^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Tentang Kematian Orang Benar - Pertimbangan VIII St. Alfonsus
PERTIMBANGAN VIII.
Tentang Kematian Orang Benar.
“Berharga di mata Tuhan kematian para kudus-Nya.” – Mazmur cxv. 15.
POIN PERTAMA.
Kematian dari sudut pandang pancaindra, menimbulkan rasa ngeri dan takut; namun ketika dipandang dengan mata iman, memberi penghiburan dan didamba-dambakan. Kematian tampak mengerikan bagi para pendosa, namun indah dan berharga bagi para kudus. “Berharga”, ujar St. Bernardus, “sebagai akhir jerih payah kita, penyempurnaan kemenangan kita, pintu gerbang kehidupan kita”.[1] Ya, kematian adalah akhir dari jerih payah dan kerja keras. “Manusia terlahir dari wanita, hidup singkat saja, dan dipenuhi banyak penderitaan” (Ayub xiv. 1). Demikianlah hidup kita, singkat, penuh penderitaan, penyakit, ketakutan dan hasrat. “Apakah”, ujar Seneca, “yang diingini penghuni dunia, kehidupan yang panjang, namun siksaan yang berkepanjangan?”[2] “Apakah”, ujar St. Agustinus, “hidup yang berkelanjutan itu, kalau bukan penderitaan yang berkelanjutan?”[3] Ya, karena seperti yang diceritakan St. Ambrosius kepada kita, hidup kita ini tidak diberikan kepada kita untuk beristirahat, namun untuk bekerja, dan bekerja demi pantas mendapatkan kehidupan kekal: “Kehidupan ini tidak diberikan kepada manusia untuk beristirahat, namun untuk bekerja”.[4] Maka Tertulianus mengamati dengan benar, bahwa ketika Allah mempersingkat hidup seseorang, Ia mempersingkat kesakitan orang itu: “Allah mengangkat siksaan yang panjang ketika Ia memberi hidup yang singkat.” Maka meskipun kematian dijatuhkan kepada manusia sebagai hukuman atas dosa, namun demikian, penderitaan-penderitaan hidup ini sedemikian besarmya, sebagaimana yang dicatat oleh St. Ambrosius, “sehingga kematian akan tampak diberikan kepada kita sebagai kelegaan dan bukan hukuman.” Allah memanggil orang-orang terberkati yang meninggal dalam rahmat-Nya, karena jerih payah mereka sudah berakhir, dan mereka pergi beristirahat: “Berbahagialah orang mati yang mati dalam Tuhan. Sejak saat ini, ujar Roh, mereka dapat beristirahat dari kerja keras mereka” (Wahyu xiv. 13).
Siksaan-siksaan yang merundung para pendosa pada waktu kematian tidak merundung para kudus: “Jiwa-jiwa orang benar ada dalam tangan Allah, dan siksaan maut tidak akan menjamah mereka” (Kebijaksanaan Salomo iii. 1). Para kudus tidak berduka ketika mereka mendengar kata Profiscere itu, yang begitu menakutkan bagi orang-orang duniawi. Para kudus tidak menderita ketika meninggalkan barang-barang dunia ini karena mereka telah menjaga hati mereka lepas dari barang-barang itu: “Allah bagi hatiku”, demikianlah mereka berkata tanpa henti, “dan Allah adalah bagianku dalam alam baka”. Berbahagialah kalian, ujar sang Rasul kepada para muridnya, yang telah dirampas barang-barangnya demi Yesus Kristus: “Dengan sukacita, kalain menerima barang milik kalian dirampas, sebab kalian tahu bahwa kalian punya harta yang lebih baik dan yang lebih tetap sifatnya” (Ibrani x. 34). Mereka tidak berduka ketika meninggalkan harkat, sebab mereka sudah membenci penghormatan, dan memandang penghormatan itu sebagaimana adanya: hanya asap dan kesia-siaan semata; mereka hanya menghargai penghormatan dalam mencintai dan dicintai Allah. Mereka tidak berduka karena meninggalkan saudara-saudara sedarah mereka, karena mereka hanya telah mencintai saudara-saudara dalam Allah; ketika sekarat, mereka meninggalkan saudara-saudara dalam perhatian Bapa surgawi, yang mencintai mereka jauh daripada saudara-saudara mereka sendiri; dan dalam harapan akan keselamatan, mereka berpendapat bahwa mereka bisa lebih baik membantu saudara-saudara mereka ketika di Surga daripada di dunia ini. Pada akhirnya, yang telah senantiasa mereka katakan di sepanjang hidup ini adalah demikian, “Ya Allahku dan segalanya bagiku”, perkataan itu terus mereka ulangi dalam ajal dan membuahkan penghiburan dan kelembutan yang bahkan lebih besar.
Barang siapa mati mencintai Allah, tidak terganggu oleh rasa sakit yang menyertai ajal, namun sebaliknya, ia merasakan kenikmatan dalam rasa sakit itu, ketika merenungkan bahwa hidup akan segera berakhir, dan tiada lagi waktu yang tersisa bagi dirinya untuk menderita demi Allah dan memberikan-Nya bukti-bukti lain untuk cinta kasihnya; karena itulah, dengan penuh kasih dan damai, ia mempersembahkan kepada-Nya saat-saat terakhir hidupnya, dan menghibur diri sendiri dengan mempersatukan kurban kematiannya dengan kurban yang dipersembahkan Yesus Kristus untuk dirinya di kayu Salib kepada Bapa-Nya yang kekal. Dan demikianlah ia mengembuskan napasnya yang terakhir, sambal berkata: “Aku akan tidur dalam dia dan beristirahat dalam damai” (Mazmur iv. 8). Oh, betapa damainya kalau mati beristirahat dalam dekapan Yesus Kristus, yang telah mengasihi kita bahkan sampai mati, dan telah menderita ajal yang getir, demi mendapatkan kematian yang manis dan menghibur bagi kita!
DAMBAAN DAN DOA.
Ah, Yesusku yang terkasih, yang demi mendapatkan kematian berbahagia bagiku telah mengalami ajal yang begitu getirnya di Kalvari, kapankah aku akan menatap Engkau? Pertama kalinya aku akan melihat-Mu akan menjadi saat Engkau menjadi hakim-Ku di tempat yang sama aku akan mengembuskan napas terakhir. Apakah yang lalu akan kukatakan kepada-Mu di sana? Apakah yang akan Kaukatakan kepadaku? Takkan kunantikan datangnya saat itu untuk memikirkannya, akan kuantisipasi saat itu sekarang. Akan kukatakan kepadamu: Ya Penebusku yang terkasih, Engkaulah Dia yang mati demi aku. Pada suatu kali aku menghina-Mu: namun kemudian, terbantu oleh rahmat-Mu, aku sadar dan selama sisa hidupku, aku menangisi dosa-dosaku dan Engkau telah mengampuni aku. Ampunilah aku lagi, sekarang ketika aku ada di kaki-Mu, dan berilah aku daripada diri-Mu sendiri absolusi umum bagi dosa-dosaku. Aku tak pantas mencintai-Mu lagi, sebab aku telah membenci cinta-Mu; namun Engkau, dalam kerahiman-Mu bahwasanya menarik hatiku datang kepada-Mu; dan seandainya hatiku tidak mencintai-Mu sepantasnya, setidak-tidaknya ia telah mencintai-Mu di atas segala sesuatu, dan meninggalkan segala-galanya demi berkenan kepada-Mu. Sekarang, apakah yang Kaukatakan kepadaku? Aku tahu bahwa Surga dan memiliki-Mu dalam Kerajaan-Mu adalah berkat yang terlampau besar bagiku; namun aku tidak berani percaya pada diriku sendiri untuk hidup jauh dari Engkau, terutama sekarang, ketika Engkau telah memperlihatkan kepadaku wajah-Mu yang terkasih dan indah. Maka Kau kuminta dari Surga, bukan supaya aku bisa semakin menikmati diriku sendiri, namun suapya aku bisa semakin mencintai-Mu. Utuslah aku masuk Api Penyucian selama yang Kaukehendaki. Tidak, aku bahkan tidak mau masuk tanah kemurnian itu, dan mendapati diriku sendiri di antara jiwa-jiwa yang tahir itu, sebab diriku sendiri cela akibat noda. Utuslah aku untuk menahirkan diriku sendiri, tetapi jangan usir diriku selama-lamanya dari wajah-Mu; cukup adanya bagiku kalau suatu hari, kelak ketika berkenan bagi-Mu, Engkau memanggil aku untuk menyanyikan madah kerahiman-Mu untuk selama-lamanya di dalam Firdaus. Dan sekarang, ya Hakimku yang terkasih, datanglah dan angkatlah tangan-Mu untuk memberkatiku dan katakanlah kepadaku bahwa aku ini milik-Mu, dan bahwa Engkau adalah dan akan selalu menjadi milikku. Lihatlah, aku pergi jauh dari Engkau, aku masuk ke dalam api; tetapi aku pergi dengan gembira, sebab aku pergi untuk mengasihi-Mu, ya Penebusku, ya Allahku, dan segala-galanya bagiku. Aku pergi dengan gembira; ya, namun kutahu bahwa ketika aku jauh darimu, tiadanya diriku daripada-Mu akan menjadi rasa sakitku yang terbesar. Aku pergi, ya Tuhan, menghitung saat sampai Engkau memanggilku. Kasihanilah jiwa yang mengasihi-Mu dengan segenap kekuatannya, dan yang rindu melihat-Mu, supaya ia bisa mengasihimu dengan lebih baik.
Maka ya Yesusku, kuharap kelak nanti berbicara dengan-Mu. Sementara itu, kuberdoa kepada-Mu supaya memberikanku rahmat untuk hidup sedemikian rupa sehingga aku bisa kelak nanti mengucapkan kepada-Mu apa yang telah kupikirkan. Berilah aku ketekunan suci, berilah aku kasih-Mu. Dan hendaknya engkau menolongku, ya Maria, ya Bunda Allah; doakanlah aku kepada Yesus.
POIN KEDUA.
“Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan kematian akan tiada lagi” (Wahyu xxi. 4). Maka Allah dalam kematian akan menghapus dari mata para hamba-Nya, air mata yang berlinang di dalam kehidupan ini, seperti yang mereka lakukan dalam kesakitan, rasa takut, mara bahaya dan pertarungan melawan Neraka. Penghiburan terbesar bagi jiwa yang telah mengasihi Allah, ketika maut diwartakan kepadanya, adalah pikiran bahwa ia akan segera terbebas dari banyaknya bahaya yang ada dalam hidup ini: bahaya menghina Allah, banyaknya gangguan hati nurani, dan banyaknya godaan dari Iblis. Hidup ini merupakan pertarungan senantiasa melawan Neraka, yang di dalamnya kita tiada hentinya mengalami bahaya kehilangan Tuhan dan Allah kita. St. Ambrosius berkata, bahwa dalam dunia ini, “kita senantiasa berjalan di tengah jerat-jerat musuh”, yang diam-diam menanti supaya bisa merampok kehidupan rahmat dari diri kita. Bahaya ini menyebabkan St. Petrus dari Alcantara berkata ketika ia sekarat, kepada seorang rohaniwan yang menyentuh dirinya ketika menolongnya: “Saudaraku, jauh-jauhlah engkau daripadaku, sebab aku ini masih hidup, dan terancam bahaya hukuman kekal”. Bahaya ini demikian pula membuat St. Teresa terhibur setiap kalinya ia mendengar jarum jam berdentang, dan bersukacita oleh karena telah berlalunya satu jam lagi dalam pertarungannya, sebab ia berkata, “Di setiap saat kehidupan, aku mungkin berdosa dan kehilangan Allah”. Karena itulah para Kudus sangat terhibur ketika maut diwartakan kepada mereka, dan mereka merenungkan bahwa pertarungan serta bahaya yang mereka alami akan segera berakhir, dan bahwa mereka akan segera dijaminkan keadaan berbahagia di mana mereka takkan lagi pernah bisa kehilangan Allah.
Ada cerita dalam riwayat para Bapa, bahwa seorang Bapak tua sedang sekarat di Skitia. Ia tertawa ketika orang lain menangis. Ketika ditanya mengapa ia tertawa, ia menjawab: “Lantas, anda, mengapa anda menangis ketika melihatku pergi beristirahat? Aku beralih dari kerja keras kepada istirahat, dan anda menangis?” Demikian pula, ketika St. Katarina dari Siena sekarat, ia berkata: “Bersukacitalah untukku, sebab aku meninggalkan negeri duka, dan pergi ke tempat yang damai”. “Seandainya seseorang”, ujar St. Siprianus, “menghuni sebuah rumah yang dindingnya berjatuhan, dan yang lantai serta atapnya gemetar sehingga mengalami bahaya kehancuran, akan seperti apa besar keinginan orang itu untuk keluar rumahnya?” Dalam hidup ini segala sesuatu menjadi bahaya kehancuran bagi jiwa: dunia, Neraka, hasrat, indra yang memberontak, semua itu menarik kita kepada dosa dan kematian kekal. “Siapakah yang akan membebaskanku”, ujar St. Paulus, “dari tubuh maut ini?” (Roma vii. 24). Oh, betapa besarnya sukacita yang akan dialami jiwa ketika ia mendengar perkataan ini: “Datanglah dari gunung Libanon, wahai mempelaiku; datanglah dari liang-liang singa” (Kidung Agung iv. 8). Datanglah, ya mempelaiku, tinggalkanlah negeri air mata dan liang-liang singa, yang ingin memangsamu, dan membuatmu kehilangan rahmat Ilahi. Maka ketika St. Paulus merindukan ajal, ia berkata bahwa Yesus Kristus adalah hidupnya satu-satunya: dan karena itu ia memandang maut sebagai keuntungannya yang terbesar, sebab dengan maut, ia mendapatkan hidup yang takkan pernah berakhir: “Karena bagiku hidup adalah Kristus, dan kematian adalah keuntungan” (Filipi i. 21).
Allah mengaruniakan pertolongan yang besar kepada jiwa yang berada dalam keadaan rahmat ketika Ia mengambilnya dari dunia ini, tempat dirinya mungkin berubah dan kehilangan persahabatan dengan Dia. “Ia diambil, agar jangan sampai kefasikan mengubah pemahamannya” (Kebijaksanaan Salomo iv. 7). Berbahagialah ia yang dalam kehidupan ini hidup bersatu dengan Allah; namun seperti pelaut yang tak dapat dipandang aman sampai ia masuk pelabuhan dan lolos dari badai, demikian pula jiwa tidak dapat disebut berbahagia sepenuhnya sampai ia telah meninggalkan hidup ini dalam rahmat Allah. “Pujilah nasib baik pelaut”, ujar St. Ambrosius, “namun jangan memuji sampai ia sudah masuk pelabuhan”. Tetapi kalau seorang pelaut bersukacita ketika setelah begitu banyaknya bahaya, ia sudah hampir masuk pelabuhan, apalagi sukacita orang yang hampir terjamin keselamatan kekalnya!
Di samping itu, dalam hidup ini mustahil adanya untuk hidup tanpa dosa, setidak-tidaknya dosa ringan: “Orang benar akan jatuh tujuh kali” (Amsal xxiv. 16). Barang siapa meninggalkan hidup ini berhenti menghina Allah. “Apakah maut itu”, ujar St. Ambrosius, “kalau bukan kuburan dosa?”[5] Inilah pula yang menjadi sebab mereka yang cinta Allah begitu menginginkan ajal. Inilah yang memenuhi diri Romo Vincentius Caraffa yang terhormat itu dengan penghiburan pada jam kematiannya; sehingga ia berkata, “Dengan berhenti hidup, saya berhenti menghina Allah”. St. Ambrosius juga berkata: “Mengapa kita menginginkan hidup ini, hidup yang semakin lama kita jalani, semakin kita penuh dengan dosa?” Barang siapa mati dalam rahmat Allah ditempatkan pada keadaan di mana ia tak mampu ataupun tahu menghina Allah lagi. “Orang mati tidak bisa berdosa”, ujar orang kudus yang sama itu. Maka dari itu, Tuhan memuji orang mati lebih dari orang hidup, meski orang kudus sekalipun: “Aku memuji orang-orang mati lebih daripada orang-orang hidup” (Pengkhotbah iv. 2). Ada seorang bajik yang memerintahkan supaya siapa saja yang harus mewartakan kematiannya, berkata kepada dia, “Terhiburlah, sebab tiba waktunya engkau takkan lagi menghina Allah”.
DAMBAAN DAN DOA.
“Ke dalam tangan-Mu kuserahkan rohku; Engkau telah menebusku, ya Tuhan, Allah kebenaran.” Ah, Penebusku yang manis, akan seperti apa nasibku, seandainya aku telah mati ketika tinggal jauh dari Engkau. Aku seharusnya sekarang berada di Neraka, tempatku tak dapat mencintai-Mu lagi. Kubersyukur kepada-Mu karena Engkau belum meninggalkanku, dan karena Engkau telah mengaruniakanku begitu banyak rahmat demi memenangkan hatiku kepada-Mu. Aku bertobat atas penghinaanku kepada-Mu. Kucinta Kau di atas segala sesuatu. Ah, kumohon dari-Mu supaya Engkau membuatku semakin peka akan kejahatan yang telah kuperbuat dalam membenci-Mu, dan akan cinta kasih yang patut didapatkan oleh kebaikan-Mu yang tak terhingga itu. Kucinta Kau, dan kuingin mati cepat-cepat, kalau itu kehendak-Mu, supaya aku bisa terbebas dari bahaya kehilangan rahmat-Mu lagi, dan supaya terjamin cinta kasihku kepada-Mu untuk selama-lamanya. Ah, Yesusku yang terkasih, selama tahun-tahun yang tersisa dari hidupku, berilah aku kekuatan untuk berbuat sesuatu untuk Engkau, sebelum ajal menjemputku. Berilah aku kekuatan melawan godaan-godaan dan hasrat-hasratku, terutama melawan hasrat yang di masa lalu telah menjadi sebab terbesar diriku mengecewakan-Mu. Berilah aku kesabaran dalam penyakit, dan dalam penghinaan-penghinaan yang mungkin kudapat dari manusia. Sekarang, kuampuni, demi cinta akan Engkau, semua orang yang telah memperlihatkan kebencian kepada diriku, dan kumohon dari-Mu supaya mengaruniakan mereka rahmat yang mereka inginkan. Berilah aku kekuatan untuk menjadi lebih rajin untuk menghindari dosa-dosa ringan sekalipun, yang kutahu diriku ini lalai dalam menghindarinya. Ya Juru Selamatku, bantulah aku; aku berharap dalam segala jasa-Mu; dan kuserahkan segala-galanya kepada perantaraanmu, ya Maria, ya Bundaku, dan harapanku.
POIN KETIGA
“Kematian bukan hanya mengakhiri kerja keras, namun juga merupakan pintu gerbang kehidupan”, ujar St. Bernardus. Barang siapa ingin melihat Allah niscaya harus melalui pintu gerbang ini: “Inilah pintu gerbang Tuhan; orang benar akan masuk melaluinya” (Mazmur cxvii. 20). St. Hieronimus memanggil ajal, dan berkata, “Terbukalah engkau kepadaku, ya saudariku”. Ya maut, saudariku, kalau engkau tak membuka pintu gerbang, tak bisa diriku ini pergi menikmati Tuhan. Ketika St. Carolus Borromeus melihat sebuah lukisan di rumahnya, yang menggambarkan tengkorak dengan arit di tangannya, meminta seorang pelukis datang, dan memerintahkannya supaya menghapus arit itu, dan melukis sebuah kunci emas, agar dengan demikian, dirinya bisa semakin terbakar dengan keinginan untuk mati, sebab mautlah yang memperkenankan kita masuk Surga untuk melihat Allah.
Seandainya seorang raja, ujar St. Yohanes Krisostomus, telah mempersiapkan tempat penginapan untuk seseorang di istananya, namun untuk waktu ini mewajibkannya menghuni sebuah gubuk, betapa orang itu akan begitu ingin meninggalkan gubuknya itu dan pergi ke istana! Dalam hidup ini, jiwa tinggal dalam badan bagaikan dalam sebuah penjara, yang harus ditinggalkannya untuk masuk kerajaan Surga; karena itulah Daud berdoa: “Ambillah jiwaku keluar dari penjara” (Mazmur cxli. 10). Dan Simeon yang kudus, ketika melihat Bayi Yesus pada lengannya, tidak meminta pertolongan apa-apa selain kematian, supaya ia bisa terbebas dari penjara kehidupan ini: “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera” (St. Lukas ii. 29). St. Ambrosius mencatat: “Ia memohon supaya dibiarkan pergi, seolah-olah ia ditahan oleh kebutuhan tertentu.” Sang Rasul menginginkan pertolongan yang sama ketika ia berkata, “Aku ingin menjadi larut, dan berada dengan Kristus” (Filipi i. 23).
Betapa besarnya sukacita juru minuman Firaun ketika ia mendengar dari Yusuf bahwa ia akan segera meninggalkan penjaranya, dan kembali ke tempat bertugasnya! Dan takkan bersukacitakah jiwa yang mengasihi Allah, ketika mendengar bahwa ia akan segera dibebaskan dari bumi ini, dan pergi menikmati Allah? “Selama kami mendiami tubuh ini, kami masih jauh dari Tuhan” (2 Korintus v. 6). Selama kita bersatu dengan tubuh, kita jauh dari penglihatan Allah, kita berada di negeri asing, dan terbuang dari negeri kita sendiri: “dan karena itu”, ujar St. Bruno, “kematian diri kita seharusnya tidak disebut kematian, namun awal kehidupan”. Maka kematian orang kudus disebut sebagai kelahiran mereka; ya, sebab dalam kematian mereka, mereka terlahir ke dalam kehidupan terberkati yang takkan pernah berakhir. St. Atanasius berkata, “Orang benar tidak mati, namun dialihkan”. Kematian orang benar hanyalah suatu peralihan kepada kehidupan kekal. “Ya kematian yang tercinta”, ujar St. Agustinus, “siapakah dia yang tak menginginkan engkau, sebab dirimulah akhir segala masalah, akhir kerja keras, permulaan istirahat kekal?” Sebab itulah orang kudus itu berdoa dengan tulus: “Perbolehkan aku mati, ya Tuhan, supaya aku dapat melihat-Mu!”
Hendaknya pendosa sungguh takut akan kematian, ujar St. Siprianus, yang dari kematian duniawi akan beralih kepada kematian abadi: “Hendaknya ia takut mati, kalau ia akan beralih dari kematian ini kepada kematian yang kedua;” namun bukan dia, yang berada dalam rahmat Allah dan karena itu akan beralih dari ajal kepada kehidupan. Dalam riwayat hidup St. Yohanes Eleimon, ada cerita bahwa seorang pria kaya menyerahkan putra tunggalnya kepada doa-dosa orang Kudus itu, dan memberinya sedekah yang besar, supaya ia bisa mendapatkan bagi anaknya itu hidup panjang dalam Allah; namun anaknya itu mati segera. Ketika ayahnya sedang meratapi kematian anaknya, Allah mengutus malaikat kepadanya, yang berkata: “Engkau telah mencari kehidupan panjang bagi putramu; ketahuilah bahwa ia sudah menikmatinya untuk selama-lamanya di dalam Surga”. Inilah rahmat yang didapatkan Yesus Kristus demi kita, seperti yang dijanjikan oleh Hosea: “Hai maut, aku akan menjadi kematianmu” (Hosea xiii. 14). Ketika Yesus wafat demi kita, ia menjadikan ajal sebagai kehidupan bagi kita. Ketika Pionius martir sedang dibawa ke tempat hukuman mati, ia ditanya oleh mereka yang menggiringnya, bagaimanakah dia bisa pergi dengan begitu senangnya untuk bertemu ajal. Orang kudus itu menjawab, “Kalian menipu diri kalian sendiri; saya tidak pergi bertemu ajal, melainkan kehidupan”.[6] Demikian pula St. Simforianus diberi semangat oleh ibunya, menjelang waktu kemartirannya: “Hai putraku, kehidupan tidak direnggut dari padamu, namun berubah menjadi yang lebih baik”.
DAMBAAN DAN DOA.
Ya Allah jiwaku, sampai saat ini kutelah menjadi aib bagi-Mu dengan memunggungi-Mu; namun Putra-Mu telah menghormati Engkau dengan mengorbankan nyawa-Nya bagi-Mu di Salib. Maka dengan penghormatan itu, yang dipersembahkan Putra-Mu yang terkasih, ampunilah aku yang telah menjadi aib bagi-Mu. Aku bertobat, ya Kebaikanku yang Terluhur, karena telah menghina-Mu, dan kuberjanji sejak hari ini sampai ke depannya untuk mengasihi-Mu saja. Dari Engkaulah aku mengharapkan keselamatanku. Kebaikan apa pun yang di saat ini kupunya, kupunya berkat kerahiman dan rahmat-Mu; kuakui semuanya itu berasal dari Engkau: “Berkat rahmat Allah, aku ini diriku”. Jika di masa lalu aku telah menjadi aib bagi-Mu, kuharap dapat menghormati-Mu di alam baka, dengan memberkati kerahiman-Mu. Dalam diriku ini kurasakan keinginan besar untuk mengasihi-Mu: inilah karunia-Mu; kubersyukur kepada-Mu atas karunia itu, ya Kasihku. Teruslah, oh teruslah menolongku seperti yang telah Kaumula; dan kuberharap sejak hari ini sampai ke depannya untuk menjadi milik-Mu, dan milik-Mu sepenuhnya. Kutolak segala kenikmatan dunia ini. Dan kenikmatan apakah yang lebih besar, yang dapat kupunya selain menyenangkan-Mu, ya Tuhanku yang Mahaterkasih, yang telah begitu mengasihiku? Yang kupinta hanyalah cinta kasih-Mu, ya Allahku – kasih, kasih – dan kuberharap senantiasa meminta cinta kasih-Mu, cinta kasih-Mu; sampai meninggal dalam kasih-Mu, daku sampai pada kerajaan kasih, tempat kupenuh dengan kasih tanpa pernah memintanya lagi, dan tanpa berhenti untuk sesaat pun untuk mengasihi-Mu sepanjang segala abad dengan segenap tenagaku. Ya Maria, ya Bundaku, engkau yang begitu mengasihi Allahmu, dan yang begitu ingin melihat diri-Nya dikasihi, karuniakanlah supaya aku boleh mengasihi-Nya banyak-banyak dalam kehidupan ini, supaya aku boleh mengasihi-Nya banyak-banyak di kehidupan yang akan datang untuk selama-lamanya.
Catatan kaki:
Disadur dari sumber berbahasa Inggris, yang orisinalnya diterjemahkan dari bahasa Italia.
St. Alfonsus Maria de Liguori, The Eternal Truths. Preparation for Death [Kebenaran-Kebenaran Abadi. Persiapan Kematian], London, Burns and Lambert, 1857, hal. 50-59.
Tanda * tertera pada kutipan yang tidak bisa ditemukan penulisnya atau yang tidak bisa ditemukan perikop rujukannya oleh Penyunting.
[1] St. Bernardus, Serm. xvii. de verb. Dom. (Serm. 84, n. 2).
[2] *Seneca, Ep. 101.
[3] St. Agustinus, Serm. xvii. de verb. Dom. (Serm. 84, n. 2).
[4] *St. Ambrosius, Serm. 43.
[5] Id. De bon. mort. c. iv. 15.
[6] *Apud Eusebius lib. iv. c. 14.
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 2 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 3 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 3 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 4 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 4 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 6 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 7 bulanBaca lebih lanjut...