^
^
| Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
| Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan | ![]() |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Henrikus VIII: Kisah Skisma Anglikan Raja Inggris dari Gereja Katolik
Diterjemahkan dari Buku St. Alfonsus Maria de Liguori, The History of Heresies and Their Refutation [Sejarah Bidah dan Bantahan terhadap Mereka], Edisi ke-2, Dublin, James Duffy, 1857, hal. 327-339. Nama Henrikus dalam bahasa Inggris adalah Henry, namun disadur menjadi Henrikus agar lebih sesuai dengan lafal bahasa Latinnya.
1. Agama di Inggris sebelum Reformasi
Sejarah Inggris tidak dapat dibaca tanpa mencucurkan air mata. Bagaimana tidak, ketika kita melihat bangsa itu, bangsa yang dahulu paling besar semangatnya dalam memperjuangkan agama Katolik, sekarang menjadi musuh penindasnya? Siapa gerangan tidak akan tersentuh hatinya dengan dukacita, melihat kerajaan yang tadinya begitu lekat dengan Iman sampai-sampai disebut Tanah Para Kudus, sekarang terkubur dalam bidah? Lima belas orang raja dan sebelas orang ratu meninggalkan dunia dan menjadi rohaniwan di berbagai biara. Dua belas orang raja menjadi Martir dan sepuluh dari antara mereka ditempatkan dalam katalog para kudus. Konon, sebelum terjadinya skisma, dahulu tiada desa di Inggris yang tak melahirkan orang kudus di tempat masing-masing.
Betapa nahasnya, melihat tanah ini yang sekarang menjadi tempat kediaman skisma dan bidah.[1] Inggris konon ceritanya menerima Iman Kristus di masa Kaisar Tiberius. Yusuf dari Arimatea,[2] ujar Sanders, bersama dua belas orang muridnya, merupakan yang pertama memperkenalkan agama Kristiani ke negeri itu. Di masa Paus Eleuterius, agama Kristiani telah begitu menyebar luasnya, sehingga atas permohonan Raja Lusius, Sri Paus mengutus Fugasius dan Damianus, yang membaptis Sri Raja serta banyak rakyatnya, dan usai menghancurkan berhala-berhala, mereka mengonsekrasikan banyak gereja dan mendirikan beberapa keuskupan. Inggris tetap teguh dalam Iman di masa Diokletianus, dan ada banyak martir di sana pada masa pemerintahannya. Kekristenan berkembang pesat pada masa pemerintahan Konstantinus, dan meski banyak orang murtad akibat kesalahan-kesalahan Arius dan Pelagius, mereka dipertobatkan sehingga kembali menganut Iman sejati berkat pengkhotbahan St. Germanus dan St. Lupus, yang datang dari Prancis demi tujuan itu.
Sekitar tahun 596, agama sudah hampir lenyap akibat penaklukkan Saxon, namun (Paus) St. Gregorius mengutus St. Austinus serta empat puluh rahib Benediktin, yang mengonversikan seluruh bangsa Anglo-Saxon, dan semangat bangsa itu untuk Iman dan kepada Takhta Suci sungguh luar biasa selama hampir seribu tahun. Di sepanjang periode panjang ini, tak ada penguasa di Dunia Kristiani yang lebih taat kepada Takhta Roma daripada para penguasa Inggris. Di tahun 1212, Raja Yohanes (John) dan para baron kerajaan itu menjadikan Inggris sebagai taklukkan (feudum) Takhta Suci, sehingga membuat Kerajaan Inggris dan Irlandia sebagai fief milik Sri Paus, dan membayar seribu Mark setiap tahunnya pada pesta St. Mikhael serta Peter’s Pence (Uang Receh Petrus), yang ditentukan sesuai jumlah rumah tangga di kerajaan-kerajaan ini. Bayaran ini pertama-tama dijanjikan oleh Raja Ina di tahun 740, lalu diperbesar oleh Raja Etholf, dan terus dibayar sampai tahun kedua puluh lima masa pemerintahan Henrikus (Henry), ketika dia memisahkan diri dari ketaatan kepada Takhta Suci. Ada banyak Konsili provinsial yang dilangsungkan di Inggris pada abad-abad ini, yang juga bertujuan menegakkan disiplin gerejawi, yang dahulu selalu ditaati sampai masa pemerintahan Henrikus, ketika demi memuaskan hasrat nan hina terhadap seorang wanita fasik, Henrikus menenggelamkan diri ke dalam jeram-jeram kejahatan dan menyeret bangsanya dalam kehancuran dirinya. Demikianlah, negeri malang ini, tadinya kemuliaan Gereja, telah menjadi kubangan kefasikan dan ketidaksalehan.
2. Henrikus VIII Menikahi Katarina dari Aragon, namun Jatuh Cinta dengan Ana Boleyn
Anda sekarang akan mendengar sebab keruntuhan Inggris. Di tahun 1501, Henrikus VII menikahkan putra sulungnya, Arturus (Arthur), dengan Katarina dari Aragon,[3] putri Yang Mulia Katolik Ferdinandus (Fernando), namun pangeran (Arturus) itu meninggal dunia sebelum terjadinya hubungan badan dalam pernikahannya. Katarina kemudian menikah dengan putra Henrikus VII, yakni Henrikus VIII, dengan izin dispensasi Paus Yulius II. Pernikahan ini dilangsungkan demi menjaga perdamaian dengan Spanyol, dan Katarina melahirkan lima orang anak dari Henrikus VIII.
Namun sebelum kami lanjutkan kisahnya, akan benar kalau dikata bahwa Henrikus dahulu begitu lekat dengan agama Katolik, sehingga ketika Martin Luther menyerang agama tersebut, Henrikus menganiaya para pengikut Luther sampai mati, dan menyuruh agar pada suatu hari, algojo publik membakar semua buku Luther di hadiratnya. Henrikus juga menyuruh agar Yohanes Fisher, Uskup Rochester, menyampaikan khotbah pada perkara itu. Henrikus lalu menerbitkan karya membela doktrin Iman akan Tujuh Sakramen untuk melawan Luther, meski beberapa orang berkata bahwa buku itu adalah karangan Fisher dari Rochester, dan dibaktikan kepada Paus Leo X, Paus yang kemudian memberi gelar kehormatan Pembela Iman kepada Henrikus VIII berkat buku tersebut.[4] Namun menjadi buta akan segala sesuatu selain cintanya kepada Ana Boleyn, Henrikus pun mulai sangat menjauhi istrinya, Ratu Katarina, meski Sri Ratu sudah menikah selama dua puluh lima tahun dengan Henrikus.[5]
Sri Ratu lebih tua lima atau enam tahun daripada Henrikus, namun Ana Boleyn pada waktu itu dianggap sebagai wanita tercantik di Inggris, dan ketika melihat hati Sri Raja terpaut pada dirinya, Ana pun menolak berjumpa lagi dengan Henrikus sampai Sri Raja menikahinya. Ana pada akhirnya menyerah kepada rayuan-rayuan Henrikus dan melakukan kumpul kebo bersama Sri Raja selama tiga tahun sebelum pernikahannya.
3. Wolsey dengan Jahat Mengusulkan Pernikahan Raja Tidak Valid, Ana Boleyn yang Cabul
Pada periode itu, Inggris mengalami kenahasan karena hampir diperintah oleh Tomas Wolsey, orang kelahiran rendah, namun dengan sikap tak biasa yang menjadikannya favorit Henrikus, sehingga dia tidak hanya diangkat untuk menjabat di Keuskupan Agung Eborakum (York), namun juga dijadikan Lord Kanselir kerajaan dan sebagai Kardinal.[6]
Wolsey adalah seorang perayu tak berprinsip. Melihat Sri Raja jijik dengan Katarina, Ratunya, dia pun menasihati Raja supaya mengajukan cerai, dan menyulut rasa waswas Sri Raja (sekiranya Sri Raja punya itu), dan memberitahukannya bahwa pernikahannya tidak mungkin sah, sebab Katarina adalah istri saudaranya. Namun keberatan ini tidak pernah bisa diterima, sebab Henrikus sudah mendapat dispensasi Sri Paus untuk menikahi Katarina[7]; kasus ini diselidiki matang-matang di Roma, dan impedimen (halangan) yang dahulu ada tidaklah berlaku karena Hukum Ilahi, namun hanya semata-mata karena hukum kanon. Ini terbukti dari Kitab Suci, sebab kita diberi tahu di dalam Kejadian xxxviii, bahwa Patriark Yehuda membuat putra keduanya, Onan, menikah dengan Tamar, istri kakak laki-lakinya, yang mati tanpa keturunan; dan di dalam Hukum Musa, dahulu ada asas yang mewajibkan adik laki-laki mengambil janda kakak laki-lakinya sebagai istri, sekiranya kakaknya itu meninggal dunia tanpa meninggalkan anak-anak; “Apabila orang-orang yang bersaudara tinggal bersama-sama dan seorang dari pada mereka mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka janganlah isteri orang yang mati itu kawin dengan orang di luar lingkungan keluarganya; saudara suaminya haruslah menghampiri dia dan mengambil dia menjadi isterinya dan dengan demikian melakukan kewajiban perkawinan ipar”. (Ulangan xxv. 5).
Lantas, yang dahulu tidak hanya diizinkan, namun diperintahkan oleh Hukum Lama, tidak mungkin bisa berlawanan dengan hukum alam. Larangan Imamat xviii. 16 pun hendaknya jangan dipertimbangkan, sebab larangan itu hanya berlaku kepada kasus mendiang saudara laki-laki yang meninggalkan anak-anak, dan bukan dalam kasus pertama, ketika dia mati tanpa anak, sebab dengan demikianlah saudara laki-lakinya diperintahkan agar menikahi jandanya, demi mencegah hilangnya nama sang saudara laki-laki di Israel. Oleh sebab itu, sama sekali tidak ada keraguan sedikit pun bahwa dispensasi Sri Paus dan pernikahan Henrikus valid sekaligus. Bossuet, dalam karyanya History of the Variatons (Sejarah Variasi)[8], menceritakan kita bahwa sesudah Henrikus meminta pendapat Universitas Sorbonne soal validitas pernikahannya, empat puluh lima orang doktor memberi pendapat mereka bahwa pernikahannya valid, dan lima puluh tiga memegang pendapat sebaliknya. Namun Molineaux berkata bahwa semua hasil pemungutan suara ini dibeli demi duduk perkaranya. Henrikus bahkan menulis kepada para doktor Lutheran di Jerman. Namun, Melancthon, usai berkonsultasi dengan para doktor Lutheran lainnya, menjawab Henrikus bahwa hukum yang melarang seorang pria menikahi istri saudara laki-lakinya bisa diberi dispensasi, dan bahwa pernikahannya dengan Katarina dengan demikian valid. Jawaban ini sangat tidak berkenan kepada Henrikus. Itulah sebabnya dia berpegang pada pendapat Wolsey, dan bertekad menikahi Ana Boleyn. Sudah ada kabar bahwa perempuan ini bahkan merupakan anak Henrikus sendiri, dan kabarnya, bapak Ana, yang dahulu merupakan duta besar di Prancis pada waktu itu, sesudahnya datang ke Inggris[9] ketika mendengar perkara itu, dan memberi tahu Henrikus bahwa istri duta besar itu mengakui kepada dirinya bahwa Ana adalah anak perempuan Henrikus. Namun, Henrikus konon kabarnya memberi jawaban kasar kepadanya, dan menyuruhnya kembali ke tempat dan bungkam diri, dan bahwa dia sudah bertekad menikahi Ana. Dikabarkan pula bahwa sejak usia lima belas tahun, Ana berperangai buruk, dan selama tinggal di Prancis, perilakunya begitu bejat, sehingga dia biasa dipanggil dengan nama tak pantas.[10]
4. Katarina Menolak Perkaranya Diadili oleh Para Hakim Inggris; Wolsey Dijadikan Tahanan dan Meninggal di Leisestria
Bertekad penuh menikahi wanita celaka ini[11], Henrikus mengirim utusan ke Roma untuk menuntut Sri Paus agar melantik Kardinal Campeggio dan Kardinal Wolsey untuk mengadili kasus perceraiannya. Sri Paus setuju, namun Sri Ratu naik banding agar para prelat ini tidak dijadikan hakim, sebab salah seorang dari mereka merupakan abdi Sri Raja, sedangkan yang lain mengemban tugas kepada Sri Raja. Kendati naik banding ajuan Sri Ratu, perkara ini diadili di Inggris, dan Henrikus sungguh terburu-buru demi membuat putusannya ditentukan, sebab dia yakin perkaranya akan memihak dirinya, karena salah seorang hakimnya adalah Wolsey, penggerak utama kasus ini.
Tetapi, Wolsey sekarang takut akan prahara yang telah dibangkitkannya, prahara yang menjadi pertanda hancurnya agama, sehingga dirinya bersama Campeggio mencoba segala cara untuk menghindari dibuatnya putusan, melihat betapa ngeri skandal yang akan timbul sekiranya mereka memberi putusan yang berpihak kepada Sri Raja, dan karena takut kekecewaan Sri Raja seandainya putusan mereka melawan dia.
Sri Paus mengakui kebenaran dalam naik banding yang diajukan Sri Ratu,[12] dan melarang para Kardinal Legatus melanjutkan perkaranya. Sri Paus memindahkan perkara itu kepada pengadilannya sendiri. Henrikus lalu mengutus Tomas Cranmer ke Roma untuk mengurus kepentingan-kepentingannya. Cranmer ini adalah seorang imam, namun hidupnya amoral, dan dia telah secara diam-diam memeluk doktrin-doktrin Lutheran. Kepada Ana Boleyn, Cranmer berutang budi atas pertolongan Sri Raja kepadanya. Henrikus juga berupaya menarik Reginaldus Polus dan Tomas Morus untuk berpihak pada kubunya; namun kedua pria ini terlalu taat agama untuk bisa menyerah kepadanya.
Ratu Katarina di Pengadilan Henrikus VIII
Demi menakut-nakuti Sri Paus agar tunduk kepada keinginan-keinginannya, Sri Raja memberlakukan penalti-penalti terberat demi melarang siapa pun dari kalangan rakyatnya meminta pertolongan atau keringanan dari Roma, tanpa pertama-tama mendapat persetujuan darinya. Allah sekarang menggunakan Henrikus sebagai alat untuk menghukum Wolsey atas kejahatan-kejahatannya. Sri Raja murka dengan Wolsey, sebab Wolsey tidak menyegerakan keluarnya putusan yang memihak Sri Raja, sehingga Wolsey diberhentikannya dari Keuskupan Winchester (kendati ini diragukan) dan dari kekanseliran, dan Wolsey pun diasingkan ke Takhtanya di Eborakum (York). Wolsey tinggal beberapa lama di Cawood, di Isuria (Yorkshire), dan menjadi sangat populer di lingkungan itu karena keramahtamahannya yang luar biasa. Henrikus mengeluarkan perintah penangkapan Wolsey, dan beramanat agar Wolsey dibawa ke London, namun dia menderita begitu banyak pada perjalanan baik dalam pikiran maupun badannya, sehingga sebelum bisa sampai, Wolsey meninggal dunia di Leisestria (Leicester), pada bulan Desember 1630. Ada laporan yang dikirim ke luar negeri bahwa Wolsey meracuni diri sendiri, namun pada kenyataannya, ketika dia mendapati dirinya dituduh melakukan pengkhianatan negara, jantungnya pun pecah. “Seandainya aku dulu melayani Allah”, ujarnya, “sesetia aku melayani Sri Raja, aku tentu tidak akan diserahkannya ketika rambutku sudah abu-abu.”[13]
5. Henrikus Menyita Properti Gereja dan Menikahi Ana Boleyn
Sementara itu, Cranmer menulis dari Roma bahwa dia mendapati Sri Paus tidak bisa dijangkau untuk menyetujui perceraian Sri Raja. Oleh sebab itulah Cranmer dipanggil pulang oleh Raja[14], dan pergi ke Jerman, tempat dia menikah dengan saudara atau keponakan perempuan Osiander[15]; dan pada kematian Wilhelmus (William) Warham, Uskup Agung Kantuaria (Canterbury), Cranmer dilantik menjabat di Takhta itu, namun dengan syarat terbuka bahwa dirinya akan melakukan hal yang telah ditolak oleh Sri Paus: mengeluarkan putusan perceraian antara Henrikus dan Katarina[16].
Ketika mendapati bahwa para rohaniwan kerajaan berpihak pada kubu Katarina, Henrikus bertekad menghukum beberapa dari mereka, dan menuntut mereka pada sebuah praemunire, karena lebih mendukung para klerus legatus ketimbang otoritas Rajani. Takut proses ini, dan karena sekarang tidak bisa berlindung kepada siapa pun, para klerus kerajaan menawarkan 400.000 crown untuk berkompromi pada perkara ini, dan mengakui kuasa berdaulat milik Sri Raja di tanah itu, baik atas klerus maupun umat awam. Melihat segera tibanya kehancuran Inggris, Tomas Morus[17] mengajukan pengunduran diri kepada Sri Raja dari kekanseliran. Sri Raja menerima pengunduran dirinya, dan melantik Tomas Audley, pria yang tergolong kurang berpunya, sebagai penggantinya. Melihat kerajaan itu di ujung tanduk akibat kekaguman buta yang diwujudkan oleh Sri Raja kepada Ana Boleyn, Paus Klemens VII berupaya menyelamatkan negeri itu dengan melarang Henrikus menjalin ikatan pernikahan baru sampai perkara perceraiannya diselesaikan, dan itu dilakukan Sri Paus di bawah ancaman hukuman ekskomunikasi.[18]
Larangan ini hanya semakin mengesalkan Henrikus, sehingga dirinya membenci baik nasihat-nasihat Sri Paus maupun sensura-sensuranya. Akibatnya, Sri Raja menikah diam-diam dengan Ana Boleyn sebelum menyingsingnya fajar di bulan Desember 1532, usai menjadikan Ana sebagai Komitisa (Countess) Pembroke.[19] Rolandus Lee adalah imam yang melangsungkan upacaranya dan beberapa orang percaya bahwa Henrikus memperdayai imam tersebut, dengan memberitahukannya bahwa dia sudah mendapat izin dari Sri Paus untuk menikah kembali.
6. Henrikus Mewajibkan Para Imam Bersumpah Taat Kepadanya, dan Cranmer Menyatakan Pernikahan dengan Katarina Tidak Valid
Tomas Cromwell[20], dengan sokongan Ratu Ana, sekarang sudah naik pada posisi kehormatan tertinggi. Sifatnya teramat licik, dan ambisinya amat tidak terkekang, dan dia juga seorang pengikut doktrin Lutheran. Henrikus menjadikannya Kesatria Garter. Bendahawaran Kerajaan dan Penjaga Meterai Kerajaan, serta menjadikannya Vikaris Jenderal untuk Urusan-Urusan Gerejawi[21], yang Sri Raja tangani sesuka hati bersama Uskup Agung Cranmer dan Kanselir Audley. Henrikus mewajibkan kaum rohaniwan mengambil sumpah setia dalam hal-hal rohaniah kepada Raja, demi membuat mereka sama taatnya seperti mereka dulu taat kepada Sri Paus. Segala cara digunakan untuk membuat Yohanes Fisher, Uskup Rochester, mengambil sumpah ini. Pertama-tama Bapak Uskup menolaknya, namun pada akhirnya dia setuju, dengan mengimbuhkan syarat, “sejauh tidak berlawanan dengan Sabda Ilahi”.[22] Ketika sokoguru Gereja ini tumbang, tidak sulit meyakinkan para klerus lainnya untuk mengambil sumpah itu. Cranmer sekarang siap memenuhi bagiannya dalam perjanjian yang dibuat dengan Henrikus; dia dengan demikian mengumumkan pernikahan Henrikus dengan Katarina bertentangan dengan hukum ilahi, dan menyatakan Sri Raja bebas untuk menikahi wanita lainnya. Namun telah kita lihat bahwa Henrikus sudah menikah secara diam-diam dengan gundiknya, Ana Boleyn.
7. Sri Paus Menyatakan Pernikahan Ana Boleyn Tidak Valid, dan Mengekskomunikasi Henrikus, yang Menyatakan Dirinya Sendiri sebagai Kepala Gereja
Paus Klemens VII sekarang melihat bahwa tidak lagi ada gunanya menggunakan cara-cara lembut, dan bertekad dengan menggunakan kekerasan ekstrem. Itulah sebabnya Sri Paus menyatakan pernikahan Henrikus dengan Ana tidak valid; keturunan dari hubungan itu di masa kini ataupun ke depannya, tidak sah; dan merestorasi hak-hak pernikahan dan kerajaan milik Ratu Katarina[23]. Sri Paus demikian pula menyatakan Henrikus terekskomunikasi atas ketidaktaatannya kepada Takhta Suci, namun putusan ini tidak diberlakukan selama sebulan, demi memberikannya waktu untuk bertobat. Sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda perubahan, Henrikus melarang siapa saja, dengan penalti-penalti terberat, memberi gelar Ratu kepada Katarina, atau menyebut Maria (anak pernikahannya dengan Katarina) sebagai ahli waris kerajaan, meskipun Maria sudah dinyatakan demikian oleh golongan kawula negara. Henrikus menyatakan Maria tidak sah, dan mengirim putrinya itu agar hidup bersama ibunya, Katarina, menetapkan tempat tetap tertentu sebagai tempat tinggal mereka, dan menggaji sekelompok mata-mata, atau penjaga, alih-alih pelayan, di sekeliling mereka.[24]
Sementara itu, Ana Boleyn melahirkan seorang anak perempuan, Elisabet, lahir tanggal 7 September, tujuh bulan setelah pernikahannya, dan Henrikus melanjutkan persekusinya terhadap Katolik, dengan memenjarakan Uskup Fisher, Sir Tomas Morus, dan dua ratus orang Frater Observantin dari Ordo Santo Fransiskus; dan di parlemen yang digelar pada 3 November 1534, loloslah sebuah rancangan undang-undang di kedua buah dewan, yang menyatakan bahwa Maria, anak perempuan Katarina, tersingkir dari suksesi kerajaan, dan mengakui Elisabet, anak perempuan Ana, sebagai ahli waris takhta. Kuasa Sri Paus di Inggris dan Irlandia ditolak sekaligus, dan siapa saja mengakui percaya keutamaan Takhta Suci dinyatakan sebagai pemberontak.
Henrikus mengambil otoritas atas para uskup kerajaan, lebih dari yang pernah dipunya Sri Paus, sebab Henrikus memberi mereka kuasa seolah-olah mereka magistrat sekuler, terus demikian sampai dia ingin mencabut kuasa tersebut, dan hanya dengan otoritas Henrikus sajalah mereka diizinkan menahbiskan imam atau mengeluarkan sensura. Pada akhirnya, didekretkan bahwa Sri Raja merupakan kepala tertinggi Gereja Inggris; bahwa dia seorang dirilah yang empunya tanggung jawab memberantas bidah dan mengoreksi penyalahgunaan, dan dialah yang menyandang hak persepuluhan serta buah sulung. Nama Paus dihapus dari Liturgi, dan dari antara permohonan-permohonan Litani, kata-kata nista berikut disertakan: “Dari kezaliman dan kekejaman-kekejaman jijik Uskup Roma, bebaskanlah kami, ya Tuhan”[25].
8. Henrikus Menindas Kardinal Polus dan Menghukum Mati Morus & Fisher
Henrikus tahu bahwa tindakannya mengambil keutamaan atas Gereja Inggris dikutuk bukan hanya oleh orang Katolik saja, namun juga oleh Luther dan Kalvin. Itulah sebabnya dia mengeluarkan perintah agar tindakannya itu dibela oleh para teolog dalam karya tulis mereka, dan ada banyak teolog yang mematuhi perintah ini – beberapa dengan sukarela, yang lain dipaksa melakukannya. Henrikus menginginkan kerabatnya, Reginaldus Polus, menerbitkan sesuatu yang mendukung tindakannya itu, namun Polus tidak sendirian dalam menolak teguh melacurkan penanya demi mencapai tujuan semacam itu, namun justru menulis empat buah buku, “De Unione Ecclesiastica,” dalam melawan klaim atas hak tersebut. Polus dengan ini begitu memurkakan Henrikus si pezalim itu, sehingga dinyatakannya Polus bersalah atas pengkhianatan negara dan sebagai pengkhianat negerinya sendiri. Henrikus juga mencoba menaklukkan Polus demi menjatuhinya hukuman mati, dan ketika keinginannya ini tak sanggup dia capai, Henrikus pun menghukum mati ibu, saudara dan paman Polus, sehingga keluarga bangsawan ini hampir hancur dan luluh lantak.
Atas alasan itu juga, Henrikus memulai penganiayaan teramat mengerikan terhadap para Frater, terutama Fransiskan, Kartusian dan Brigitin. Banyak dari mereka dia hukum mati[26], selain Uskup Fisher dan Tomas Morus, yang dia serahkan untuk dieksekusi pada tahun 1534.[27] Ketika sedang di penjara, Uskup Fisher dilantik Kardinal oleh Paus Paulus III. Begitu mendengar kabar itu, Henrikus langsung menjatuhinya hukuman mati. Konon kabarnya, jelang waktu uskup suci ini dibawa ke tempat eksekusi, Henrikus mengenakan pakaian terbaik yang bisa dia dapatkan, sebab, ujarnya, itu adalah hari pernikahannya. Akibat usia dan penderitaan-penderitaan yang dialaminya di penjara, bapak uskup sebegitu lemahnya sehingga harus bertopang pada sebuah tongkat, dan tiba saat melihat panggung hukuman mati, dia lempar tongkatnya dan berseru: “Sekarang, hai kakiku, lakukanlah tugasmu, jarak yang harus engkau tempuh untuk membawa aku itu pendek.” Naik di panggung eksekusi, bapak uskup menyanyikan Te Deum, dan bersyukur kepada Yang Mahakuasa karena memperbolehkannya mati demi Iman. Lalu, ia menempatkan kepala di balok kayunya. Kepalanya dipajang di Jembatan London, dan konon kabarnya, kepalanya tampak sangat kemerah-merahan, dan lebih terlihat seperti kepala orang hidup daripada orang mati, sehingga keluarlah perintah untuk kembali menurunkan kepalanya itu.[28]
Sir Tomas Morus juga mengalami ajal mulia. Mendengar Uskup Rochester dihukum mati, dirinya berseru: “Ya Tuhan, tak pantas kudapatkan kemuliaan seperti itu, namun aku berharap Engkau sudi memantaskanku.” Istrinya datang ke penjara untuk membujuknya agar menyerah kepada keinginan Sri Raja, namun Tomas Morus menolak. Tiba akhir kurungannya selama empat belas bulan, dia dibawa ke pengadilan, namun tak pernah goyah dan kemudian dijatuhi hukuman pemenggalan kepala. Tiba saat akan naik panggung eksekusi, dia memanggil seorang pria di dekatnya untuk membantu dirinya menaiki anak tangga; “Namun ketika aku harus turun, hai sahabatku”, ujarnya, “Aku tak mau dibantu siapa-siapa.” Pada panggung eksekusi, dinyatakannya dengan tegas bahwa dia mati demi Iman Katolik. Dengan penuh bakti didaraskannya Miserere dan dia tempatkan kepalanya di balok eksekusi. Eksekusinya menyebarkan rasa dukacita umum di seluruh Inggris.[29]
9. Sri Paus Menyatakan Henrikus Tidak Layak atas Kerajaannya, dan Sri Raja Menghukum Mati Ana Boleyn & Menikahi Yohana Seymour
Ketika Paus Paulus III, penerus Klemens, mendapat kabar tentang yang sudah terjadi, disamannya (dipanggilnya) Henrikus dan semua kaki tangannya ke pengadilannnya, dan kalau mereka berkeras kepala, Sri Paus hendak menggelegarkan putusan ekskomunikasi terhadap Henrikus, namun hal ini tidak diterbitkan pada waktu itu, sebab tampak masih ada sedikit harapan Henrikus akan berubah perilaku. Namun semuanya sia-sia, hari demi hari Henrikus hanya semakin terlibat dalam kejahatan. Sekarang, dia selaku kepala Gereja menugaskan Cromwell, seorang awam, untuk mengunjungi biara-biara, baik laki-laki maupun perempuan, yang ada di bawah wilayah kekuasaannya, agar mengusir semua rohaniwan yang belum berusia dua puluh empat tahun, sedangkan para rohaniwan lain diberi kebebasan untuk pergi atau tetap tinggal, sesuka hati mereka.
Konon, ini berakibat (meski saya tidak percaya ada dasar yang cukup) sepuluh ribu rohaniwan kembali ke dunia.[30] Kira-kira pada waktu ini, Ratu Katarina meninggal dunia. Sri Ratu selalu menanggung dukacitanya dengan kesabaran terbesar, dan menjelang ajal, dia menulis kepada Raja dengan kata-kata yang bisa melelehkan hati terkeras.[31] Pembalasan dendam Yang Mahakuasa sekarang sedang datang menghampiri Ana Boleyn, penyebab utama timbulnya begitu banyak derita dan kenahasan. Rasa sayang Henrikus kepada Ana sekarang sudah sangat mendingin, terutama karena Henrikus jatuh cinta dengan salah seorang pengiring Ana yang bernama Yohana (Jane) Seymour. Ana masih sedikit berharap bisa kembali mendapat rasa sayang Sri Raja, dengan menghadirkan seorang keturunan laki-laki, namun ini mengecewakannya: anaknya mati sewaktu lahir. Lalu kemalangannya pun bermula. Ana dituduh melakukan inses dengan saudaranya, Georgius (George) Boleyn, dan melakukan percakapan kriminal dengan empat orang bangsawan lain di Istana. Henrikus pertama-tama menolak percaya tuduhan itu, namun kecemburuannya mulai membesar. Akibat cinta Henrikus pula kepada Yohana Seymour, nasib Ana pun porak-poranda, dan dia seketika dikurung di Menara. Bossuet memberi tahu kita, bahwa Henrikus sekarang meminta Cranmer untuk mendeklarasikan bahwa pernikahannya dengan Ana tidak valid sejak awalnya, dan Elisabet, putrinya, tidak sah, sebab Ana menikah dengan Henrikus di masa hidupnya Lord Percy, yang waktu itu bergelar Earl Nortumbria (Northumberland). Dinyatakan bahwa antara Percy dan Ana, ada perjanjian nikah. Namun tuduhan ini tak berdasar; janji antara mereka saja tidak ada; dasar satu-satunya adalah Percy pada waktu itu tidak sabar hendak menikahi Ana. Atas semuanya itu, Ana dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan percabulan, dan putusannya: dia harus dibakar atau dipenggal kepalanya, sesuka hati Raja.
Ana memohon diperbolehkan berbicara dengan Raja, namun ini ditolak. Putusannya dilaksanakan oleh algojo, dan saudaranya juga, serta empat bangsawan lainnya yang dituduh sebagai kekasih gelapnya mengalami nasib yang sama. Pada hari eksekusi, Letnan Menara hendak menghibur Ana dengan berkata bahwa Ana tidak akan banyak menderita, karena algojonya sangat ahli. Sembari tersenyum, Ana menjawab: “Leherku sangat ramping.” Hari berikutnya, Henrikus menikahi Yohana Seymour.[32]
10. Parlemen Memutuskan Enam Pasal Iman: Tulang-belulang St. Tomas dari Kantuaria Dibakar; Yohana Seymour Meninggal ketika Melahirkan Eduardus VI
Henrikus kembali menggelar Parlemen pada 7 Juni 1536, dan membuat batalnya undang-undang yang sebelumnya berpihak kepada Elisabet dan yang menyingkirkan Maria, anak perempuan Ratu Katarina. Henrikus juga membuat lolosnya enam Pasal peraturan perkara-perkara agama di kerajaannya. Pasal pertama: Transsubstansiasi roti menjadi tubuh Kristus di dalam Ekaristi merupakan pasal Iman. Kedua: Komuni hendaknya diberikan dalam satu rupa. Ketiga: Keselibatan klerus hendaknya ditaati. Keempat: Kaul kesucian bersifat mengikat. Kelima: Perayaan Misa selaras dengan Hukum Ilahi, dan Misa pribadi tidak hanya berguna, namun perlu. Keenam: Pengakuan dosa secara pribadi harus diamalkan dengan ketat. Semua pasal ini diteguhkan oleh Sri Raja dan kedua dewan. Penalti-penalti yang berlaku kepada kaum bidah berlaku pula kepada semua orang yang hendak entah percaya atau mengajarkan doktrin-doktrin yang berlawanan dengan pasal-pasal itu[33]. Namun keutamaan Sri Raja tetap dibiarkan utuh, sehingga Henrikus, yang menggunakan kekuatan barunya, melantik Cromwell, meski dia hanya orang awam, sebagai Vikaris Jenderal dalam Perkara Rohani untuk seluruh kerajaan. Henrikus juga menetapkan agar Cromwell memimpin semua Sinode para uskup[34]. Paus Paulus III mendapat kabar tentang seluruh serangan nista terhadap keutuhan Iman ini, dan terutama perkara St. Tomas dari Kantuaria (Canterbury), yang diadili lalu dihukum sebagai pengkhianat negaranya[35], dan jasad sucinya diambil dari kubur, dibakar dan abunya dibuang di sungai Thames. Akibatnya, Sri Paus menerbitkan sepucuk surat breve pada 1 Januari 1538. Isinya memerintahkan diterbitkannya putusan yang sebelumnya dijatuhkan atas Henrikus[36]. Namun, hal itu ditunda karena kematian menyedihkan Ratu Yohana, yang meninggal ketika bersalin. Yohana meninggalkan seorang penerus bagi Henrikus, yang di kemudian hari menjadi Eduardus VI.
Pada masa pemerintahan Eduardus VI-lah keruntuhan Inggris paripurna, sebab di waktu ini, bidah sudah mengakar kuat di negara itu. Konon kabarnya (namun laporannya menurut saya tidak didasari landasan yang baik), ketika mendapati munculnya bahaya binasanya si anak, Henrikus memerintakan operasi dilakukan kepada ibunya, seraya berkata bahwa dia bisa mendapat istri cukup banyak, namun tidak cukup keturunan.[37]
11. Sri Paus Berupaya Menginsafkan Henrikus tentang Kewajibannya, namun Tidak Berhasil
Dengan meninggalnya Yohana Seymour, Henrikus segera mulai mencari istrinya yang keempat. Paus Paulus III, berharap mengembalikan rasa tanggung jawab kepada Henrikus, lalu menulis sepucuk surat kepadanya, yang di dalamnya Sri Paus memberitahukan Henrikus tentang putusan ekskomunikasi yang tergantung atas kepalanya, putusan yang belum dipermaklumkan oleh Sri Paus, sebab beliau masih berharap Henrikus bersedia berrekonsiliasi dengan Gereja. Pada saat itu juga, Sri Paus melantik Reginaldus Polus sebagai Kardinal, dan mengutusnya pergi ke Prancis sebagai Legatusnya, agar Polus boleh berupaya mengatur pernikahan antara Henrikus dan Margareta, putri Fransiskus I dari Prancis.
Kardinal Polus pun pergi ke Prancis dan mengatur perkara itu dengan Fransiskus, namun Henrikus tidak mau setuju. Henrikus lalu menulis kepada Fransiskus, memberitahukannya bahwa Polus adalah seorang pemberontak, dan mengharuskan Fransiskus menyerahkan Polus kepadanya. Fransiskus menolak melakukannya, namun dia memberitahukan Kardinal Polus soal bahaya yang mengancamnya, dan atas nasihatnya, Kardinal Polus pun meninggalkan Prancis. Gagal membalas dendam, Henrikus menaruh harga lima puluh ribu crown pada kepala Polus.[38]
12. Henrikus Menikahi Ana dari Klivis; Cromwell Dihukum Mati
Cromwell (bukan Presiden Oliver) mengira sekarang ada kesempatan baik untuk membujuk Raja mengambil istri yang dia anjurkan, dan membuat Raja menganut agamanya sendiri, yaitu Lutheranisme.[39] Cromwell lalu mengusulkan Ana sebagai istri Raja. Ana adalah anak perempuan adipati Klivis (Kleve), salah satu keluarga bangsawan termulia di Jerman, saudara perempuan Elektrisa dari Saxonia. Ana memiliki banyak sifat baik yang membuatnya pantas mengenakan mahkota, namun dia sayangnya Lutheran dan para kerabatnya merupakan kepala Liga Smalkaldia. Henrikus sangat ingin diterima masuk Liga ini, namun kaum Lutheran tidak menaruh rasa percaya terhadap dirinya. Henrikus kemudian membayangkan bahwa dengan menikahi seorang putri Lutheran, akan hilang segala rintangan yang dahulu ada sehingga membuat dirinya diterima. Pernikahan itu dirayakan dan menggembirakan Henrikus. Terjadinya pada 3 Januari 1540, dan Cromwell diangkat menjadi Kanselir Agung berkat pernikahan ini, serta dijadikan Earl Eseksia (Essex).
Baru menikah tujuh bulan saja, Henrikus seperti biasanya menyatakan secara publik dirinya tidak suka dengan Ratunya, terutama karena Ana seorang bidah, seolah-olah Henrikus sendiri bisa disebut Katolik. Henrikus sekarang jatuh cinta dengan Katarina Howard, ponakan Adipati Norfolsia (Norfolk), Earl Marshal Inggris, dan salah seorang pengiring Ratu Ana. Melihat tidak adanya harapan disukai oleh Katarina kalau tidak menikahinya, Henrikus sekarang meminta Cromwell untuk membantunya bercerai dengan Ana dari Klivis. Nasib Cromwell ibarat kata berada di perahu yang sama dengan Sri Ratu. Dia khawatir perceraian Ana akan menjadi penyebab dirinya terjerembap, dan berjuang mencegah terjadinya hal itu. Kecewa dengan perlawanan Cromwell, Henrikus dengan siap sedia mencari-cari kesempatan untuk mencelakakannya. Para kepala Liga Protestan mengirim agen mereka ke London untuk menjalin aliansi dengan Henrikus, aliansi yang dulu begitu dia idam-idamkan. Namun karena Henrikus sekarang bertekad meninggalkan Ana, dia tidak mau lagi beraliansi dengan Lutheran, sehingga dia menolak mengadakan perjanjian dengan agen Lutheran itu. Namun Cromwell, percaya hubungan baik dirinya dengan Raja, memutuskan menandatangani perjanjian tersebut. Beberapa orang berkata bahwa Henrikus tahu tentang perbuatan ini, namun beberapa orang lain menyangkalnya. Tetapi, buah persoalan ini mencelakakan Cromwell. Sebab ketika Kaisar mengeluhkan aliansi ini dengan suara lantang, Henrikus bersumpah bahwa dia sama sekali tidak tahu-menahu soal itu. Disuruhnya Cromwell menghadap pada suatu hari, dan di hadirat banyak kaum bangsawan, Henrikus secara publik menuduh Cromwell menandatangani perjanjian tanpa wewenang, dan memerintahkan agar Cromwell segera dibawa ke Menara.
Cromwell memohon dengan sangat agar diberi pengadilan publik, supaya dia punya kesempatan membenarkan perilakunya dalam perkara itu, namun terlepas dari tuduhan itu, Cromwell dinyatakan bersalah atas kejahatan-kejahatan lain: bidah, penggelapan dana dan pemaksaan peraturan secara illegal. Dia, Cromwell itulah, penyebab begitu banyaknya orang Katolik dihukum tanpa pengadilan. Dia dijatuhi hukuman adil dari Yang Mahakuasa, sehingga menghukum dirinya sendiri: kepalanya dipenggal dan barang miliknya disita[40]. Henrikus sekarang menyuruh agar Sri Ratu diberi tahu bahwa kalau dia tidak setuju untuk bercerai, Henrikus akan memberlakukan undang-undang melawan bidah kepada Sri Ratu, sebab Ratu ini orang Lutheran. Khawatir dengan nasib yang menanti dirinya, oleh karena dirinya Lutheran, dan ingin menghindari malu karena dibuang secara publik, Sri Ratu konon kabarnya mengaku bahwa sebelum pernikahannya dengan Raja, dia sudah berjanji menikah dengan orang lain. Dengan demikian, Tomas Cranmer, yang dahulu memberi putusan cerai dalam kasus Katarina dan Ana Boleyn, sekarang untuk ketiga kalinya mengeluarkan putusan serupa. Keputusannya didasari ketidakadilan terbesar; sebab kontrak nikah antara Ana dan Adipati Lotaringia (Lorraine), yang dijadikan dasar putusan itu, berlangsung ketika mereka masih kanak-kanak dan tidak pernah diratifikasi. Lantas bagaimanakah pernikahan khidmat Henrikus terpengaruh oleh ini? Namun Cranmer – yang dibandingkan oleh Burnet dengan St. Atanasius dan St. Sirilus – memutuskan pernikahan mereka batal demi hukum hanya demi menyenangkan Henrikus, yang segera menikahi perempuan lain. Ratu Ana menerima dana pensiun tahunan sebesar £3.000, namun tidak pernah kembali lagi ke Jerman[41].
13. Henrikus Menikahi Katarina Howard; Cromwell Dihukum Mati
Dalam kurun waktu sepekan, Henrikus menikah dengan Katarina Howard, yang segera bertemu nasib yang sama dengan Ana Boleyn. Di hadapan Parlemen, Katarina dituduh berperilaku cabul dengan dua orang, sebelum pernikahannya, dan percabulan setelah pernikahannya, dan dia dijatuhi hukuman pemenggalan kepala[42].
Henrikus lalu membuat diloloskannya undang-undang. Tidak pernah ada yang serupa undang-undang ini sebelumnya. Undang-undang ini menetapkan setiap perempuan yang menikah dengan Raja berbuat pengkhianatan negara, kalau perempuan itu pernah melanggar kesucian[43]. Henrikus lalu menikah dengan Katarina Parr, saudara perempuan Earl Eseksia (Essex)[44]. Katarina hidup sampai setelah Henrikus meninggal, lalu menikah dengan saudara laki-laki Bupati Somersetia (Somerset), Lord High Admiral Inggris, yang meninggal dihukum oleh saudara laki-lakinya sendiri. Katarina Parr pun mati karena patah hati.
14. Penyesalan Henrikus Saat Menderita Penyakit Terakhirnya
Maut pada akhirnya akan segera mengakhiri kejahatan-kejahatan Henrikus. Dia sekarang berusia lima puluh tujuh tahun, dan badannya begitu luar biasa besar, sehingga hampir tidak bisa melewati pintu istananya. Henrikus harus dibawa oleh para pelayan naik turun tangga[45]. Kesedihan dan penyesalan mendalam sekarang merenggut dirinya; semua kejahatan, sakrilegi dan skandal yang telah diperbuatnya menatap wajahnya.
Demi menetapkan doktrin nista keutamaannya atas Gereja Inggris, Henrikus harus menewaskan dua orang kardinal, tiga orang uskup agung, delapan uskup dan diakon agung, lima ratus orang imam, enam puluh superior rumah religius, lima puluh kanonik, dua puluh sembilan peer, tiga ratus enam puluh kesatria, dan banyak orang baik dari golongan ningrat maupun rakyat. Borok di salah satu kakinya, beserta demam, sekarang dengan jelas memberitahukannya bahwa penghujung hidupnya sudah dekat, dan beberapa penulis menyatakan bahwa Henrikus kemudian berbicara dengan beberapa orang uskup soal intensinya untuk kembali berrekonsiliasi dengan Gereja. Namun tidak seorang pun dari mereka berani memberitahukannya jalan yang harus dia tempuh. Mereka semua takut amarahnya; dan tak seorang pun bersedia menghadapi bahaya maut, dengan secara jelas memberitahukan Henrikus bahwa satu-satunya kesempatan yang dia punya untuk selamat adalah dengan bertobat dari perbuatan-perbuatan jahatnya – dengan membuat reparasi atas skandal yang telah dia timbulkan – dan dengan penuh kerendahan hati kembali ke Gereja yang telah dia tinggalkan. Tak ada seorang pun yang cukup berani memberitahukannya tentang hal ini; hanya ada satu orang yang menyarankan Henrikus menggelar Parlemen, seperti yang dulu dilakukannya ketika akan membuat perubahan dan koreksi. Konon kabarnya, Henrikus memerintahkan para Sekretaris Negara untuk menggelarnya, namun mereka takut diri mereka diwajibkan mengembalikan barang yang telah dirampok dari Gereja, dan menunda pertemuan tersebut. Dengan demikian, Henrikus meninggalkan Gereja dalam keadaan sangat kacau-balau; dan sebentar lagi, seperti yang akan kita lihat, menjerumuskan Gereja ke dalam kehancuran tak terpulihkan.[46]
15. Henrikus Menulis Surat Wasiatnya dan Meninggal Dunia
Menjelang kematian Henrikus, dia membuka sebuah gereja milik Ordo Fransiskan, dan menyuruh agar Misa diselenggarakan kembali di sana (sekarang menjadi Rumah Sakit Christ Church). Namun ini hanyalah reparasi kecil untuk kejahatan yang sudah begitu banyaknya. Henrikus lalu membuat wasiatnya, menjadikan putra semata wayangnya, Eduardus, sebagai ahli waris takhta ketika Eduardus baru berusia Sembilan tahun saja. Dalam wasiat itu, Henrikus menunjuk enam belas orang wali untuk Eduardus, dan memerintahkan agar putranya itu dibesarkan dalam Iman Katolik, namun tidak pernah menyerahkan keutamaan atas Gereja Inggris, sehingga dia tidak berubah bahkan ketika ajal menjemput. Kalau-kalau Eduardus mati tanpa keturunan, Henrikus menyerahkan mahkota kepada Maria, anak perempuan Ratu Katarina, dan seandainya Maria juga meninggal tanpa keturunan, mahkota diserahkan kepada Elisabet, anak perempuan Ana Boleyn[47]. Diperintahkannya agar Misa diselenggarakan beberapa kali di dalam kamarnya. Henrikus juga ingin Viatikum diselenggarakan dalam satu rupa saja. Ketika Viatikum dibawa ke kamarnya, Henrikus menyambutnya dengan berlutut, dan ketika diberitahukan bahwa menimbang keadaan dirinya, dia tidak perlu berlutut, Henrikus berkata: “Seandainya aku bisa mengubur diri dalam tanah, aku takkan bisa memperlihatkan rasa hormat yang cukup kepada Allah, Dia yang akan segera kusambut”[48]. Namun bagaimanakah dia bisa berharap berkenan kepada Yang Mahakuasa dengan sikap hormat seperti itu, sesudah menginjak-injak Gereja-Nya, dan mati di luar persekutuan Gereja itu? Dengan perbuatan-perbuatan lahiriah ini, Henrikus berupaya membungkam sesal nurani yang dia rasa, namun selain itu, dia tak bisa memulihkan rahmat Allah ataupun mendapat damai sejahtera. Henrikus menyuruh beberapa orang Rohaniwan menyertai dirinya pada saat-saat terakhirnya, setelah mengusir mereka keluar kerajaan[49]; selanjutnya, dia meminta minum, dan sesudah mengecapnya, dia berkata kepada orang-orang di sekelilingnya dengan suara keras, “Lantas seperti inilah akhirnya, dan segala-galanya binasa bagiku”, dan langsung meninggal dunia. Dia mati pada tanggal 1 Februari 1547, di usia lima puluh enam tahun, menurut Noel Aleksander, atau usia lima puluh tujuh tahun, menurut orang lain, dan pada tahun ketiga puluh delapan masa pemerintahannya[50].
Catatan kaki:
[1] Jovet. Storia delle Relig. t. 2, dal prin. ; Gotti Ver. Re, c. 113, s. 1.
[2] Sand. de Schism. Anglic, in Pro.
[3] Gotti, c. 113, s. 2, n. 1, 2; Herm. Hist. Conc. c. 166.
[4] Gotti, loc. cit. n. 2.
[5] Bossuet, Hist. des Variat. t. 2, l. 7, n. 1.
[6] Nat. Alex. Hist. t. 19, c. 13, a. 3, n. 1; Gotti, c. 213, s. 2, n. 6.
[7] Gotti, s. 2, n. 3.
[8] Boss. al. cit. l. 7, n. 61.
[9] Floremund, l. 6, Synop. c.2, n. 2; Gotti, c. 113, s. 2, n. 8, 9, 10; Nat. Alex. loc. cit. n. 1.
[10] Gotti, n. 9.
[11] Nat. Alex. cit. n, l ; Varillas Ist. t. 1, l. 9, p. 412.
[12] Nat. Alex. l. 19, art. c. n. 2.
[13] Gotti, c. 113, sec. 2, n. 13 in fin. & Nat. Alex. loc. cit. n. 2.
[14] Jovet, t. 2, p. 29; Gotti, sec. 2, n. 14.
[15] Bossuet, l. 7, n. 9.
[16] Nat Alex. t. 19, c. 13, a. 3, n. 2; Gotti, loc. cit.
[17] Gotti, c. 113, sec. 2, n. 15.
[18] Nat. Alex. t. 19, c. 13, a. 3, n. 3.
[19] Gotti, sec. 2, n. 16; Varillas, t. 1, l. 9, n. 420.
[20] Gotti, sec. 2, n. 17.
[21] Nat. Alex. loc. cit n.3; Gotti, loc. cit.
[22] “Atas Gereja dan para klerus (Inggris) ini, kami mengakui Yang Mulia sebagai pelindung utama, Tuan tertinggi satu-satunya, dan, sejauh Hukum Kristus mengizinkannya, kepala tertinggi”.—Lingard Hist, of England [Sejarah Inggris], vol. 6, bab 3.
[23] Nat. Alex. art. 3, n. 4; Gotti, sec. 2, n. 20.
[24] Gotti, loc. cit.
[25] Nat. Alex, t. 19, c. 13, a 3, n.5; Gotti, c. 113, sec. 2, n. 21.
[26] Gotti, n. 22; Nat. Alex. loc. cit. n. 5.
[27] Bossuet, His l. 7, n. 11.
[28] Sand. l. 1, de Schis. Ang. p. 135; Gotti, sec. 2, n. 22.
[29] Sand. & Gotti, loc. cit. n. 23.
[30] Gotti, c. 113, s. 2, n. 24; Nat. Alex. t. 19, c. 13, art. 3, n. 6.
[31] Sanders, l. 1, p. 107, 112; Gotti, s. 3, n. 25; Nat. Alex. loc, cit.
[32] Varill. l. 9, p. 423; Gotti, s. 2, n. 26; Hermant, c. 266; Nat. Alex. cit. n. 6; Bossuet, Hist. l. 7, n. 21, 22, 23.
[33] Bossuet, Hist. l. 7, n. 33; Nat. Alex. t. 19, art. 3, n. 7; Gotti, s. 2, art. 27.
[34] Varill. t. 1, l. 12, p. 544.
[35] Varill. t. 1, c. 11, p. 315; Nat. Alex. loc. cit. n. 8.
[36] Gotti, s. 2, n. 23.
[37] Varill. p. 306; Nat. Alex. loc. cit.; Gotti, s. 2, n. 2.
[38] Varill. l. 11, p. 507, & seq.
[39] Varill. t. 1, l. 12, p. 551.
[40] Varillas, t. 1, l. 12, p. 53; Nat Alex. c. 23, a. 3, n. 7; Bossuet, l. 7, n. 34.
[41] Varill. loc. cit. p. 575; Bossuet, loc. cit.
[42] Gotti, s. 2, n. 29 : Hermant, t. 2, c. 266; Nat. Alex. loc. cit. n. 7.
[43] Varill. loc. cit. p. 575.
[44] Varill. t. 2, l. 13, n. 575; Nat. Alex. a. 3, n. 7.
[45] Varill. t. 2, l. 16, p. 98.
[46] Varillas, loc. cit. p. 99.
[47] Gotti, s. 2, n. 31 ; Varillas, t. 2, p. 99.
[48] Nat. Alex. a. 3, n. 9; Gotti, s. 2, n. 30: Varillas, loc. cit.
[49] Bart. Ist, d'Inghil. l. 1, c. 1, p. 4.
[50] Natal. loc. cit.; Varill. p. 100; Bartol. p. 3.
Artikel-Artikel Terkait
Terima kasih sudah terbagi doa litani yg I dah ini. ❤️🙏✝️🙏
Hildebrand Avun. Bith 2 mingguBaca lebih lanjut...St Aloysius Gonzaga doakanlah kami. Bantulah kami maju dalam mengutamakan kerendahan hati setiap hari. 🙏
Kita 5 bulanBaca lebih lanjut...Pengamatan menarik. Lebih relevan lagi karena banyak dari materi kami membahas bidah-bidah & kemurtadan Vatikan II, yang melibatkan orang-orang yang mengaku Katolik, padahal sebenarnya tidak, karena banyak dari mereka telah...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...Berarti anda tidak paham ttg arti katholik, jadi anda belajar yg tekun lagi spy cerdas dlm komen
Orang kudus 7 bulanBaca lebih lanjut...Anda bahkan tidak percaya bahwa Yesus mendirikan Gereja Katolik, dan anda menyebut diri Katolik. Sungguh sebuah aib. Yesus jelas-jelas mendirikan Gereja di atas Santo Petrus (Mat. 16:18-19), yakni Gereja Katolik,...
Biara Keluarga Terkudus 7 bulanBaca lebih lanjut...Membaca artikel-artikel di Website ini, aku ingat satu ayat di Kitab Amsal. "Didikan yang keras adalah bagi orang yang meninggalkan jalan yang benar, dan siapa benci kepada teguran akan mati."...
St. Paul 7 bulanBaca lebih lanjut...Saya katolik, tetapi hanya perkataan Yesus yang saya hormati, yaitu tentang cinta kasih. Yesus tidak mendirikan gereja katolik. Anda paham arti cinta kasih? Cinta kasih tidak memandang. Tuhan meminta kita...
Kapten.80 7 bulanBaca lebih lanjut...Terimakasih atas artikelnya, saya semakin mengerti perjalanan kerajaan raja salomo
Novriadi 8 bulanBaca lebih lanjut...Justru karena kami punya kasih Kristiani sejati kepada sesama kamilah, materi-materi kami ini kami terbitkan. St. Paulus mengajarkan, bahwa kita harus menelanjangi perbuatan-perbuatan kegelapan (Ef. 5:11). Gereja Katolik, satu-satunya lembaga...
Biara Keluarga Terkudus 10 bulanBaca lebih lanjut...Halo – devosi kepada Santa Perawan Maria itu krusial untuk keselamatan dan pengudusan jiwa. Namun, dan juga yang terpenting, orang harus 1) punya iman Katolik sejati (yakni, iman Katolik tradisional),...
Biara Keluarga Terkudus 10 bulanBaca lebih lanjut...