Beberapa Bidah Anti-Paus Fransiskus dari Bulan April-Mei 2014

Pesan telegram Fransiskus, 2 April 2014 kepada Mor Ignatius Afrem, “Patriark Tertinggi” yang baru dari gereja “Ortodoks” Suryani:

“Dengan gembira saya menyambut berita pemilihan Paduka Suci sebagai Patriark Antiokhia dan Seluruh Dunia Timur serta Kepala Tertinggi dari Gereja Ortodoks Suryani Universal. Dengan senang hati saya menyampaikan kepada anda dan kepada para imam serta para umat beriman dari Patriarkat Ortodoks Suryani harapan-harapan baik saya serta solidaritas saya yang penuh doa, dengan meminta kepada Roh Kudus agar Ia mencurahkan berkat-Nya yang berlimpah atas pelayanan anda yang luhur. Saya berdoa agar Paduka Suci dapat menjadi bapa rohani bagi umat anda ….”[1]

Fransiskus mengungkapkan rasa “gembira” akan “pemilihan” seorang pemimpin skismatis yang baru, Mor Ignatius Afrem. Ia mengklaim bahwa pemimpin skismatis itu adalah “Patriark” kota Antiokhia, Turki “dan Seluruh Dunia Timur”. Anti-Paus Fransiskus menyebut para pengikut skismatis dari Mor Ignatius Afrem sebagai “umat beriman”. Ia juga berkata bahwa jabatan pemimpin skismatis adalah “pelayanan yang luhur”.

Sambutan Fransiskus, 7 April 2014, kepada para “Uskup” Tanzania:

“Saya terutama berbesar hati untuk mengetahui bahwa Tanzania berkomitmen untuk menjamin kebebasan yang dimiliki oleh para penganut berbagai agama untuk menjalankan iman mereka. Perlindungan dan pencanangan yang berkesinambungan terhadap hak asasi manusia ini memperkuat masyarakat dengan memberdayakan para umat beriman, dalam kesetiaan terhadap asas-asas hati nurani mereka dan dalam rasa hormat terhadap martabat dan hak-hak semua orang ….”[2]

Fransiskus sang pemurtad “terutama berbesar hati untuk mengetahui” bahwa suatu negara menjamin kebebasan bagi para penganut berbagai agama sesat untuk secara publik menjalankan “iman” mereka. Ia berkata bahwa kebebasan ini “memperkuat masyarakat”. Ia menyebut para praktisi berbagai agama sesat sebagai “para umat beriman”.

Sambutan Fransiskus, 3 Mei 2014, kepada para “uskup” Sri Lanka:

“Sri Lanka adalah suatu negara yang bukan hanya kaya dalam kebhinekaan etnik, tetapi juga dalam berbagai tradisi agamawi; hal ini menegaskan pentingnya dialog antaragama dan ekumenis demi memajukan pengetahuan dan pengayaan timbal balik … Maka saya mendesak agar anda sekalian senantiasa waspada dan selalu bekerja bersama para otoritas pemerintahan serta para pemimpin agama lainnya ….”[3]

Anti-Paus Fransiskus memuji Sri Lanka atas keberadaan berbagai agama sesat di dalam negara itu. Ia menyatakan bahwa agama-agama sesat adalah sumber “pengayaan”.

Surat Fransiskus, 5 Mei 2014, kepada Tawadros II, “paus” skismatis dari Aleksandria, Mesir:
“Kepada Paduka Suci Tawadros II

Paus Aleksandria dan

Patriark Takhta Santo Markus

Menimbang mendekatnya hari ulang tahun pertama pertemuan persaudaraan kita di Roma pada tanggal 10 Mei 2013, saya mengambil kesempatan ini untuk menulis kepada Paduka Suci sebagai suatu cara untuk kembali menghidupkan sukacita dan rasa syukur yang kita alami pada kesempatan itu. Pertemuan kita memperkuat ikatan-ikatan rohani yang mempersatukan Takhta Petrus dan Takhta Markus … kita sudah mengalami suatu persekutuan yang nyata … Bertumpu kepada momen doa kita bersama di sepanjang kunjungan Paduka Suci ke Roma, marilah kita terus berdoa kepada Allah … Dari Vatikan, 5 Mei 2014

Fransiskus”[4]

Fransiskus berkata bahwa pemimpin skismatis itu adalah pemimpin “Takhta Markus”. Ia mengklaim bahwa para umat Katolik bersatu dalam “ikatan-ikatan rohani” bersama orang skismatis itu. Fransiskus menyatakan bahwa Gereja Katolik “mengalami suatu persekutuan yang nyata” bersama orang-orang skismatis. Gereja Katolik mengajarkan hal yang sama sekali berlawanan dengan ajaran Anti-Paus Fransiskus.

Paus St. Leo Agung, Khotbah 129:

“Itulah sebabnya, karena di luar Gereja Katolik tiada suatu hal pun yang sempurna, tiada suatu hal pun yang tak bernoda … kita sama sekali tidak serupa dengan mereka yang terpisahkan dari kesatuan Tubuh Kristus; kita sama sekali tidak terhubung dalam persekutuan apa pun.”

Sambutan selamat datang Fransiskus, 8 Mei 2014, kepada Karekin II, “Patriark Tertinggi” skismatis dari “Gereja Apostolik” Armenia, yang dengannya Fransiskus berbagi “saat doa”:

“Paduka Suci,

Saudara-Saudara yang Terkasih dalam kristus

Dengan gembira saya menghaturkan sambutan yang teramat tulus kepada anda dan kepada delegasi yang terhormat yang mendampingi anda … Saya hendak berterima kasih kepada Paduka Suci atas sokongan yang efektif yang diberikan kepada dialog ekumenis, dan terutama, kepada karya komisi gabungan untuk dialog teologis antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Ortodoks Oriental, dan atas kontribusi-kontribusi teologis yang anda yang dipersembahkan oleh para perwakilan … Marilah kita berdoa yang satu untul yang lainnya: semoga Roh Kudus mencerahkan kita dan membimbing kita ….”[5]

Fransiskus meminta kepada pemimpin skismatis itu agar ia berdoa untuk dirinya. Fransiskus berkata bahwa para teolog skismatis “andal” dan berterima kasih kepada mereka atas kontribusi-kontribusi skismatis mereka.

Pesan Fransiskus pada tanggal 19 Mei 2014 kepada “Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama”, “Kardinal” Jean-Louis Tauran:

“Kepada Saudara Saya yang Terhormat

Kardinal Jean-Louis Tauran

Presiden Dewan Kepausan

untuk Dialog Antaragama

Pada kesempatan yang penting ini untuk memperingati hari ulang tahun yang ke-50 didirikannya Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama, dengan gembira saya menyampaikan salam hangat saya kepada anda, Saudara yang Terhormat … Karena saya mendapat kesempatan untuk mengenang hari-hari pertama pelayanan saya sebagai Uskup Roma, ‘Gereja Katolik sadar akan pentingnya perihal memajukan persahabatan dan rasa hormat antara pria dan wanita dari berbagai tradisi agama’ …

Fransiskus”[6]

“Kardinal” Jean-Louis Tauran adalah sang pemurtad yang mengirimkan pesan salam kepada berbagai agama sesat setiap tahunnya. Pesan salam kemurtadan itu diterbitkan pada surat kabar Vatikan L’Osservatore Romano. Seperti yang dapat kita lihat, Fransiskus sepenuhnya mendukung “pelayanan” kemurtadan Tauran.

Audiensi Umum Fransiskus, 19 Mei 2014, mengenang “ziarah”-nya “ke Tanah Suci” :

“Seperti yang anda ketahui, pada hari-hari yang lalu saya berziarah ke Tanah Suci … Tanah yang terberkati itu, yang menyaksikan kehadiran historis Yesus dan di mana peristiwa-peristiwa yang fundamental bagi agama Yahudi, Kristiani dan Islam bertempat … pertemuan saya dengan Paduka Suci Patriark Bartolomeus, saudara kita yang terkasih dalam Kristus, melambangkan momen yang teramat penting dari kunjungan tersebut. Kami berdoa bersama pada Kubur Yesus, dan bersama kami Patriark Ortodoks Yunani dari Yerusalem Teofilus III dan Patriark Apostolik Armenia … Kami semua adalah saudara-saudara dalam Kristus dan bersama Patriark Bartolomeus, kami adalah sahabat, saudara, dan kami telah berbagi harapan untuk berjalan bersama, untuk melakukan segala yang dapat kami lakukan sejak hari ini untuk ke depannya: berdoa bersama, bekerja bersama demi kawanan domba Allah … Roh memperkenankan untuk mengamalkan sikap-sikap ini dalam kehidupan sehari-hari, bersama orang-orang dari berbagai budaya dan agama, dan dengan demikian, menjadi ‘pengrajin’ perdamaian ….”[7]

“Katekese” Fransiskus, 21 Mei 2014, pada Audiensi Umum:

“Pada suatu hari saya berada di pedesaan dan saya mendengar perkataan dari seseorang yang sederhana yang sangat mencintai dan merawat bunga-bungaan. Pria itu berkata kepada saya: ‘Kita harus merawat hal-hal yang indah yang telah diberikan Allah kepada kita! Ciptaan adalah milik kita supaya kita dapat menerima hal-hal yang baik darinya. Allah senantiasa mengampuni, kita, manusia terkadang mengampuni, tetapi ciptaan tidak pernah mengampuni dan jika anda tidak memedulikannya, ia akan menghancurkan anda.’ Hal ini seharusnya membuat kita berpikir ….”[8]

Fransiskus berbicara tentang bagaimana “ciptaan tidak pernah mengampuni”. Perkataan semacam ini adalah omong kosong panties. Fransiskus tampaknya berkata bahwa ciptaan akan mengadili kita, di samping Allah pula. Kenyataannya, Fransiskus tampaknya menyatakan bahwa meskipun Allah akan mengampuni, seseorang masih harus bertanggung jawab kepada “ciptaan”.

Sambutan Fransiskus, 24 Mei 2014, kepada otoritas negeri Yordania:

“Saya juga menyambut para anggota Keluarga Kerajaan, pemerintahan serta rakyat Yordania, negeri yang begitu kaya akan sejarah dan yang sedemikian pentingnya bagi agama Yahudi, Kristiani dan Islam … Saya mengambil kesempatan ini untuk kembali menuturkan rasa hormat dan penghargaan saya yang besar kepada komunitas Muslim serta apresiasi saya kepada kepemimpinan Yang Mulia Sri Raja dalam memajukan pengetahuan yang lebih baik akan kebajikan-kebajikan yang diajarkan oleh Islam serta suasana koeksistensi yang tenteram antara para umat beriman dari berbagai agama … Saya bersyukur karena Yordania telah mendukung sejumlah prakarsa yang penting yang bertujuan memajukan dialog dan pemahaman antaragama antara orang-orang Yahudi, Kristiani dan Muslim. Dalam benak saya terutama Pesan Amman serta dukungan yang diberikan dalam Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk perayaan tahunan Pekan Harmoni Antaragama Sedunia … Kebebasan beragama kenyataannya adalah suatu hak asasi manusia dan saya tidak dapat lalai untuk mengutarakan harapan saya agar kebebasan itu dijunjung di seluruh Timur Tengah dan di seluruh dunia. Hak kebebasan beragama ‘pada jenjang perorangan dan kolektif, mencakup kebebasan untuk mengikuti hati nurani seseorang dalam perkara-perkara keagamaan dan, pada waktu itu juga, kebebasan beribadah … (hak itu juga mencakup) kebebasan untuk memilih agama yang dinilai seseorang sebagai benar dan mewujudkan kepercayaan-kepercayaan seseorang di dalam publik’ (Ecclesia in Medio Oriente, n. 26) … Salaam!”[9]

Fransiskus sekali lagi memuji suatu negara atas “pentingnya” negara tersebut bagi agama sesat Islam. Anti-Paus Fransiskus lalu mengungkapkan harapannya untuk “kembali menuturkan rasa hormat dan penghargaan”-nya “yang besar kepada komunitas Muslim”. Hal ini berarti bahwa ia memiliki “rasa hormat yang besar” kepada orang-orang yang menyangkal keilahian Yesus Kristus dan segenap iman Katolik. Anti-Paus Fransiskus mengumumkan “apresiasi”-nya kepada perihal “memajukan pengetahuan yang lebih baik akan kebajikan-kebajikan yang diajarkan oleh Islam”. Fransiskus berbicara tentang “para umat beriman dari berbagai agama”. Fransiskus lalu memuji “perayaan tahunan Pekan Harmoni Antaragama Sedunia”. Fransiskus menutup pesan kemurtadannya ini dengan mempromosikan bidah kebebasan beragama yang telah dikutuk.

Paus Gregorius XVI, Inter Praecipuas (#14), 8 Mei 1844: “Memang, adalah suatu hal yang konsisten dan yang telah dibuktikan oleh pengalaman dari masa lalu, bahwa ketidakacuhan dalam hal agama, yang disebarkan oleh para pengikut sekte itu atas nama Kebebasan beragama, adalah jalan yang amat pasti untuk memisahkan orang-orang dari kesetiaan dan kepatuhan yang mereka harus berikan kepada para Pangeran.”

Paus Pius IX, Silabus Kesalahan-Kesalahan, #78: “Maka, di beberapa daerah yang menyandang nama Katolik, hukum telah secara terpuji memperkenankan orang-orang yang berimigrasi ke daerah-daerah tersebut untuk melaksanakan secara publik segala jenis ibadat mereka sendiri.” – Dikutuk

Paus Pius IX, Quanta Cura (#3-6), 8 Des. 1864, ex cathedra: “Gagasan yang sepenuhnya sesat tentang pemerintahan sosial tersebut membuat mereka tidak ragu untuk mendukung opini yang sesat ini, yang dampak-dampaknya paling mematikan kepada Gereja Katolik dan keselamatan jiwa-jiwa, dan yang disebut oleh Pendahulu Kami dari kenangan yang berbahagia, Gregorius XVI, sebagai suatu kegilaan, yaitu bahwa ‘KEBEBASAN BERHATI NURANI DAN BERIBADAH MERUPAKAN HAK PRIBADI DARI SETIAP MANUSIA, YANG HARUS SECARA HUKUM DIPROKLAMASIKAN DAN DIJAMIN DI DALAM SETIAP MASYARAKAT YANG TERSUSUN SECARA BENAR; dan BAHWA WARGA NEGARA MEMILIKI SUATU HAK ATAS KEBEBASAN YANG PENUH UNTUK MEWUJUDKAN DENGAN SUARA LANTANG DAN SECARA PUBLIK OPINI-OPINI MEREKA, APA PUN OPINI MEREKA ITU, MELALUI PERKATAAN, MELALUI PERCETAKAN ATAU MELALUI SARANA APA PUN, tanpa dikekang oleh otoritas gerejawi maupun sipil.’ Tetapi, walaupun mereka menekankan pernyataan-pernyataan yang lancang ini, mereka tidak memikirkan, tidak pun mereka mempertimbangkan bahwa mereka mengajarkan suatu kebebasan untuk menjadi binasa … Maka, DENGAN KUASA APOSTOLIK KAMI, KAMI MENOLAK, MENGECAM, DAN MENGUTUK SELURUH DAN SETIAP OPINI SERTA DOKTRIN YANG JAHAT YANG SECARA RINCI DISEBUTKAN DI DALAM SURAT INI, DAN KAMI MENGHENDAKI DAN MEMERINTAHKAN KEPADA SEMUA ANAK-ANAK GEREJA KATOLIK AGAR MEREKA MENGANGGAP OPINI-OPINI DAN DOKTRIN-DOKTRIN TERSEBUT SEPENUHNYA DITOLAK, DIKECAM, DAN DIKUTUK.” (Denz. 1690; 1699)

Sambutan Fransiskus, 24 Mei 2014, kepada otoritas Palestina:

“ … kebebasan beragama. Rasa hormat kepada hak asasi manusia ini kenyataannya adalah salah satu syarat yang paling esensial untuk perdamaian, persaudaraan, dan keharmonisan. Kebebasan ini berkata kepada dunia bahwa adalah hal yang mungkin dan diperlukan untuk membangun keharmonisan dan pemahaman antara berbagai budaya dan agama. Kebebasan itu juga merupakan saksi terhadap fakta bahwa karena kita berbagi begitu banyak hal yang penting, mungkin adanya untuk mencari suatu sarana koeksistensi yang tenteram, tertib, dan penuh damai, dengan menerima perbedaan-perbedaan kita dan dengan bersukacita sebab, sebagai anak-anak Allah yang esa, kita semua bersaudara … Salaam!”[10]

Fransiskus meminta adanya “keharmonisan” dengan agama-agama yang menolak Yesus dan iman Katolik. Fransiskus berseru bahwa kita harus berusaha “menerima perbedaan-perbedaan kita”. Pernyataannya itu jelas merupakan promosi indiferentisme keagamaan. Fransiskus berkata bahwa semua orang yang menganut agama-agama sesat ini adalah “anak-anak Allah yang esa”. Gereja Katolik mengajarkan bahwa orang-orang hanya menjadi anak-anak Allah melalui pembaptisan dan iman Katolik yang sejati.

“Homili” Fransiskus, 24 Mei 2014, pada “Misa” di Amman:

“Mari kita meminta Roh agar Ia mempersiapkan hati kita untuk bertemu saudara-saudari kita, agar kita dapat mengatasi perbedaan-perbedaan kita yang berakar dalam cara pikir politis, bahasa, budaya dan agama.”[11]

Anti-Paus Fransiskus ingin supaya orang-orang mengatasi perbedaan-perbedaan dalam hal agama. Ia meminta “Roh Kudus” supaya mempersiapkan hati demi menerima agama-agama sesat serta kepercayaan-kepercayaan mereka yang sesat.

Sambutan Fransiskus, 25 Mei 2014, kepada pemerintahan Israel pada bandara mereka di Lod, dekat Tel Aviv:

“ … Saya telah datang sebagai peziarah ke Tanah Suci, yang kaya akan budaya dan yang merupakan rumah bagi peristiwa-peristiwa utama dalam asal-muasal serta pertumbuhan tiga agama monoteis yang agung, Yahudi, Kristiani dan Islam. Dengan demikian, tempat ini sangat penting dari sudut pandang rohani untuk sebagian besar umat manusia.”[12]

Fransiskus kembali memuji sebuah tanah karena telah menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa yang mengawali dan membantu pertumbuhan agama-agama sesat seperti Islam! Anti-Paus Fransiskus menyebutnya sebagai suatu hal yang “sangat penting dari sudut pandang rohani”. Ia sungguh seorang pemurtad.

Deklarasi gabungan Fransiskus, 25 Mei 2014, bersama “Patriark Ortodoks” dari Konstantinopel, Bartolomeus:

“Hanya Roh Kuduslah yang dapat membimbing kita ke dalam kesatuan tersebut, kesatuan persekutuan dalam kebhinekaan yang legitim … Tukar pelukan antara Paus Paulus VI dan Patriark Atenagoras yang berlangsung di sini, di Yerusalem, setelah keheningan yang berabad-abad, meratakan jalan untuk membuat sikap yang amat penting itu, pengangkatan tindak ekskomunikasi timbal balik tahun 1054 dari ingatan dan dari tengah-tengah Gereja … Selama tahun-tahun ini, Allah, sumber segala damai dan kasih, telah mengajarkan kita agar kita memandang satu sama lain sebagai anggota keluarga Kristiani yang sama … agar kita dapat mengakui iman kita akan Injil Kristus yang sama, sebagaimana yang diterima oleh para Rasul dan yang diungkapkan dan diwariskan kepada kita oleh Konsili-Konsili Ekumenis dan para Bapa Gereja … Demikian pula, ada keperluan yang mendesak untuk kerja sama yang efektif dan penuh komitmen dari orang-orang Kristiani demi menjaga di segala tempat hak untuk mengungkapkan iman seseorang secara publik … Dalam hal ini, kami mengundang semua umat Kristiani untuk memajukan suatu dialog yang autentik bersama agama Yahudi, Islam, serta tradisi-tradisi agamawi lainnya … Kita menganjurkan semua pihak, terlepas keyakinan agama mereka, untuk melanjutkan karya rekonsiliasi … Satu padu dalam intensi kita, dan dengan mengenang teladan itu, 50 tahun lalu di sini di Yerusalem, dari Paus Paulus VI dan Patriark Atenagoras, kami meminta semua orang Kristiani, bersama dengan para umat beriman dari setiap tradisi agamawi lainnya serta semua orang yang berkehendak baik agar mereka menyadari urjensi dari saat ini, yang mendesak kita untuk mencari rekonsiliasi dan kesatuan dari keluarga manusia ….”[13]

Fransiskus berbicara tentang “persekutuan dalam kebhinekaan” bersama orang-orang skismatis sebagai karya Roh Kudus. Roh Kudus hanya membimbing orang menuju kesatuan dalam iman Katolik, bukan dalam kebhinekaan. Itulah suatu contoh lain bagaimana Fransiskus mengajarkan bahwa para skismatis tidak perlu berkonversi. Fransiskus juga secara jelas mengajarkan bahwa orang-orang skismatis berada dalam Gereja Kristus sewaktu ia berkata bahwa mereka adalah bagian dari “keluarga Kristiani yang sama”. Pernyataannya itu sepenuhnya bidah. Fransiskus lalu mendeklarasikan bahwa ekskomunikasi yang dilakukan oleh seorang Paus yang sejati terhadap para skismatis pada tahun 1054 diangkat oleh Anti-Paus Paulus VI.

“Perayaan ekumenis” Fransiskus pada tanggal 25 Mei 2014 bersama “Patriark” Bartolomeus:

“Di sini, saya kembali mengulangi harapan yang telah diutarakan oleh para pendahulu saya demi menempuh dialog yang berkelanjutan bersama saudara-saudari kita dalam Kristus, demi menemukan suatu sarana untuk melaksanakan pelayanan yang spesifik dari Paus Roma yang, dalam kesetiaan terhadap misinya, mungkin terbuka kepada situasi yang baru dan yang, dalam konteks masa kini, dapat menjadi pelayanan kasih dan persekutuan yang diterima oleh semua orang (bandingkan Yohanes Paulus II, Ut Unum Sint, n. 95-96) … Sewaktu umat Kristiani dari berbagai keyakinan menderita bersama bahu membahu dan saling membantu satu sama lain dengan cinta kasih persaudaraan, terlahir suatu ekumenisme penderitaan, suatu ekumenisme darah yang terbukti amat kuat adanya bukan hanya dalam situasi-situasi di mana hal itu terjadi, tetapi juga, atas dasar persekutuan para kudus, bagi segenap Gereja pula. Orang-orang yang membunuh, menganiaya orang-orang Kristiani akibat rasa benci tidak bertanya bilamana mereka Ortodoks atau Katolik: mereka orang Kristen. Darah orang Kristiani sama adanya.”[14]

Fransiskus sekali lagi berkata bahwa para skismatis adalah “saudara-saudari kita dalam Kristus”. Anti-Paus Fransiskus lalu berbicara tentang hal “menemukan suatu sarana untuk melaksanakan pelayanan yang spesifik” dari “Kepausan” yang “mungkin terbuka kepada situasi yang baru”. Pernyataannya ini berarti bahwa Fransiskus terbuka kepada perubahan-perubahan yang dramatis terhadap ajaran Gereja Katolik yang infalibel tentang Kepausan. Anti-Paus Yohanes Paulus II telah sebelumnya mempromosikan gagasan yang sama sekali bidah itu. Dengan pernyataannya tentang “ekumenisme darah”, Anti-Paus Fransiskus juga menyiratkan bahwa ia percaya bahwa ada martir non-Katolik. Gagasan semacam itu adalah bidah.

Pertemuan Fransiskus, 26 Mei 2014, bersama komunitas Muslim pada suatu perjalanan ke Kubah Shakhrah.

Fransiskus menuturkan kata sambutan kepada “Mufti Agung” Yerusalem:

“Yang Mulia,

Yang Terkasih para umat beriman Muslim,

Sahabat-sahabat yang terkasih,

Saya bersyukur atas kesempatan untuk bertemu anda sekalian di tempat yang sakral ini. Saya berterima kasih kepada anda atas undangan yang santun yang telah anda sampaikan kepada saya dan, terutama, saya hendak berterima kasih kepada Mufti Agung dan kepada Presiden Majelis Muslim Tertinggi … Maka, saya terutama gembira untuk berada bersama anda, saudara-saudara Muslim yang terkasih … Saudara-saudara yang terkasih, sahabat-sahabat yang terkasih, dari tempat suci ini saya dengan tulus memohon kepada semua orang dan semua komunitas yang menghormati Abraham: semoga kita menghormati dan mengasihi satu sama lain sebagai saudara dan saudari! … Semoga kita bekerja bersama demi keadilan dan persaudaraan! Salaam!”[15]

Fransiskus memberi sambutan bidah ini kepada pemimpin Islamik dari Kubah Shakhrah. Ia menyebut situs Kubah Shakhrah Islamik itu sebagai “tempat suci ini” dan sebagai “sakral”! Pernyataannya itu adalah suatu kemurtadan yang luar biasa, dan kenyataannya setara dengan memuja ilah sesat. Kubah Shakhrah dianggap sebagai situs yang ketiga tersuci dari agama sesat Islam. Anti-Paus Fransiskus menyatakan bahwa orang-orang Muslim hendaknya disebut “umat beriman”. Gereja Katolik hanya menganggap orang Katolik yang telah dibaptis sebagai “umat beriman”. Pernyataan Fransiskus adalah bidah. Fransiskus menyebut orang-orang Muslim sebagai “saudara dan saudari” kita, tetapi orang-orang Katolik bukanlah bagian dari keluarga yang sama dengan para anggota agama-agama sesat.

Sambutan Fransiskus, 26 Mei 2014, kepada para kepala rabi Israel:

“Yang Terhormat Para Kepala Rabi Israel

Saudara-saudari yang Terhormat,

Saya sangat gembira untuk berada di sini bersama anda sekalian pada hari ini … Seperti yang anda ketahui, sejak saat saya menjadi Uskup Agung Buenos Aires, saya telah menganggap banyak orang Yahudi sebagai sahabat-sahabat saya. Pada hari ini, dua sahabat yang adalah rabi ada di sini bersama dengan kita. Bersama-sama kami mengorganisir acara-acara pertemuan dan dialog; bersama mereka, saya juga mengalami momen-momen saling berbagi yang penting pada jenjang rohani. Pada beberapa bulan pertama dari masa Kepausan saya, saya dapat menyambut berbagai organisasi dan perwakilan komunitas Yahudi dari seluruh dunia … permohonan-permohonan untuk melakukan pertemuan ini menjadi saksi atas keinginan kita bersama untuk mengenal satu sama lain dengan lebih baik, untuk saling mendengarkan satu sama lain dan untuk menjalin ikatan-ikatan persaudaraan yang sejati … Di sini, saya hendak menyebutkan secara khusus meningkatnya kepentingan dialog antara Rabinat Kepala Israel dan Komisi Takhta Suci untuk Hubungan Keagamaan dengan Orang-Orang Yahudi. Terilhami oleh kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Tanah Suci, dialog ini diinaugurasikan pada tahun 2002 dan sudah mencapai usianya yang kedua belas tahun. Saya hendak berpendapat bahwa dalam istilah tradisi Bar Mitzvah Yahudi, itu hanya sekedar saat datangnya usia. Saya yakin bahwa dialog ini akan berlanjut dan akan mengalami masa depan yang cemerlang pada tahun-tahun mendatang. Kita perlu berbuat lebih banyak daripada sekadar menjalin hubungan-hubungan timbal balik yang penuh hormat pada jenjang manusiawi: kita juga terpanggil, sebagai orang Kristen dan Yahudi, untuk merenungkan dalam-dalam pada jenjang rohani ikatan yang ada antara kita. Ikatan ini berasal dari atas sana … Pemahaman timbal balik akan warisan rohani kita, penghargaan atas apa yang kita miliki bersama serta rasa hormat dalam perkara-perkara yang di dalamnya kita berselisih paham: semuanya ini dapat membantu untuk membimbing kita supaya mencapai hubungan yang lebih dekat, suatu intensi yang kita serahkan dalam tangan Allah. Bersama-sama, kita dapat membuat kontribusi yang besar terhadap perkara perdamaian; bersama-sama, kita bisa bersaksi … Shalom!”[16]

Fransiskus berkata bahwa ia mengalami “momen-momen saling berbagi yang penting pada jenjang rohani” bersama para rabi yang menolak Yesus dan iman Katolik. Fransiskus berbicara tentang “ikatan yang ada” dalam sudut pandang rohani bersama orang-orang Yahudi yang menolak Kristus. Tidak ada ikatan antara orang Katolik dengan orang yang menolak Yesus dan iman Katolik. Fransiskus menyatakan bahwa orang-orang Yahudi “bersaksi”. Orang-orang Yahudi hanya “bersaksi” akan kenyataan bahwa mereka telah menolak Yesus dan memeluk agama sesat yang menyebabkan kebinasaan.

Sambutan Fransiskus, 26 Mei 2014, kepada Presiden Israel Shimon Peres:

 “Saya berterima kasih kepada anda, Bapak Presiden, atas perkataan salam anda yang baik dan penuh hikmat serta salam hangat anda. Saya senang dapat sekali lagi bertemu dengan anda pada waktu ini di Yerusalem, kota yang melestarikan Tempat-Tempat Suci yang dicintai oleh ketiga agama agung yang menyembah Allah yang memanggil Abraham. Tempat-Tempat Suci bukanlah monument atau museum untuk para turis, melainkan tempat-tempat di mana komunitas-komunitas umat beriman setiap harinya mengungkapkan iman dan budaya mereka, dan melaksanakan karya amal mereka. Oleh karena alasan yang satu ini, sifat sakral tempat-tempat tersebut harus senantiasa dipertahankan dan perlindungan harus diberikan bukan hanya kepada warisan masa lalu tetapi juga kepada semua orang yang akan mengunjungi situs-situs ini pada hari ini dan kepada mereka yang akan mengunjungi situs-situs tersebut di masa depan … Upaya menciptakan perdamaian pertama-tama menuntut rasa hormat terhadap martabat dan kebebasan setiap pribadi manusia, yang dipercayai baik oleh orang Yahudi, Kristen dan Muslim sebagai ciptaan Allah dan ditakdirkan untuk memperoleh kehidupan kekal … Dengan demikian, ada keperluan untuk menolak secara teguh segala sesuatu yang berlawanan dengan pemupukan perdamian dan hubungan-hubungan yang penuh hormat antara orang-orang Yahudi, Kristen dan Muslim. Sebagai contoh, Kami berpikir tentang upaya yang mengandalkan kekerasan dan terorisme, segala bentuk diskriminasi yang didasari ras atau agama … serta tanda-tanda intoleransi yang ditujukan kepada individu-individu atau tempat-tempat ibadat, baik Yahudi, Kristiani maupun Muslim … Hadirnya komunitas-komunitas ini serta rasa hormat terhadap hak-hak mereka – seperti pula terhadap hak-hak semua kelompok dan minoritas keagamaan lainnya – merupakan jaminan pluralisme yang sehat dan bukti vitalitas nilai-nilai demokratis sebagaimana terwujud secara autentik dalam kehidupan dan karya Negara sehari-harinya. Bapak Presiden, anda tahu bahwa saya mendoakan anda dan saya tahu anda mendoakan saya … Shalom!”[17]

Fransiskus senang karena Yerusalem “melestarikan Tempat-Tempat Suci yang dicintai oleh ketiga agama agung”. Sehubungan “Tempat-Tempat Suci” bagi agama-agama sesat itu, Fransiskus bahkan berkata bahwa “sifat sakral tempat-tempat tersebut harus senantiasa dipertahankan” supaya orang-orang ke depannya dapat menggunakan tempat-tempat itu! Fransiskus jelas mengajarkan bahwa agama Islam dan Yahudi, bersama tempat-tempat ibadat mereka yang jahat itu, bersifat “sakral”! Itu adalah kemurtadan dan kemusyrikan. Fransiskus menyebut agama-agama sesat tersebut “agung”. Fransiskus berkata bahwa para pengikut agama-agama tersebut menyembah Allah dan menyebut mereka “umat beriman”. Ia senang karena orang-orang dapat “setiap harinya mengungkapkan iman” mereka di “Tempat-Tempat Suci” mereka. Anti-Paus Fransiskus juga mengajarkan bahwa “setiap pribadi manusia” “ditakdirkan untuk memperoleh kehidupan kekal”. Pernyataan itu setara dengan mengajarkan keselamatan universal. Fransiskus lalu mencela segala bentuk diskriminasi atau “intoleransi” terhadap agama-agama sesat dan ajaran-ajaran jahat dari agama-agama tersebut. Ia mengakhiri sambutan bidahnya itu kepada Presiden Israel yang menolak Kristus dengan berterima kasih kepadanya sebab ia berdoa untuk dirinya.

Paus Gregorius XVI, Mirari Vos (#13), 15 Agustus 1832: “ Sebab sang Rasul telah memberi teguran bahwa ‘hanya ada satu Tuhan, satu iman, satu pembaptisan’ (Efesus 4 :5); maka, semoga mereka menjadi takut, yakni, orang-orang yang membuat-buat gagasan bahwa dermaga keselamatan terbuka kepada orang-orang yang menganut agama apa pun. Hendaknya mereka sungguh-sungguh merenungkan kesaksian sang Juru Selamat sendiri, bahwa ‘barang siapa tidak bersama Kristus, ia melawan Kristus’ (Lukas 11 :23) dan barang siapa tidak memanen bersama-Nya akan tercerai-berai dengan tidak bahagia. Dan itulah sebabnya, ‘jikalau mereka tidak menjaga iman Katolik utuh dan murni, tidak diragukan bahwa mereka akan binasa selamanya.’ (Syahadat Atanasius).”

Tanggapan-tanggapan Fransiskus, 26 Mei 2014, kepada pertanyaan-pertanyaan dari para perwakilan media internasional:

Pertanyaan kepada Fransiskus: “Terima kasih, Paduka Suci. Pada saat ziarah anda, anda berbicara panjang lebar, dan pada beberapa kesempatan, bertemu dengan Patriark Bartolomeus. Kami ingin tahu apabila anda juga berbicara tentang jalan yang konkret untuk mencapai kedekatan, apabila anda juga berkesempatan untuk berbicara tentang hal ini. Saya juga ingin tahu apa bila Gereja Katolik mungkin dapat belajar sesuatu dari Gereja-Gereja Ortodoks – saya sedang berbicara tentang para imam yang menikah, suatu pertanyaan yang dianggap bersifat mendesak oleh banyak orang Katolik di Jerman.”

Fransiskus: “Tetapi bukankah Gereja Katolik memiliki para imam yang menikah? Katolik Yunani, Katolik Koptik, kan? Mereka itu ada, dalam ritus-ritus Timur, ada imam yang menikah. Karena keselibatan bukanlah dogma iman … Karena keselibatan bukan dogma iman, selalu ada pintu yang terbuka: pada saat ini, kami belum berbicara tentang hal ini, sebagai suatu program, setidaknya belum kami lakukan sekarang … Bersama Bartolomeus, perkara ini tidak diajukan karena kenyataannya bersifat sekunder dalam hubungan-hubungan kami dengan orang-orang Ortodoks … Bartolomeus sendiri memberi tahu saya demikian pada hari-hari ini. Berjalan bersama, berdoa bersama, bekerja sama dalam banyak hal yang dapat kita lakukan bersama, bergabung untuk saling membantu satu sama lain. Contohnya, dalam hal gereja-gereja kita. Di Roma, dan di banyak kota lainnya, banyak komunitas Ortodoks menggunakan gereja-gereja Katolik pada waktu-waktu tertentu sebagai bantuan dalam hal kemajuan ini … Dan dengan Bartolomeus, kami berbicara sebagai saudara. Kami menyukai satu sama lain, kami bercerita satu sama lain tentang kesulitan-kesulitan kami dalam hal pemerintahan.”[18]

Fransiskus berbicara tentang aktivitas dosa beratnya, yaitu berdoa bersama seorang pemimpin skismatis dari gereja non-Katolik. Anti-Paus Fransiskus berbangga diri bahwa kaum skismatis menggunakan “Gereja-Gereja Katolik” untuk melangsungkan misa-misa mereka yang penuh dosa dan skismatis, dll. Fransiskus berpendapat bahwa hal itu sangat baik.

Bidah-Bidah Fransiskus yang Terkini

Catatan kaki:

[1] L’Osservatore Romano, 11 April 2014, hal. 6. Versi bahasa Inggris.

[2] L’Osservatore Romano, 11 April 2014, hal. 5. Versi bahasa Inggris.

[3] L’Osservatore Romano, 5 Mei 2014, hal. 9. Versi bahasa Inggris.

[4] L’Osservatore Romano, 16 Mei 2014, hal. 16. Versi bahasa Inggris.

[5] L’Osservatore Romano, 9 Mei 2014, hal. 3. Versi bahasa Inggris.

[6] L’Osservatore Romano, 23 Mei 2014, hal. 8. Versi bahasa Inggris.

[7] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 3. Versi bahasa Inggris.

[8] L’Osservatore Romano, 23 Mei 2014, hal. 3. Versi bahasa Inggris.

[9] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 4. Versi bahasa Inggris.

[10] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 7. Versi bahasa Inggris.

[11] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 5. Versi bahasa Inggris.

[12] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 10. Versi bahasa Inggris.

[13] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 11. Versi bahasa Inggris.

[14] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 13. Versi bahasa Inggris.

[15] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 14. Versi bahasa Inggris.

[16] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 16. Versi bahasa Inggris.

[17] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 17. Versi bahasa Inggris.

[18] L’Osservatore Romano, 30 Mei 2014, hal. 20. Versi bahasa Inggris.