwa wahyu ilahi tidak dapat dibuat menjadi dapat dipercaya lewat tanda-tanda eksternal, dan oleh karena itu, manusia harus tergerakkan kepada iman oleh pengalaman internal mereka sendiri atau oleh ilham pribadi, terkutuklah dia”.[6] Tetapi bagaimanakah para modernis melangkah dari agnostisisme, yang secara murni merupakan keadaan ketidaktahuan, menuju ateisme ilmiah dan historis, yang merupakan suatu doktrin penyangkalan positif? Dan, oleh karena itu, lewat proses pemikiran legitim manakah, mereka bermula dari ketidaktahuan tentang bilamana Allah memang telah turun tangan dalam sejarah umat manusia; lalu mereka, dalam penjelasan mereka tentang sejarah ini, mengabaikan Allah sepenuhnya, seakan-akan Ia telah sungguh tidak turun tangan? Hendaknya orang yang mengetahuinya, menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi, adalah suatu prinsip yang tidak berubah dan tetap dari antara mereka bahwa baik ilmu pengetahuan maupun sejarah haruslah bersifat ateis; dan di dalam batasan-batasan mereka, tiada tempat untuk hal apa pun selain fenomena; Allah dan segala hal yang bersifat ilahi sepenuhnya dikecualikan. Kita akan segera melihat dengan jelas hal apa, yang menurut ajaran yang amat absurd ini, harus dipercayai tentang pribadi Kristus yang terkudus, tentang misteri-misteri kehidupan-Nya dan Kebangkitan-Nya serta Kenaikan-Nya ke Surga.
IMANENSI VITAL
Bagaimanapun, agnostisisme ini hanyalah bagian negatif dari sistem sang modernis: sisi positifnya merupakan apa yang mereka sebut sebagai imanensi vital. Berikut bagaimana mereka melangkah dari satu sisi ke sisi lainnya. Agama, baik alami maupun supernatural, wajib, layaknya segala fakta yang lain, memiliki penjelasan. Tetapi, sekalinya teologi alam dihancurkan, segala jalan menuju wahyu tertutup oleh penolakan terhadap argumen kredibilitas, dan terlebih lagi, segala wahyu eksternal sepenuhnya dihapuskan, maka jelas adanya bahwa penjelasan untuk agama akan dicari dengan sia-sia di luar manusia itu sendiri. Maka, penjelasan itu haruslah dicari di dalam diri manusia; dan, karena agama adalah suatu bentuk kehidupan, penjelasan itu pastinya ditemukan di dalam kehidupan manusia. Demikianlah terbentuknya prinsip imanensi religius. Tetapi, semua fenomena vital – termasuk agama, seperti yang telah Kami katakan – disebabkan oleh suatu keperluan atau dorongan tertentu; oleh suatu perwujudan pertama dari fenomena vital: suatu gerakan hati yang disebut sentimen. Oleh karena itu, karena objek dari agama adalah Allah, kita harus menyimpulkan bahwa iman, yang merupakan prinsip dan landasan dari semua agama, tersimpan dalam suatu sentimen yang berasal dari suatu kebutuhan akan hal ilahi. Kebutuhan untuk hal ilahi ini, yang hanya dialami dalam kondisi-kondisi tertentu yang khusus dan menguntungkan, bukanlah, dengan sendirinya, bagian dari kesadaran. Secara prinsip, kebutuhan ini terpendam di dalam hal yang disebut-sebut oleh filsafat modern sebagai alam bawah sadar, di mana akar-akarnya tersembunyi dan tidak kelihatan.
Jika seseorang harus bertanya, bagaimanakah kebutuhan untuk hal ilahi ini yang dialami oleh manusia di dalam dirinya sendiri bertumbuh menjadi sebuah agama, sang modernis menjawab: Ilmu pengetahuan dan sejarah terkurung dalam dua batasan, yang satu eksternal, yakni dunia yang kelihatan, dan yang lain internal, yakni alam bawah sadar. Sewaktu salah satu dari batasan-batasan tersebut telah tercapai, tidak mungkin ada kemajuan selanjutnya, sebab apa yang melampaui batasan itu tidak dapat diketahui. Menghadapi hal yang tidak dapat diketahui tersebut, baik yang berada di luar manusia dan melampaui dunia alam yang kelihatan, maupun yang tersembunyi di dalam alam bawah sadar, kebutuhan akan hal ilahi tersebut, menurut prinsip-prinsip fideisme, membangkitkan suatu sentimen tertentu dalam jiwa yang condong tertarik kepada agama, tanpa sebelumnya perlu dinilai oleh pikiran. Sentimen ini memiliki, dengan sendirinya, realitas ilahi, sebagai objek dan sebab intimnya; dan mempersatukan dengan suatu cara tertentu manusia dengan Allah. Sentimen tersebut, oleh para modernis, dinamakan iman, dan itulah hal yang mereka anggap sebagai permulaan dari agama.
Tetapi, itu bukanlah akhir dari filsafat mereka, atau untuk menyebutnya secara lebih akurat, kegilaan mereka. Sebab di dalam sentimen ini, modernisme bukan hanya mendapati iman, tetapi juga bersama iman dan dalam iman, mereka mendapati wahyu. Sebab apa lagi yang mungkin diinginkan seseorang sebagai wahyu? Sentimen religius itu yang dapat dirasakan di dalam kesadaran, dan Allah yang, dalam sentimen tersebut menunjukkan diri-Nya sendiri kepada jiwa (walaupun dengan cara yang tidak jelas), bukankah itu wahyu, atau setidaknya, awal dari wahyu? Dan mereka menambahkan: karena Allah, pada waktu yang bersamaan, merupakan objek dan sebab dari iman, wahyu ini pada waktu yang bersamaan adalah milik Allah dan berasal dari Allah; yakni, Allah adalah yang mewahyukan dan yang diwahyukan.
Itulah, saudara-saudara yang terhormat, asal dari doktrin absurd para modernis, bahwa semua agama pada waktu yang bersamaan alami dan supernatural, menurut sudut pandang yang berbeda-beda. Itulah asal dari persamaan antara kesadaran dan wahyu. Itulah, pada akhirnya, asal dari hukum yang menetapkan kesadaran religius sebagai hukum universal, yang sepenuhnya setara dengan wahyu, dan yang harus ditaati oleh semua orang, bahkan otoritas tertinggi Gereja, baik dalam kapasitas pengajarannya maupun di dalam kapasitas pembuatan hukum liturgi atau disiplin sucinya.
PENYESATAN SEJARAH RELIGIUS ADALAH DAMPAKNYA
Bagaimanapun, di dalam semua proses ini, dari mana, menurut para modernis, iman dan wahyu berasal, terdapat satu poin yang patut dicatat secara khusus, karena poin ini amat penting sehubungan dengan dampak historis-kritis yang disimpulkan dari poin tersebut. Sebab hal yang tidak dapat diketahui yang mereka bicarakan tidak mewujudkan dirinya sendiri kepada iman secara tersendiri dan terisolir, melainkan secara erat dengan fenomena tertentu yang, walaupun merupakan bagian dari bidang ilmu pengetahuan dan sejarah, sedikit banyak melampaui batasan-batasan ilmu pengetahuan dan sejarah. Fenomena semacam itu mungkin merupakan suatu kenyataan dari alam, yang di dalamnya terkandung suatu hal yang misterius; atau mungkin seorang manusia, yang sifat, tindakan, dan perkataannya tampak tidak dapat diselaraskan dengan hukum-hukum sejarah yang lazim. Tetapi, hal berikut lalu terjadi: hal yang tidak dapat diketahui, dalam hubungannya dengan suatu fenomena, menarik iman. Iman lalu menyelubungi seluruh fenomena itu dan meresapkan kehidupan iman itu sendiri ke dalam fenomena. Dua hal pun terjadi dari hal ini. Pertama-tama, terjadi semacam transfigurasi dari fenomena tersebut, yang olehnya fenomena itu diangkat di atas kenyataannya sendiri untuk menyesuaikan fenomena tersebut kepada bentuk ilahi yang akan diberikan oleh iman kepada fenomena itu. Kedua, terjadi semacam disfigurasi dari fenomena itu. Disfigurasi disebabkan oleh fakta bahwa iman, yang telah membuat fenomena itu terlepas dari keadaan tempat dan waktu, memberikannya ciri-ciri yang tidak dimiliki oleh fenomena itu ; dan hal ini terutama benar untuk fenomena dari masa lalu, dan semakin tua fenomena itu, semakin benar hal ini. Dari kedua prinsip ini, para modernis menyimpulkan dua hukum, yang, sewaktu mereka persatukan dengan hukum ketiga yang mereka telah peroleh dari agnostisisme, merupakan landasan dari kritik sejarah mereka. Kita akan mengambil sebuah contoh gambaran dari pribadi Kristus. Di dalam pribadi Kristus, mereka berkata bahwa ilmu pengetahuan dan sejarah hanya menjumpai seorang manusia. Maka, atas nama hukum pertama yang diperoleh dari agnostisisme, segala hal yang terdapat di dalam sejarah-Nya yang memberikan kesan ilahi harus ditolak. Lalu, menurut hukum yang kedua, pribadi historis Kristus telah ditransfigurasikan oleh iman; maka, segala hal yang mengangkat-Nya di atas kondisi-kondisi historis haruslah dihapuskan. Terakhir, hukum ketiga, yang menetapkanbahwa pribadi Kristus telah didisfigurasikan oleh iman, mensyaratkan agar segala hal harus ditiadakan, tindakan dan perkataan dan segala hal yang tidak selaras dengan karakter-Nya, dengan kondisinya, dengan pendidikan-Nya, pada waktu dan masa di mana Ia hidup. Ini memang cara berpikir yang aneh ; tetapi, demikianlah kritik modernis itu.
Maka, sentimen religius itu, yang bersaranakan imanensi vital muncul dari kedalaman alam bawah sadar, merupakan benih dari segala agama, dan penjelasan untuk segala hal yang telah ada dan akan pernah ada di dalam agama mana pun. Sentimen ini, yang pada awalnya sangat sederhana dan hampir tidak berbentuk, mendewasa secara bertahap, di bawah pengaruh prinsip misterius dari mana sentimen itu berasal, dengan kemajuan hidup manusia, yang, seperti yang telah dikatakan, sentimen itu merupakan suatu bentuknya. Maka, inilah asal dari segala agama, bahkan agama supernatural: semua agama hanyalah suatu perkembangan dari sentimen religius ini. Tidak pun agama Katolik dikecualikan; agama Katolik disetarakan dengan agama lainnya, karena agama itu dilahirkan oleh proses imanensi vital, di dalam kesadaran Kristus, seorang pria yang memiliki sifat terbaik ; tiada seorang pun pernah dan akan menjadi seperti-Nya. – Orang-orang yang mendengar pernyataan-pernyataan yang lancang dan nista ini sungguh-sungguh terkejut. Tetapi, saudara-saudara yang terhormat, ini bukanlah ocehan yang bodoh dari orang-orang yang tidak beriman. Memang, banyak orang Katolik, serta imam, yang mengatakan hal-hal tersebut secara terbuka; dan mereka berbangga diri bahwa mereka akan membarui Gereja oleh celotehan ini! Tentunya, ini bukan lagi kesalahan kuno yang memberikan kepada sifat manusia suatu jenis hak atas aturan supernatural. Kita sudah jauh melampauinya: kita sudah mencapai titik di mana agama kita yang tersuci ini, dalam Kristus sang manusia sebagaimana juga di dalam diri kita, dinyatakan berasal secara spontan dan sepenuhnya dari alam. Tentunya, tiada yang menandingi hal ini dalam hal menghancurkan seluruh aturan supernatural. Itulah mengapa Konsili Vatikan mendekretkan dengan amat benar: “Jika seseorang berkata bahwa manusia tidak dapat diangkat secara ilahi menuju suatu pengetahuan dan kesempurnaan yang melebihi alam, tetapi bahwa ia dapat dan harus, oleh upaya-upayanya sendiri dan oleh suatu perkembangan yang konstan, pada akhirnya memperoleh kepemilikan atas segala kebenaran dan kebaikan, terkutuklah dia”.[7]
ASAL MUASAL DOGMA
Sejauh ini, saudara-saudara yang terhormat, hal yang dinamakan intelek belum disebutkan. Menurut para modernis, bagaimanapun, intelek juga memiliki bagian di dalam tindakan iman; hal ini penting adanya untuk dijelaskan. Di dalam sentimen yang telah sering Kami sebutkan, oleh karena sentimen bukanlah pengetahuan, Allah memang telah menghadirkan diri-Nya sendiri kepada manusia, tetapi dalam suatu cara yang begitu kabur dan tidak jelas sehingga Ia hampir tidak dapat dirasakan oleh orang beriman. Oleh karena itu, diperlukanlah suatu terang yang membuat sentimen itu menjadi jelas, agar Allah dapat dengan jelas dibedakan dan dipisahkan sentimen tersebut. Inilah tugas dari intelek, yang bertanggung jawab untuk merenungkan dan menganalisis, dan dengan demikian, manusia mengubah fenomena vital yang timbul di dalam dirinya menjadi gambaran mental, dan kemudian menuangkan gambaran mental itu di dalam kata-kata. Itulah asal dari perkataan yang sering dijumpai di antara para modernis: bahwa seorang manusia religius harus memikirkan imannya. Lalu, intelek yang menjumpai sentimen ini, mengarahkan diri kepada sentimen tersebut, dan menghasilkan di dalamnya suatu karya yang serupa dengan seorang pelukis yang memugar dan memberikan kehidupan baru kepada suatu lukisan yang telah usang seiring berjalannya waktu. Demikianlah, kira-kira, perumpaaan yang diberikan oleh salah satu dari pemimpin modernis. Tetapi, dalam karyanya ini, intelek memiliki dua operasi: pertama, oleh satu tindakan yang sederhana dan biasa, intelek mengungkapkan konsepnya dalam suatu pernyataan yang sederhana dan biasa; lalu, dengan melakukan renungan serta pertimbangan yang mendalam, atau seperti yang disebut para modernis, dengan menguraikan pikirannya, intelek pun mengungkapkan gagasannya di dalam rumusan-rumusan kedua yang diturunkan dari yang pertama, tetapi dengan lebih sempurna dan jelas. Rumusan-rumusan kedua ini, jika pada akhirnya menerima persetujuan dari magisterium tertinggi Gereja, merupakan dogma.
Maka, kita telah sampai kepada salah satu titik utama dalam sistem para modernis, yakni, asal muasal dan sifat dari dogma. Sebab bagi mereka, dogma berasal dari rumusan-rumusan yang primitif dan sederhana, yang di dalam aspek-aspek tertentu, diperlukan oleh iman. Sebab suatu wahyu yang benar mensyaratkan perwujudan Allah secara jelas di dalam kesadaran. Tetapi tampaknya mereka percaya bahwa dogma itu sendiri terkandung di dalam formula-formula kedua.
Agar kita dapat yakin akan sifat dogma, kita harus pertama-tama menemukan hubungan antara rumusan-rumusan religius dan sentimen religius. Hal ini dapat dengan mudah dimengerti oleh seseorang yang menyadari bahwa formula-formula ini tidak memiliki tujuan apa pun selain untuk memberikan kepada sang umat beriman suatu cara untuk memberi kesaksian imannya kepada dirinya sendiri. Rumusan-rumusan tersebut merupakan jembatan antara sang umat beriman dan imannya. Sehubungan dengan iman, rumusan-rumusan tersebut adalah ungkapan yang tidak memadai untuk objeknya, dan seringkali disebut simbol; sehubungan dengan sang umat beriman, rumusan-rumusan tersebut hanyalah semata-mata instrumen.
EVOLUSI DOGMA
Maka, sangatlah tidak mungkin untuk berkata bahwa rumusan-rumusan tersebut mengungkapkan kebenaran mutlak, sebab, sejauh mana rumusan-rumusan tersebut adalah simbol, mereka adalah gambaran dari kebenaran, dan oleh karena itu, harus disesuaikan dengan sentimen religius dan hubungannya dengan manusia; dan sebagai instrumen, rumusan-rumusan itu adalah sarana kebenaran, dan oleh karena itu, harus disesuaikan kepada manusia dalam hubungannya dengan sentimen religius. Tetapi hal-hal yang mutlak, yang merupakan objek dari sentimen tersebut, memiliki aspek yang tidak terhitung keberagamannya, dan hal-hal mutlak tersebut dapat menghadirkan diri berturut-turut dalam aspek-aspek yang berbeda-beda itu. Begitu pula, orang beriman pun dapat mengalami keadaan yang amat berupa-rupa. Oleh karena itu, rumusan-rumusan yang disebut dogma haruslah pula mengalami perubahan-perubanan semacam itu, dan oleh karena itu dapat berubah-ubah. Maka, terbukalah jalan untuk evolusi intrinsik dari dogma. Kumpulan sofisme inilah yang meruntuhkan dan menghancurkan semua agama. Dogma bukan hanya dapat, tetapi harus berevolusi dan diubah. Hal ini secara teguh ditegaskan oleh para modernis, dan sebagaimana yang mengalir secara jelas dari prinsip-prinsip mereka. Oleh karena dari antara poin-poin utama ajaran mereka adalah hal berikut, yang mereka simpulkan dari prinsip imanensi vital: bahwa rumusan-rumusan religius, agar benar-benar menjadi religius dan bukan semata-mata hanya spekulasi teologis, haruslah hidup dan menjiwai kehidupan dari sentimen religius. Hal ini tidak boleh dimengerti dalam makna bahwa rumusan-rumusan ini dibuat untuk sentimen religius, terutama jika rumusan-rumusan ini semata-mata imaginatif. Tidak, asal muasal, jumlah, dan bahkan sedikit banyak kualitas rumusan-rumusan tersebut tidaklah terlalu penting. Hal yang diperlukan adalah bahwa sentimen tersebut, setelah diubah sesuai keperluan, harus mengasimilasikan rumusan-rumusan tersebut. Dalam kata lain, rumusan primitif itu harus diterima dan disetujui oleh hati; dan juga karya setelahnya yang menghasilkan rumusan-rumusan kedua harus berlangsung di bawah bimbingan hati. Maka, agar rumusan-rumusan tersebut hidup, rumusan-rumusan itu harus, dan harus tetap disesuaikan kepada iman dan kepada orang yang percaya. Oleh karena itu, jika. untuk suatu alasan pun, penyesuaian ini berhenti terjadi, makna pertama dari rumusan-rumusan tersebut pun hilang, dan oleh karena itu rumusan-rumusan itu harus diubah. Dan karena sifat dan nasib dari rumusan-rumusan dogmatis sangat tidak menentu, tidaklah begitu mengejutkan bahwa para modernis menganggap enteng dan secara terbuka meremehkan rumusan-rumusan tersebut . Dan mereka begitu lancangnya menuduh Gereja akan hal-hal berikut: bahwa Gereja mengambil jalan yang salah akibat ketidakmampuannya untuk membedakan pengertian religius dan moral rumusan-rumusan itu dari makna permukaan rumusan-rumusan tersebut; dan bahwa Gereja bersikeras berpegangan secara sia-sia kepada rumusan-rumusan yang tidak bermakna sambil membiarkan agama hancur. Begitu butanya para modernis itu, mereka yang menuntun orang yang buta, sehingga, dikembungkan oleh ilmu pengetahuan yang congkak, mereka pun mencapai kegilaan semacam ini di mana membejatkan konsep abadi dari kebenaran dan sifat sejati dari sentimen religius. Dengan sistem baru milik mereka, mereka tampaknya berada di bawah pengaruh nafsu yang buta yang tidak terkendalikan untuk hal-hal baru, tanpa sama sekali berpikir untuk menemukan landasan kebenaran yang kokoh. Tetapi, karena mereka membenci tradisi-tradisi kudus dan apostolik, mereka pun menganut doktrin-doktrin lainnya yang sia-sia dan tidak jelas yang telah dikutuk oleh Gereja, yang mereka kira, dalam puncak keangkuhan mereka, dapat mereka gunakan sebagai landasan untuk mempertahankan kebenaran sendiri.[8]
SANG MODERNIS SEBAGAI UMAT BERIMAN: PENGALAMAN INDIVIDUAL DAN KEPASTIAN RELIGIUS
Sejauh ini, saudara-saudara yang terhormat, kita telah membahas sang modernis sebagai filsuf. Sekarang, jika kita berlanjut untuk mempertimbangkannya sebagai umat beriman, untuk mengetahui bagaimana sang umat beriman, menurut modernisme, dibedakan dari sang filsuf, harus dicermati bahwa walaupun sang filsuf mengakui realitas ilahi sebagai objek dari iman, realitas ini tidak dapat ditemukan selain di dalam hati sang umat beriman, sebagai suatu objek dari sentimen dan pernyataan; dan oleh karena itu, terkurung dalam alam fenomena. Tetapi, bilamana realitas ilahi ada dengan sendirinya, di luar sentimen dan pernyataan-pernyataan, sang filsuf tidak peduli akan hal itu. Kebalikannya bagi sang umat beriman modernis, adalah suatu fakta yang tetap dan pasti bahwa realitas ilahi memang ada dengan sendirinya, tidak peduli orang yang percaya kepadanya. Jika anda bertanya hal apakah yang mendasari pernyataan sang umat beriman ini, mereka menjawab: pengalaman sang individu. Tentang hal ini, kepala para modernis berbeda pendapat dari para rasionalis, dan semata-mata jatuh ke dalam pendapat para Protestan dan para mistik palsu. Berikut adalah cara mereka untuk mengajukan pertanyaan mereka: di dalam sentimen religius, seseorang harus mengakui suatu jenis intuisi hati yang menempatkan seseorang dalam hubungan langsung dengan realitas Allah sendiri dan meresapkan keyakinan akan keberadaan Allah dan tindakan-Nya itu di dalam dan di luar diri manusia, sampai jauh melampaui segala keyakinan ilmiah. Maka dari itu, para modernis menyatakan adanya suatu pengalaman yang riil, dan suatu jenis pengalaman yang luar biasa yang melampaui segala pengalaman rasional. Jika pengalaman ini disangkal oleh beberapa orang, seperti oleh para rasionalis, penyangkalan tersebut muncul dari fakta bahwa orang-orang itu tidak hendak untuk menempatkan diri mereka sendiri di dalam keadaan moral yang diperlukan untuk menghasilkan pengalaman itu. Pengalaman inilah yang, sewaktu diperoleh seseorang, membuat orang itu sungguh-sungguh menjadi seorang umat beriman.
Betapa jauhnya kita dari ajaran Katolik yang telah kita lihat di dalam dekret Konsili Vatikan. Kita akan melihat, kemudian, bagaimana dengan teori-teori semacam itu, yang ditambahkan kepada kesalahan-kesalahan lain yang telah disebutkan, terbukalah jalan yang lebar menuju ateisme. Di sini, patut untuk segera dicatat bahwa, dengan doktrin pengalaman ini, yang dipersatukan dengan doktrin lain, yakni simbolisme, semua agama, bahkan paganisme, harus dipercaya sebagai agama yang benar. Hal apakah yang dapat mencegah pengalaman-pengalaman tersebut untuk dijumpai di dalam setiap agama? Kenyataannya, tidak sedikit jumlah orang yang menyatakan hal yang serupa. Dan dengan hak apakah para modernis akan menyangkal kebenaran tentang suatu pengalaman yang diakui oleh seorang pengikut Islam? Atas dasar prinsip apakah mereka mungkin memberikan kepada orang-orang Katolik satu-satunya hak atas pengalaman-pengalaman yang benar? Memang, para modernis tidak menyangkal, melainkan mengakui, beberapa dari mereka secara tersembunyi, sedangkan yang lainnya secara terang-terangan, bahwa semua agama benar adanya. Jelas bahwa mereka tidak dapat merasakan hal yang sebaliknya. Sebab, atas dasar apakah, menurut teori mereka, kesalahan dapat diatribusikan kepada suatu agama apa pun? Pastinya berdasarkan salah satu dari kedua hal berikut: atas dasar kesalahan dari sentimen religius atau atas dasar kesalahan dari rumusan yang diucapkan oleh pikiran. Tetapi, walaupun sentimen religius mungkin lebih sempurna atau kurang sempurna, sentimen religius selalu merupakan hal yang satu dan yang sama; dan rumusan intelektual, agar menjadi benar, haruslah menanggapi sentimen religius dan kepada sang umat beriman, apa pun kemampuan intelektual sang umat beriman itu. DI dalam konflik antara agama-agama yang berbeda, batasan terjauh yang dapat dipertahankan oleh para modernis adalah bahwa agama Katolik memiliki lebih banyak kebenaran, sebab agama Katolik lebih hidup, dan bahwa agama Katolik, secara logis, lebih berhak mendapatkan nama Kristen karena agama Katolik bersesuaian secara lebih penuh dengan asal muasal Kekristenan. Konsekuensi inilah yang mengalir dari dasar-dasar pemikiran tersebut, hal ini pastinya tampak wajar kepada semua orang. Tetapi hal yang menakjubkan adalah bahwa terdapat orang-orang dan imam-imam Katolik yang, Kami hendak percaya bahwa mereka jijik akan keburukan semacam itu, bagaimanapun bertindak seakan-akan mereka sepenuhnya menyetujuinya. Sebab mereka memuji-muji dan memberikan penghargaan secara publik kepada para pengajar kesalahan-kesalahan ini, layaknya untuk membuat orang percaya bahwa kekaguman mereka bukan hanya semata-mata diperuntukkan bagi para pribadi [para modernis itu], yang mungkin memiliki kebaikan tertentu, melainkan bagi kesalahan-kesalahan yang diakui secara terang-terangan oleh orang-orang tersebut, yang mereka sebarluaskan dengan segenap kemampuan mereka.
PENGALAMAN DAN TRADISI RELIGIUS
Suatu titik di mana para modernis sungguh-sungguh bertentangan dengan iman Katolik, adalah prinsip pengalaman religius. Prinsip ini mereka perpanjangkan dan terapkan kepada tradisi, sebagaimana yang dimengerti oleh Gereja, dan prinsip ini pun menghancurkan tradisi. Bagi para modernis, tradisi dimengerti sebagai suatu komunikasi kepada orang lain, oleh khotbah, oleh rumusan intelektual dari suatu pengalaman orisinal. Kepada rumusan ini, di samping nilai representatifnya, mereka atribusikan suatu jenis kemujaraban sugestif, yang bertindak di dalam manusia yang percaya, yaitu mendorong orang tersebut kepada sentimen religius, jika sentimen itu telah menjadi lesu, dan membarui pengalaman yang telah diperoleh sekalinya; serta di dalam orang-orang lain yang belum percaya, yaitu membangunkan untuk pertama kalinya sentimen religius dalam diri mereka dan untuk menghasilkan pengalaman. Dengan cara ini, pengalaman religius tersebar di antara orang-orang; dan bukan semata-mata di antara orang-orang seusia oleh pengkhotbahan, tetapi juga di antara keturunan di masa datang, baik lewat buku-buku maupun lewat penuturan lisan, dari seorang kepada yang lain. Terkadang, komunikasi dari pengalaman religius ini berakar dan berkembang, pada waktu yang lain, seketika layu dan mati. Bagi para modernis, untuk hidup adalah bukti kebenaran, sebab bagi mereka, hidup dan kebenaran adalah hal yang satu dan sama. Maka, kita dapat menyimpulkan kembali bahwa semua agama yang ada sama benarnya, sebab jika tidak, agama-agama itu tidak akan hidup.
IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Karena kita sudah mencapai titik ini, saudara-saudara yang terhormat, kita memiliki materi yang cukup yang menyanggupkan kita untuk melihat hubungan yang dibuat oleh para modernis antara iman dan ilmu pengetahuan, termasuk sejarah dan juga di bawah nama ilmu pengetahuan. Dan hal yang terpenting untuk dipercayai adalah bahwa objek dari yang satu sangatlah terasing dari dan terpisah dari objek yang lain. Sebab iman hanya memedulikan suatu hal yang dinyatakan tidak dapat diketahui oleh ilmu pengetahuan. Maka, terdapat bidang yang terpisah yang telah diperuntukkan bagi masing-masing: ilmu pengetahuan sepenuhnya memedulikan realitas fenomena, yang sama sekali tidak didalami oleh iman; iman, sebaliknya, memedulikan realitas ilahi, yang sama sekali tidak dapat diketahui oleh ilmu pengetahuan. Maka, tercapai kesimpulan bahwa sama sekali tidak pernah akan ada ketidaksetujuan antara iman dan ilmu pengetahuan, sebab jika masing-masing menjaga bidangnya, keduanya tidak akan pernah dapat bertemu, dan oleh karena itu, tidak akan pernah dapat bertentangan. Dan jika terdapat penolakan bahwa di dalam dunia yang kelihatan, terdapat beberapa hal yang tergolong bidang iman, contohnya, kehidupan manusiawi dari Kristus, para modernis menjawab dengan menyangkal hal ini. Memang benar, ujar mereka, bahwa hal-hal tersebut menurut sifatnya tergolong dalam kategori fenomena; tetapi, sejauh mana hal-hal tersebut dijiwai oleh iman dan di dalam cara yang telah dijelaskan, telah ditransfigurasikan dan didisfigurasikan oleh iman, hal-hal tersebut telah dipindahkan dari dunia jasmani dan dialihkan menjadi materi untuk hal-hal ilahi. Maka, sewaktu ditanya, apakah Yesus Kristus telah melakukan mukjizat-mukjizat sejati dan membuat nubuat-nubuat sejati; apakah Ia telah bangkit dan naik ke Surga: tidak, jawaban dari ilmu pengetahuan agnostik; ya, jawaban dari iman. Tetapi, sehubungan dengan hal itu, tidak akan terdapat konflik antara keduanya: jawaban negatif dari sang filsuf saat berbicara dengan para filsuf, dan yang hanya membayangkan Yesus Kristus menurut realitas historis; jawaban afirmatif dari sang umat beriman yang tertuju kepada para umat beriman, dan yang menganggap kehidupan Yesus Kristus kembali dijiwai oleh iman dan dalam iman.
IMAN TUNDUK KEPADA ILMU PENGETAHUAN
Tetapi, akan menjadi suatu kesalahan besar sewaktu seseorang beranggapan bahwa, mengingat teori-teori ini, seseorang diizinkan untuk percaya bahwa iman dan ilmu pengetahuan bergantung satu sama lain. Dari sisi ilmu pengetahuan, ketidakbergantungan itu memang penuh, tetapi hal itu sungguh berbeda sehubungan dengan iman, yang tunduk kepada ilmu pengetahuan bukan dalam satu, melainkan tiga hal. Sebab pertama-tama, haruslah dicermati bahwa di dalam setiap fakta religius, sewaktu realitas ilahi dan pengalaman akan realitas ilahi yang dimiliki oleh sang umat beriman dihapuskan, segala hal yang lain, dan terutama formula-formula religiusnya, merupakan bagian dari alam fenomena, dan oleh karena itu, berada di bawah kuasa ilmu pengetahuan. Sang umat beriman boleh meninggalkan dunia jika ia menghendakinya, tetapi, selama ia berada di dalam dunia, ia harus tetap, terlepas bilamana ia menyukainya atau tidak, tunduk kepada hukum-hukum, pengamatan, dan penilaian-penilaian ilmu pengetahuan dan sejarah. Terlebih lagi, sewaktu dinyatakan bahwa Allah adalah objek dari iman satu-satunya, pernyataan tersebut hanya merujuk kepada realitas ilahi, bukan kepada ide tentang Allah. Ide tentang Allah juga tunduk kepada ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan, dalam aturan logis, seperti yang mereka katakan, juga membumbung sampai kepada hal yang mutlak dan ideal. Maka dari itu, adalah hak dari filsafat dan dari ilmu pengetahuan untuk membentuk kesimpulan-kesimpulan sehubungan dengan ide tentang Allah, untuk membimbingnya dalam evolusinya, dan untuk memurnikannya dari segala elemen yang tidak ada hubungannya yang mungkin membaur dengannya. Itulah asal dari semboyan para modernis ini: bahwa evolusi religius harus bertepatan dengan evolusi intelektual dan moral, atau untuk mengungkapkannya dengan lebih baik dan sesuai dengan perkataan dari salah satu kepala mereka, tunduk kepada evolusi intelektual dan moral. Pada akhirnya, manusia tidak akan menderita dualisme dalam dirinya sendiri: juga, sang umat beriman terdorong oleh suatu kebutuhan yang intim untuk menyelaraskan iman dengan ilmu pengetahuan agar iman tidak akan pernah dapat menentang pemikiran umum yang diajukan oleh ilmu pengetahuan tentang alam semesta.
Maka, jelas bahwa ilmu pengetahuan harus sepenuhnya terbebas dari iman, sedangkan, di sisi lain, dan terlepas bahwa keduanya seharusnya terasing satu dari yang lainnya, iman dijadikan tunduk kepada ilmu pengetahuan. Semua ini, saudara-saudara yang terhormat, secara formal bertentangan dengan ajaran-ajaran pendahulu Kami, Pius IX, di mana ia menetapkan bahwa: Dalam hal-hal agama, tugas filsafat bukanlah untuk memerintah, melainkan untuk melayani; bukan untuk menentukan apa yang harus dipercayai, melainkan untuk menganut apa yang harus dipercayai dengan ketaatan yang wajar; bukan untuk mencermati kedalaman-kedalaman misteri Allah, melainkan untuk menghormatinya dengan takwa dan rendah hati.[9]
Para modernis sama sekali memutarbalikkan bagian-bagiannya, dan kepada mereka, dapat diterapkan kata-kata salah seorang dari pendahulu Kami yang lain, Gregorius IX, yang tertuju kepada beberapa teolog pada masanya: “Beberapa dari anda, kembung dengan roh keangkuhan bagaikan kantong kulit anggur, berjuang lewat hal-hal baru yang profan untuk menyeberangi batasan-batasan yang ditetapkan oleh para bapa, memutarbalikkan arti dari Surat-Surat Suci… kepada doktrin-doktrin filsafat rasional, bukan untuk kebaikan para pendengarnya, melainkan untuk memamerkan ilmu pengetahuan… orang-orang ini, yang tersesatkan oleh doktrin-doktrin aneh dan eksentrik, menempatkan ekor di kepala, dan memaksakan sang ratu untuk melayani sang pelayan”.[10]
METODE-METODE PARA MODERNIS
Hal ini menjadi bahkan lebih jelas bagi semua orang yang mempelajari kelakuan para modernis, yang sangat selaras dengan ajaran-ajaran mereka. Di dalam karya tulis serta sambutan-sambutan mereka, mereka sering pada suatu waktu, mendukung satu doktrin, lalu doktrin yang lainnya, sehingga seseorang akan tergoda untuk percaya bahwa para modernis jatuh ke dalam kontradiksi diri, bahwa mereka itu bimbang dan tidak yakin. Tetapi, terdapat alasan untuk hal ini, yang ditemukan di dalam gagasan mereka bahwa iman dan ilmu pengetahuan terasing satu dari yang lainnya. Karya tulis mereka yang semacam itu mungkin dapat ditandatangani oleh seorang Katolik; tetapi, balikkan halamannya: anda akan percaya bahwa anda membaca tulisan seorang rasionalis. Sewaktu mereka menuliskan sejarah, mereka sama sekali tidak menyebutkan keilahian Yesus Kristus; sewaktu mereka berada di mimbar suci, mereka mengakui keilahian Yesus Kristus dengan jelas. Kembali mereka menuliskan sejarah, mereka sama sekali tidak memperhatikan para Bapa dan Konsili-Konsili, tetapi sewaktu mereka memberikan katekese kepada orang-orang, mereka mengutip para Bapa dan Konsili-Konsili dengan penuh hormat. Jika anda memperhatikannya, bagi mereka terdapat dua eksegesis yang amat berbeda: eksegesis teologis dan pastoral; serta eksegesis ilmiah dan historis. Demikian pula, atas dasar prinsip bahwa ilmu pengetahuan sama sekali tidak bergantung kepada iman, sewaktu mereka berbicara tentang filsafat, sejarah, kritik, mereka sama sekali tidak ngeri bahwa mereka mengikuti jejak kaki Luther.[11] Mereka terbiasa menampilkan kebencian mereka terhadap ajaran-ajaran Katolik, terhadap para Bapa Suci, terhadap Konsili-Konsili Ekumenis, terhadap Magisterium Gereja; dan sewaktu mereka ditegur untuk hal ini, mereka mengeluh bahwa kebebasan mereka dirampas. Akhirnya, berbimbingkan teori bahwa iman harus tunduk kepada ilmu pengetahuan, mereka terus-menerus mengkritik Gereja secara terang-terangan oleh karena Gereja bersikeras menolak untuk tunduk dan menyesuaikan dogma-dogmanya kepada pendapat-pendapat filsafat; sedangkan, di sisi mereka, setelah menghapuskan teologi lama, mereka berjuang untuk memperkenalkan suatu teologi baru yang akan mengikuti kegilaan dari para filsuf mereka.
SANG MODERNIS SEBAGAI TEOLOG: PRINSIP-PRINSIPNYA, IMANENSI DAN SIMBOLISME
Dan oleh karena itu, saudara-saudara yang terhormat, terbukalah jalan bagi kita untuk mempelajari para modernis dalam gelanggang teologis – suatu tugas yang sulit: Kami akan merangkumnya dalam kata-kata yang singkat. Intinya adalah untuk menyelaraskan ilmu pengetahuan dan iman, tetapi, dengan ilmu pengetahuan yang memiliki keutamaan terhadap iman. Metode dari sang teolog modernis adalah sepenuhnya untuk mengambil prinsip-prinsip dari filsafat dan menyesuaikannya kepada sang umat beriman: prinsip-prinsip imanensi dan simbolisme. Proses ini amat sangat sederhana. Sang filsuf telah berkata: prinsip dari iman itu imanen; sang umat beriman telah menambahkan: prinsip itu adalah Allah; dan sang teolog mengambil kesimpulan: Allah itu imanen di dalam manusia. Demikianlah asal dari imanensi teologis. Demikian pula, sang filsuf menganggap pasti bahwa representasi objek-objek dari iman itu semata-mata simbolis. Sang umat beriman menambahkan: objek dari iman adalah Allah dalam diri-Nya sendiri. Sang teolog menyimpulkan: maka, representasi dari realitas ilahi itu sepenuhnya simbolis. Demikianlah asal dari simbolisme teologis. Kedua kesalahan itu memang begitu besar, dan sifatnya yang amat berbahaya akan terlihat jelas dengan mencermati dampak-dampaknya. Karena, jika kita memulai dengan simbolisme, karena simbol hanyalah simbol sehubungan dengan objeknya, dan hanyalah instrumen sehubungan dengan umat beriman, terdapatlah dua dampak: dampak yang pertama, bahwa sang umat beriman tidak boleh berpegang secara ketat kepada rumusannya, melainkan harus menggunakan rumusan itu semata-mata untuk mencapai kebenaran mutlak, yang diselubungi dan disingkapkan oleh formula itu pada waktu yang bersamaan – kebenaran mutlak yang diusahakan untuk diungkapkan oleh rumusan itu dengan sia-sia. Dampak yang kedua, adalah bahwa sang umat beriman harus menggunakan rumusan-rumusan tersebut sejauh mana rumusan-rumusan itu berguna bagi dirinya, karena rumusan-rumusan tersebut diberikan kepadanya sebagai bantuan dan bukan halangan untuk imannya; di bawah kaidah sosial yang pantas diberikan kepada rumusan-rumusan tersebut, yang telah dianggap layak oleh magisterium publik untuk mengungkapkan kesadaran bersama sampai pada waktu tertentu di mana magisterium yang sama akan mengungkapkan hal yang berlainan. Tentang imanensi, tidaklah mudah untuk menentukan apa yang dimaksudkan oleh para modernis dengan imanensi, sebab pendapat-pendapat mereka tentang hal tersebut berbeda-beda. Beberapa mengerti imanensi dalam artian bahwa Allah yang berkarya dalam manusia hadir secara lebih intim di dalam diri manusia daripada manusia di dalam dirinya sendiri, dan pemikiran ini, jika dimengerti secara benar, tidak bercacat. Yang lain berkata bahwa tindakan ilahi itu satu adanya dengan tindakan alam, sebab tindakan dari sebab pertama itu satu adanya dengan tindakan dari sebab kedua, dan hal ini akan menghancurkan aturan supernatural. Yang lain pada akhirnya menjelaskan imanensi dalam suatu cara yang mendukung panteisme, dan kenyataannya, inilah artian yang paling bertepatan dengan doktrin-doktrin mereka yang lain.
Prinsip imanensi ini berhubungan dengan suatu prinsip lain yang dapat disebut permanensi ilahi. Permanensi ilahi berbeda dari imanensi dalam cara yang sama dengan bagaimana pengalaman pribadi berbeda dari pengalaman yang disebarkan lewat tradisi. Suatu contoh akan menggambarkan arti dari hal ini, dan contoh ini diberikan oleh Gereja dan sakramen-sakramen. Gereja dan sakramen-sakramen, ujar mereka, tidak boleh dipandang sebagai hal telah diinstitusikan oleh Kristus sendiri. Hal ini dilarang oleh agnostisisme, yang hanya memandang Kristus semata-mata sebagai seorang manusia, yang kesadaran religius-Nya, yang seperti kesadaran religius semua manusia, terbentuk sedikit-demi sedikit ; hal ini juga dilarang oleh hukum imanensi, yang menolak apa yang mereka sebut sebagai penerapan eksternal. Selanjutnya, hal tersebut dilarang oleh hukum evolusi, yang mensyaratkan suatu waktu dan suatu rentetan keadaan tertentu agar perkembangan dari benih-benih dapat terjadi; pada akhirnya, hal itu pun dilarang oleh sejarah, yang menunjukkan bahwa kenyataannya, demikianlah hal-hal harus terjadi. Bagaimanapun, haruslah dipercayai bahwa baik Gereja maupun sakramen-sakramen telah didirikan secara tidak langsung oleh Kristus. Tetapi bagaimanakah caranya? Beginilah caranya: semua kesadaran Kristiani, ujar mereka, terkandung sedikit banyak di dalam kesadaran Kristus, sebagaimana tanaman terkandung di dalam benihnya. Tetapi, sewaktu ranting-rantingnya menjalani kehidupan benih itu, begitu pula, semua orang Kristiani harus dikatakan menjalani kehidupan Kristus. Tetapi, hidup Kristus adalah hidup yang menurut iman, dan oleh karena itu, begitu pula kehidupan orang Kristiani. Dan karena di dalam suatu selang waktu tertentu, kehidupan Kristiani ini menghasilkan baik Gereja maupun sakramen-sakramen, sungguhlah benar untuk berkata bahwa Gereja dan sakramen-sakramen berasal dari Kristus dan bersifat ilahi. Dengan cara yang sama, mereka membuktikan bahwa Kitab Suci dan dogma-dogma bersifat ilahi. Dengan demikian, teologi modernis dapat dikatakan komplet. Sungguh, ini bukanlah hal yang besar, tetapi lebih dari cukup untuk sang teolog yang mengakui bahwa kesimpulan-kesimpulan ilmu pengetahuan harus selalu, dan di dalam segala hal, dihormati. Penerapan dari teori-teori ini kepada poin-poin lainnya yang akan Kami uraikan mudah diduga oleh seorang pun untuk dirinya sendiri.
DOGMA DAN SAKRAMEN-SAKRAMEN
Sejauh ini, kita telah berbicara tentang asal muasal dan sifat dari iman. Tetapi, karena iman memiliki banyak ranting, dan yang terutama dari ranting-ranting tersebut adalah Gereja, dogma, ibadat, buku-buku yang kita sebut “suci”, kita harus mengetahui apa yang diajarkan oleh para modernis tentang hal-hal ini. Untuk memulai dengan dogma, Kami telah mengindikasikan asal muasal serta sifatnya. Dogma terlahir dari kebutuhan yang dialami oleh umat beriman untuk menguraikan pikiran religiusnya, agar dapat memperjelas pikiran religiusnya itu kepada dirinya sendiri dan orang lain. Penguraian ini sepenuhnya terdiri dari proses pendalaman dan penyempurnaan rumusan yang primitif, memang, bukan sesuai perkembangan yang logis dan rasional, melainkan didiktekan sepenuhnya oleh keadaan-keadaan. Mereka menyebutnya dengan suatu kata yang agak tidak jelas bagi orang-orang yang tidak terbiasa dengan gaya bahasa mereka, yakni secara vital. Maka, terjadilah bahwa di sekeliling rumusan primitif itu, rumusan-rumusan kedua pun lalu terbentuk secara bertahap, dan rumusan-rumusan kedua ini lalu dikumpulkan dalam suatu tubuh doktrin, atau konstruksi doktrin, seperti yang mereka lebih gemar sebutkan, dan yang lalu didukung oleh magisterium publik; sebagai tanggapan terhadap kesadaran bersama, rumusan-rumusan tersebut pun dinamakan dogma. Dogma harus dibedakan secara berhati-hati dari spekulasi para teolog, yang, walaupun tidak hidup di dalam kehidupan dogma, memang berguna untuk menyelaraskan agama dengan ilmu pengetahuan dan melenyapkan pertentangan di antara keduanya, sedemikian rupa sehingga menjelaskan agama, dan bahkan dapat digunakan untuk mempersiapkan hal-hal untuk dogma di masa depan. Mengenai ibadat, tidak terdapat banyak hal yang dapat dikatakan, karena istilah ini mencakup sakramen-sakramen, yang tentangnya para modernis melakukan kesalahan terberat. Bagi mereka, sakramen-sakramen adalah hasil dari suatu kebutuhan berganda – karena, seperti yang telah kita lihat, segala hal di dalam sistem mereka dijelaskan oleh dorongan-dorongan atau kebutuhan-kebutuhan interior. Kebutuhan yang pertama di sini adalah untuk memberikan kepada agama suatu perwujudan yang dapat dirasakan; yang kedua, untuk menyebarkannya, suatu hal yang tidak dapat dilakukan tanpa bentuk yang berwujud dan tindakan konsekrasi, dan hal-hal tersebut dinakan sakramen. Tetapi, bagi para modernis, sakramen-sakramen semata-mata hanya simbol atau tanda-tanda, walaupun tidaklah tanpa kemujaraban – suatu kemujaraban yang, ujar mereka, bagaikan kata-kata tertentu yang disebut oleh khalayak ramai, sebagai “menjadi populer”, sejauh mana sakramen-sakramen tersebut telah menjadi sarana untuk penyebaran gagasan-gagasan besar tertentu yang mengagumkan kepada pikiran publik. Hubungan antara perkataan dengan gagasan serupa dengan hubungan antara sakramen dengan sentimen religius – tidak lebih dari itu. Para modernis akan berbicara dengan lebih jelas jika saja mereka menyatakan bahwa sakramen-sakramen diinstitusikan hanya untuk memupuk iman – tetapi hal ini telah dikutuk oleh Konsili Trente: “Jika seseorang berkata bahwa sakramen-sakramen ini diinstitusikan hanya untuk memupuk iman, terkutuklah dia”.[12]
KITAB SUCI
Kami telah membahas sedikit banyak tentang sifat dan asal muasal dari buku-buku suci. Menurut prinsip-prinsip para modernis, buku-buku tersebut dapat secara benar dideskripsikan sebagai kumpulan pengalaman-pengalaman ; memang bukan pengalaman-pengalaman yang mungkin terjadi kepada siapa pun, melainkan pengalaman-pengalaman yang luar biasa dan mencolok yang telah terjadi di dalam agama mana pun. Dan inilah persisnya apa yang mereka ajarkan tentang kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjan Baru kita. Tetapi, untuk menyesuaikannya kepada teori-teori mereka, mereka mencatat dengan amat cerdik bahwa walaupun pengalaman adalah hal yang berhubungan dengan masa kini, bagaimanapun, pengalaman tetap dapat memperoleh materinya baik dari masa lalu maupun masa depan, sejauh mana sang umat beriman selalu kembali menghayati masa lalu lewat ingatan sebagaimana mereka hidup di masa kini, dan telah menghayati masa depan lewat antisipasi.
Hal ini menjelaskan bagaimana buku-buku historis dan apokaliptik termasuk ke dalam tulisan-tulisan suci. Allah memang berbicara di dalam buku-buku ini – bersaranakan sang umat beriman itu, tetapi, menurut teologi modernis, lewat imanensi dan permanensi vital. Jika kita bertanya, bagaimana dengan ilham? Ilham, jawab mereka, hanyalah berbeda intensitasnya dari dorongan yang menstimulasikan sang umat beriman untuk mengomunikasikan iman yang ada di dalam dirinya lewat kata-kata atau tulisan. Kita menemukan suatu hal yang serupa dalam ilham puitis, dan kita pun mengingat kata-kata yang terkenal ini: “Terdapat seorang Allah di dalam diri kita, Ialah yang mengobarkan api di dalam diri kita”. Dan dalam makna yang persis inilah Allah disebut sebagai asal-muasal dari ilham buku-buku suci. Para modernis juga menyatakan bahwa tiada hal yang terdapat di dalam buku-buku ini yang tidak diilhami. Di dalam hal ini, seseorang mungkin tergerak untuk menganggap bahwa mereka lebih ortodoks daripada para modernis lainnya, yang kurang lebih membatasi ilham sebagai suatu hal yang dinyatakan sebagai kutipan yang tersirat. Tetapi ini semua hanyalah permainan kata-kata. Sebab jika kita mengambil Kitab Suci, menurut asas-asas agnostisisme, sebagai karya manusia, yang dibuat oleh manusia untuk manusia, tetapi mengizinkan sang teolog untuk menyatakan bahwa Kitab Suci bersifat ilahi oleh imanensi, bagaimanakah ilham mungkin ada di dalamnya? Ilham umum, dalam artian modernis, mudah ditemukan, tetapi ilham dalam artian Katolik, tidak ada bekasnya sama sekali.
GEREJA
Kita sekarang sampai kepada Gereja, di mana khayalan-khayalan mereka yang begitu banyak akan kita bahas. Anda harus memulai dengan anggapan bahwa Gereja terlahirkan dari dua kebutuhan: dari kebutuhan yang dialami semua umat beriman, terutama jika umat beriman telah memiliki suatu pengalaman orisinal dan istimewa, untuk mengomunikasikan imannya kepada orang lain, dan kebutuhan untuk Misa sewaktu iman telah menjadi umum untuk banyak orang, dan untuk membentuk dirinya sendiri menjadi suatu masyarakat dan untuk menjaga, meningkatkan, dan menyebarkan kebaikan bersama. Lalu apakah Gereja? Gereja adalah hasil dari kesadaran bersama; yakni, dari kumpulan kesadaran individu yang, berkat prinsip permanensi vitalnya, yang berasal dari umat beriman pertama – bagi para Katolik, dari Yesus Kristus. Tetapi, semua masyarakat memerlukan seorang kuasa kepemimpinan untuk mengarahkan para anggotanya menuju suatu tujuan bersama, untuk menjaga secara berhati-hati, elemen kohesinya, yang di dalam masyarakat religius adalah doktrin dan ibadat. Itulah mengapa terdapat tiga otoritas di dalam Gereja Katolik – disiplin, dogmatis, dan liturgis. Sifat dari otoritas ini diperoleh dari asal-muasalnya, dan hak serta kewajibannya diperoleh dari sifatnya. Di masa lalu, adalah suatu kesalahan yang umum bahwa otoritas Gereja diperoleh dari luar; yakni, secara langsung dari Allah; dan bahwa otoritas tersebut harus dipercayai sebagai kuasa yang autokrat. Tetapi, pemikiran ini sudah menjadi ketinggalan zaman. Sebab sebagaimana Gereja adalah suatu emanasi vital dari kumpulan kesadaran, begitu pula otoritas adalah emanasi vital dari Gereja sendiri. Oleh karena itu, otoritas, layaknya Gereja, berasal dari kesadaran religius, dan, oleh karena itu, tunduk kepada kesadaran religius. Jika otoritas itu meninggalkan kebergantungan ini, otoritas itu menjadi suatu tirani. Sebab kita hidup di dalam suatu masa di mana sentimen kebebasan telah berkembang secara penuh, dan sewaktu kesadaran publik memperkenalkan sistem pemerintahan populer di dalam aturan sipil. Tetapi, tidak terdapat dua kesadaran di dalam diri manusia, sebagaimana tidak terdapat dua kehidupan. Maka, otoritas gerejawi bertanggung jawab untuk membentuk dirinya sendiri dalam suatu bentuk yang demokratis, jika tidak ingin memancing dan menimbulkan suatu konflik internal di dalam kesadaran umat manusia – penolakannya akan menyebabkan malapetaka. Karena adalah suatu kegilaan untuk berpikir bahwa sentimen kebebasan, sebagaimana yang pada saat ini menyebar di mana-mana, dapat menyerah. Jika sentimen kebebasan ini dikekang secara paksa dan dirantaikan, ledakannya akan menjadi mengerikan dan menghantam baik Gereja maupun agama. Demikianlah keadaannya bagi para modernis dan oleh karena itu, keinginan mereka yang besar adalah untuk mencari cara untuk mencapai keselarasan antara otoritas Gereja dan kebebasan para umat beriman.
HUBUNGAN ANTARA GEREJA DAN NEGARA
Tetapi, Gereja bukan hanya harus memiliki hubungan yang akur dengan para anggotanya sendiri, tetapi juga dengan pihak-pihak luar yang lain. Gereja tidak bertempat di dunia ini sendiri; terdapat masyarakat-masyarakat lain di dunia, yang dengannya Gereja pastinya harus berhubungan. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban Gereja terhadap masyarakat sipil haruslah, oleh karena itu, ditentukan, tentunya, oleh sifatnya sendiri, seperti yang telah dideskripsikan. Aturan-aturan yang harus diterapkan dalam masalah ini adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh ilmu pengetahuan dan iman, walaupun dalam kasus ilmu pengetahuan dan iman, pertanyaannya adalah tentang objek, sedangkan di sini pertanyaannya adalah tentang tujuan. Demikian pula, layaknya ilmu pengetahuan dan iman terasing satu dari yang lain, oleh alasan keberagaman objek dari keduanya, Gereja dan Negara terasing oleh alasan dari tujuan keduanya: tujuan dari Gereja adalah tujuan spiritual, sedangkan tujuan Negara adalah tujuan temporal. Sebelumnya, adalah hal yang mungkin untuk menundukkan yang temporal kepada yang spiritual, dan, kiasannya, untuk memberikan kepada Gereja posisi ratu dan penguasa dalam segala hal, sebab Gereja sebelumnya dipandang sebagai institusi yang telah didirikan secara langsung oleh Allah sebagai pencipta aturan supernatural. Tetapi doktrin ini pada zaman ini telah ditolak baik oleh filsafat maupun sejarah. Maka, Negara haruslah dipisahkan dari Gereja, dan orang-orang Katolik dari warga negara. Setiap orang Katolik, oleh karena fakta bahwa ia juga seorang warga negara, memiliki hak dan kewajban untuk bertindak demi kebaikan bersama dalam cara yang dianggapnya paling baik tanpa mengkhawatirkan tentang otoritas Gereja, tanpa memedulikan kehendak-kehendak otoritas Gereja ataupun perintah-perintahnya, bahkan untuk menentang teguran-tegurannya. Untuk memberikan batasan serta mewajibkan warga negara segala jenis aturan bertindak, atas dalih apa pun, merupakan penyalahgunaan otoritas gerejawi, yang terhadapnya seseorang wajib melawan sekuat tenaga. Prinsip-prinsip yang menghasilkan doktrin-doktrin ini telah secara khidmat dikutuk oleh pendahulu Kami, Pius VI di dalam Konstitusi “Auctorem fidei”.[13]
MAGISTERIUM GEREJA
Tetapi, tidaklah cukup bagi para kelompok modernis bahwa Negara harus dipisahkan dari Gereja. Sebab, sebagaimana iman harus tunduk kepada ilmu pengetahuan sejauh mana berhubungan dengan elemen-elemen fenomena, begitu pula, dalam hal-hal temporal, Gereja harus tunduk kepada Negara. Mereka belum mengatakan hal ini secara terbuka , tetapi mereka akan mengatakannya sewaktu mereka ingin menjadi logis di dalam pikiran mereka. Sebab, oleh karena prinsip bahwa di dalam hal-hal temporal, Negara memiliki kuasa yang mutlak, secara logis, sewaktu sang umat beriman, yang tidak seluruhnya terpuaskan oleh tindakan-tindakan agamanya secara internal, lalu melakukan tindakan-tindakan eksternal, seperti, contohnya dalam pemberian atau penerimaan sakramen-sakramen, hal-hal ini termasuk dalam kendali Negara. Lalu apakah yang akan terjadi kepada otoritas gerejawi, yang hanya dapat dilaksanakan lewat tindakan-tindakan eksternal? Jelas, otoritas gerejawi akan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Negara. Inilah dampak yang tidak dapat dihindari yang mendesak banyak orang Protestan liberal untuk menolak segala ibadat eksternal serta segala komunitas religius eksternal, dan membuat mereka mendukung apa yang mereka sebut sebagai agama individual. Jika para modernis belum mencapai titik ini, mereka memang meminta Gereja, sementara itu, untuk rela ikut ke mana mereka menuntunnya dan menyesuaikan dirinya kepada bentuk-bentuk sipil yang populer. Demikianlah gagasan mereka tentang otoritas disiplin. Tetapi yang jauh lebih berbahaya adalah ajaran-ajaran mereka tentang otoritas doktrinal dan dogmatis. Berikut adalah pemikiran mereka tentang magisterium Gereja: Tidak ada masyarakat religius mana pun, ujar mereka, yang dapat menjadi suatu kesatuan yang riil jika kesadaran religius dari pada anggotanya tidaklah satu, serta, jika rumusan yang mereka anut tidaklah satu. Tetapi, kesatuan berganda ini memerlukan sejenis pemikiran umum, yang tugasnya adalah untuk menemukan dan menetapkan rumusan yang paling bersesuaian dengan kesadaran umum, serta yang harus memiliki suatu otoritas yang cukup untuk memperbolehkannya untuk mewajibkan rumusan yang telah diputuskan kepada komunitas. Dari perpaduan tersebut, dan layaknya, peleburan kedua elemen dari pemikiran umum itu yang lalu yang membentuk rumusan serta otoritas yang mewajibkan rumusan tersebut, muncullah, menurut para modernis, gagasan tentang magisterium gerejawi. Dan karena magisterium ini berasal dari kesadaran individual, dan karena magisterium ini melaksanakan suatu pelayanan publik untuk memenuhi kegunaannya yang terbesar, sangatlah jelas bahwa magisterium ini harus tunduk kepada kesadaran individual, dan harus memiliki bentuk yang demokratis. Untuk mencegah kesadaran individual untuk mengungkapkan secara bebas dan terbuka gairah-gairah yang dirasakannya, untuk mencegah kritik mendorong dogma kepada evolusinya yang diperlukan – hal ini bukanlah penggunaan magisterium yang legitim, melainkan penyalahgunaan kekuasaan yang diberikan untuk kegunaan publik. Maka, begitu pula, suatu metode dan upaya yang tepat harus ditaati dalam pelaksanaan otoritasnya. Untuk mengutuk dan melarang suatu karya tanpa sepengetahuan sang penulisnya, tanpa mendengarkan penjelasan-penjelasannya, tanpa diskusi, tentunya adalah tanda-tanda tirani. Maka di sini, kembali, suatu jalan harus ditemukan untuk menjaga kepenuhan hak otoritas di satu sisi, dan kebebasan di sisi lain. Sementara itu, jalan yang pantas bagi seorang Katolik adalah untuk menyatakan secara publik rasa hormatnya yang mendalam untuk otoritas – tetapi, tanpa menanggalkan karakter dan gagasan-gagasannya. Pengarahan mereka kepada Gereja umumnya adalah demikian: karena tujuan dari Gereja sepenuhnya spiritual, otoritas religius harus menanggalkan segala kemegahan eksternal yang menghiasinya di mata publik. Dan di sini mereka melupakan bahwa walaupun agama pada dasarnya diperuntukkan bagi jiwa, agama bukanlah secara eksklusif diperuntukkan bagi jiwa, dan bahwa rasa hormat yang diberikan kepada otoritas berasal dari Yesus Kristus, yang mendirikannya.
EVOLUSI DOKTRIN
Untuk menuntaskan semua pertanyaan tentang iman ini serta tunas-tunasnya, kita masih harus membahas, saudara-saudara yang terhormat, apa yang hendak dikatakan para modernis tentang perkembangan iman. Pertama-tama, mereka menetapkan prinsip umumnya bahwa di dalam suatu agama yang hidup, semua hal mengalami perubahan, dan harus, kenyataannya, berubah: dan dengan demikian, mereka lalu menyatakan apa yang dapat kita pandang sebagai inti utama dari sistem mereka, yakni evolusi. Segala hal takluk di hadapan hukum-hukum evolusi – dogma, Gereja, ibadat, buku-buku yang kita hormati sebagai hal-hal yang suci, bahkan iman sendiri – dan hukuman atas ketidaktaatan adalah kematian. Prinsip ini tidak akan mengejutkan bagi seseorang yang mengingat apa yang telah dikatakan oleh para modernis tentang tiap-tiap dari hal-hal tersebut. Setelah mereka menetapkan hukum evolusi ini, para modernis sendiri mengajarkan kita bagaimana hukum tersebut bekerja. Dan pertama-tama, sehubungan dengan iman. Bentuk iman yang primitif, ujar mereka, pada awalnya begitu mendasar dan umum bagi setiap manusia, sebab iman tersebut berasal dari dalam sifat manusia dan kehidupan manusia. Lalu, bentuk iman yang primitif ini berkembang lewat evolusi vital, yakni bukan lewat penambahan bentuk-bentuk baru yang terbuat secara tidak sengaja yang berasal dari luar, melainkan lewat pendalaman yang meningkat atas sentimen religius di dalam hati nurani. Perkembangan ini terjadi dalam dua jenis: negatif, oleh peniadaan segala elemen yang asing, misalnya, sentimen keluarga atau kebangsaan; dan positif, oleh penyempurnaan intelektual dan moral dari manusia, yang dengannya ide tersebut diperbesar dan dicerahkan, sedangkan sentimen religius menjadi terangkat dan menjadi lebih intens. Untuk menjelaskan perkembangan iman, kita tidak perlu mencari-cari penyebab lainnya, kecuali tindakan beberapa manusia tertentu yang luar biasa, mereka yang kita sebut para nabi, serta yang teragung dari antara mereka, yakni Yesus Kristus. Sebab di dalam kehidupan dan kata-kata mereka, terdapat sesuatu yang misterius yang oleh iman diatribusikan kepada keilahian, dan karena mereka mendapatkan kesempatan untuk memiliki suatu pengalaman yang baru dan orisinal yang sepenuhnya selaras dengan kebutuhan dari zaman mereka. Perkembangan dogma terutama disebabkan oleh halangan-halangan yang harus diatasi oleh iman, oleh musuh-musuh yang harus dikalahkannya, oleh kontradiksi-kontradiksi yang harus dilawannya. Di samping hal-hal tersebut, juga terdapat perjuangan yang terus-menerus untuk menyelami bahkan secara lebih mendalam misteri-misterinya sendiri. Maka, untuk memberikan satu contoh saja, hal tersebut telah terjadi dalam kasus Kristus: di dalam diri-Nya, sesuatu yang ilahi tersebut yang diakui oleh iman di dalam diri-Nya berkembang sedemikian rupa sehingga Ia pada akhirnya dipercayai sebagai Allah. Faktor utama dari evolusi ibadat adalah keperluan untuk penyesuaian terhadap kebiasaan-kebiasaan serta tradisi bangsa-bangsa, dan juga keperluan untuk memanfaatkan nilai yang diperoleh tindakan-tindakan tertentu dari kebiasaan. Pada akhirnya, evolusi di dalam Gereja sendiri dipupuk oleh keperluan untuk menyesuaikan dirinya sendiri kepada keadaan-keadaan historis dan menyelaraskan dirinya sendiri dengan bentuk-bentuk masyarakat yang ada. Demikianlah evolusi religius secara rinci. Dan di sini, sebelum kita berlanjut, Kami harus membuat anda mencatat dengan baik seluruh teori keperluan dan kebutuhan, karena itulah akar dari seluruh sistem para modernis, dan di atas teori tersebutlah mereka akan membangun metode mereka yang terkenal, yang disebut metode historis.
Kita belum selesai membahas evolusi. Evolusi, tidak diragukan, diakibatkan oleh dorongan-dorongan ini, yakni kebutuhan-kebutuhan; tetapi, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dibiarkan bertindak sendiri, akan ada suatu risiko yang besar di mana kebutuhan-kebutuhan tersebut melanggar batasan-batasan tradisi, dan oleh karena itu, menyimpang dari prinsip primitifnya, yang oleh karena itu dapat menyebabkan kehancuran dan bukan perkembangan. Maka, marilah berkata, untuk sepenuhnya menggambarkan pikiran para modernis, bahwa evolusi disebabkan oleh pertentangan antara dua kekuatan: yang satu mendorong terjadinya perkembangan, sedangkan yang lain condong mengarah kepada konservasi. Kekuatan konservasi di dalam Gereja adalah tradisi, dan tradisi diwakili oleh otoritas religius, dalam hak dan fakta. Dalam hak, karena perlindungan yang diberikan oleh tradisi bagaikan suatu naluri alami dari otoritas; dalam fakta, oleh karena otoritas terangkat di atas ketidakpastian hidup, hampir tidak merasakan sama sekali dorongan perkembangan. Kekuatan perkembangan, sebaliknya, yang menanggapi kebutuhan interior, berada di dalam kesadaran individual dan menjadi matang di dalamnya, terutama jika kesadaran individu bertemu secara intim dengan kehidupan. Mohon mencatat di sini, saudara-saudara yang terhormat, wujud yang sudah kelihatan dari doktrin yang amat berbahaya itu yang akan menjadikan para umat awam sebagai faktor perkembangan di dalam Gereja. Oleh suatu jenis kompromi antara kekuatan konservasi dan perkembanganlah – yakni, antara otoritas dan kesadaran individual – perubahan dan kemajuan berlangsung. Kesadaran individual dari beberapa orang itu menanggapi kesadaran umum, yang memberikan tekanan untuk menolerir otoritas, sampai pada waktu para otoritas setuju untuk berkompromi, dan, setelah melakukan suatu persetujuan, otoritas lalu menjaga persetujuan tersebut.
Mengingat segala hal ini, seseorang dapat mengerti bagaimana para modernis mengungkapkan keterkejutan mereka sewaktu mereka ditegur atau dihukum. Hal yang diatribusikan kepada mereka sebagai suatu kesalahan, mereka anggap sebagai tugas yang suci. Karena mereka berhubungan secara intim dengan kesadaran-kesadaran, mereka tahu dengan lebih baik daripada orang lain, dan tentunya lebih baik daripada otoritas gerejawi, kebutuhan macam apa yang ada – bahkan, diri mereka sendiri adalah perwujudan dari kebutuhan-kebutuhan tersebut. Suara dan pena, keduanya mereka gunakan secara publik, karena inilah tugas mereka. Biarkanlah para otoritas menegur mereka sekehendak mereka, para modernis memiliki kesadaran di sisi mereka dan pengalaman yang intim yang berkata kepada mereka dengan pasti bahwa mereka tidak berhak dipersalahkan, melainkan dipuji. Lalu, mereka merenungkan bahwa, pada akhirnya, perkembangan tidak terjadi tanpa pertarungan, dan pertarungan tidak terjadi tanpa korban; dan mereka hendak menjadi korban, bagaikan para nabi dan Kristus sendiri. Mereka tidak merasakan kepahitan di dalam hati mereka terhadap otoritas yang memperlakukan mereka secara kasar, karena, pada akhirnya, para otoritas hanyalah melakukan tugasnya sebagai otoritas. Satu-satunya hal yang membuat mereka sedih adalah bahwa otoritas itu tetap tidak mengindahkan peringatan-peringatan mereka sebab, oleh karena penundaan, halangan-halangan yang mencegah perkembangan jiwa-jiwa pun berlipat jumlahnya, tetapi pastinya akan datang waktunya di mana tidak akan ada lagi kesempatan untuk mengelak, sebab, walaupun hukum-hukum evolusi mungkin dapat diatasi untuk sementara, hukum-hukum tersebut tidak dapat dihancurkan pada akhirnya. Dan lalu mereka menempuh jalan mereka masing-masing, walaupun mereka ditegur dan dikutuk, sambil menyembunyikan kelancangan yang luar biasa di belakang topeng kerendahan hati yang palsu. Walaupun mereka tampak menundukkan kepala mereka, tangan dan pikiran mereka semakin berniat untuk melaksanakan rencana mereka. Bagi mereka, ini adalah suatu kehendak dan taktik: dan karena mereka percaya bahwa para otoritas harus didorong dan bukan dihancurkan; dan karena penting bagi mereka untuk tetap berada di dalam dada Gereja, untuk berkarya dan mengubah di dalamnya kesadaran umum sedikit demi sedikit – dan oleh karena itu, mengakui tanpa sadar bahwa kesadaran umum tidaklah bersama mereka, dan bahwa mereka tidak berhak untuk mengaku diri sebagai penafsir kesadaran umum tersebut.
Maka dari itu, saudara-saudara yang terhormat, bagi para modernis, baik sebagai penulis maupun propagandis, tiada sesuatu yang boleh stabil maupun tidak dapat berubah di dalam Gereja. Memang, mereka bukanlah perintis doktrin-doktrin ini, karena tentang doktrin-doktrin tersebut, pendahulu Kami, Pius IX, menuliskan: “Musuh-musuh wahyu ilahi ini memuji perkembangan manusiawi sampai ke langit, dan dengan keberanian yang sembrono dan nista akan memperkenalkannya ke dalam agama Katolik, seakan-akan agama ini bukanlah karya Allah, melainkan karya manusia, atau suatu jenis penemuan filosofis yang dapat disempurnakan oleh upaya-upaya manusia”.[14] Sehubungan dengan wahyu dan dogma, terutama, doktrin para modernis tidak menawarkan hal yang baru. Kita menemukan doktrin tersebut dikutuk di dalam Silabus Pius IX, di mana hal tersebut diucapkan dalam kata-kata berikut: “Wahyu ilahi tidaklah sempurna, dan oleh karena itu dapat mengalami perkembangan yang berkelanjutan dan tidak terbatas yang berhubungan dengan kemajuan akal budi manusia.”[15] Dan doktrin-doktrin tersebut pun tetap dikutuk secara lebih khidmat di dalam Konsili Vatikan: “Doktrin iman yang telah diwahyukan oleh Allah tidaklah diusulkan kepada akal budi, bagaikan suatu penemuan filosofis yang harus disempurnakan oleh akal budi, tetapi doktrin tersebut telah dipercayakan sebagai suatu deposit ilahi kepada Pengantin Kristus untuk dijaga dengan setia dan diinterpretasikan secara infalibel. Oleh karena itu, arti dari dogma-dogma suci yang harus dijaga selama-lamanya adalah arti yang telah sekalinya dinyatakan oleh Bunda kita Gereja yang kudus dan tidaklah pernah boleh ada pergeseran makna di bawah dalih atau atas nama suatu pengertian yang lebih mendalam”.[16] Pernyataan ini tidak pun menghambat, sebaliknya, membantu dan mendukung perkembangan dari pengetahuan kita, bahkan yang berkenaan dengan iman. Sebab Konsili yang sama lalu menyatakan: “Hendaknya akal budi dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, oleh karena itu, meningkat dan berkembang pesat dan dengan penuh semangat di dalam individu-individu dan di dalam diri orang banyak, di dalam diri para umat beriman dan di dalam seluruh Gereja, di sepanjang masa dan abad – tetap hanya di dalam jenisnya sendiri; yakni, menurut dogma yang sama, makna yang sama, penerimaan yang sama”.[17]
SANG MODERNIS SEBAGAI SEJARAHWAN DAN KRITIKUS
Setelah kita telah mempelajari sang modernis sebagai filsuf, umat beriman, dan teolog, kita masih harus mempertimbangkan dirinya sebagai sejarahwan, kritikus, apologis, dan pembaru.
Beberapa modernis, yang menggeluti bidang sejarah, tampaknya amat takut bahwa mereka dianggap sebagai filsuf. Tentang filsafat, mereka berkata kepada anda, bahwa mereka tidak tahu apa-apa – dan dalam hal ini, mereka memampangkan kecerdikan yang luar biasa, karena mereka amat berhati-hati agar mereka tidak dicurigai mendukung teori-teori filosofis, yang akan membuat mereka rentan terhadap tuduhan bahwa mereka tidak objektif, seperti perkataan orang pada masa kini. Tetapi kenyataannya adalah bahwa sejarah mereka dan kritik mereka sarat akan filsafat mereka, dan kesimpulan historis-kritis mereka adalah buah alami dari prinsip-prinsip filsafat mereka. Hal ini akan menjadi jelas bagi siapa pun yang merenungkannya. Ketiga hukum pertama mereka terkandung di dalam ketiga prinsip filsafat mereka yang telah dibahas: prinsip agnostisisme, prinsip transfigurasi hal-hal oleh iman, dan prinsip yang Kami telah namakan disfigurasi. Marilah melihat hasil-hasil yang mengalir dari setiap prinsip tersebut. Agnostisisme berkata bahwa sejarah, seperti ilmu pengetahuan yang lain, hanya sepenuhnya membahas fenomena, alhasil, Allah, dan segala campur tangan Allah dalam urusan manusia, harus dipisahkan ke dalam dunia yang hanya dimiliki oleh iman satu-satunya. Dalam hal di mana terdapat dua elemen yang terpaut, ilahi dan manusiawi – dalam Kristus, misalnya, atau Gereja, atau sakramen-sakramen, atau berbagai objek yang sejenis, suatu pemisahan harus dilakukan dan elemen manusiawinya diberikan kepada sejarah, sedangkan elemen ilahinya dimiliki oleh iman. Maka, kita memiliki perbedaan tersebut, yang begitu sering dijumpai di kalangan modernis, antara Kristus dari sejarah dan Kristus dari iman, antara Gereja dari sejarah dan Gereja dari iman, antara sakramen-sakramen dari sejarah dan sakramen-sakramen dari iman, dan seterusnya. Lalu kita melihat bahwa elemen manusiawi tersebut, yang dimiliki oleh sang sejarahwan sebagaimana yang telah tampak di dalam dokumen-dokumen, telah ditransfigurasikan oleh iman; yakni, diangkat di atas kondisi-kondisi historisnya. Maka, adalah suatu hal yang menjadi perlu, untuk menghilangkan penambahan-penambahan yang telah dikemukakan oleh iman, dan untuk menempatkan penambahan-penambahan tersebut kepada iman saja dan kepada sejarah iman. Oleh karena itu, sewaktu membahas Kristus, sang sejarahwan harus menyingkirkan segala hal yang melampaui manusia dalam kondisi alaminya, baik menurut pemikiran psikologis tentang Kristus maupun menurut tempat dan masa di mana Ia berada. Pada akhirnya, atas dasar prinsip ketiga, mereka harus menyaring bahkan hal-hal yang tidak berada di luar dunia sejarah, dengan mengecualikan dari sejarah dan menyingkirkan kepada iman segala hal yang, dalam penilaian mereka, tidak selaras dengan apa yang mereka sebut sebagai logika fakta dan yang tidak sesuai dengan karakter dari orang-orang yang mereka perkirakan. Maka, mereka tidak akan pernah mengizinkan Kristus untuk mengatakan hal-hal yang tampaknya tidak mampu dimengerti oleh orang-orang yang mendengarkan-Nya. Maka, mereka menghapuskan dari sejarah diri-Nya yang sejati, dan memindahkan kepada iman segala alegori-alegori yang ditemukan di dalam percakapan-percakapan-Nya. Apakah anda bertanya tentang kriteria yang mereka gunakan untuk dapat membuat pemisahan-pemisahan tersebut? Jawabannya adalah bahwa mereka berargumentasi dari karakter sang pria, dari kondisi kehidupannya, dari pendidikannya, dari keadaan-keadaan di mana fakta-fakta itu bertempat – kenyataannya, dari kriteria yang, sewaktu dipertimbangkan seseorang, sepenuhnya subjektif. Metode mereka adalah untuk menempatkan diri mereka sendiri di dalam posisi dan pribadi Kristus, dan lalu mengatribusikan kepada diri-Nya apa yang mereka akan lakukan dalam keadaan-keadaan yang serupa. Dengan demikian, dengan kemutlakan yang apriori, dan atas nama prinsip-prinsip filsafat tertentu, yang mereka akui mereka percayai, tetapi yang mereka pura-pura abaikan, mereka menyatakan bahwa Kristus, menurut apa yang mereka namakan sejarah riil-Nya, bukanlah Allah dan tidak pernah melakukan suatu hal yang ilahi, dan bahwa sebagai manusia, Ia hanya melakukan dan mengatakan apa yang mereka akui dikatakan atau dilakukan-Nya, berdasarkan penilaian mereka terhadap waktu di mana Ia hidup.
KRITIK DAN PRINSIP-PRINSIPNYA
Dan sewaktu sejarah menerima kesimpulan-kesimpulan yang pasti dari filsafat, bagitu pula kritik memperoleh kesimpulan-kesimpulannya dari sejarah. Sang kritikus, saat menerima data yang disediakan oleh sang sejarahwan, membuat dua bagian dalam dokumen-dokumen tersebut. Hal-hal yang tersisa setelah eliminasi tiga kali yang telah dideskripsikan di atas membentuk sejarah yang riil; sisanya diatribusikan kepada sejarah iman, atau, istilahnya, sejarah internal. Sebab para modernis membedakan dengan amat berhati-hati antara kedua jenis sejarah ini, dan harus dicatat bahwa mereka menyejajarkan sejarah iman dengan sejarah riil, persisnya sebagai sejarah yang persisnya riil. Maka, kita mendapatkan dua Kristus: seorang Kristus yang riil dan seorang Kristus, yang dimiliki oleh iman, yang tidak pernah berada; seorang Kristus yang telah hidup pada suatu waktu dan pada suatu tempat dan seorang Kristus yang tidak pernah hidup di luar meditasi yang saleh dari sang umat beriman – sang Kristus, contohnya, yang kita temukan di dalam Injil St. Yohanes, Injil yang hanyalah suatu renungan dari awal sampai akhir.
Tetapi, kuasa filsafat atas sejarah tidak berakhir di sini. Oleh karena pemisahan yang telah Kami sebutkan, dari dokumen-dokumen tersebut menjadi dua bagian, sang filsuf kembali campur tangan dengan prinsip imanensi vitalnya, dan menunjukkan bagaimana segala hal di dalam sejarah Gereja harus dijelaskan oleh emanasi vital. Dan karena sebab atau kondisi dari segala jenis emanasi vital haruslah berasal dari suatu kebutuhan, alhasil, tidak suatu fakta pun dapat terjadi sebelum kebutuhan yang menghasilkan fakta tersebut – secara historis, fakta tersebut harus terjadi setelah kebutuhan itu. Marilah melihat bagaimana sang sejarahwan bekerja berdasarkan prinsip ini. Ia lalu kembali menelaah dokumen-dokumennya, yang ditemukan baik di dalam buku-buku suci atau di tempat lain, dan membuat suatu daftar kebutuhan-kebutuhan yang berurutan dari Gereja, baik yang berkaitan dengan dogma atau liturgi maupun tentang hal-hal lain, dan lalu ia memberikan daftar ini kepada sang kritikus. Sang kritikus mendapatkan dokumen-dokumen tersebut yang membahas sejarah tentang iman dan mendistribusikannya, periode demi periode, sehingga dokumen-dokumen itu bersesuaian dengan daftar kebutuhan, di bawah prinsip bahwa narasi harus mengikuti fakta, dan fakta mengikuti kebutuhan. Terkadang, mungkin terjadi bahwa beberapa bagian dari Kitab Suci, seperti Surat-Surat sendiri merupakan fakta yang tercipta oleh kebutuhan. Bagaimanapun, aturannya adalah bahwa usia dari dokumen mana pun hanya dapat ditentukan oleh usia di mana setiap kebutuhan telah terwujud di dalam Gereja. Terlebih lagi, suatu perbedaan harus dibuat antara permulaan suatu fakta dan pekembangannya, sebab apa yang terlahir pada suatu hari memerlukan waktu untuk bertumbuh. Maka, sang kritikus harus sekali lagi menelaah dokumen-dokumennya, mengaturnya menurut usianya dan membagi dokumen-dokumen tersebut kembali ke dalam dua bagian, dan membaginya ke dalam dua tumpukan, memisahkan dokumen yang berkenaan dengan fase pertama dari fakta-fakta dari dokumen yang berkenaan dengan perkembangan fakta-fakta, dan ia harus kembali mengaturnya sesuai periode dokumen-dokumen tersebut.
Lalu, sang filsuf harus kembali datang untuk mewajibkan sang sejarahwan dalam semua kajiannya untuk mengikuti asas-asas serta hukum-hukum evolusi. Selanjutnya, sang sejarahwan harus meneliti dokumen-dokumennya serta kondisi-kondisi yang memengaruhi Gereja pada berbagai masa, kekuatan konservasi Gereja, kebutuhan-kebutuhan, baik internal maupun eksternal, yang telah mendorong Gereja untuk berkembang, halangan-halangan yang harus dihadapi oleh Gereja ; pendek kata, segala hal yang membantu untuk menentukan jalan di mana hukum-hukum evolusi telah dipenuhi di dalam Gereja. Setelah hal ini dilakukan, sang sejarahwan menuntaskan karyanya dengan menggambarkan dalam garis besar suatu sejarah perkembangan fakta-fakta. Sang kritikus lalu mengikutinya dan mengatur dokumen-dokumennya di dalam sketsa ini ; ia mengambil penanya dan segera, sejarah itu pun menjadi lengkap. Kami bertanya: siapakah penulis dari sejarah ini? Sang sejarahwan? Sang kritikus? Pastinya, bukan satu pun dari keduanya, melainkan sang filsuf. Dari awal sampai akhir, semuanya itu “apriori”, dan “apriori” dalam suatu cara yang berbau bidah. Orang-orang ini patut dikasihani, dan tentang mereka, sang rasul pantas berkata: “Mereka menjadi angkuh di dalam pikiran mereka… mereka berbuat seolah-olah penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh”.[18] Tetapi mereka membangkitkan murka yang adil sewaktu mereka menuduh Gereja menyiksa teks-teksnya, mengatur dan mencampuradukkannya sekehendak Gereja, dan untuk kebutuhan dari perkaranya sendiri. Dalam hal ini, mereka menuduh Gereja melakukan sesuatu yang ditegurkan kepada mereka secara jelas oleh kesadaran mereka.
BAGAIMANA MEREKA MEMPERLAKUKAN KITAB SUCI
Hasil dari pemenggalan buku-buku suci dan pembagian buku-buku tersebut di sepanjang abad tentunya adalah bahwa Kitab Suci tidak lagi tidak dapat diatribusikan kepada para penulis yang namanya mereka miliki. Para modernis tidak ragu-ragu sama sekali untuk menegaskan dengan sering bahwa buku-buku ini, terutama Pentateukh dan ketiga Injil pertama, telah dibentuk perlahan-lahan lewat penambahan terhadap suatu narasi primitif yang singkat – dengan penyisipan-penyisipan dari penafsiran atau alegori teologis, dengan transisi, dengan menyatukan berbagai teks yang berbeda. Pendek kata, hal ini berarti bahwa di dalam buku-buku suci, kita harus mengakui terdapatnya suatu evolusi vital, yang berasal dari dan bersesuaian dengan evolusi iman. Jejak dari evolusi ini, ujar mereka, amat terlihat di dalam buku-buku tersebut sehingga seseorang hampir mungkin menuliskan suatu sejarah tentang buku-buku tersebut. Memang, sejarah ini mereka tuliskan, dan dengan sebegitu mudahnya sehingga seseorang mungkin percaya bahwa mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri para penulis di sepanjang masa memperbesar buku-buku suci itu. Untuk membantu mereka melakukan hal ini, mereka meminta bantuan dari cabang kritik yang mereka sebut tekstual, dan berupaya untuk menunjukkan bahwa fakta tertentu atau kata-kata tertentu tidak ditempatkan dengan benar, dan menambahkan argumen-argumen lain yang sejenis. Kenyataannya, mereka tampak telah membangun untuk diri mereka sendiri sejenis narasi dan tulisan yang mendasari keputusan mereka, tentang bilamana suatu hal itu tepat atau tidak. Anda dapat menilai bagaimana para pria dengan sistem semacam itu pantas untuk melakukan kritik semacam ini. Untuk mendengarkan mereka berbicara tentang karya mereka tentang buku-buku suci, di mana mereka telah dapat menemukan begitu banyak hal yang cacat, seseorang dapat membayangkan bahwa sebelum mereka ada, tidak seorang pun bahkan pernah membaca halaman-halaman Kitab Suci, sedangkan kenyataannya adalah bahwa sejumlah dokter, yang amat sangat mengungguli mereka dalam hal kegeniusan, pendidikan, kesucian, telah menampi buku-buku suci di dalam segala cara, dan jauh dari menemukan ketidaksempurnaan di dalam buku-buku tersebut, para dokter itu telah bersyukur kepada Allah semakin mereka mendalami buku-buku itu atas keberlimpahan ilahi-Nya yang telah sudi berbicara demikian kepada manusia. Sayangnya, para dokter agung ini tidak menikmati alat bantu pembelajaran yang dimiliki oleh para modernis sebagai pemandu dan aturan mereka – suatu filsafat yang berasal dari agnostisisme dan suatu kriteria – yaitu diri mereka sendiri.
Maka, Kami percaya bahwa Kami telah membahas dengan cukup jelas metode historis para modernis. Sang filsafat menuntun jalan, sang sejarahwan mengikuti, dan lalu di dalam aturan yang pantas, datanglah kritik internal dan tekstual. Dan karena ciri dari sebab pertama adalah untuk menyampaikan kebajikannya kepada sebab-sebab kedua, sangatlah jelas bahwa kritik yang kita hadapi ini bersifat agnostik, imanentis, dan evolusionis. Maka siapa pun yang memeluknya dan menggunakannya oleh karena itu mengakui kesalahan-kesalahan yang terkandung di dalamnya dan menempatkan dirinya sendiri di dalam kubu yang menentang iman Katolik. Walaupun demikian, seseorang mungkin amat terkejut akan nilai yang diberikan kepada kritik tersebut oleh beberapa orang Katolik. Terdapat dua sebab yang mungkin dapat dinyatakan untuk hal ini: pertama, persekutuan yang erat, terlepas segala perbedaan kebangsaan dan agama, yang telah dibentuk oleh para sejarahwan dan kritikus ini di antara diri mereka sendiri; kedua, kekurangajaran yang tidak terbatas dari para pria ini. Sewaktu salah seorang dari mereka membuka mulutnya, yang lain memberikan pujian secara serempak, dan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan telah membuat suatu kemajuan. Jika orang luar mengungkapkan keinginannya untuk meneliti penemuan baru para modernis dengan mata kepalanya sendiri, mereka langsung mengepungnya dalam sebuah kelompok. Jika anda menyangkal penemuan itu, anda dianggap orang bodoh; jika anda memeluknya dan membelanya, mereka akan memberikan kepada anda puji-pujian yang amat hangat. Dengan demikian, mereka memenangkan banyak orang yang, jika orang-orang itu sadar apa yang mereka lakukan, akan mundur ketakutan. Kelancangan dan kekuatan beberapa dari mereka, dan ketidakpedulian serta kelalaian yang lain menjadi terpadu untuk menghasilkan suatu wabah di udara yang memasuki segala hal dan menyebarkan penyakit tersebut. Tetapi marilah kita berpindah kepada sang apologis.
SANG MODERNIS SEBAGAI APOLOGIS
Sang apologis modernis bergantung dalam dua cara kepada sang filsafat. Pertama, secara tidak langsung, sejauh mana temanya adalah sejarah – sejarah didiktekan, seperti yang telah kita lihat, oleh sang filsuf ; dan, kedua, secara langsung, sejauh mana ia telah mengambil baik hukum-hukumnya maupun prinsip-prinsipnya dari sang filsuf. Maka, asas yang umum dari pemikiran modernis adalah apologetika baru harus diambil dari sumber-sumber psikologis dan historis. Maka, para apologis modernis memasuki gelanggang dengan menyatakan kepada para rasionalis bahwa walaupun mereka membela agama, mereka tidak memiliki niat untuk menggunakan data dari buku-buku suci ataupun dari sejarah dalam penggunaannya pada masa kini di dalam Gereja, dan yang disusun sesuai dengan metode lama, melainkan sejarah yang riil, yang ditulis berdasarkan pinsip-prinsip modern dan sesuai dengan metode-metode, yang secara ketat, modern. Di dalam semua hal ini, mereka tidak menggunakan “argumentum ad hominem”, tetapi mereka menyatakan fakta yang sederhana bahwa mereka percaya kebenaran hanya dapat ditemukan di dalam sejarah semacam ini. Begitu tenangnya mereka itu, karena mereka sudah dikenal dan dipuji oleh para rasionalis, oleh karena mereka bertempur di bawah bendera yang sama, dan mereka bukan hanya menuliskan puji-pujian itu sendiri, yang bagaikan suatu upah bagi mereka, tetapi akan menyebabkan seorang Katolik sejati merasa mual, tetapi mereka juga menggunakannya untuk mengimbangi teguran-teguran yang mereka terima dari Gereja.
Tetapi, marilah melihat bagaimana sang modernis melakukan apologetikanya. Sasaran yang ditetapkannya bagi dirinya sendiri adalah untuk membuat orang-orang yang yang tidak beriman mencapai pengalaman agama Katolik yang, menurut sistemnya, merupakan dasar dari iman. Terdapat dua jalan yang terbuka kepadanya, jalan objektif dan jalan subjektif. Jalan yang pertama berasal dari agnostisisme, dan cenderung menunjukkan bahwa agama, dan terutama agama Katolik, mengandung daya hidup yang sedemikian rupanya sehingga mendorong setiap psikolog dan sejarahwan yang beritikad baik untuk mengakui bahwa sejarah agama Katolik itu menyembunyikan suatu elemen yang tidak dikenal. Untuk mencapat sasaran ini, mereka perlu membuktikan bahwa agama ini, sebagaimana keadaannya pada masa kini, adalah agama yang didirikan oleh Yesus Kristus ; yakni, bahwa agama Katolik adalah hasil dari perkembangan yang bertahap dari benih yang dibawakan-Nya ke dalam dunia. Maka, pertama-tama, adalah suatu hal yang wajib dilakukan untuk menentukan apa itu benih ini, dan sang modernis mengklaim bahwa ia dapat melakukannya dengan rumusan berikut: Kristus mewartakan datangnya kerajaan Allah, yang harus digenapkan dalam jangka waktu yang singkat, dan yang di dalamnya Ia akan menjadi sang Mesias, serta perantara, dan penahbis ilahi. Maka haruslah ditunjukkan bagaimana benih ini yang selalu bersifat imanen dan permanen di dalam dada Gereja, menyesuaikan dirinya sendiri secara bertahap kepada berbagai sarana-sarana yang dilaluinya, dan memperoleh dari berbagai sarana tersebut lewat asimilasi vital bentuk-bentuk dogmatis, ibadat, dan gerejawi yang membantu mencapai tujuannya ; sedangkan di sisi lain, benih tersebut mengatasi segala rintangan, mengalahkan segala musuh, dan bertahan hidup terhadap segala serangan dan pertarungan. Siapa pun yang secara pantas mempertimbangkan banyaknya rintangan, musuh, serangan, pertarungan, dan daya hidup serta kesuburan yang telah Gereja tunjukkan dalam menghadapi segala masalah tersebut harus mengakui bahwa jika hukum-hukum evolusi dapat dilihat di dalam kehidupan Gereja, mereka gagal untuk menjelaskan keseluruhan sejarah Gereja – hal yang tidak dikenal muncul darinya dan menampakkan dirinya di hadapan kita. Maka, mereka berargumentasi, tanpa pernah mencurigai bahwa kepastian mereka tentang benih primitif ini adalah suatu “apriori” dari suatu filsafat agnostik dan evolusionis, dan bahwa rumusannya telah, tanpa beralasan, ditemukan demi memperkuat posisi mereka.
Tetapi, walaupun mereka berjuang lewat alasan ini untuk menghantar jiwa-jiwa kepada agama Katolik, para apologis yang baru ini sungguh siap untuk mengakui bahwa terdapat banyak hal yang tidak enak di dalam agama tersebut. Memang, mereka mengakuinya secara terbuka dan dengan kepuasan yang tidak mereka sembunyikan, bahwa mereka bahkan menemukan kesalahan dan kontradiksi di dalam dogma-dogma agama Katolik. Mereka juga menambahkan bahwa hal ini bukan hanya beralasan, tetapi, anehnya, benar dan layak. Di dalam buku-buku suci, terdapat banyak teks yang merujuk kepada ilmu pengetahuan dan sejarah di mana dapat ditemukan kesalahan yang terang-terangan. Tetapi, subjek dari buku-buku ini bukanlah ilmu pengetahuan ataupun sejarah, melainkan agama dan moral. Di dalam buku-buku tersebut, sejarah dan ilmu pengetahuan hanya berguna sebagai suatu jenis kelambu yang menutupi dan membungkus pengalaman religius dan moral, agar dengan lebih mudah dicerna oleh orang banyak. Orang banyak mengerti ilmu pengetahuan dan sejarah sebagaimana yang diungkapkan di dalam buku-buku ini, dan jelas bahwa jika ilmu pengetahuan dan sejarah telah diungkapkan di dalam suatu bentuk yang lebih sempurna, ilmu pengetahuan dan sejarah pun akan menjadi halangan, dan bukan sarana. Maka, kembali lagi, karena buku-buku ini pada dasarnya bersifat religius, maka buku-buku tersebut pastinya hidup. Kehidupan memiliki kebenarannya serta logikanya sendiri – yang sangat berbeda dari kebenaran rasional dan logika rasional, yang termasuk bagian dari aturan yang berbeda, yakni, kebenaran dari adaptasi dan proporsi baik yang bersama lingkungan di mana kehidupan berlangsung, maupun tujuan yang hendak dicapainya. Pada akhirnya, para modernis kehilangan segala kendali, sehingga mereka sampai menyatakan sebagai sesuatu yang benar dan legitim segala sesuatu yang dijelaskan oleh kehidupan.
Saudara-saudara yang terhormat, bagi Kami yang percaya bahwa hanya terdapat satu kebenaran saja, dan bahwa buku-buku suci, yang ditulis di bawah ilham Roh Kudus, Allahlah penulisnya,[19] Kami menyatakan bahwa hal itu setara dengan mengatribusikan kepada Allah sendiri kebohongan kegunaan atau kebohongan jahat [officious lie], dan Kami berkata bersama St. Agustinus: “Di dalam suatu otoritas yang begitu tinggi, akui satu saja kebohongan jahat, dan tidak akan tersisa satu teks pun yang tampaknya sulit untuk dipraktikkan atau untuk dipercayai, yang atas dasar aturan yang amat berbahaya itu tidak dapat dijelaskan sebagai suatu kebohongan yang diujarkan oleh sang penulis secara sengaja dan untuk mencapai suatu tujuan”.[20] Dan oleh karena itu, sang dokter suci itu pun melanjutkan, bahwa setiap orang akan percaya dan menolak untuk percaya apa yang ia sukai atau yang tidak ia sukai. Tetapi, para modernis melangkah maju dengan amat gembira. Mereka mengakui pula bahwa beberapa argumen yang dikemukakan di dalam buku-buku suci, contohnya, yang berdasarkan nubuat-nubuat, tidak memiliki landasan rasional. Tetapi, mereka akan membela hal-hal semacam itu sebagai siasat untuk berkhotbah, suatu hal yang dibenarkan oleh kehidupan. Apakah mereka berhenti di situ? Tentunya tidak; sebab mereka siap untuk mengakui, bahkan, untuk menyatakan bahwa Kristus sendiri secara terang-terangan melakukan kesalahan sewaktu Ia menentukan waktu di mana kedatangan kerajaan Allah akan terjadi, dan mereka berkata bahwa kita tidak boleh terkejut akan hal ini, sebab bahkan Kristus tunduk kepada hukum-hukum kehidupan! Setelahnya, apakah nasib dari dogma-dogma Gereja? Dogma-dogma dipenuhi kontradiksi-kontradiksi terang-terangan, tetapi hal yang penting adalah bahwa, terlepas fakta bahwa logika vital menerima dogma-dogma tersebut, dogma-dogma itu tidaklah berlawanan dengan kebenaran simbolis. Bukankah ini soal ketidakterbatasan, dan tidakkah ketidakterbatasan memiliki keberagaman aspek yang tidak terbatas? Pendek kata, untuk menjaga dan membela teori-teori ini, mereka tidak ragu-ragu untuk menyatakan bahwa penghargaan termulia yang dapat diberikan kepada ketidakterbatasan adalah untuk menjadikannya objek dari gagasan-gagasan yang bertentangan! Tetapi, sewaktu mereka bahkan membenarkan pertentangan, hal apakah yang akan mereka tolak untuk benarkan?
ARGUMEN-ARGUMEN SUBJEKTIF
Tetapi orang-orang yang tidak beriman mungkin tergerak kepada iman bukan hanya lewat argumen-argumen objektif. Terdapat pula argumen-argumen subjektif yang dimiliki para modernis, dan untuk argumen-argumen semacam itu, mereka kembali kepada doktrin imanensi mereka. Mereka berjuang, kenyataannya, untuk meyakinkan orang yang tidak beriman bahwa di dalam lubuk dari sifat dan kehidupan orang yang tidak beriman itu, terdapat kebutuhan dan keinginan akan agama, dan ini bukanlah agama apa pun, melainkan agama yang khusus yang disebut Katolisisme, yang ujar mereka, secara mutlak didalilkan lewat perkembangan yang sempurna dari kehidupan. Dan di sini Kami hanya dapat mengeluhkannya sekali lagi dengan amat berat, bahwa terdapat orang-orang Katolik yang, walaupun menolak imanensi sebagai suatu doktrin, menggunakannya sebagai metode apologetika, dan yang melakukannya dengan begitu lancang sehingga mereka tampaknya mengakui bahwa terdapat di dalam sifat manusia suatu kebutuhan yang benar dan ketat sehubungan dengan aturan supernatural – dan bukan semata-mata suatu kemampuan dan kepantasan untuk hal-hal supernatural, seperti yang telah ditekankan oleh para apologis Katolik di sepanjang masa. Kenyataannya, hanya para modernis moderatlah yang mengemukakan kewajiban untuk memeluk agama Katolik. Yang lainnya, yang mungkin disebut integralis, mereka akan menunjukkan kepada orang-orang yang tidak beriman bahwa di dalam kedalaman lubuk diri orang itu, terdapat benih yang sama yang dimiliki Kristus sendiri di dalam kesadaran-Nya, dan yang diwariskan-Nya kepada dunia. Demikianlah, saudara-saudara yang terhormat, rangkuman deksripsi dari metode sang apologis modernis, yang secara sempurna selaras, seperti yang dapat anda lihat, dengan doktrin mereka – metode dan doktrin yang dipenuhi dengan kesalahan, yang dibuat bukan untuk membangun, melainkan untuk menghancurkan ; bukan untuk membentuk orang-orang Katolik, melainkan untuk menenggelamkan orang-orang Katolik ke dalam bidah; metode dan doktrin yang akan mematikan bagi agama apa pun.
SANG MODERNIS SEBAGAI PEMBARU
Kami harus mengemukakan beberapa patah kata tentang sang modernis sebagai pembaru. Dari semua hal yang telah dikatakan, beberapa gagasan dapat diperoleh dari kegilaan untuk pembaruan yang merasuki diri mereka: di dalam seluruh Katolisisme, sama sekali tidak ada suatu hal pun yang tidak mereka serang. Pembaruan filsafat, terutama di dalam seminari-seminari: filsafat skolastis harus disingkirkan ke dalam sejarah filsafat dari antara sistem-sistem yang ketinggalan zaman, dan para pria muda harus diajarkan tentang filsafat modern, satu-satunya yang benar dan yang pantas untuk waktu di mana kita hidup. Pembaruan teologi: teologi rasional harus dilandaskan filsafat modern, dan teologi positif harus didasari sejarah dogma. Dan untuk sejarah, sejarah harus dituliskan untuk masa depan dan hanya diajarkan sesuai metode-metode dan prinsip-prinsip modern mereka. Dogma-dogma dan evolusinya harus diselaraskan dengan ilmu pengetahuan dan sejarah. Di dalam katekismus, tiada dogma yang boleh dimasukkan kecuali yang telah secara layak diperbarui dan yang berada dalam jangkauan orang-orang. Mengenai ibadat, jumlah devosi eksternal harus dikurangi, atau setidaknya langkah-langkah harus diambil untuk mencegah peningkatan devosi eksternal, walaupun, memang, beberapa dari pengagum simbolisme tergerak untuk memberikan lebih banyak kelonggaran dalam hal ini. Pemerintahan gerejawi wajib diperbarui di dalam segala cabangnya, tetapi terutama di dalam bagian-bagian disiplin dan dogmatisnya. Semangat dan perwujudan eksternalnya harus diselaraskan dengan kesadaran publik, yang pada saat ini sepenuhnya mendukung demokrasi ; maka, suatu bagian dari pemerintahan gerejawi harus diberikan kepada para imam yang bertingkat lebih rendah, dan bahkan kepada para awam, dan otoritas harus didesentralisasikan. Kongregasi Roma dan terutama Indeks serta Takhta Suci harus diperbarui. Otoritas gerejawi harus mengubah tata cara perilakunya dalam dunia sosial dan politik; dan walaupun tetap berada di luar organisasi politis dan sosial, otoritas gerejawi harus menyesuaikan dirinya sendiri kepada organisasi-organisasi yang ada agar dapat meresapkan semangatnya kepada organisasi-organisasi tersebut. Sehubungan dengan moral, mereka menganut prinsip Amerikanis, yakni, bahwa kebajikan aktif lebih penting daripada kebajikan pasif, baik dalam penilaiannya maupun dalam praktiknya. Para imam diminta untuk kembali kepada kerendahan hati mereka dan kemiskinan mereka di zaman dahulu, dan dalam gagasan serta tindakan mereka, mereka harus dibimbing oleh prinsip-prinsip modernisme; dan terdapat beberapa orang yang, sambil menggemakan ajaran dari para penguasa Protestan mereka, ingin menghapuskan keselibatan gerejawi. Apakah yang tersisa di dalam Gereja yang tidak akan diperbarui menurut prinsip-prinsip mereka?
MODERNISME DAN SEMUA BIDAH
Saudara-saudara yang terhormat, beberapa orang mungkin berpikir bahwa Kami terlalu lama menguraikan doktrin-doktrin dari para modernis. Tetapi, adalah hal yang diperlukan, baik untuk membantah tuduhan mereka yang biasa bahwa kita tidak mengerti ide-ide mereka maupun untuk menunjukkan bahwa sistem mereka bukanlah teori yang tercerai-berai dan tidak berhubungan, melainkan di dalam suatu badan yang terorganisir dengan sempurna, yang seluruh bagiannya tergabung secara kokoh, sehingga tidaklah mungkin untuk mengakui satu dan tidak mengakui seluruhnya. Untuk alasan ini juga, Kami telah harus memberikan uraian ini dalam suatu bentuk yang agaknya didaktik dan berani menggunakan beberapa istilah barbar yang para modernis gunakan. Lalu apakah mungkin bagi seseorang yang telah memperhatikan seluruh sistem itu untuk terkejut bahwa Kami harus mendefinisikannya sebagai sintesis dari segala bidah? Jika seseorang mencoba berupaya mengumpulkan semua kesalahan-kesalahan yang telah dibahas tentang iman dan untuk memusatkan sari dan substansinya ke dalam satu titik, ia tidak akan lebih berhasil daripada para modernis. Memang, para modernis telah melakukan lebih dari hal ini, sebab, seperti yang telah dijelaskan, sistem mereka merupakan kehancuran bukan hanya untuk agama Katolik, melainkan untuk semua agama. Itulah mengapa para rasionalis memang menyoraki mereka, sebab para rasionalis yang paling tulus dan berterus terang menyambut dengan hangat para modernis sebagai sekutu mereka yang paling berharga.
Lalu, marilah kita kembali untuk sesaat, saudara-saudara yang terhormat, kepada doktrin agnostisisme yang paling berbahaya itu. Olehnya, semua jalan yang menuntun intelek kepada Allah ditutup, tetapi para modernis akan mencoba untuk membuka jalan-jalan lain yang tersedia untuk sentimen dan tindakan. Sia-sia! Sebab, pada dasarnya, apakah sentimen itu selain tanggapan dari jiwa terhadap tindakan dari akal budi atau pancaindra? Tanpa akal budi, manusia yang condong mengikuti pancaindranya, menjadi budaknya. Sia-sia pula, dari sudut pandang lain, sebab semua khayalan tentang sentimen religius tersebut tidak akan dapat menghancurkan akal sehat, dan akal sehat berkata bahwa emosi dan segala hal yang menawan hati merupakan suatu hambatan dan bukan pertolongan dalam hal menemukan kebenaran. Tentunya, Kami berbicara tentang kebenaran sendiri – sedangkan, mengenai kebenaran yang sepenuhnya subjektif, yang merupakan buah dari sentimen dan tindakan, jika kebenaran subjektif itu mencapai tujuannya untuk mempermainkan kata-kata, kebenaran yang subjektif itu sama sekali tidak berguna bagi seseorang yang ingin mengetahui, di atas segala hal, bilamana terdapat seorang Allah di luar diri orang itu sendiri, yang ke dalam tangan-Nya, ia akan jatuh pada suatu hari. Memang, para modernis mengandalkan pengalaman untuk memperkokoh sistem mereka, tetapi apakah yang ditambahkan oleh pengalaman kepada sentimen? Sama sekali bukan apa apa, kecuali suatu intensitas tertentu dan pendalaman yang proporsional akan keyakinan tentang realitas objek tersebut. Tetapi, keduanya tidak akan membuat sentimen menjadi berbeda dari sentimen, ataupun merampasnya dari karakteristiknya, yang menyebabkan penipuan sewaktu akal budi tidak ada untuk membimbingnya; sebaliknya, keduanya hanya menegaskan dan memperburuk karakteristik ini, sebab semakin sentimen itu intens, semakin sentimen itu sentimental. Mengenai sentimen religius dan pengalaman religius, anda tahu, saudara-saudara yang terhormat, betapa diperlukannya keberhati-hatian, dan betapa diperlukannya pula, ilmu pengetahuan yang membimbing keberhati-hatian. Anda mengetahuinya dari pengalaman anda sendiri menghadapi jiwa-jiwa, dan terutama jiwa-jiwa yang terutama dikuasai oleh sentimen; anda mengetahuinya pula dari waktu anda membaca buku-buku asketis – buku-buku yang kepadanya para modernis memiliki sedikit rasa hormat, tetapi, yang menjadi saksi kepada ilmu pengetahuan dan kekokohan yang amat berbeda dari yang mereka miliki, dan kepada penyempurnaan dan ketajaman pengamatan yang tampaknya tidak dimiliki oleh para modernis. Tidakkah amat gila, atau setidaknya amat lancang, untuk memercayakan diri sendiri tanpa kendali kepada pengalaman-pengalaman para modernis? Marilah kita bertanya sesaat: jika pengalaman memiliki nilai yang begitu besar di mata mereka, mengapakah mereka tidak memberikan bobot yang sama kepada pengalaman yang dimiliki oleh ribuan dari ribuan orang-orang Katolik, bahwa para modernis berada di dalam jalan yang sesat? Apakah mungkin bahwa semua pengalaman kecuali yang dialami oleh para modernis itu salah dan menipu? Kebanyakan besar umat manusia percaya dan akan teguh percaya bahwa sentimen dan pengalaman sendiri, jika tidak dicerahkan dan dibimbing oleh akal, tidak akan menuntun kepada pengetahuan akan Allah. Lalu, apakah yang tersisa selain peniadaan segala agama – ateisme? Tentunya, bukanlah doktrin simbolisme yang akan menyelamatkan kita dari hal ini. Sebab, jika semua elemen intelektual, seperti yang mereka sebutkan, dari agama sepenuhnya adalah simbol, tidakkah nama Allah sendiri, atau pribadi ilahi juga akan menjadi suatu simbol? Dan jika hal ini diakui, tidakkah pribadi Allah akan menjadi diragukan dan tidakkah hal itu membuka jalan kepada panteisme? Dan kepada panteismelah, doktrin yang lain itu, yakni imanensi ilahi, menuntun secara langsung. Sebab, Kami bertanya, apakah hal itu membuat Allah berbeda dari manusia atau tidak? Jika ya, dalam hal apakah hal itu berbeda dari doktrin Katolik, dan mengapa seseorang menolak wahyu eksternal? Jika tidak, kita semua seketika berada di dalam panteisme. Tetapi, doktrin imanensi, dalam artian modernis, percaya dan mengakui bahwa segala fenomena kesadaran berasal dari manusia sebagai manusia. Kesimpulan yang tidak terelakkan dari hal ini adalah identitas manusia dengan Allah, yang berarti panteisme. Kesimpulan yang sama mengalir dari perbedaan yang dibuat oleh para modernis antara ilmu pengetahuan dan iman. Objek dari ilmu pengetahuan, ujar mereka, adalah realitas dari hal yang dapat diketahui. Tetapi, apa yang membuat hal yang tidak dapat diketahui itu tidak dapat diketahui adalah disproporsinya dengan hal yang dapat diketahui – suatu disproporsi yang tidak dapat dihapuskan oleh suatu hal pun, bahkan di dalam doktrin modernis. Maka, hal yang tidak dapat diketahui itu tetap ada, dan selalu ada selama-lamanya, yang tidak dapat diketahui baik oleh sang umat beriman maupun oleh sang ilmuwan. Maka, jika suatu agama mungkin ada, agama itu hanyalah mungkin merupakan suatu agama tentang realitas yang tidak dapat diketahui. Dan mengapa tidaklah mungkin bahwa agama ini merupakan jiwa universal dari alam semesta yang dibicarakan seorang rasionalis, adalah suatu hal yang tidak Kami lihat. Tentunya, hal ini lebih dari cukup untuk menunjukkan betapa banyak jalan yang dibukakan oleh modernisme kepada peniadaan semua agama. Langkah pertama menuju tujuan ini diambil oleh Protestantisme; langkah kedua dibuat oleh modernisme; langkah selanjutnya akan langsung terpelanting ke dalam ateisme.
BAGIAN II
PENYEBAB MODERNISME
Untuk semakin mendalami modernisme, dan untuk menemukan obat yang tepat untuk luka yang begitu dalam itu, Kami wajib, saudara-saudara yang terhormat, untuk menelaah sebab-sebab yang telah menghasikannya dan yang memupuk pertumbuhannya. Bahwa sebab terdekat dan sebab langsungnya terdapat di dalam pembejatan pikiran tidak dapat diragukan. Sebab terjauhnya tampak bagi kami terangkum dalam dua hal: keingintahuan dan kesombongan. Keingintahuan sendiri, jika tidak dikendalikan secara berhati-hati, cukup untuk menjelaskan segala kesalahan. Demikianlah pendapat dari pendahulu Kami, Gregorius XVI, yang menuliskan: “Pemandangan yang menyedihkan adalah yang dihadirkan oleh penyesatan akal manusia sewaktu akal itu menyerah kepada semangat akan hal-hal yang baru, sewaktu, bertentangan dengan peringatan sang rasul, akal itu mencoba mengetahui di luar apa yang patut diketahui; dan sewaktu akal itu terlalu mengandalkan dirinya sendiri, akal pun berpikir bahwa dirinya dapat menemukan kebenaran di luar Gereja, yang di dalamnya kebenaran ditemukan tanpa sedikit pun bayangan kesalahan”.[21]
Tetapi kesombonganlah yang memiliki pengaruh yang jauh lebih besar atas jiwa sehingga membutakannya dan menenggelamkannya ke dalam kesalahan; dan kesombongan terduduk di dalam modernisme bagaikan di dalam rumahnya sendiri, dan mencari dukungan di mana pun di dalam doktrin-doktrinnya dan kesempatan untuk memamerkan dirinya sendiri di dalam segala aspeknya. Kesombonganlah yang memenuhi para modernis dengan kepercayaan akan diri mereka sendiri dan yang menuntun mereka untuk percaya bahwa diri merekalah aturan untuk segala hal, kesombongan yang mengembungkan mereka dengan keangkuhan yang membuat mereka memandang diri mereka sendiri sebagai satu-satunya yang empunya pengetahuan dan membuat mereka berkata dengan penuh kepongahan, “Kami tidak seperti para manusia yang lain”, dan yang, untuk membuat mereka tidak seperti manusia yang lain, menuntun mereka untuk memeluk segala hal-hal baru yang paling absurd. Kesombonganlah yang membangkitkan di dalam diri mereka semangat ketidaktaatan, dan yang menyebabkan mereka untuk menuntut suatu kompromi antara otoritas dan kebebasan. Kesombonganlah yang membuat mereka menjadi para pembaru orang lain, sedangkan mereka lupa untuk membarui diri mereka sendiri, dan yang menghasilkan tiadanya rasa hormat terhadap otoritas, bahkan terhadap otoritas tertinggi. Tidak, memang, tidak terdapat satu jalan pun yang menuntun secara begitu langsung dan begitu cepat kepada modernisme selain kesombongan. Sewaktu seorang Katolik awam atau seorang imam melupakan asas hidup Kristiani yang mewajibkan kita untuk menyangkal diri kita sendiri jika kita ingin mengikuti Yesus Kristus, dan lalai untuk mencabut kesombongan dari hatinya, ah! Ia pun menjadi sasaran yang paling matang bagi kesalahan-kesalahan modernisme. Maka, saudara-saudara yang terhormat, akan menjadi tugas anda yang pertama untuk menghalau para pria yang sombong tersebut, untuk mempekerjakan mereka hanya di dalam jabatan-jabatan yang palng rendah dan yang paling tidak dikenal; semakin tinggi mereka mencoba mengangkat diri, hendaknya mereka semakin ditempatkan di tempat yang lebih rendah, sehingga posisi mereka yang rendah dapat merampas mereka dari kuasa untuk menyebabkan kerusakan. Cermatilah para imam muda anda juga dengan amat berhati-hati, oleh diri anda sendiri dan oleh direktur-direktur dari seminari-seminari anda, dan sewaktu anda menemukan semangat kesombongan di antara seorang pun dari antara mereka, tolaklah mereka dari imamat tanpa rasa sesal. Semoga Allah menghendaki agar hal ini telah selalu dilakukan dengan kewaspadaan dan keteguhan yang pantas.
Jika kita berpindah dari sebab-sebab moral kepada sebab-sebab intelektual dari modernisme, sebab pertama dan yang utama, adalah ketidaktahuan. Ya, para modernis ini, yang mengaku-ngaku diri sebagai dokter Gereja, yang mengagung-agungkan filsafat modern, dan yang amat mencibir skolastisisme, telah memeluk yang satu dengan segala pesona palsunya sebab ketidaktahuan mereka tentang yang lainnya telah meninggalkan mereka tanpa jalan untuk dapat mengenali kebingungan pikiran, dan untuk membantah sofisme. Seluruh sistem mereka, dengan segala kesalahannya, telah dilahirkan dari persekutuan antara iman dan filsafat sesat.
METODE PROPAGANDA
Jika saja mereka kurang bersemangat dan berenergi saat mereka menyebarkannya! Tetapi demikianlah kegiatan mereka dan kemampuan mereka yang tidak kenal lelah untuk memperjuangkan perkara mereka; tidak seorang pun tidak merasakan rasa sakit saat melihat mereka menyia-nyiakan usaha untuk menghancurkan Gereja ,walau mereka dapat memberikan pelayanan semacam itu kepada Gereja jika upaya-upaya mereka dipergunakan dengan lebih baik. Siasat mereka untuk menipu pikiran manusia ada dalam dua jenis: yang pertama, untuk menghilangkan halangan dari jalan mereka, yang kedua untuk merencanakan dan menerapkan dengan giat dan sabar setiap alat yang dapat mereka pergunakan untuk mencapai tujuan mereka. Mereka mengakui bahwa ketiga halangan utama bagi mereka adalah filsafat skolastik, otoritas para bapa dan tradisi, dan magisterium Gereja, dan terhadap hal-hal tersebut, mereka telah mengobarkan perang yang tiada henti. Filsafat dan teologi skolastik, mereka hanya mengolok-olok dan mencercanya. Terlepas bilamana ketidaktahuan atau ketakutan, atau keduanya, yang mengilhami perilaku ini dalam diri mereka, gairah mereka untuk hal-hal barulah yang pastinya bersatu dengan kebencian terhadap skolastisisme, dan tidak ada suatu pertanda yang lebih pasti bahwa seorang manusia berada di dalam jalan menuju modernisme daripada sewaktu ia mulai menunjukkan kebenciannya untuk sistem ini. Para modernis dan para pengagum mereka harus ingat proposisi yang telah dikutuk oleh Pius IX: “Metode dan prinsip-prinsip yang olehnya para dokter Skolastik telah membina teologi, tidak lagi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dari zaman kita dan kemajuan dari ilmu pengetahuan.”[22] Mereka melaksanakan segala kecerdikan mereka untuk memperlemah kuasa dan memalsukan karakter dari tradisi, untuk merampasnya dari segala bobotnya. Tetapi, bagi para Katolik, Konsili Nicea II selalu akan memiliki kekuatan hukum, di mana Konsili tersebut mengutuk mereka “yang berani, dengan cara yang nista yang serupa dengan cara para bidah, untuk mencibir tradisi-tradisi gerejawi, untuk merekayasakan hal-hal baru tertentu… atau untuk berupaya dengan tujuan jahat atau merencanakan untuk menggulingkan segala tradisi apa pun yang legitim dari Gereja Katolik”. Dan orang-orang Katolik juga akan menjunjung sebagai hukum pengakuan dari Konsili Konstantinopel IV: “Oleh karena itu, Kami mengakui untuk melestarikan dan menjaga aturan-aturan yang diwariskan kepada Gereja yang Kudus, Katolik, dan Apostolik, oleh para rasul yang suci dan yang teragung, oleh konsili-konsili ortodoks, baik umum maupun setempat, dan oleh tiap-tiap dari para penafsir, para bapa dan dokter Gereja”. Sebab para Paus Roma, Pius IV dan Pius IX, memerintahkan agar pernyataan berikut diikutsertakan di dalam pengakuan iman: “Dengan teguh saya menerima dan memeluk tradisi apostolik dan gerejawi dan segala praktik dan peraturan Gereja yang sama”. Para modernis memberikan penilaian yang sama kepada para bapa yang tersuci dari Gereja seperti yang mereka berikan kepada tradisi. Dengan kelancangan yang luar biasa, mereka menyatakan bahwa para bapa patut menerima segala penghormatan, tetapi bahwa para bapa sepenuhnya tidak tahu sejarah dan kritik, dan mereka hanya memiliki alasan untuk ketidaktahuan tersebut, oleh karena waktu di mana mereka hidup. Pada akhirnya, para modernis mengerahkan segala cara untuk mengurangi dan memperlemah otoritas dari magisterium sendiri dengan memalsukan secara nista asal-muasalnya, karakternya dan hak-haknya, dan secara bebas mengulang-ulangi fitnah dari para musuhnya. Kepada semua kelompok modernis, kata-kata yang dituliskan dengan penuh rasa sakit oleh pendahulu Kami berlaku: “Untuk membawa penghinaan dan rasa benci terhadap Pengantin Mistis Kristus, yang adalah cahaya yang sejati, anak-anak kegelapan telah terbiasa untuk melontarkan kepada wajahnya suatu fitnah yang bodoh, dan membejatkan arti dan kuasa dari hal-hal dan kata-kata, untuk menggambarkan sang Pengantin Mistis Kristus sebagai rekan kegelapan dan ketidaktahuan serta musuh dari terang, ilmu pengetahuan dan kemajuan”.[23] Oleh karena itu, saudara-saudara yang terhormat, tidaklah mengejutkan bahwa para modernis melampiaskan kepahitan dan kebencian mereka terhadap para Katolik yang dengan teguh berperang dalam pertempuran Gereja. Tetapi, dari segala ejekan yang dilontarkan para modernis kepada para Katolik tersebut, ejekan ketidaktahuan dan kebersikerasan adalah yang mereka gemari. Sewaktu seorang musuh bangkit melawan mereka dengan kependidikan dan kekuatan yang menakutkan, mereka mencoba untuk membuat suatu konspirasi kesunyian tentang orang itu untuk meniadakan dampak dari serangannya, sedangkan, bertentangan jelas dalam kebijakan ini terhadap para Katolik, mereka memuji para penulis yang memihak kubu mereka, meninggikan karya-karya mereka, yang membeberkan hal-hal baru di dalam setiap halamannya, dengan sorak-sorakan; bagi mereka, pengetahuan seorang penulis berbanding lurus dengan kesembronoan dari serangan-serangannya terhadap hal-hal dari zaman kuno, dan dari upaya-upayanya untuk memperlemah tradisi dam magisterium gerejawi. Sewaku salah satu dari mereka jatuh di bawah kutukan-kutukan Gereja, yang lain, dan ini adalah hal yang mengerikan bagi para Katolik yang baik, mengelilinginya, memberikan pujian secara publik kepadanya, menghormatinya bagaikan seorang martir kebenaran. Orang-orang muda, yang bersemangat dan kebingungan akibat semua celotehan puji-pujian dan penyalahgunaan ini, beberapa dari mereka takut dicap sebagai orang bodoh, yang lainnya berambisi untuk dianggap terpelajar, dan kedua kelompok tersebut, yang terpancing oleh keingintahuan dan kesombongan, seringkali menyerah dan menyerahkan diri mereka kepada modernisme.
Dan di sini kita telah melihat beberapa siasat yang dipergunakan oleh para modernis untuk menjajakan barang mereka. Betapa besar upaya yang mereka lakukan untuk merekrut anggota baru! Mereka meraih takhta di seminari-seminari serta universitas-universitas, dan secara bertahap, mereka mengubahnya menjadi takhta sumber penyakit. Dari takhta suci ini mereka menyebarkan, walau tidak selalu secara terang-terangan, benih-benih dari doktrin-doktrin mereka ; mereka menyatakan ajaran-ajaran mereka, tanpa bersembunyi, di dalam kongres-kongres; mereka memperkenalkan ajaran-ajaran mereka dan membuatnya terkenal di kalangan institusi sosial. Di bawah nama mereka sendiri dan di bawah nama samaran, mereka menerbitkan sejumlah buku, surat kabar, reviu dan terkadang seorang penulis yang sama menggunakan berbagai nama samaran untuk menjebak para pembaca yang tidak waspada sehingga mereka percaya adanya sekumpulan penulis modernis yang berbeda – pendek kata, mereka mencoba segala hal, dalam tindakan, pidato, karya tulis, bagaikan gila propaganda. Dan apakah hasil dari semuanya ini? Kami harus meratapi banyaknya pria muda, yang awalnya penuh janji dan dapat memberikan pelayanan yang besar kepada Gereja, sekarang mereka tersesat. Dan terdapat pula suatu pemandangan yang menyedihkan Kami, yakni banyaknya orang Katolik lain yang, walaupun tentunya mereka tidak melangkah sejauh para pria muda yang baru kami sebutkan itu, mereka menjadi terbiasa, bagaikan mereka telah menghirup udara yang tercemar, untuk berpikir, berbicara, menulis dengan kebebasan yang begitu besar, yang tidak pantas bagi para Katolik. Orang-orang semacam itu ditemukan di antara orang awam dan di kalangan para imam, dan tidaklah sedikit jumlah mereka, bahkan di mana orang tidak menyangka akan menjumpai mereka – di dalam institusi-institusi religius. Jika mereka membahas masalah-masalah alkitabiah, mereka menggunakan prinsip-prinsip modernis; jika mereka menuliskan sejarah, hal itu dilakukan oleh mereka dengan keingintahuan dan untuk menerbitkan secara terbuka, di bawah dalih untuk mengatakan seluruh kebenaran dan dengan suatu jenis kepuasan yang tidak mereka sembunyikan, tentang segala hal yang terlihat bagi mereka seperti suatu noda di dalam sejarah Gereja. Di bawah pengaruh suatu aturan apriori tertentu, mereka menghancurkan sejauh yang mereka dapat, tradisi-tradisi saleh dari orang-orang, dan mengolok-olok relikui-relikui tertentu yang amat dihormati sejak zaman kuno. Mereka dirasuki oleh gairah yang hampa untuk menjadi bahan pembicaraan orang-orang, dan mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah berhasil dalam hal ini jika mereka mengatakan apa yang telah selalu dikatakan. Kemungkinan mereka telah meyakinkan diri mereka sendiri bahwa di dalam semua ini, mereka sungguh-sungguh melayani Allah dan Gereja – kenyataannya, mereka hanya menyakiti keduanya, bukan terutama akibat karya-karya mereka sendiri, melainkan lebih akibat semangat yang mendorong mereka untuk menulis dan dorongan yang mereka berikan kepada kelancangan para modernis.
BAGIAN III
OBAT UNTUK MODERNISME
Untuk melawan kumpulan kesalahan-kesalahan yang berat ini serta gerakannya yang rahasia dan terbuka, pendahulu Kami, Leo XIII, dari kenangan yang berbahagia, bekerja dengan amat keras, terutama sehubungan dengan Kitab Suci, baik dalam perkataannya, maupun di dalam tindakannya. Tetapi, seperti yang telah kita lihat, semangat para modernis tidaklah dengan mudah dipatahkan oleh senjata-senjata semacam itu; dengan berpura-pura tunduk dan memberi hormat, mereka lalu memutarbalikkan kata-kata Sri Paus menjadi makna mereka sendiri, dan tindakan-tindakannya mereka deskripsikan sebagai melawan orang lain dan bukan diri mereka sendiri. Dan kejahatan ini telah meningkat hari demi hari. Oleh karena itu, saudara-saudara yang terhormat, Kami telah bertekad untuk menggunakan sekaligus upaya yang mujarab dalam kuasa Kami, dan Kami memohon dan meminta anda sekalian untuk memastikan bahwa di dalam masalah yang amat berat ini, tidak seorang pun akan dapat berkata bahwa anda telah sedikit pun kekurangan dalam hal kewaspadaan, semangat untuk ketegasan. Dan apa yang Kami mintakan kepada anda dan harapkan dari anda, Kami juga mintakan dan harapkan dari semua gembala jiwa yang lain, dari semua pendidik dan profesor para imam, dan dalam cara yang amat khusus, dari para superior dari institusi-institusi religius.
STUDI FILSAFAT SKOLASTIK
Pertama-tama, sehubungan dengan studi, Kami menghendaki dan memerintahkan agar filsafat skolastik dijadikan dasar dari ilmu pengetahuan suci. Sangatlah jelas bahwa jika sesuatu pun disetujui oleh para dokter skolastik yang mungkin dipandang sebagai kehalusan yang keterlaluan atau bahkan yang kemungkinannya sangat kecil, Kami tidak memiliki keinginan sama sekali untuk mengajukannya untuk dapat ditiru oleh generasi masa kini.[24] Dan hendaknya hal ini dimengerti di atas segala hal: bahwa filsafat skolastik yang kami tentukan adalah yang sang Dokter Malaikat [Santo Thomas Aquinas] telah wariskan kepada kita, dan Kami, oleh karena itu, menyatakan bahwa segala peraturan dari pendahulu Kami tentang masalah ini terus berlaku sepenuhnya, dan, sejauh mana diperlukan, Kami kembali mendekretkan dan menegaskan serta memerintahkan agar semua peraturan itu ditaati secara ketat. Di dalam seminari-seminari di mana peraturan tersebut mungkin telah dilalaikan, hendaknya para Uskup menempatkannya dan mewajibkannya untuk ditaati, dan hendaknya hal ini berlaku pula kepada para superior institusi-institusi religius. Terlebih lagi, hendaknya para profesor mengingat bahwa mereka tidak dapat menyingkirkan St. Thomas, terutama dalam pertanyaan-pertanyaan metafisika, tanpa menyebabkan kerusakan yang besar.
Di atas landasan filosofis ini, bangunan teologis harus dibangun secara kokoh. Promosikanlah studi teologi, saudara-saudara yang terhormat, dengan segala cara yang dapat anda lakukan, agar para imam anda, sewaktu mereka meninggalkan seminari-seminari, dapat mengagumi dan mencintainya, dan selalu menemukan kegembiraan mereka di dalamnya. Sebab di dalam studi yang luas dan begitu banyak yang terbuka kepada pikiran yang bergairah terhadap kebenaran, semua orang tahu semboyan tua yang mendeksripsikan teologi sedemikian rupa berada di depan studi yang lainnya sehingga setiap ilmu pengetahuan dan keterampilan harus melayaninya dan menjadi hambanya.[25] Kami akan menambahkan bahwa kami menganggap orang-orang berikut patut untuk dipuji, yakni mereka yang dipenuhi rasa hormat untuk tradisi dan para Bapa Suci serta magisterium gerejawi, menggeluti, dengan penilaian yang seimbang, dan dengan bimbingan prinsip-prinsip Katolik (yang tidak selalu terjadi), berupaya untuk mengilustrasikan teologi positif dengan cara menjelaskannya lewat sejarah yang sejati. Tentunya, lebih banyak perhatian harus diberikan kepada teologi positif daripada di masa lalu, tetapi hal ini harus dilakukan tanpa membahayakan teologi skolastik, dan orang-orang yang memiliki kecenderungan-kecenderungan modernis yang sedemikian rupa mengagungkan teologi positif sehingga tampak membenci teologi skolastik haruslah dicela.
Sehubungan dengan studi-studi profan, cukup untuk mengingat di sini apa yang telah dikatakan oleh pendahulu Kami yang mengagumkan: “Gelutilah dengan energik studi ilmu pengetahuan alami: penemuan-penemuan yang brilian dan penerapannya yang berani dan berguna yang dibuat di zaman kita, yang telah memperoleh pujian dari orang-orang yang hidup di masa kini, akan senantiasa dipuji oleh mereka yang hidup di masa depan”.[26] Tetapi, hal ini harus dilakukan tanpa mengganggu studi-studi suci, seperti yang diperintahkan oleh pendahulu Kami dalam kata-kata ini: “Jika anda mencari dengan berhati-hati sebab dari kesalahan-kesalahan tersebut, anda akan menemukan sebabnya di dalam fakta bahwa pada hari-hari ini, sewaktu ilmu pengetahuan alami memerlukan kajian yang begitu banyak, studi yang lebih berat dan tinggi telah diabaikan secara proporsional; beberapa dari antaranya telah hampir dilupakan sama sekali, dan beberapa dipelajari dengan separuh hati atau dengan tidak mendalam, dan adalah sesuatu yang menyedihkan untuk dikatakan, bahwa sekarang studi-studi suci tersebut telah jatuh dari kemuliaannya dahulu, dan telah tercemari oleh doktrin-doktrin yang bejat dan kesalahan-kesalahan yang mengerikan.[27] Oleh karena itu, kami memerintahkan agar studi ilmu pengetahuan alam di dalam seminari dilaksanakan di bawah hukum ini”.
PENERAPAN PRAKTIS
Semua ketentuan ini dan yang dari pendahulu Kami harus dicamkan baik-baik dalam masalah pemilihan direktur dan profesor untuk seminari-seminari dan universitas-universitas Katolik. Siapa pun yang ditemukan teracuni oleh modernisme harus disingkirkan tanpa belas kasih dari jabatan-jabatan ini, dan mereka yang telah menempati jabatan-jabatan tersebut harus dicopot. Kebijakan yang sama harus dilaksanakan kepada mereka yang mendukung modernisme baik oleh puji-pujian mereka terhadap para modernis, atau yang memberikan alasan untuk tindakan mereka yang bersalah, dengan mengkritik skolastisisme, Bapa Suci, atau dengan menolak untuk taat kepada otoritas gerejawi di dalam segala bentuknya; dan kepada mereka yang menunjukkan kecintaan untuk hal-hal baru dalam bidang sejarah, arkeologi, eksegesis Alkitab, dan pada akhirnya, kepada mereka yang mengabaikan ilmu pengetahuan suci atau yang lebih menyukai ilmu pengetahuan profan daripada ilmu pengetahuan suci. Di dalam segala masalah studi ini, saudara-saudara yang terhormat, anda tidak bisa menjadi terlalu waspada atau terlalu konstan, tetapi, terutama di dalam pemilihan para profesor, sebab sebagai aturan, para murid dibentuk sesuai pola para pendidik mereka. Anda harus selalu kuat dalam kesadaran akan tugas anda, dan bertindak secara berhati-hati, tetapi penuh semangat.
Ketekunan dan keketatan yang sama harus digunakan untuk mencermati dan memilih para kandidat untuk imamat suci. Para imam haruslah jauh dari kecintaan akan hal-hal baru! Allah membenci orang-orang yang sombong dan yang keras kepala. Untuk masa depan, gelar doktorat dalam bidang teologi dan hukum kanon tidak pernah boleh dianugerahkan kepada siapa pun yang belum mengikuti kelas reguler dari filsafat skolastik; jika gelar itu telah dianugerahkan, gelar tersebut akan dianggap batal demi hukum. Aturan-aturan yang telah ditetapkan di tahun 1896 oleh Kongregasi Suci untuk Para Uskup dan Imam Reguler bagi para imam, baik sekuler maupun reguler, dari Italia, mengenai kunjungan ke universitas-universitas, Kami sekarang dekretkan untuk berlaku di semua negara. Para imam yang terdaftar dalam institusi atau universitas Katolik tidak boleh, di masa depan, mengikuti di universitas-universitas sipil kelas-kelas yang sudah tersedia di dalam institusi-institusi Katolik. Jika hal ini telah diizinkan di mana pun pada masa lalu, Kami memerintahkan agar hal tersebut tidak diperbolehkan untuk masa depan. Hendaknya para Uskup yang membentuk dewan pemerintahan untuk institusi-institusi atau universitas-universitas Katolik semacam itu mengawasi dengan penuh perhatian agar perintah-perintah Kami ini ditaati secara konstan.
KEWASPADAAN PARA USKUP ATAS PUBLIKASI
Para Uskup juga memiliki kewajiban untuk mencegah karya tulis yang tercemari modernisme atau yang mendukungnya untuk dibaca sewaktu karya tulis tersebut telah diterbitkan, atau untuk menghalangi penerbitannya jika belum diterbitkan. Buku atau makalah atau surat kabar semacam ini tidak pernah boleh diizinkan bagi para seminaris ataupun murid universitas. Penyakit yang akan disebabkan kepada mereka oleh bacaan yang imoral, tentunya akan lebih besar, sebab karya tulis semacam itu meracuni mata air kehidupan Kristiani sendiri. Keputusan yang sama harus diambil sehubungan dengan karya tulis beberapa orang Katolik, yang, walaupun mereka sendiri tidak beritikad buruk, tidak cukup terpelajar dalam studi-studi teologis dan tercemar filsafat modern, yang berjuang untuk menyelaraskan filsafat modern dengan iman, sebagaimana yang diujarkan oleh mereka, untuk menguntungkan iman. Nama dan reputasi para penulis ini menyebabkan karya tulis mereka dibaca tanpa kecurigaan, dan mereka, oleh karena itu, justru lebih berbahaya dalam persiapan jalan menuju modernisme.
Secara umum, saudara-saudara yang terhormat, berikut intinya: kerahkan segala tenaga anda untuk meniadakan dari dioses anda segala buku yang berbahaya, dan jika diperlukan, dengan menggunakan larangan yang khidmat. Takhta Suci tidak sama sekali tidak mengabaikan hal apa pun untuk meniadakan karya tulis yang bersifat demikian; tetapi jumlahnya sedemikian rupa pada masa kini, sehingga tidaklah mungkin untuk menyensor semuanya. Maka, terkadang obat itu pun tersedia secara terlambat, sebab sementara itu, penyakit tersebut telah mengakar. Karena itu, Kami menghendaki agar para Uskup mengesampingkan segala rasa takut dan keberhati-hatian daging mereka, terlepas segala seruan orang-orang yang jahat, dan dengan halus, tentunya, tetapi dengan konstan, melakukan setiap bagian dari tugasnya, sambil mengingat perintah dari Leo XIII di dalam Konstitusi Apostolik “Officiorum”: “Hendaknya para Ordinaris, dalam hal bertindak sebagai delegasi Takhta Apostolik, berupaya untuk melarang dan membuat para umat beriman agar mereka tidak dapat menjangkau buku-buku yang berbahaya ataupun karya tulis lain yang dicetak dan diedarkan di dalam dioses-dioses mereka”. Di dalam teks ini, memang, para Uskup menerima suatu hak, tetapi mereka juga diberikan suatu tugas. Hendaknya tidak seorang Uskup pun berpikir bahwa ia memenuhi tugas ini dengan melaporkan kepada Kami satu atau dua buku, sedangkan banyak buku yang lain yang sejenis dicetak dan diedarkan. Anda tidak pun boleh terhalangi sewaktu sebuah buku telah menerima “imprimatur” dari tempat lain, baik karena imprimatur tersebut mungkin semata-mata dipalsukan maupun karena dianugerahkan secara serampangan atau dengan mudah atau dalam kepercayaan yang berlebihan akan sang penulis, sebagaimana yang sering terjadi di kalangan ordo religius. Di samping itu, seperti halnya makanan yang sama tidak disukai semua orang, mungkin pula bahwa suatu buku tidak berbahaya, dalam kondisi-kondisi tertentu, tetapi berbahaya dalam kondisi-kondisi lain. Maka, jika seorang Uskup, setelah menerima nasihat dari orang bijak, menilai baik untuk mengutuk buku-buku semacam itu di dalam diosesnya, Kami bukan hanya memberikan kepadanya izin yang besar untuk melakukan hal tersebut, tetapi Kami menugaskannya untuk melakukan hal itu. Tentunya, adalah harapan Kami bahwa tindakan semacam itu dilakukan dengan bijaksana, dan terkadang, akanlah cukup untuk membatasi larangan itu bagi para imam; tetapi bahkan di dalam kasus-kasus semacam itu, toko-toko buku Katolik tidak akan diperbolehkan untuk menjual buku-buku yang dilarang oleh sang Uskup. Dan mengenai toko-toko buku, Kami berharap bahwa para Uskup memastikan agar mereka tidak, oleh karena keinginan untuk mendapat keuntungan, menjual buku-buku yang tidak baik. Jelas bahwa di dalam katalog-katalog dari toko-toko buku tersebut, buku-buku para modernis tidak jarang diberikan pujian yang besar. Jika mereka menolak untuk taat, hendaknya para Uskup tidak ragu-ragu mencabut dari mereka gelar toko buku Katolik pula; sehingga, dengan demikian, dan sepantasnya, jika mereka memiliki gelar toko buku Keuskupan, dan jika mereka memiliki gelar toko buku Kepausan, hendaknya mereka dilaporkan kepada Takhta Apostolik. Pada akhirnya, Kami mengingatkan semua akan artikel kedua puluh enam dari Konstitusi “Officiorum” yang telah disebutkan di atas: “Semua orang yang telah memperoleh izin apostolik untuk membaca dan menyimpan buku-buku terlarang tidaklah oleh karena itu diizinkan untuk membaca buku-buku serta surat kabar yang dilarang oleh para Ordinaris setempat, kecuali jika izin apostolik tersebut secara langsung menganugerahkan hak untuk membaca dan menyimpan buku-buku yang dikutuk oleh siapa pun”.
SENSOR
Tetapi, tidaklah cukup untuk menghalangi pembacaan dan penjualan buku-buku yang jahat; pencetakan buku-buku tersebut juga perlu dicegah. Maka, hendaknya para Uskup menggunakan keketatan yang terbesar dalam pemberian izin untuk mencetak. Tetapi, oleh karena jumlah buku-buku itu banyak, sesuai dengan aturan-aturan dari Konstitusi “Officiorum”, untuk karya-karya yang tidak dapat diterbitkan tanpa seizin dari Ordinaris, dan, di samping itu, karena sang Uskup tidak dapat memeriksa semuanya, di dalam dioses-dioses tertentu, telah dilantik penyensor resmi untuk menelaah karya-karya tulis. Kami memberikan pujian yang tertinggi bagi institusi ini dan Kami bukan hanya mendorong, tetapi juga memerintahkan agar penyensor itu dilantik di seluruh dioses. Maka, di dalam Kuria keuskupan, hendaknya para penyensor dilantik dan dipilih dari antara para imam, sekuler dan reguler, para pria yang pantas umurnya, ilmu pengetahuannya, keberhati-hatiannya, dan yang mengerti bagaimana cara melakukan tugas itu sebaik mungkin dengan penilaian mereka. Mereka akan ditugaskan untuk menelaah segala hal yang memerlukan izin publikasi sesuai dengan Artikel XLI dan XLII dari konstitusi yang disebutkan di atas. Sang penyensor akan memberikan keputusannya secara tertulis. Jika keputusannya mendukung karya tulis yang ditelaahnya, sang Uskup akan memberikan izin untuk publikasi lewat kata “Imprimatur”, yang harus selalu diawali dengan “Nihil obstat” dan nama sang penyensor. Di dalam Kuria Roma, para penyensor resmi akan dilantik seperti di tempat lain, dan pelantikan mereka akan dilaksanakan sesuai dengan Kardinal Vikaris dan dengan persetujuan dari Paus Tertinggi serta Kepala Rumah Tangga Kepausan. Izin untuk publikasi akan dianugerahkan olehnya dan oleh Vikaris Kardinal atau Wakilnya; dan izin ini, seperti yang telah ditetapkan di atas, harus selalu diawali dengan “Nihil obstat” dan nama sang penyensor. Hanya sesekali dan dalam peristiwa yang amat langka, dan dengan keputusan yang berhati-hati dari sang Uskup, sang penyensor boleh tidak disebutkan.Nama sang penyensor tidak pernah boleh diberitahukan kepada sang penulis sampai sang penyensor telah memberikan suatu keputusan yang positif, agar sang penyensor tidak perlu merasa gelisah saat ia melaksanakan penelaahan terhadap sebuah karya tulis atau jika ia harus menolak untuk memberikan persetujuannya. Para penyensor tidak pernah boleh dipilih dari ordo-ordo religius sampai opini dari provinsialnya, atau, di Roma, jenderalnya telah diperoleh; dan sang provinsial atau jenderal harus memberikan suatu laporan yang teliti akan karakter, pengetahuan, dan keortodoksan sang kandidat penyensor. Kami mengingatkan para superior religius akan kewajiban mereka yang khidmat untuk tidak pernah mengizinkan suatu hal pun untuk diterbitkan oleh orang-orang yang tunduk kepada mereka tanpa seizin diri mereka sendiri dan dari Ordinaris. Akhirnya, Kami menegaskan dan menyatakan bahwa gelar penyensor tidak memiliki nilai apa-apa dan tidak pernah dapat digunakan untuk mendukung opini pribadi tentang orang yang memiliki gelar tersebut.
PARA IMAM SEBAGAI PENYUNTING
Setelah berkata begitu banyak, Kami sekarang memerintahkan terutama agar Artikel XLII dari Konstitusi “Officiorum” di atas secara khusus ditaati dengan keberhati-hatian yang lebih besar. Para imam sekuler dilarang, tanpa sepersetujuan sebelumnya dari Ordinaris, untuk melaksanakan direksi atas makalah-makalah atau surat kabar. Izin tersebut akan dicabut dari seorang imam yang menyalahgunakannya setelah mendapat teguran. Sehubungan dengan para imam koresponden atau kolaborator – tidak jarang bahwa mereka menuliskan makalah atau surat kabar yang terinfeksikan modernisme – hendaknya para Uskup memastikan bahwa hal ini tidak diizinkan untuk terjadi, dan jika hal tersebut terjadi, hendaknya mereka mengingatkan para penulis atau mencegah mereka untuk menulis. Para superior dari ordo-ordo religius pula, Kami ingatkan mereka dengan seluruh otoritas untuk melakukan hal yang sama; dan jika mereka gagal melaksanakan tugas ini, hendaknya para Uskup bertindak sebagai perwakilan dari Paus Tertinggi. Hendaknya, sejauh mana hal ini mungkin, seorang penyensor khusus ditugaskan untuk surat kabar yang ditulis oleh orang-orang Katolik. Tugasnya adalah untuk membaca dengan tepat waktu setiap terbitan setelah surat kabar itu diterbitkan, dan jika ia menemukan sesuatu pun yang berbahaya di dalamnya, hendaknya ia memerintahkan agar hal tersebut dikoreksi. Sang Uskup akan memiliki hak yang sama bahkan jika penyensor tersebut belum melihat sesuatu yang patut ditolak di dalam suatu publikasi.
KONGRES-KONGRES
Kami telah menyebutkan kongres-kongres serta perkumpulan-perkumpulan publik dari antara jalan yang digunakan oleh para modernis untuk menyebarluaskan serta membela opini-opini mereka. Di masa depan, para Uskup tidak boleh mengizinkan kongres para imam kecuali dalam kesempatan yang amat langka. Sewaktu mereka memperbolehkannya, hal itu hanya dengan syarat bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan para Uskup atau Takhta Apostolik tidak boleh dibahas di dalamnya, dan bahwa tidak ada mosi atau postulasi yang diperbolehkan yang akan menyiratkan perampasan otoritas suci; dan bahwa modernisme, presbiterianisme, ataupun laisisme boleh disebutkan di dalam kongres tersebut. Di dalam kongres-kongres semacam itu, yang hanya dapat diadakan setelah izin tertulis telah diperoleh dalam waktu yang pantas dan untuk setiap kasus, adalah suatu pelanggaran hukum bahwa para imam atau dioses-dioses lain mengambil bagian tanpa izin tertulis dari Ordinaris mereka. Selebihnya, tidak seorang imam pun boleh melalaikan saran yang khidmat dari Leo XIII: “Hendaknya para imam memandang sebagai hal yang suci otoritas dari para gembala mereka; hendaknya mereka menganggap pasti bahwa pelayanan imamat yang tidak dilaksanakan di bawah bimbingan para Uskup tidak pernah dapat menjadi suci ataupun berbuah banyak ataupun terhormat”.[28]
KOMITE PENGAWASAN DIOSES
Tetapi, apa gunanya, saudara-saudara yang terhormat, perintah-perintah serta petunjuk-petunjuk Kami jika tidak dilaksanakan secara tekun dan tegas? Dan agar hal ini dapat dilakukan, tampaknya bermanfaat bagi Kami untuk meneruskan kepada semua dioses peraturan-peraturan ini yang telah ditetapkan dengan hikmat yang besar bertahun-tahun lalu oleh para Uskup Umbria untuk dioses-dioses mereka.
Mereka berkata: “Untuk menumpas kesalahan-kesalahan yang telah disebarluaskan dan untuk mencegah penyebarannya lebih lanjut, dan untuk meniadakan para guru ketidaksalehan yang olehnya dampak-dampak berbahaya dari penyebaran semacam itu diperluas, perkumpulan suci ini, dengan mengikuti teladan dari St. Carolus Borromeus, telah memutuskan untuk mendirikan di setiap dioses suatu dewan yang terdiri dari anggota-anggota yang disetujui dari kedua cabang imam, yang akan ditugaskan untuk mencatat keberadaan dari kesalahan-kesalahan, serta sarana yang olehnya kesalahan-kesalahan baru diperkenalkan dan disebarluaskan, dan untuk menginformasikan Uskup tentang keseluruhannya, agar sang Uskup dapat bermusyawarah bersama mereka untuk memutuskan jalan terbaik untuk mencabut akar kejahatan itu dan mencegahnya untuk menyesatkan jiwa-jiwa, atau bahkan yang lebih buruk, menjadi lebih kuat dan bertumbuh”.[29] Maka, Kami mendekretkan bahwa di setiap dioses, suatu dewan semacam itu, yang Kami dengan gembira namakan “Dewan Kewaspadaan”, diinstitusikan tanpa penundaan. Para imam yang akan dipanggil untuk mengambil bagian di dalamnya akan dipilih kurang lebih sesuai cara yang telah ditetapkan di atas bagi para penyensor, dan mereka akan bertemu setiap dua bulan pada suatu hari yang telah ditentukan di bawah kepemimpinan Uskup. Mereka akan terikat kepada kerahasiaan tentang musyawarah serta keputusan mereka, dan fungsi mereka adalah sebagai berikut: Mereka akan mengawasi dengan amat berhati-hati setiap jejak dan tanda modernisme, baik di dalam publikasi maupun di dalam pengajaran, dan untuk menjaga para imam serta orang muda darinya, mereka akan melakukan segala upaya-upaya yang berhati-hati, tepat waktu, dan mujarab. Hendaknya mereka memerangi hal-hal baru dalam kata-kata dan mengingat peringatan dari Leo XIII:[30] ”Tidaklah mungkin untuk menyetujui di dalam publikasi-publikasi Katolik suatu gaya bahasa yang terilhami oleh hal-hal baru yang terkutuk, yang tampak mengolok-olok kesalehan para umat beriman dan yang berbicara tentang aturan baru untuk hidup Kristiani, tentang doktrin-doktrin baru Gereja, tentang kebutuhan-kebutuhan baru dari jiwa Kristiani, tentang panggilan sosial baru para imam, tentang kemanusiaan Kristiani yang baru, dan tentang hal-hal lain yang sejenis”. Gaya bahasa semacam ini tidaklah boleh ditolerir baik di dalam buku yang membahas tradisi-tradisi suci, maupun di tentang tempat-tempat yang berbeda atau tentang relikui-relikui suci. Hendaknya mereka tidak mengizinkan hal-hal semacam itu untuk didiskusikan di dalam surat kabar yang bertujuan untuk memalsukan kesalehan, baik dengan ungkapan-ungkapan yang terkesan mengejek atau mencibir, maupun dengan pernyataan-pernyataan dogmatis, terutama sewaktu, yang sering terjadi, apa yang dinyatakan sebagai suatu kepastian tidaklah mungkin atau hanya semata-mata berdasarkan opini yang bias. Mengenai relikui-relikui suci, hendaknya hal ini menjadi aturan: Sewaktu para Uskup, yang merupakan satu-satunya hakim di dalam hal-hal semacam itu, mengetahui dengan pasti bahwa sebuah relikui tidaklah asli, hendaknya mereka menyingkirkan relikui tersebut agar tidak dihormati oleh para umat beriman; jika dokumen yang memberikan kesaksian tentang keaslian suatu relikui telah hilang akibat gangguan sipil, atau akibat hal lain, hendaknya relikui tersebut tidak dipaparkan untuk menerima penghormatan publik sampai sang Uskup telah memverifikasi relikui tersebut. Argumen keputusan atau anggapan yang memiliki dasar yang baik hanyalah memiliki bobot jika devosi kepada suatu relikui itu terpuji oleh alasan kekunoannya, sesuai dengan makna dari dekret yang dikeluarkan pada tahun 1896 oleh Kongregasi Indulgensi dan Relikui-Relikui Suci: “Relikui-reliki suci harus dipertahankan dalam hal penghormatannya, kecuali jika di dalam kasus-kasus individual, terdapat argumen-argumen yang jelas bahwa relikui-relikui tersebut palsu atau keasliannya hanya didasari asumsi”. Dalam hal penilaian tentang tradisi-tradisi suci, harus selalu diingat bahwa dalam hal ini, Gereja selalu menggunakan keberhati-hatian yang terbesar, dan bahwa Gereja tidak membiarkan tradisi-tradisi semacam ini dituliskan di dalam buku-buku kecuali dengan keberhati-hatian yang tertinggi dan setelah diikutsertakannya deklarasi yang diberlakukan oleh Urbanus VIII, dan bahkan dalam kasus tersebut, Gereja tidak menjamin kebenaran akan fakta yang dituliskan tersebut. Gereja sederhananya tidak melarang kepercayaan akan hal-hal yang untuknya terdapat cukup argumen manusia. Dalam hal ini, Kongregasi Suci untuk Ritus-Ritus, tiga puluh tahun lalu mendekretkan hal berikut: “Penampakan-penampakan serta wahyu-wahyu ini belum disetujui ataupun dikutuk oleh Takhta Suci, yang hanya sederhananya mengizinkan untuk memercayainya hanya berdasarkan iman manusia, dan tradisi yang berhubungan dengannya, yang didukung oleh kesaksian-kesaksian serta dokumen-dokumen yang patut dipercayai”.[31] Siapa pun yang mengikuti aturan ini tidak perlu takut. Sebab devosi yang berdasarkan penampakan apa pun, sejauh mana menyangkut fakta itu sendiri – yakni, sejauh mana devosi itu relatif – selalu menyiratkan syarat kebenaran fakta tersebut; sejauh mana devosi itu absolut, devosi itu harus didasari kebenaran, karena objeknya adalah pribadi santo-santa yang dihormati. Demikian pula dengan relikui-relikui. Pada akhirnya, Kami memercayakan kepada Dewan-Dewan Kewaspadaan tugas untuk mengawasi dengan cermat dan tekun institusi-institusi sosial, serta karya tulis yang membahas masalah sosial, sehingga tidak memuat sedikit pun jejak modernisme, melainkan menaati ketetapan-ketetapan Paus Roma.
PERINGATAN TIGA TAHUNAN
Agar apa yang telah Kami tetapkan sejauh ini tidak dilupakan, Kami menghendaki dan memerintahkan agar para Uskup dari semua dioses, setahun setelah diterbitkannya surat-surat ini, dan setiap tiga tahun setelahnya, menyediakan kepada Takhta Suci laporan yang cermat dan yang disumpah tentang segala ketetapan yang dimuat di dalamnya, serta tentang doktrin-doktrin yang umum di antara para imam, dan terutama di dalam seminari-seminari dan institusi-institusi Katolik lainnya, dan Kami memberlakukan kewajiban yang sama atas para jenderal ordo-ordo religius sehubungan dengan mereka yang berada di bawahnya.
Inilah, saudara-saudara yang terhormat, apa yang Kami kira merupakan tugas Kami untuk menuliskan kepada anda demi keselamatan semua orang yang percaya. Para musuh Gereja tentunya akan menyalahgunakan apa yang telah Kami katakan untuk membentuk kembali fitnah lama yang olehnya Kami diumpat sebagai musuh dari ilmu pengetahuan dan perkembangan kemanusiaan. Untuk mengajukan jawaban yang baru terhadap tuduhan-tuduhan semacam itu, yang dibantah oleh agama Kristiani oleh argumen-argumen yang tidak pernah gagal, Kami bermaksud untuk mendirikan dan mengembangkan, dengan segala cara semampu Kami, suatu institusi khusus yang di dalamnya, lewat kerja sama para Katolik yang amat terkemuka dalam hal pendidikan mereka, kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai bidang pengetahuan lainnya dapat dipromosikan di bawah bimbingan dan ajaran kebenaran Katolik. Semoga Allah mengizinkan agar Kami dapat mewujudkan rancangan Kami dengan bantuan dari semua orang yang memiliki cinta kasih yang tulus untuk Gereja Kristus. Tetapi, hal ini akan Kami bicarakan lain kali.
Sementara itu, saudara-saudara yang terhormat, dengan penuh kepercayaan terhadap semangat dan karya anda, Kami memohonkan untuk anda, dengan segenap hati dan jiwa, terang surgawi yang berlimpah, agar di tengah-tengah keresahan besar yang mengganggu pikiran manusia akibat serbuan kesalahan yang berbahaya dari berbagai arah, anda dapat melihat dengan jelas apa yang anda harus lakukan dan dapat melaksanakan tugas itu dengan segenap kekuatan dan keberanian anda. Semoga Yesus Kristus, sang pencipta dan akhir dari iman kita, menyertai anda oleh kekuatan-Nya; dan semoga sang Perawan yang Tidak bernoda, penghancur segala bidah, menyertai anda oleh doa-doa dan pertolongannya. Dan Kami, sebagai jaminan dari cinta kasih Kami serta pertolongan ilahi dalam kesulitan, menganugerahkan dengan amat penuh kasih, dan dengan segenap hati Kami kepada anda dan kepada orang-orang berkat apostolik.
Diberikan di Roma, dari Gereja Santo Petrus, pada hari ke-8 dari September 1907, tahun ke-5 dari Kepausan Kami.
PIUS X, PAUS