^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan | ![]() |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Gereja Perdana mengakui Keutamaan Gereja Roma dan Uskup Roma: Abad ke-2 dan ke-3
Rangkuman:
a. Surat Klemens kepada Jemaat di Korintus, 90-100 M
b. Ignatius dari Antiokhia tentang Keutamaan Gereja Roma
c. Gembala Hermas
d. Kontroversi Paskah
e. Santo Ireneus
f. Siprianus dan kontroversi Pembaptisan Ulang
g. Paulus dari Samosata
a. Surat Klemens kepada Jemaat di Korintus, 90-100 M
Pertama-tama, kita harus melihat kasus pemberontakan yang terjadi di Gereja di Korintus pada abad pertama. Sekitar tahun 90-100 M, Gereja di Korintus meminta nasihat dari Uskup Roma, yang adalah Paus St. Klemens tentang suatu pertentangan yang berat yang terjadi di dalam gereja ini. Paus Klemens adalah Uskup ke-3 dari Roma sejak Petrus. Ia adalah Paus ke-4. Gereja di Korintus menulis kepada Klemens dan memintanya untuk turut campur dalam masalah mereka, walaupun Rasul St. Yohanes sendiri masih hidup di masa itu dan jauh lebih dekat kepada mereka di Efesus. Fakta bahwa Gereja di Korintus berkonsultasi ke Roma yang jauh tentang masalah interior mereka membuktikan bahwa Keutamaan Kepausan diakui sejak abad pertama.
Sebagai jawaban terhadap permohonan mereka, Paus Klemens menuliskan suratnya kepada jemaat di Korintus. Surat ini adalah salah satu dokumen yang paling terkenal di dalam sejarah Kekristenan. Di dalam surat ini yang bertanggal sekitar 90-100 M, Sri Paus dengan jelas menggunakan gaya bahasa yang otoritatif untuk memerintahkan jemaat Kristiani di Korintus untuk tunduk kepada para pastor setempat mereka. Berikut beberapa kutipan dari suratnya yang terkenal itu:
Perhatikan gaya bahasa otoritatif yang digunakan oleh Paus Klemens dalam menghardik orang-orang yang menyebabkan pemberontakan interior dalam Gereja di Korintus. Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun-tahun pertama dari abad pertama, Gereja Roma diakui sebagai gereja yang memiliki otoritas tertinggi. Hal ini diakui dalam cara ini persisnya karena uskup Gereja Roma adalah penerus dari otoritas Santo Petrus dan kuncinya. Di dalam kutipan yang sangat menarik berikut, kita akan mendengar dari seorang pelajar “Ortodoks” Timur, Nicholas Afanasiev. Ia adalah seorang profesor dalam bidang sejarah Gereja dan hukum kanonik di Institut Teologis Ortodoks di Paris. Sebagai seorang teolog “Ortodoks” Timur, ia bukan seorang Katolik dan tidak menerima ajaran Katolik tentang Kepausan ataupun tentang Uskup Roma. Tetapi, di dalam sebuah essay yang ditemukan di dalam The Primacy of Peter [Keutamaan Petrus] yang disunting oleh John Meyendorff, hal. 124-126, berikut adalah apa yang diakui oleh sang pelajar “Ortodoks” Timur ini tentang surat Klemens kepada jemaat di Korintus.
Maka, seperti yang kita dengarkan di dalam kutipan ini, bahkan orang “Ortodoks” Timur mengakui bahwa surat Klemens kepada Jemaat di Korintus menunjukkan bahwa Roma jelas memegang prioritas pada abad pertama, dan prioritas yang tidak terpungkiri dari Gereja Roma ini adalah keutamaan yang sama yang dimiliki Gereja Roma, oleh karena uskupnya adalah penerus Santo Petrus.
Keutamaan Paus Roma berasal dari Keutamaan Rasul Petrus di atas para rasul lainnya
Contoh berikut yang kita akan lihat membawa kita kembali kepada Santo Ignatius dari Antiokhia.
b. Ignatius dari Antiokhia tentang Keutamaan Gereja Roma
Kami telah menyebutkan St. Ignatius dari Antiokhia dan pentingnya surat-suratnya di antara dokumen-dokumen Kristiani terkuno. Sejauh ini, kami belum membahas apa yang dikatakannya tentang Keutamaan Gereja Roma. Di dalam Surat ke pada Jemaat di Roma #1, dari tahun 110 M, St. Ignatius dari Antiokhia menulis tentang keutamaan Gereja Roma dari antara gereja-gereja.
St. Ignatius berkata dua kali bahwa Gereja Roma memimpin. Kembali saya mengingatkan para pembaca bahwa surat-surat Ignatius merupakan ungkapan-ungkapan terkuno akan Kekristenan yang kita miliki di luar Kitab Suci. Dan di dalamnya, kita melihat bahwa Uskup dari Antiokhia yang terkenal ini mengatribusikan kepada Gereja Roma suatu Keutamaan, suatu kepemimpinan dari antara gereja-gereja. Bukanlah suatu kebetulan bahwa pada tahun 110 M, kita menemukan suatu keutamaan yang dicirikan kepada Gereja di Roma, di mana, seperti yang telah kita lihat, para Bapa berkata bahwa Santo Petrus, sang Rasul yang merupakan dasar dari Gereja tersebut dibangun, kenyataannya, dimartirkan. Hal ini jelas bukan sebuah kebetulan. Penting pula bahwa bahasa yang sama dari memimpin yang digunakan oleh Ignatius di sini tentang Gereja Roma digunakan pula oleh Ignatius di dalam Letters to the Magnesians 6.1 [Surat kepada Jemaat di Magnesia] untuk menjelaskan bagaimana para uskup memimpin di dalam kongregasi. Maka, suatu perbandingan dapat dibuat dari ajaran Ignatius. Layaknya sang uskup memimpin, atau memiliki otoritas atas kongregasi, begitu pula, Gereja Roma memimpin, atau memiliki otoritas di atas gereja-gereja lain.
St. Ignatius dari Antiokhia mengakui keutamaan para Paus
Nah, harus ditunjukkan bahwa anggota dari agama “Ortodoks” Timur yang tidak menerima ajaran Katolik tentang Kepausan tetapi yang tidak dapat mengabaikan beberapa dari fakta ini telah mencoba untuk mengecilkan pentingnya pernyataan dari Ignatius ini. Para “Ortodoks” Timur ini juga mempelajari para Bapa Gereja perdana. Mereka juga akrab dengan tulisan-tulisan Ignatius, maka mereka mengetahui bahwa mereka harus setidaknya mengakui bahwa Gereja Roma memimpin, dalam suatu cara tertentu, tetapi mereka menghapuskan pentingnya kepemimpinan ini atau presidensi ini, sebagaimana kata ini sering diterjemahkan. Mereka mengakui bahwa Uskup Roma memang memiliki keutamaan atau kepemimpinan dalam kehormatan, tetapi mereka berkata bahwa keutamaan dalam kehormatan ini bukanlah keutamaan dari otoritas atau yurisdiksi. Lalu, apakah arti dari hal tersebut? Mereka berkata bahwa Uskup Roma memiliki tempat pertama dari antara para uskup. Ia adalah yang pertama dari antara yang setara, agar ia dapat, contohnya, memimpin orang-orang dalam hal membuat saran. Tetapi mereka berkata bahwa ia tidak memiliki otoritas sama sekali di atas uskup-uskup lain ataupun di atas gereja universal untuk memerintah atau mendekretkan apa pun.
Kenyataan dari masalah ini adalah posisi semacam itu tidak masuk akal dan sama sekali tidak berarti apa-apa. Jika apa yang mereka katakan itu benar, apakah arti dari keutamaan atau kepresidenan semacam itu dalam hal-hal praktis? Jika anda berpikir dengan jujur tentang hal tersebut, jawabannya adalah hal tersebut tidak berarti apa-apa, dan sama sekali tidak memiliki konsekuensi praktis! Siapa pun dapat membuat saran. Suatu keutamaan atau kepresidenan hanya memiliki suatu makna yang riil atau praktis jika keutamaan tersebut memiliki suatu kekuasaan atau otoritas di atas hal yang dipimpinnya. Bahkan, jika kita melihat contoh-contoh yang paling kecil dan mendasar dari suatu keutamaan yang melibatkan suatu kepresidenan, hal ini selalu benar.
Misalnya, posisi moderator di dalam suatu perdebatan: secara teori, seorang moderator di dalam debat tidak dapat memengaruhi hasil dari suatu perdebatan dengan mengutarakan pandangan-pandangannya sendiri. Ia hanya berada di dalam debat untuk memoderasi. Kepresidenannya di atas perdebatan itu adalah suatu kepresidenan yang paling minim. Itulah mengapa sering terjadi bahwa moderator di dalam suatu debat memiliki pandangan pribadi yang condong mendukung seorang pendebat. Pandangan-pandangan pribadi mereka seharusnya tidak memengaruhi perdebatan itu. Tetapi, jika salah seorang pendebat melampaui batas dengan memakan terlalu banyak waktu, sang moderator dapat bertindak dengan otoritasnya sendiri dan membungkam sang pendebat. Makna dari hal ini adalah, posisi moderator tersebut sebagai seseorang yang memimpin debat, walaupun kepemimpinan semacam itu begitu minim, memiliki makna praktis di mana ia memiliki kemampuan untuk memimpin atas dasar otoritasnya sendiri, tidak peduli jika para pendebat lain menyukainya atau setuju dengannya atau tidak. Sebab ia yang memimpin atau memiliki keutamaan yang melibatkan kepresidenan harus selalu memiliki suatu kuasa yang lebih besar daripada orang yang dipimpinnya. Jika seseorang yang memimpin tidak dapat menggunakan kepresidenannya sendiri untuk mendekretkan sesuatu oleh otoritas tersebut, maka kepresidenan/keutamaannya itu hanyalah fiksi belaka. Jadi, poinnya adalah bahwa ide dari para “Ortokdoks” Timur ini bahwa Uskup Roma dapat memiliki kepemmpinan/keutamaan dalam hal kehormatan tanpa otoritas atas para uskup lain atau gereja setempat adalah pandangan fiksi yang tidak masuk akal, dan sama sekali tidak bermakna secara praktis.
St. Petrus & para penerusnya, para Paus, memiliki otoritas di atas seluruh Gereja
Maka, pernyataan Ignatius bahwa Gereja Roma memimpin adalah bukti akan ajaran Katolik tentang Kepausan. Kesimpulan yang logis dari pernyataan Ignatius adalah bahwa Gereja Roma memiliki otoritas dari antara gereja-gereja. Sebab Gereja Roma memimpin secara persis, oleh karena Gereja tersebut mewarisi otoritas dari sang Rasul yang memiliki kunci Kerajaan Surga dan iman yang tidak dapat gugur dan yang telah dipercayakan seluruh kawanan domba Kristus.
Sekarang, mari melihat apa yang sebenarnya diakui oleh para “Ortodoks” Timur tentang pernyataan Santo Ignatius. Berikut pernyataan-pernyataan yang menarik dari pelajar “Ortodoks” Timur, Nicholas Afanasiev di dalam The Primacy of Peter [Keutamaan Petrus], hal. 126 dan selanjutnya:
Pengakuan-pengakuan dari pelajar non-Katolik tersebut sangat menarik. Pengakuan tersebut membuktikan kembali kebenaran akan ajaran Katolik tentang Kepausan dan bagaiman hal tersebu dicerminkan oleh tulisan terkuno dari St. Ignatius dari Antiokhia.
Sekarang, kami perlu membahas suatu hal. Seseorang mungkin bertanya: mengapa St. Ignatius tidak mengembangkan sepenuhnya ajaran Katolik tentang Kepausan dengan memperluas hal tersebut sampai Infalibilitas Kepausan dan cakupan penuh dari yurisdiksi Uskup Roma? Beberapa orang bertanya: mengapa hal tersebut tidak dideklarasikan dengan cara yang lebih persis dan lengkap dalam berbagai pernyataan lain di zaman ini? Penting untuk dimengerti bahwa pada zaman-zaman terawal, seluruh implikasi dari dogma-dogma yang telah diwahyukan oleh Kristus, tidak sepenuhnya dimengerti atau diucapkan oleh semua orang. Catatan: inti dari dogma-dogma tentunya diwahyukan oleh Kristus dan dikenal oleh para umat beriman sejati. Tetapi, terkadang, perlu beberapa abad bagi semua orang di dalam Gereja untuk mengucapkan dan mengerti seluruh kebenaran yang terkandung di dalam dogma tersebut. Misalnya, adalah suatu dogma bahwa Yesus Kristus adalah Allah dan manusia. Dogma ini telah diwahyukan oleh Yesus Kristus dan tidak seorang pun dapat diselamatkan tanpa percaya akan hal tersebut. Tetapi, dibutuhkan waktu ratusan tahun bagi Gereja untuk mendefinisikan bahwa Yesus Kristus memiliki dua kodrat. Gereja memerlukan hampir tujuh ratus tahun untuk mendefinisikan bahwa Yesus Kristus, sebagai satu Pribadi ilahi dengan dua kodrat, memiliki dua kehendak, walaupun hal ini mengalir secara logis dari peristiwa Penjelmaan, dan merupakan bagian dari kenyataan yang sama bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati.
Hak istimewa Kepausan diberikan oleh Yesus kepada St. Petrus dan para penerusnya
Yurisdiksi Kepausan dan Infalibilitas Kepausan dan seluruh hak istimewa Gereja Roma adalah bagian dari kenyataan yang sama persis yang dinyatakan oleh St. Ignatius: bahwa Gereja Roma memiliki Keutamaan dari antara segala gereja. Kedua dogma tersebut mengalir secara logis dari, dan merupakan bagian dari kenyataan yang sama persis, bahwa Yesus Kristus membuat Santo Petrus sebagai Paus Pertama, memberikan kepadanya kunci Kerajaan Surga, dan suatu iman yang tidak dapat gugur, membuatnya sebagai gembala atas seluruh kawanan domba, dan bahwa para Uskup Roma meneruskan otoritas tersebut. Tetapi, perlu waktu bagi banyak orang untuk mengakui seluruh aspek dari kebenaran yang diwahyukan ini, sama seperti pula dibutuhkan waktu bagi banyak orang untuk mengakui aspek-aspek dari Penjelmaan dan Allah Tritunggal. Bagaimanapun, harus ditekankan bahwa pengucapan atau pengertian yang lebih saksama tentang kebenaran atau dogma yang sama tidak pernah mengedepankan pengertian yang lebih mendalam yang dapat berbeda dalam suatu cara tertentu. Hal tersebut bidah adanya. Pengucapan yang lebih persis tersebut, sebaliknya, adalah pengertian yang lebih persis dari kebenaran yang sama. Sebagaimana yang diucapkan oleh Konsili Vatikan I dan Santo Vinsensius dari Lérins: “Hendaknya pengertian, pengetahuan, dan kebijaksanaan… berkembang, tetapi, hendaknya hal tersebut berlangsung hanya di dalam genusnya sendiri, yakni, di dalam dogma yang sama dengan makna yang sama dan pengertian yang sama”.
c. Gembala Hermas
Contoh berikutnya yang akan kita lihat adalah Gembala Hermas. Di dalam setiap kumpulan karya-karya Bapa Apostolik, seseorang akan menemukan suatu tulisan yang disebut Gembala oleh Hermas. Dokumen yang terkenal ini dari Kekristenan awal dituliskan oleh seorang Romawi bernama Hermas, yang dianggap sebagai salah satu dari para Bapa Apostolik. Dokumen ini biasanya dianggap berasal dari tahun 140-155 M.
Ilustrasi Gembala Hermas
Bagaimanapun, penulis dari gereja perdana, Origen, menganggap bahwa Hermas adalah Hermas yang sama yang disapa oleh Santo Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Roma bab 6 ayat 14. Bagaimanapun, dokumen ini biasanya dianggap berasal dari pertengahan abad ke-2. Di dalam Gembala Hermas, kita menemukan teks yang menarik tentang Uskup Roma, Klemens.
Perhatikan bahwa Hermas berkata bahwa Klemens, yang adalah Uskup Roma keempat, memiliki kewajiban untuk mengirimkan hal-hal kepada gereja-gereja lain. Di dalam dokumen kuno ini, kita melihat bahwa tugas Klemens termasuk suatu tanggung jawab untuk Gereja universal, penjagaan terhadap Gereja universal.
d. Kontroversi Paskah
Contoh selanjutnya yang akan kita lihat berasal dari abad kedua, yakni, kontroversi Paskah. Viktor mengancam untuk mengekskomunikasikan gereja-gereja di Asia akibat kontroversi Paskah. Di dalam gereja Kristiani kuno, nama Polikarpus sangatlah penting. Polikarpus terlahir sekitar tahun 69 M dan ia menjadi Uskup Smirna. Di dalam buku 5, bab 20 dari Ecclesiastical History [Sejarah Gereja], Eusebius bercerita bahwa Polikarpus mengenal Rasul Yohanes sendiri dan mereka yang telah melihat Tuhan Yesus. Oleh karena itu, Santo Polikarpus dipandang dengan rasa hormat yang besar di dalam Gereja awal. Pada akhirnya ia menerima kemartiran yang mulia untuk iman sekitar tahun 155 M, tetapi, setahun sebelum kemartirannya, Polikarpus bepergian ke Roma untuk berkonferensi bersama Paus pada masa itu, Paus Anisetus.
St. Polikarpus dari Smirna
Polikarpus datang mengunjungi Anisetus, Uskup Roma, tentang suatu kontroversi yang timbul, yang menyangkut kapan Paskah harus dirayakan oleh orang-orang Kristiani. Pada abad ke-2, Gereja Roma dan banyak gereja lainnya merayakan Paskah pada hari Minggu setelah hari ke-14 bulan Yahudi, Nisan. Gereja-gereja di Asia, bagaimanapun, di mana Polikarpus adalah uskupnya, merayakan Paskah pada hari ke-14 dari bulan Nisan, tidak peduli bilamana hari itu adalah hari Minggu. Eusebius dan Ireneus menceritakan perjalanan Polikarpus ke Roma dan pertemuannya dengan Anisetus:
Jadi, Santo Polikarpus, yang telah mengenal Rasul Yohanes, berkonferensi dengan Paus Anisetus soal masalah Paskah, walaupun pada akhirnya mereka tidak setuju soal hal itu. Paus Anisetus dan Polikarpus bersekutu. Kelihatannya, Anisetus tidak menganggap bahwa masalah itu dogmatis. Tetapi mengapakah Santo Polikarpus yang waktu itu sudah begitu tua, bepergian hampir 1.000 mil ke Roma untuk mengunjungi Uskup Roma tentang kontroversi Paskah? Jawabannya adalah bahwa Gereja Roma dan Uskup Roma memegang otoritas tertinggi. Perjalanan Polikarpus ke Roma menunjukkan otoritas yang besar serta rasa hormat yang wajib diberikan kepada Uksup Roma, sebab ialah penerus Santo Petrus.
Beberapa puluh tahun kemudian, sekitar tahun 190, Paus yang memerintah adalah Viktor. Viktor menganggap masalah Paskah tersebut lebih serius daripada Anisetus.
Kita diberi tahu oleh sejarahwan gereja awal, Eusebius, bahwa sewaktu Viktor menerima suatu surat dari para uskup dari Asia tentang pandangannya tentang kapan mereka harus merayakan Paskah, Viktor berupaya untuk memotong, mengekskomunikasikan semua gereja di Asia akibat masalah ini.
Perhatikan bahwa Eusebius, yang hidup di abad ke-3 dan ke-4 dan yang merupakan sejarahwan dari gereja kuno mengakui bahwa Viktor percaya bahwa ia memiliki otoritas untuk mengekskomunikasikan seluruh gereja di Asia. Hal ini sangat menarik. Menarik pula bahwa tidak seorang pun mempertanyakan otoritas Viktor untuk melakukan hal ini. Sebaliknya, Ireneus dan uskup yang lain memohon Viktor untuk tidak melaksanakan kuasanya ini. Mereka tidak setuju dengan tindakannya, tetapi tidak mempertanyakan otoritasnya untuk melakukan hal tersebut. Kenyataannya, tidak lama lagi kita akan mendengar dari Ireneus tentang otoritas dari Gereja Roma. Jika seorang uskup lain dari periode ini telah mengancam untuk mengekskomunikasikan seluruh gereja, ide tersebut absurd. Dalam kasus ini, hal tersebut menghasilkan suatu kontroversi yang besar karena hal itu dilakukan oleh Uskup Roma. Kelihatannya, Viktor dibuat yakin oleh para uskup seperti Ireneus untuk tidak memotong seluruh gereja di Asia. Dalam nasihatnya untuk tidak mengekskomunikasikan gereja-gereja Asia, Ireneus menunjukkan bahwa para uskup sebelumnya dari Roma menolerir kebiasaan mereka tentang hal ini. Seluruh peristiwa ini menunjukkan pusat kehidupan gereja berada pada masa gereja perdana ini, yakni, di Roma. Harus dicatat pula bahwa surat yang dikirimkan kepada Viktor oleh para uskup dari Asia, di mana mereka mengungkapkan perbedaan pandangan mereka tentang masalah Paskah ditulis oleh uskup Polikrates. Polikrates berbicara untuk gereja-gereja di Asia tentang permasalahan Paskah. Di dalam suratnya kepada Viktor, yang dikutip oleh Eusebius di dalam Buku 5, bab 24, Polikrates berkata demikian:
Perhatikan, hal ini berarti bahwa Viktor mengatur agar Polikrates memanggil para uskup lainnya dari Asia untuk hadir dalam konsili mereka. Sebagaimana yang diucapkan seorang komentator: “Menurut hal ini, konsili Asiatik diadakan menurut permintaan Viktor dari Roma”. Maka, hal ini menunjukkan kembali otoritas tertinggi dari Uskup Roma, dan bagaimana hal tersebut diakui bahkan pada masa awal dari gereja perdana. Kontroversi Paskah akhirnya diselesaikan sekitar waktu Konsili Nicea, di mana seluruh gereja menggunakan kebiasaan Gereja Roma.
e. Santo Ireneus
Contoh berikutnya yang akan kita lihat berasal dari Santo Ireneus. Santo Ireneus terlahir dan dibesarkan di dekat Smirna sekitar tahun 135. Ireneus diajar oleh Polikarpus yang terkenal, yang telah kami sebutkan. Ireneus akhirnya datang ke negara Barat, di mana ia akan menjadi uskup kepala dari Gaul, yang pada masa kini adalah negara Prancis. Ireneus adalah seorang tokoh utama dari gereja kuno dan ia memberikan kita salah satu kutipan yang terpenting tentang pengakuan awal terhadap Keutamaan serta Yurisdiksi Kepausan.
Pada tahun 180 M, di dalam kutipan ini, Santo Ireneus menggambarkan Gereja Roma sebagai gereja terpenting di dalam Gereja universal, Secara khusus, ia berkata bahwa umat beriman di segala tempat harus, secara mutlak, bersetuju dengan Gereja Roma oleh karena otoritas tertingginya. Maka, St. Ireneus bukan hanya menunjukkan bahwa Roma memiliki keutamaan dari antara gereja-gereja, tetapi juga memiliki keutamaan otoritas atau yurisdiksi universal. Hal ini menentang pandangan para “Ortodoks” Timur yang menolak keutamaan yurisdiksi. Santo Ireneus, oleh karena itu, mengungkapkan kebenaran Katolik tentang Kepausan.
Harus dicatat pula bahwa banyak dari para bapa, seperti Ireneus, menekankan fakta bahwa bukan hanya Santo Petrus, tetapi Santo Paulus, juga meninggal di Roma. Beberapa dari mereka berbicara tentang suksesi di Roma dari Petrus dan Paulus. Sama sekali tidak diragukan bahwa Allah mengatur agar Petrus, kepala dari Gereja, dan Paulus, rasul kepada bangsa-bangsa, akan meninggal di Roma. Hal ini akan menghapuskan segala keraguan bahwa itulah Gereja/Uskup Roma, yang akan menjadi pusat kehidupan Gereja. Hal ini penting karena Santo Petrus juga pada awalnya berada di Yerusalem serta Antiokhia, tetapi hidupnya berakhir sebagai Uskup Roma. Maka, Allah memastikan agar Santo Paulus meninggal di sana pula untuk menghapuskan segala keraguan tentang gereja mana yang mewarisi otoritas universal. Hal tersebut akan menghapuskan segala keraguan bahwa otoritas kunci yang harus memimpin segala negara para bangsa yang akan dikonversikan, akan dipimpin dari Roma.
St. Petrus dan St. Paulus dimartirkan di Roma
Adalah suatu hal yang menarik bahwa banyak dokumen Kepausan di mana para Paus menggunakan kepenuhan otoritas mereka yang diberikan kepada Santo Petrus, menggunakan gaya bahasa seperti ini:
Hal ini menunjukkan bahwa otoritas infalibel dari Kepausan yang dilaksanakan oleh para Paus di sepanjang sejarah memiliki asal muasal dan hubungan dengan apa yang terjadi di Roma pada masa para Rasul. Hal-hal lain dari abad ke-2 dapat dibahas, tetapi kita harus berpindah haluan.
f. Siprianus dan kontroversi Pembaptisan Ulang
Mari berpindah ke abad ke-3, dan membahas St. Siprianus dan kontroversi Pembaptisan ulang. St. Siprianus adalah Uskup Kartago yang terkenal di Afrika. Seperti Origen, Tertulianus, dan yang lainnya dari masa ini, Siprianus mengakui bahwa Petrus dijadikan sebagai rasul ketua. Pada tahun 252, Siprianus menulis kepada Paus pada waktu itu, Paus Kornelius. Surat Siprianus kepada Kornelius jelas menunjukkan bahwa ia mengakui keutamaan Uskup Roma dan bahwa Roma adalah Gereja kepala.
Walaupun memang benar bahwa St. Siprianus tidak selalu mengungkapkan secara persis benar pandangan tentang apa itu Takhta Petrus, di dalam surat ini, ia mengakui Roma sebagai Gereja utama, sumber kesatuan imamat. Kata-katanya mirip dengan kata-kata Tertulianus yang telah kami kutip, di mana Tertulianus berkata bahwa otoritas gerejanya juga bersumber dari Gereja Roma. Di dalam surat ini dari Siprianus kepada Kornelius, kita juga melihat akar dari Infalibilitas Kepausan. Ia berkata bahwa iman bdaah tidak dapat masuk ke dalam Gereja Roma. Seperti yang kita akan lihat, konsep Gereja Roma yang tidak bernoda dan tidak memiliki kesalahan, diungapkan berulang kali di dalam gereja awal. Hal itu adalah penerusan dari apa yang telah dijanjikan kepada Petrus di Lukas 22.
Paus St. Stefanus I
Hanya beberapa tahun kemudian, terjadi pertentangan antara St. Siprianus dengan Paus St. Stefanus, Paus kedua setelah Kornelius. Pertentangan ini disebut kontroversi Pembaptisan ulang. Siprianus dan para uskup dari Afrika percaya bahwa para bidah tidak dapat membaptis secara valid. Mereka percaya bahwa hal ini berasal dari tradisi apostolik. Maka, mereka percaya bahwa orang-orang yang dibaptis dari antara para bidah harus dibaptis kembali. Paus Stefanus percaya akan pandangan yang bertentangan, dan melarang pembaptisan ulang bagi mereka yang telah dibaptis dalam nama Kristus atau dalam nama Allah Tritunggal. Siprianus melakukan kesalahan bahwa para bidah tidak dapat membaptis secara valid. Para bidah dapat membaptis dengan valid jika mereka menggunakan formula yang benar. Tetapi, hal yang secara khusus menarik, adalah bahwa uskup Firmilian dari Kaisarea, yang merupakan uskup lain yang setuju dengan Siprianus soal pembaptisan ulan, menulis hal berikut kepada Siprianus:
Hal ini menunjukkan bahwa Firmilian, Siprianus, dan jelas, Stefanus sendiri, mengakui bahwa Stefanus adalah penerus Petrus. Ia adalah penerus takhta Rasul yang ditunjuk sebagai kepala Gereja. Walaupun Siprianus sangat tidak setuju dengan Stefanus soal pembaptisan ulang, dan ia memang salah, setelah kematian Stefanus, Siprianus berkomunikasi dengan Paus setelahnya, Sikstus II. Harus dicatat pula bahwa pada tahun 254, sewaktu Stefanus masih memimpin, Siprianus telah meminta Paus Stefanus untuk mengekskomunikasikan dan mencabut Uskup Arles yang bidah, Marsianus, dari posisinya.
Hal ini menunjukkan bahwa Siprianus mengakui otoritas tertinggi dari Stefanus sebagai penerus Petrus, walaupun ia kemudian tidak setuju dengannya sehubungan dengan masalah pembaptisan ulang.
g. Paulus dari Samosata
Contoh yang berikut yang akan kita lihat adalah Paulus dari Samosata. Pada pertengahan abad ke-2, Uskup dari Antiokhia adalah Paulus dari Samosata. Ia ternyata adalah seorang bidah yang menentang iman Kristiani. Ia membejatkan kenyataan tentang Allah Tritunggal dan Penjelmaan.
Gambar Paulus dari Samosata, seorang bidah, di atas mimbar
Pada tahun 269, Paulus dari Samosata digulingkan dari takhtanya di Antiokhia oleh sebuah konsili para uskup dan imam. Hal yang menarik adalah bahwa Eusebius di dalam Ecclesiastical History [Sejarah Gereja], Buku 7, bab 30, berkata demikian :
Kutipan ini dapat ditemukan di dalam Nicene and Post-Nicene Fathers [Bapa-bapa Nicea dan Pasca-Nicea], Seri ke-2, Volume 1, hal. 316.
Jadi, di dalam kutipan ini, kita melihat bahwa Eusebius berkata bahwa sang Kaisar mentransfer kepemilikian bangunan gereja yang telah ditempati oleh Paulus kepada mereka yang telah disetujui oleh Gereja Roma. Hal ini khususnya menarik karena Antiokhia ada di dunia Timur. Hal tersebut berarti bahwa terdapat banyak uskup di Timur, seperti Uskup Yerusalem, yang kepadanya sang Kaisar dapat saja memberikannya, dalam masalah bangunan tersebut, tetapi tidak, sang Kaisar meletakkan bangunan tersebut di bawah otoritas Gereja Roma, walaupun Roma itu sangat jauh. Ia mengakui bahwa Gereja Roma memiliki yurisdiksi di atas Gereja universal.
Kaisar Aurelianus
Hal-hal lain dapat dibahas di dalam abad ke-3, tetapi kita harus berpindah ke abad ke-4.
Artikel-Artikel Terkait
Sdr. Petrus Berlian sangat brilian 💪😎☝️
Doulou Kurion 2 mingguBaca lebih lanjut...Saya sanngatsuka cerita ini
Monika Monika 1 bulanBaca lebih lanjut...Halo – Fransiskus telah mengeluarkan sebuah dokumen yang menyetujui “pemberkatan” pasangan sesama jenis. Kami membahasnya dalam video berikut: Fransiskus Setujui “Pemberkatan” Sesama Jenis sebagai Tanggapan kepada Para “Kardinal” https://vatikankatolik.id/fransiskus-setujui-pemberkatan-sesama-jenis/ Fransiskus...
Biara Keluarga Terkudus 1 bulanBaca lebih lanjut...Halo – prinsip larangan mendoakan arwah orang yang meninggal sebagai non-Katolik ini didasari oleh dogma Katolik Extra Ecclesiam Nulla Salus, yaitu, Di Luar Gereja Katolik Tidak Terdapat Keselamatan. Orang yang...
Biara Keluarga Terkudus 1 bulanBaca lebih lanjut...Halo – sayangnya pemahaman anda tentang ajaran keselamatan yang dianut oleh Gereja Katolik itu tidak benar dan anda membuat banyak kesalahan dalam pesan anda. Kalau anda menyimak materi-materi kami, anda...
Biara Keluarga Terkudus 1 bulanBaca lebih lanjut...Saya baru baca komentar ini yang memberi perspektif berbeda terhadap penglihatan MS (Maria Simma). Tetapi saya pribadi sama sekali tidak melihat pertentangan antara apa yang digambarkan MS dan ajaran Katolik....
Bernad 1 bulanBaca lebih lanjut...Berita ini benarkah? bahwa Bapak Paus Fransiskus mengeluarkan dokumen untuk merestui pemberkatan nikah sesama jenis? Kalau berita ini benar, ini sangat menentang hukum Allah sebagaimana yang Allah Tuhan kita menciptakan...
Lambertus Mite 1 bulanBaca lebih lanjut...Menurit hemat saya ini kurang tepat. Seorang katolik boleh saja mendoakan arwah non katolik. Ajaran katolik adalah ajaran kasih, mengasihi kepada semua umatNya tanpa harus membedakan agama.
Martha 1 bulanBaca lebih lanjut...Halo – tidak semua orang yang mengaku Kristen benar-benar meniru teladan Kristus. Karena itulah ada tertulis, “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...karena nama Mahatma Gandhi disebut saya ingat salah satu ujarannya.. "I like your Christ , but I don't like your Christian. Your Christian are so unlike your Christ". apakah kita...
Deo Gratia 6 bulanBaca lebih lanjut...