^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Dukacita Maria yang Keempat: Maria Bertemu dengan Yesus Sewaktu Ia akan Wafat
Tujuh Dukacita Santa Perawan Maria
“Santo Bernardinus berkata,[1] bahwa untuk membentuk suatu ide tentang besarnya penderitaan Maria akibat kehilangan Yesusnya oleh kematian, kita harus mempertimbangkan cinta yang dimiliki oleh Bunda ini kepada Putranya. Semua ibunda merasakan penderitaan dari anak-anaknya sebagai penderitaannya mereka sendiri. Maka, sewaktu wanita Kanaan memohon kepada Juru Selamat kita untuk membebaskan putrinya dari iblis yang menyiksanya, ia meminta kepada-Nya untuk berbelas kasih kepada dirinya sendiri, sang ibunda, dan bukan kepada putrinya: ‘Kasihanilah diriku, Ya Tuhan, Ya Putra Daud, putriku disiksa oleh iblis.’[2] Tetapi ibunda mana yang pernah mencintai putranya layaknya Maria mencintai Yesus? Ia adalah Putranya satu-satunya, yang dibesarkan di tengah-tengah begitu banyak masalah; Putra yang amat tercinta, dan yang mencintai Ibunda-Nya dengan lembut; seorang Putra yang, di waktu yang sama di mana Ia adalah Putranya, juga adalah Allahnya, yang telah datang ke dunia untuk menyalakan di dalam hati semua orang api cinta Ilahi, sebagaimana yang dinyatakan oleh diri-Nya sendiri: ‘Aku telah datang untuk melemparkan api kepada bumi, dan betapa Kuingin bumi itu membara.’[3] Kita hanya dapat membayangkan api semacam apa yang pastinya Ia telah nyalakan di dalam hati yang murni dari Bunda-Nya yang kudus, yang sama sekali tidak memiliki kelekatan duniawi. Pada akhirnya, Sang Perawan Suci sendiri berkata kepada Santa Brigitta, ‘bahwa cinta telah membuat hatinya dan hati Putra-Nya satu hati saja.’[4] Perpaduan dari sang Hamba dan Bunda, dari Putra dan Allah, menciptakan di dalam hati Maria suatu api yang terbentuk dari ribuan lidah-lidah api. Tetapi seluruh lidah api cinta ini setelahnya, pada waktu Sengsara Yesus, berubah menjadi lautan penderitaan, sewaktu Santo Bernardinus berkata, ‘bahwa jika semua dukacita dunia dipadukan, dukacita itu tidak akan menandingi dukacita Perawan Maria yang mulia.’[5] Ya, karena seperti yang ditulis oleh Richard dari St. Laurentius, ‘semakin lembut cinta Ibunda-Nya, semakin dalamnya ia pun terluka.’[6] Semakin besar cintanya untuk diri-Nya, semakin besar penderitaannya saat ia menyaksikan penderitaan-penderitaan-Nya dan terutama sewaktu ia bertemu Putranya, yang sudah dihukum mati, dan memanggul salib-Nya ke tempat penghukuman. Inilah pedang dukacita keempat yang pada hari ini akan kita pertimbangkan.
Sang Perawan Suci mewahyukan kepada Santa Brigitta, bahwa menjelang waktu Sengsara Tuhan kita, mata sang Perawan selalu dipenuhi air mata, karena ia memikirkan Putranya yang tercinta, yang akan segera dirampas darinya di bumi, dan akan pikiran tentang penderitaan yang mendekat yang menyebabkannya tercengkeram oleh rasa takut, dan keringat dingin menutupi sekujur tubuhnya.[7] Lihatlah, hari yang telah ditakdirkan sejak lama itu telah tiba, dan yesus, berlinangkan air mata, pergi untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Ibunda-Nya, sebelum menemui ajal-Nya. Santo Bonaventura, yang merenungkan Maria pada malam itu, berkata: ‘Engkau melewati malam itu tanpa tidur, dan sewaktu orang lain tertidur, engkau tetap berjaga.’[8] Pada pagi harinya, para murid Yesus Kristus mendatangi Bunda yang menderita ini; tetapi semuanya adalah ucapan dukacita, yang membuktikan nubuat Yeremia di dalam dirinya: ‘Menangis, ia telah menangis pada malam hari, dan air matanya berada di pipinya; tiada seorang pun yang menghiburnya untuk segala yang dikasihinya.’[9] Beberapa orang lalu datang untuk menceritakan kepadanya perlakuan yang kejam terhadap Putranya di rumah Kayafas; dan yang lain menceritakan umpatan yang telah diterimanya dari Herodes. Akhirnya – kita sampai ke poin saya, dan saya akan mengabaikan yang lainnya – Santo Yohanes datang, dan memberi tahu Maria, bahwa Pilatus yang amat tidak adil itu telah menghukum-Nya untuk mati di salib. Saya berkata Pilatus yang amat tidak adil; sebab, seperti yang dikatakan oleh Santo Leo, ‘Hakim yang tidak adil ini menghukum mati diri-Nya dengan bibir yang sama, yang dengannya ia telah menyatakan-Nya tidak bersalah.’[10] ‘Ya, Bunda yang menderita’, ujar Santo Yohanes, ‘Putramu sudah dihukum mati; ia sudah pergi untuk memanggul salib-Nya sendiri, menuju Kalvari,’ sebagaimana Santo itu pun menceritakannya di dalam Injilnya: ‘dan sambil memanggul salib-Nya, ia pergi ke tempat itu yang disebut Kalvari.’[11] ‘Datanglah, jika engkau hendak melihat-Nya, dan ucapkan kepada-Nya selamat tinggal yang terakhir, di beberapa jalan yang harus Ia tempuh.’
Maria pergi bersama Santo Yohanes, dan dari darah yang telah terpercik, ia melihat bahwa Putranya sudah lewat. Hal ini diwahyukannya kepada Santa Brigitta: ‘Oleh jejak kaki Putraku, aku tahu di mana Ia telah berjalan: sebab di sepanjang jalan, tanahnya ditandai dengan darah.’[12] Santo Bonaventura[13] menggambarkan Bunda yang berduka itu mengambil jalan yang lebihi pendek, dan menempatkan dirinya sendiri di pojok sebuah jalan, untuk bertemu dengan Putranya yang menderita sewaktu Ia pun lewat. ‘Sang Bunda yang amat berduka,’ ujar Santo Bernardus, ‘bertemu dengan Putranya yang amat berduka.’[14] Walaupun Maria sedang menunggu di tempat itu, betapa banyak ia pastinya telah mendengar perkataan orang-orang Yahudi, yang segera mengenalinya, terhadap Putranya yang tercinta, dan mungkin bahkan kata-kata yang mengolok-olok dirinya sendiri. Sayang sekali, betapa pemandangan dukacita itu hadir di hadapannya! Paku, palu, tali, instrumen-instrumen kematian Putranya, semuanya dibawa ke hadapan-Nya. Dan betapa suara sangkakala itu pastinya menjadi pedang bagi hatinya, yang menyatakan hukuman terhadap Yesusnya! Tetapi lihatlah, instrumen-instrumen itu, peniup sangkakala, dan para algojo, sudah lewat; ia menatap ke atas, dan melihat seorang pria muda berlumuran darah dengan luka di sekujur tubuh-Nya, dengan mahkota duri di kepala-Nya, dan dua balok yang berat di pundaknya. Ia menatap-Nya dan hampir tidak mengenali-Nya, sambil berkata bersama Yesaya, ‘dan kita telah melihat-Nya, dan Ia sama sekali tidak memiliki keindahan.’[15] Ya, sebab luka-luka-Nya, bilur-bilur-Nya, dan darah-Nya yang menggumpal membuat ia tampak sebagai orang yang menderita kusta: ‘kami telah berpikir bahwa Ia adalah orang yang sakit kusta.’[16] Sehingga Ia tidak lagi dapat dikenali: ‘dan rupa-Nya, kiasannya, tersembunyi dan dibenci; sedangkan kita tidak menghormati-Nya.’[17] Tetapi, cinta sungguh mewahyukan diri-nya kepadanya, dan segera setelah ia mengetahui bahwa Ia sungguh adalah Yesus, betapa cinta dan ketakutan pastinya telah memenuhi hatinya! Seperti yang dikatakan oleh Santo Petrus dari Alcantara di dalam meditasinya.[18] Di satu sisi, ia ingin melihat-Nya, dan di sisi lain, ia menakuti pemandangan yang begitu menusuk hati. Setelah lama, mereka saling memandang satu sama lain. Sang Putra menyeka dari mata-Nya darah yang menggumpal, yang, seperti yang diwahyukan kepada Santa Brigitta,[19] mencegah-Nya untuk melihat dan menatap Ibunda-Nya, dan Ibunda-Nya menatap Putranya. Ah, tatapan penderitaan yang pahit, yang, bagaikan ribuan anak panah, menembus sepenuhnya kedua jiwa yang indah dan penuh cinta itu. Sewaktu Margareta, putri dari Santo Thomas More, bertemu dengan bapanya di jalan menuju kematiannya, ia hanya dapat berseru, ‘Ya bapa! Bapa!’ dan jatuh pingsan di kakinya. Maria, sewaktu menatap Putranya menuju Kalvari, tidak pingsan, tidak, sebab tidaklah pantas, seperti yang dinyatakan oleh Romo Suarez,[20] bahwa sang Ibunda ini kehilangan akalnya; tidak pun ia mati, sebab Allah telah mengkhususkan baginya penderitaan yang lebih besar: tetapi walaupun ia tidak mati, dukacitanya cukup untuk menyebabkannya mati ribuan kali.
Sang Ibunda akan memeluk-Nya, seperti yang dikatakan oleh Santo Anselmus, tetapi para penjaga menghalanginya dengan olok-olok, dan mendesak Tuhan yang menderita itu untuk melangkah maju; dan Maria mengikuti-Nya. Ya, Perawan suci, ke manakah engkau pergi? Ke Kalvari. Dan sanggupkah engkau memandang diri-Nya, yang adalah hidupmu, tergantung di salib? ‘Dan hidupmu akan, kiasannya, bergantung di hadapan dirimu.’[21] ‘Ah, berhentilah, bundaku’ (ujar Santo Laurentius Yustinianus, dalam nama sang Putra), ‘ke manakah engkau pergi? Ke manakah engkau hendak datang? Jika engkau datang, ke manakah aku pergi, engkau akan tersiksa dengan penderitaan-penderitaanku, dan aku dengan penderitaan-penderitaanmu.’[22] Tetapi, walaupun pemandangan Yesusnya yang sekarat itu menyebabkan dukacita yang begitu pahit terhadap dirinya, Maria yang penuh cinta tidak akan meninggalkan-Nya: sang Putra melangkah maju, dan sang Ibunda pun mengikuti, juga untuk disalibkan bersama Putranya, seperti yang diucapkan oleh Kepala Biara William: sang Ibunda juga memikul salibnya dan mengikuti, untuk disalibkan bersama-Nya.’[23] ‘Kita bahkan mengasihani binatang buas,’[24] seperti yang ditulis oleh Santo Yohanes Krisostomus ; dan jika kita memang melihat seekor singa betina yang mengikuti anaknya sampai kematian, pemandangan itu juga akan menggerakkan kita untuk merasa kasihan. Dan bukankah kita juga harus merasa kasihan saat melihat Maria yang mengikuti Anak Dombanya yang tak bernoda menuju kematian? Marilah, oleh karena itu, mengasihani Maria, dan marilah kita juga mendampingi Putranya dan dirinya sendiri, dengan memikul dengan sabar salib yang diberikan Tuhan kita kepada kita. Santo Yohanes Krisostomus bertanya mengapa Yesus, di dalam penderitaan-penderitaan-Nya yang lain, berkenan menanggung semua itu sendiri, tetapi untuk memikul salib-Nya, Ia dibantu oleh Simon dari Kirene? Ia menjawab, ‘agar engkau dapat mengerti bahwa salib Kristus tidaklah cukup tanpa salibmu.’[25]
TELADAN
Juru Selamat kita pada suatu hari tampak kepada Suster Diomira, seorang biarawati di Florence, dan berkata, ‘Berpikirlah akan diri-Ku, dan cintailah Aku, dan Aku akan memikirkan dirimu dan mencintaimu.’ Pada waktu yang sama, Ia memberikan kepadanya setumpuk bunga dan sebuah salib, yang melambangkan olehnya bahwa penghiburan dari para Kudus di dunia ini akan selalu didampingi oleh salib. Salib menyatukan jiwa-jiwa kepada Allah. Beato Hieronimus Emilianus, sewaktu ia dahulu menjadi serdadu dan dipenuhi dosa, dikurung oleh musuh-musuhnya di dalam sebuah menara. Di sana, tergerak oleh kemalangannya, dan dicerahkan oleh Allah untuk mengubah hidupnya, ia mengandalkan sang Perawan yang selamanya terberkati; dan sejak saat itu, oleh pertolongan Ibunda yang ilahi ini, ia mulai menjalani hidup seorang santo, sedemikian rupanya sehingga ia pantas, pada suatu hari, untuk melihat tempat yang amat tinggi yang telah disiapkan oleh Allah untuknya di Surga. Ia menjadi pendiri dari ordo religius dari Somaschi, meninggal sebagai seorang santo, dan baru-baru ini telah dikanonisasikan oleh Gereja yang kudus.
DOA
Ya Bundaku yang berduka, oleh jasa penderitaan yang kaurasakan saat menyaksikan Yesusmu yang tercinta yang dibawa kepada kematian, perolehkanlah untuk diriku rahmat, sehingga aku juga dapat memanggul dengan kesabaran salib-salib yang diberikan Allah kepadaku. Aku akan bahagia, jika saja aku tahu bagaimana mendampingimu dengan salibku sampai kematian. Engkau bersama Yesusmu – dan kalian berdua tidak bersalah – telah membawa salib yang jauh lebih berat; dan pantaskah aku, seorang pendosa, yang telah layak mendapatkan Neraka, menolak untuk memikul salibku? Ya Perawan tak bernoda, dari dirimulah aku berharap untuk mendapatkan pertolongan untuk memikul semua salib dengan kesabaran. Amin.”
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari edisi berbahasa Inggris : Santo Alfonsus de Liguori, Glories of Mary [Kemuliaan Maria], Edisi II, New York, 1868, hal. 434-439.
[1] T. iii. a. 45, p. 2.
[2] Miserere mei, Domini, fili David: filia mea male a daemonio vexatur. – Matt. xv. 22.
[3] Ignem veni mittere in terram, et quid volo nisi ut accendatur? Luc xii. 49.
[4] Unum erat cor meum et cor Filii mei.
[5] Omnes dolores mundi… si essent simul conjuncti, non essent tot et tanti, quantus fuit dolor gloriosae Virginis Mariae. – Serm. in die Ven. Sanct.
[6] Quanto dilexit tenerius, tanto est vulnerata profundius. – De Laud. Virg. lib. iii. cap. 12.
[7] Imminente passione Filii mei, lacrymae erant in oculis ejus, et sudor in corpore prae timore. – Rev lib. iv. cap. 70.
[8] Sine somno duxisti, et soporatis caeteris vigil permansisti. – Off. de Comp. B. M. V.
[9] Plorans ploravit in nocte, et lacrymae ejus in maxillis ejus: non est qui consoletur eam ex omnibus caris ejus. – Thren. i. 2.
[10] Iisdem labiis misit ad crucem, quibus eum pronuntiaverat innocentum. – De Pass. s.3.
[11] Et bajulans sibi crucem, exivit in eam, qui dicitur Calvariae, locum. – Joan. xix. 17.
[12] Ex vestigiis Filii mei cognoscebam incessum ejus: quo enim procedebat, apparebat terra infusa sanguine. – Rev. lib. i. cap. 10.
[13] De Vita C. cap. lxxvi.
[14] Moestissima Mater moestissimo Filio occurrit.
[15] Et vidimus eum, et non erat aspectus. – Is. liii. 2.
[16] Et nos putavimus eum quasi leprosum. – Is. liii. 4.
[17] Et quasi absconditus vultus ejus et despectus, unde nec reputavimus eum. – Ib. 3.
[18] P. i. c. iv. fer. 5.
[19] Rev. l. i. c. 10.; l. iv. c. 70.
[20] De Inc. q. 51, a. 3, § 2.
[21] Et erit vita tua quasi pendens ante te. – Deut. xxviii. 66.
[22] Ut quid venisti, mater mea? Dolor tuus meum auget, cruciatus tuus transfigit me. – De Triumph. Chr. Agone, cap. xi.
[23] Tollebat et mater crucem suam, et sequebatur eum, crucifigenda cum ipso. – Deirio in Cant. vii, 7.
[24] Ferarum etiam miseremur. – In Phil. Hom. 4.
[25] Ut intelligas, Christi crucem non sufficere sine tua.
Artikel-Artikel Terkait
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 1 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 2 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 2 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 2 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 2 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 3 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 3 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 5 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 5 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 6 bulanBaca lebih lanjut...