^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Tentang Kematian - Khotbah St. Leonardus (Bag. I)
Tentang Kematian
St. Leonardus dari Porto Mauritio
KHOTBAH UNTUK RABU ABU
Bagian I
Manusia, ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu.
(Perkataan Gereja yang kudus.)
Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi.
(Perkataan Injil)
I. Gereja, demi menyembuhkan penyakit yang diderita umat manusia, menghadirkan debu sebagai penawar utamanya, dan kematian sebagai obat perdananya. Hal ini saya pahami; namun manusia yang bersikeras berbuat jahat dan menolak obat yang ampuh ini, membenci debu di hadapan kematian, dan melipatgandakan kekacaubalauan dari hidupnya yang jahat, hal itu tidak dapat saya pahami. Orang yang baru saja lahir sudah dipermainkan oleh ribuan kesalahan: apa yang dipandangnya sebagai harta hanyalah debu yang hina, dan harta yang paling berharga dianggapnya sebagai debu semata. Ia memandang kejahatan dan kemalangan sebagai suatu kebaikan yang besar, dan kebaikan yang sejati dianggapnya sebagai suatu kemalangan yang besar. Kejahatan disebutnya kebaikan, dan kebaikan disebutnya kejahatan. Injil dan Gereja bersatu dalam suara bulat untuk mengentaskan khayalan itu. Injil mengenyahkan barang-barang yang dipandang manusia sebagai hartanya: Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi. Gereja menaburkan abu di atas kepalanya, abu yang membuatnya ngeri: Manusia, ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu. Namun jika kita mempertimbangkan baik-baik harta yang dibicarakan Injil dan abu milik Gereja, keduanya itu adalah istilah yang berbeda, yang mengungkapkan hal yang sama: sebab harta yang dilarang Injil bagi kita hanya terkubur di bawah abu itu, sedangkan abu yang dibubuhkan Gereja pada dahi kita adalah harta yang sejati. Perbedaannya hanyalah bahwa harta duniawi yang dikutuk oleh Injil adalah abu yang melambung ke udara, dan harta sejati yang dilimpahkan Gereja kepada kita adalah abu yang jatuh dan kembali turun ke tanah.
Saya sekarang paham seperti apa obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit yang diderita manusia: kemunafikannya yang terkutuk itu harus diberantas, kemunafikan yang menyamarkan kejahatan sebagai kebaikan, dan kebaikan sebagai kejahatan; yang menyamarkan apa yang adalah debu sebagai harta yang berharga, dan apa yang adalah harta yang berharga sebagai debu. Jika demikian adanya, bangunlah, wahai anda orang-orang duniawi yang buta, dan dengarkanlah kebenaran yang luhur, yang diajarkan Gereja kepada anda: Manusia, ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu. Agar anda benar-benar tahu cara membedakan harta dari debu, dan debu dari harta, serta mengambil faedah dari ingatan akan kematian, supaya anda bisa membenahi kekacaubalauan hidup anda, pada hari ini saya mengusulkan kepada anda dua kebenaran yang luhur, yang akan menjadi landasan bagi kebenaran lainnya yang akan saya dedahkan kepada anda pada Masa Prapaskah ini: yaitu, singkatnya hidup yang senantiasa mati, dan yang pastinya menjemput kita, sebab kita adalah manusia fana: Ingatlah bahwa engkau adalah debu: itulah poin pertamanya. Kefanaan manusia fana yang tiada usainya, dan yang kepadanya kita semua terpapar, sebab kita semua pendosa: Ingatlah bahwa engkau adalah debu dan engkau akan kembali menjadi debu: dan itulah poin yang kedua.
Lihatlah dua genggam debu yang sungguh pantas untuk menyembuhkan segala penyakit manusia. Yang pertama, adalah debu orang hidup, pulvis es: dengan memperlihatkan kepada kita singkatnya hidup yang menghilang seketika, kita akan dibuat membenci masa kini, dan sadar bahwa hartanya hanyalah abu semata. Yang kedua, adalah debu orang mati, et in pulverem reverteris, yang memperlihatkan kepada kita bahaya kematian yang tiada usainya, kita akan menjadi yakin akan masa depan kita, dan membuat kita memiliki kebahagiaan abadi, di mana ada harta yang sejati. Anda akan menangkap semuanya ini dengan cara demikian, sehingga ingatan akan kematian menjadi harta yang berharga, dan sehingga segala hal yang lain hanyalah serpihan debu dan abu. Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi.
Sebelum memulainya, aku berujar kepadamu, ya Santa Perawan Bunda Allah. Bagaimanakah aku akan dapat menuntaskan pengajaran yang sedang kutempuh pada saat ini, jikalau engkau tak kupunya sebagai pembimbingku? Ya Ratu yang tiada tara, jika dari ketinggian Surga di mana engkau bersemayam engkau melihat bahwa apa yang kucari dari tempat yang rendah ini hanyalah untuk memenangkan jiwa-jiwa, yang begitu engkau sayangi dan yang juga begitu disayanginya oleh Putramu yang Ilahi, kumohon kepadamu agar engkau mengangkat suara dan hidupku, dan karuniakanlah kepada orang-orang yang terberkati ini seorang pelayan yang setia, yang berbicara kepada hati Yerusalem. Manakala engkau berkenan agar kuberbicara, aku tidak ingin memulai tanpa memperoleh berkatmu. Maka berkatilah, ya Santa Perawan Maria, lidahku yang begitu malangnya ini, dan berkatilah hati semua orang yang akan mendengarkanku; supaya lidahku berbicara kepada hati mereka, dan menghasilkan dalam diri mereka buah-buah kehidupan. Berkatilah aku, ya Bunda yang baik, berkatilah aku! Sekarang, dengan berkat Maria, Bundaku dan Ratuku, saya akan memulai tanpa rasa takut.
II. Manusia baru saja lahir, ia pun mulai mati; dan orang secara salah mengeluhkan kematian yang terjadi pada satu saat sebagai perkara yang sedemikian pentingnya. Sayang sekali! Kita mati seumur hidup kita, dan dengan mati, kita berhenti mati dan juga berhenti hidup. Sungguh aneh! Kita mengkhawatirkan kehidupan yang panjang, suatu hal yang tidak dapat kita apa-apakan; dan kita sama sekali tidak memedulikan perkara hidup dengan baik, suatu hal yang dapat dan harus kita lakukan. Kita semua memandang kematian badan yang berlangsung secara cepat sebagai suatu kemalangan yang besar; dan kematian jiwa, yang tak pernah usai, sama sekali tidak membuat diri kita takut. Sungguh gila! Kehidupan badan, yang adalah hidup yang dijemput maut, dan yang akhirnya menjadi serpihan debu, kita anggap sebagai harta yang tak ternilai; dan kehidupan jiwa, yang merupakan harta yang terbesar yang dapat kita miliki dalam hidup ini, kita anggap rendah seperti debu yang hina.
Maka Gereja, Bunda kita yang baik, demi membuat kita sadar diri, dengan benar menujukan kepada kita perkataan ini pada hari ini: Manusia, ingatlah bahwa engkau adalah debu. Debu? Bagaimanakah Gereja bisa menyebut aku demikian, ketika dia mengakui bahwa aku adalah manusia? Manusia, ingatlah. Bagaimanakah aku ini debu? Dan kalau aku ini debu, bagaimanakah aku ini manusia? Mata yang begitu cemerlangnya, yang kugunakan untuk memandang dan melihat benda-benda, tentunya bukan debu. Lidah yang kugunakan untuk berbicara pun bukan debu. Wajah yang begitu cerianya ini bukan debu. Debu tidak berbicara, tidak merasa, dan tidak hidup. Aku berbicara, aku merasa dan aku hidup; maka aku bukan debu. Salah!, ujar Gereja kepada kita; engkau adalah debu, engkau adalah debu. Tanah, meskipun dilapisi pernis yang cantik, tetap tanah.
Kalau anda mengambil seorang anak penjaga kandang kuda untuk mengajarnya atau menyelempangkan sebilah pedang kepadanya, dan ketika melihat barang yang cantik di badannya, ia mulai berbuat kurang ajar, anda akan berkata kepadanya: Anak celaka, kamu ini masih bau kandang kuda: tidak tahukah kamu bahwa saya ini yang berkuasa dan saya bisa memecatmu? Dan seandainya orang berkata kepada anda bahwa dia bukan lagi anak penjaga kandang kuda, bukankah anda bisa menjawab: kalau dia sekarang bukan lagi, ia dahulu toh memang penjaga kandang kuda, dan ia akan menjadi seperti itu kalau saya kehendaki; demikianlah. Begitulah cara Allah dahulu berbicara kepada Adam, Adam yang melihat dirinya sendiri dihiasi dengan pengetahuan dan rahmat, mulai besar kepalanya dan percaya dirinya lebih dari kenyataannya. Iblis telah berkata kepadanya: Kalian akan menjadi seperti allah. Allah berkata kepadanya: Engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu: hai bani lumpur yang hina! Engkau adalah debu dan engkau akan kembali menjadi debu: engkau menjalani hidup yang dijemput maut, yang senantiasa mati, dan yang tiada berbeda dari timbunan debu yang hina.
III. Namun demi meruntuhkan kecongkakan diri kita, dan demi memperkuat semua wacana ini, penting adanya bagi kita semua untuk memahami bahwa Allah dan Gereja tidak menipu diri kita, ketika mereka memberi tahu kita bahwa kita bukan hanya adalah debu: in pulverem reverteris (engkau akan kembali menjadi debu); namun bahwa kita sekarang adalah debu: pulvis es. Alasannya jelas; seperti apa pun keadaan seorang manusia, bahwasanya ia niscaya telah menjadi debu dan akan kembali menjadi debu. Konsekuensinya seharusnya tampak benar bagi anda. Allah menampakkan diri-Nya sendiri kepada Musa di padang belantara Midian, dan berkata kepadanya: Kabarkanlah kepada umatmu berita tentang penebusan yang akan segera mereka alami, dan jikalau mereka menolak untuk memercayai engkau, katakanlah kepada mereka: Ia yang ada telah mengutusku kepada kamu sekalian. Siapakah namanya itu? Bukankah Musa itu Ia yang ada, dan juga Firaun, serta umat yang hendak dibebaskan Musa? Tidak, ujar Santo Hieronimus: Allah sendirilah Ia yang ada, dan yang bahwasanya merupakan yang ada; dan doktor suci itu menemukan landasan perkataan itu dari Kitab Wahyu: Ia yang ada, dan yang sudah ada dan yang akan datang. Ia yang ada adalah Ia yang sudah ada dan yang akan datang; dan Ia adalah Allah; sebab Ia sudah merupakan Allah dan akan terus adalah Allah; dan karena itulah ada sebutan bagi Allah bahwa Ia adalah yang ada.
Namun ia yang bukan bersama-sama sudah ada dan akan datang bukanlah ia yang ada; ia hanyalah yang sudah ada dan yang akan datang; dan seperti itulah diri kita. Lihatlah masa lalu; siapakah kita dulu itu? Kita masih segenggam debu. Maka jika kita dahulu adalah debu, dan kita harus kembali menjadi debu, kita pada saat ini tetap merupakan debu. Apakah itu yang sudah ada itu? ujar Salomo; yang akan datang. Apakah yang pernah dibuat itu? Yang akan dibuat lagi. Maka kita melihat masa depan di masa lalu dan masa lalu di masa depan. Dan di masa kini, apakah yang kita lihat? Salomo tidak mengatakannya; namun saya akan mengatakannya. Masa kini terlihat baik dalam masa lalu maupun dalam masa depan. Apakah bahwasanya masa kini itu, kalau bukan masa lalu dari masa depan, dan masa depan dari masa lalu? Maka jika kita di masa lalu adalah debu, dan jika kita harus menjadi debu di masa depan, kita adalah debu di masa kini. Tetapi alasan spekulatif dan metafisika ini tak dapat dipahami oleh semua orang; karena itu, harus diperjelas dan diterangkan sehingga dapat ditangkap oleh benak semua orang yang paling sederhana. Genggamlah sebuah jam pasir di tangan anda, dan tataplah; apakah yang anda lihat? Di bagian bawahnya, ada pasir yang sudah jatuh; di bagian atasnya, ada pasir yang belum jatuh, dan di tengah-tengahnya ada beberapa butir pasir yang jatuh dari bagian atas gelasnya ke bagian bawahnya. Demikianlah! Butiran pasir itu adalah hidup kita, yang adalah debu, sebab hidup kita adalah butiran yang sama yang dahulunya berada di atas, dan butiran itu akan segera berada di bawah. Karena hidup kita dahulu dan di masa depan akan menjadi debu, maka hidup kita juga adalah debu pada masa kini. Bahwasanya Yesaya berbicara tentang kehidupan kita yang malang seperti sebuah jam pasir yang pasirnya sudah jatuh: Debu sudah tiada, orang malang itu telah lenyap, ia yang menginjak-injak bumi telah menghilang. Maka datanglah anda semua sekarang dan pahamilah seketika kebenaran ini, bahwa hidup kita hanyalah hidup yang sekarat, dan yang tak berhenti mati, dan menghilang seketika, atau justru kehidupan yang sebagian besarnya sudah mati. Goyangkanlah butiran dalam jam pasir anda, lihatlah berapa banyak yang sudah jatuh.
Wahai pria muda, ada di manakah masa mudamu? Masa mudamu sudah berlalu, bagaikan butiran pasir yang sudah jatuh. Orang dewasa, datanglah ke sini: ada di manakah masa mudamu? Sudah berlalu, bagaikan butiran pasir yang sudah jatuh. Datanglah ke mari, hai orang tua; ada di manakah kejantananmu? Sudah berlalu, bagaikan butiran pasir yang sudah jatuh. Demikianlah masa kanak-kanak sudah mati dalam dirimu, wahai pria muda, dan kejantananmu sudah mati, wahai orang tua: maka hidup kalian bukan hanya hidup yang senantiasa mati, namun juga kehidupan yang sebagian besarnya sudah mati. Dan anda sekalian hidup seolah-olah anda tak akan mati, seolah-oleh anda takkan pernah menghadap maut? Oh betapa besar kesalahan itu! Terberkatilah Gereja yang Kudus yang membuat kita bangun, dan mengenyahkan kesalahan kita pada hari ini dengan kata-kata ini. Manusia, ingatlah bahwa engkau adalah debu. Wahai pria yang hina, engkau menjadi begitu congkak akibat beberapa pujian yang diberikan orang kepadamu, engkau adalah debu. Wahai wanita yang angkuh, yang dengan sekelumit riasan serta warna-warni yang indah di wajahmu melenggang-lenggok dan begitu berbangga diri karena dipuja-puja lelaki sampai ke tengah-tengah gereja, seolah-olah engkau seorang dewi yang agung, engkau hanyalah debu. Wahai orang yang ambisius, sekepul asap membuatmu kehilangan indra penglihatan, Allah, serta jiwamu, dan keabadianmu, engkau hanyalah debu. Wahai manusia duniawi yang menyembah badanmu yang hina, yang hanya memikirkan cara untuk memberi makan kenikmatan yang paling menjijikkan dan paling memalukan, ah! Bukalah matamu dan pelajarilah ajaran singkat yang diberikan kepadamu oleh Santo Bernardus: Siapakah engkau dahulu, siapakah engkau sekarang, dan siapakah engkau nantinya? Engkau adalah debu, dan dari debu itu banyak yang sudah jatuh; engkau adalah seonggok mayat; engkau adalah segenggam tanah yang busuk, dan karena itulah nabi Yeremia menujukan kepadamu perkataan yang misterius ini: Wahai tanah, tanah, tanah, dengarkanlah suara Tuhan.
Nabi yang suci, kepada siapakah engkau berkata? Aku berbicara kepada manusia. Lalu mengapa engkau memanggilnya tanah tiga kali? Sebab manusia bahwasanya adalah tanah tiga kali; ia berasal dari tanah, keberadaannya adalah tanah, dan tujuan akhirnya adalah tanah. Manusia adalah tanah, jika anda memandang masa lalu; tanah, jika anda merenungkan masa kini; tanah, jika anda memandang masa depan. Dan dengan begitu banyaknya tanah di depan mata anda, dan begitu banyaknya kematian di badan, anda tetap tidak akan bangun pada hari ini? Dan anda terus berbuat seperti di masa lalu untuk hidup dalam dosa? Anda terus menyimpan kebencian anda, kegetiran diri anda atau barang milik orang lain? Wahai pendosa, ada di manakah akal budimu? Apakah mungkin engkau sedemikian bodohnya sampai di sini? Dan semuanya ini tak cukupkah untuk menundukkan kepalamu?
IV. Betapa nyaringkah guruh yang menyambar dalam gereja ini dan dari atas daging ini? Anda hanya diceramahi tentang tanah, tentang abu, tentang kematian, tentang mayat. Lalu apakah dunia ini sungguh hanyalah kuburan? Lantas apakah kita tak berbeda dari orang yang mati? Mereka adalah debu, dan kita juga demikian, lalu kita semua hanyalah debu? Tidak; ada perbedaan antara diri kita dan mereka, dan perbedaan itu akan saya jelaskan kepada anda. Perhatikanlah, pada suatu hari di musim panas, ketika angin mengangkat debu di jalanan dan tampak memainkan debu itu di udara di tengah-tengah pedesaan yang luas, lihatlah bagaimana debu itu istilahnya digerakkan oleh debu, terkadang terangkat ke atas bagaikan sebuah menara, terkadang terbentang bagaikan anjungan, terkadang berkumpul bagaikan bola-bola awan, terkadang mengenai wajah orang yang lewat. Karena debu itu pergi ke sana dan ke mari, ke pintu, ke jendela, memasuki gubuk orang miskin dan istana orang kaya, membumbung sampai puncak menara yang tertinggi, jatuh ke dasar lembah yang terdalam, dan tak pernah berhenti selama angin mengangkatnya, mengubah arahnya, membuatnya berputar-putar, atau menebarkannya ke laut sesuai kehendaknya. Namun ketika angin berhenti bertiup, dan debu itu itu berhenti seketika di tempat di mana angin meninggalkannya, baik dalam rumah atau di atas atap, atau di tanah, maupun di tengah-tengah pedesaan. Apakah debu itu, dan apakah angin itu? Debu itu adalah kita: pulvis es, terra es. Angin itu adalah kehidupan kita, Ayublah yang telah mengatakannya: hidupmu hanyalah embusan; ke mana angin bertiup, ke sana debu juga terangkat; ke mana angin berhenti, di situ pula debu pun jatuh.
Orang-orang hidup yang pergi, yang datang, yang masuk dan yang keluar, adalah debu yang terangkat oleh angin. Orang mati yang terkubur dalam tanah, adalah debu yang jatuh. Anda melihat kata-kata ini tertulis pada makam mereka: Di sini terbaring; yang berarti: ‘Debu yang segenggam ini yang ada pada batu ini telah terangkat bertahun-tahun lalu, melayang selama beberapa saat di udara, dan telah meraih jabatan yang satu atau yang lain, pangkat yang satu atau yang lain; sekarang terbaring di sini.’ Maka kita semua, hidup atau mati, hanyalah debu: orang hidup adalah debu yang terangkat oleh angin, orang mati adalah debu yang ditinggalkan olehnya. Dua jenis angin berembus dan meniup debu itu: yang pertama adalah angin kehidupan: ventus est vita mea. Yang kedua adalah angin nasib, yang mengangkat beberapa orang lebih tinggi dari yang lain. Ketika kedua angin itu tiada lagi pada saat perjalanan kita yang terindah, maka ketika itu pula jatuh debunya. Aufers spiritum eorum, apabila Engkau mengambil roh mereka; itulah anginnya: Et deficient et in pulverem suum revertentur; mereka akan jatuh dan kembali ke dalam debu: itulah debunya! Oh, orang duniawi yang malang! Engkau bahwasanya hanya bahan mainan angin. Lihatlah orang yang telah sampai pada puncak keagungannya; lihatlah bagaimana orang menghormatinya, menyorakinya, menjaga kendang kudanya: berapa lamakah ia akan bertahan? Selama angin berembus. Dan setelahnya? Dan setelahnya? Ia tidak akan berbeda dari debu yang diinjak-injak oleh manusia yang paling hina. Lihatlah orang lain yang berada pada puncak kejayaannya; lihatlah cinta dirinya, bagaimana ia mencintai segala kenikmatannya, bagaimana ia berlari di sepanjang padang yang dihiasi bebungaan, mencari kenikmatan di mana-mana, dan mabuk kepayang oleh karena kenikmatan-kenikmatan yang ternajis: akan seberapa lamakah ia akan bertahan? Selama angin berembus. Dan setelahnya? Dan setelahnya? Ia jatuh dan kembali menjadi debu. Lihatlah pedagang itu yang tenggelam dalam urusan dagangnya, ia hanya berpikir tentang menimbun harta, mendapatkan uang, dan hidupnya terpaku pada perdagangan, surat-menyurat, perjalanan, tanpa ada waktu istirahat baik untuk jiwanya, maupun untuk keabadiannya: oh betapa debu itu terombang-ambingkan! Dan akan seberapa lamakah ia terus bertahan? Selama angin berembus. Dan setelahnya? Dan setelahnya? Ia akan diletakkan dalam makam di mana ada tertulis: Di sini terbaring.
Oh hidup yang fana, angin yang berlalu, debu yang terbang di udara dan membuat rencana-rencana besar yang konyol demi kenikmatan yang palsu, kekayaan yang ditimbun, pangkat yang dicari-cari, kuasa, nama baik, kemuliaan, nama yang tak lekang setelah kematian, akan seberapa lamakah engkau terus bertahan? Berapa lamakah? Akan kukatakan kepadamu: selama terus berembus angin yang tak menuruti aturan maupun ketetapan: ia bertiup ke mana ia mau; dan engkau tak tahu dari mana ia datang ataupun ke mana ia pergi. Manusia yang angkuh, datanglah ke mari supaya aku mengacaukan pikiranmu, dengan memperlihatkan kepadamu bahwa hidupmu adalah hidup yang sekarat, hidup yang senantiasa menyingsing, hidup yang hanyalah embusan angin. Rendahkanlah, rendahkanlah kepalamu, dan akuilah kenyataan bahwa engkau hanyalah debu: memento quia pulvis es, bahwa hidupmu hanyalah embusan angin: ventus est vita mea; bahwa Allah yang membalas dendam akan datang seketika mengambil rohmu, dan pada saat itu engkau akan kembali menjadi debu.
V. Begitulah! Wahai pendosa, cobalah berpikir sedikit dengan akal sehat: kalau kita hanya sekelumit debu, dan kalau hidup kita hanyalah embusan angin, apakah kita lalu cukup lancang untuk menghina hukum suci milik Allah yang dapat membunuh badan dan membinasakan jiwa? Milik Allah yang dapat seketika melambungkan ke udara, debu itu yang adalah diri kita, dan seketika menenangkan angin yang nakal yang menggerakkannya? Milik Allah yang dapat membuat badan anda menjadi abu dan mencampakkan jiwa anda yang malang untuk selama-lamanya ke dalam Neraka? Ya saudara-saudaraku yang terkasih, bagaimanakah anda bisa berani berbuat dosa, jikalau anda mempertimbangkan bahwa dengan berbuat dosa, anda menghina Allah yang dapat membunuh, yang dapat mematikan anda setiap saat, pagi hari ketika anda bangun tidur, dan sore hari ketika anda pergi tidur? Ia dapat membunuh di mana-mana; ia dapat membuat anda mati ketika anda pergi berjalan di taman itu, ketika anda bermain pada pesta sore hari itu, ketika anda sedang berdansa di pesta dansa, ketika anda sedang tertidur di ranjang itu, ketika anda sedang bercakap-cakap. Ia dapat membunuh, dan membuat anda mati dengan berbagai cara. Ia dapat membunuh dengan setetes air; demikianlah cara Ia mematikan Aleksander pada sebuah perjamuan. Ia dapat membunuh dengan sebutir kismis: demikianlah cara Ia mematikan Fabius ketika ia sedang bermain. Ia dapat membunuh dengan gigitan seekor binatang kecil; demikianlah cara Ia mematikan Baldus ketika ia sedang bersenda gurau. Ia dapat membunuh dengan jamur dalam mulut; demikianlah cara Ia membunuh Klaudius yang sedang makan. Ia dapat membunuh dengan serangan pendarahan organ, dengan setetes darah yang mengalir dalam otak, dan sejak lama terbentuk dalam badan anda.
Tahukah anda apa yang terjadi dalam badan anda? Apakah tak mungkin terjadi kepada anda seperti yang terjadi kepada kapten yang terkenal yang bernama Kaldoro, yang mengalami keberuntungan yang amat langka untuk mencapai usia enam puluh sembilan tahun di tengah peperangan? Ia sedang berjalan dengan gembira di pedesaan dan bersukacita sebab ia begitu lincah dan sehat seolah-olah usianya dua puluh lima tahun. Bualan dan hidupnya pun berhenti, sebab ia seketika jatuh mati ke tanah. Tidak mungkinkah hal yang sama terjadi kepadamu, pendosa? Tirulah raja Daud yang suci. Ketika ia merenungkan singkatnya hidup ini, kecelakaan-kecelakaan serta mara bahaya yang begitu banyaknya yang membayangi hidup, ia pun makan abu setiap harinya: Cinerem tanquam panem manducabam. Aku akan abu seperti makan roti? Ya, ia makan abu seperti makan roti; sebab sebagaimana roti merupakan makanan yang terlazim, yang layak bagi segala jenis keadaan jasmani; demikian pula abu, yaitu cendera mata kematian, merupakan makanan yang paling hakiki bagi jiwa demi menjaganya dalam rahmat Allah.
VI. Namun siapakah yang tak tahu bahwa kebanyakan manusia tersesat dalam hal yang satu ini? Mereka bukan hanya tak ingin makan abu seperti makan roti, namun membayangkannya saja membuat mereka ketakutan. Mereka memandang akhir yang begitu dekatnya itu sebagai sangat jauh. Maafkan aku, ya Hikmat; dalam pembagian waktu yang telah kaubuat bagi semua manusia, engkau telah berbuat salah: engkau telah melupakan waktu yang terbaik; engkau telah berbicara tentag waktu kelahiran dan waktu kematian, tanpa menyebutkan waktu kehidupan: Tempus nascendi, tempus moriendi. Dan waktu kehidupan, di manakah gerangan? Ayo, mari menuliskannya, sebab waktu itu harus dipertimbangkan: Tempus……. Namun apakah yang terjadi kalau waktu itu melepaskan diri dari penamu? Tidak apa-apa, ayo, mari mengatakannya: Tempus vivendi. Tetapi apakah waktu kehidupan itu, ujar Santo Agustinus, jikalau waktu kita hidup merupakan waktu yang sama di mana hidup kita pun dicabut. Berapa tahunkah usia yang anda miliki anda? Pria kudus itu bertanya: dua puluh, tiga puluh, empat puluh. Salah: jangan anda katakan berapa usia yang anda miliki; katakanlah bahwa anda telah kehilangan usia itu, sebab semua waktu yang telah anda jalani dalam hidup, sebanyak itulah waktu yang telah menghilang dari hidup anda: Quidquid temporis vivitur de spatio vivendi demitur. Lihatlah betapa salah diri anda, ketika anda menulis kepada sahabat anda: Kita akan bertemu kembali di musim semi yang akan datang, kita akan berjalan-jalan bersama di taman ini, di vila ini, akan ada komedi di sana bagi kita, pesta yang gembira, di sana kita akan bertemu orang yang ini dan yang itu; akan menjadi waktu yang berbahagia bagi kita. Celaka! Akan terjadi kepada anda peristiwa yang mendatangi orang kaya dalam Injil, yang sedang menghitung hartanya dan berkata: Ada banyak harta yang kutimbun untuk bertahun-tahun lamanya. Hartamu besar, jawab Santo Sirilus kepadanya; namun siapakah yang akan memberikan waktu bertahun-tahun kepadamu? Anda punya harta, taman, rumah di pedesaan, pesta pora; namun waktu bertahun-tahun untuk menikmati semua harta itu, ada di mana memangnya? Saya melihat bahwa Roh Kudus berbicara melalui mulut Pengkhotbah, menggenggam anda dekat-dekat dengan waktu kelahiran serta waktu kematian, dan bahwa Ia memberitahukan anda bahwa hidup tiada berbeda dari pangkal kematian. Atau malah, tanpa menyebutkan kehidupan sekali pun, Ia ingin membuat anda paham bahwa manusia yang hidup hanyalah manusia mati yang bergerak, manusia mati yang bernapas, seonggok mayat yang membau; bahwa hidup, pendek kata, tiada berbeda dari suatu perjalanan, pelarian, penerbangan, sebuah tebing menuju kematian. Ya hidup manusia, hidup yang fana, hidup yang sekarat, hidup yang menipu dan berubah-ubah! Maka ingatlah bahwa engkau adalah debu. Saya mengatakan hal ini kepada anda, orang pemabuk; kepada anda, orang yang congkak: anda hanyalah debu yang terangkat oleh angin dan melambung di udara; dan posisi anda akan jatuh: In pulverem reverteris.
VII. Memento yang telah saya tujukan sampai saat ini kepada orang-orang hidup dengan perkataan Gereja sendiri: Memento quia pulvis est, bukanlah hal yang menakutkan diri saya: segala rasa takut yang saya alami adalah untuk memento yang harus saya tujukan kepada orang-orang mati, yang dikemas dalam perkataan ini: In pulverem reverteris. Kepada mereka yang hidup, saya telah mengingatkan bahwa debu yang pertama adalah debu orang hidup: Pulvis es. Debu yang kedua adalah debu orang mati: In pulverem reverteris. Kepada mereka yang hidup, saya telah mengingatkan bahwa mereka adalah debu yang terangkat oleh angin, dan bahwa mereka akan segera menjadi debu yang jatuh ke tanah. Saya sekarang akan mengingatkan orang-orang mati, bahwa mereka adalah debu yang jatuh, dan bahwa mereka akan segara menjadi debu yang terangkat. Saya telah berkata kepada orang-orang hidup: Manusia, ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu. Saya telah berkata kepada manusia: Ingatlah bahwa engkau adalah abu, karena engkau dahulu adalah abu, dan engkau akan kembali menjadi abu. Sekarang saya berkata kepada debu: Debu, ingatlah bahwa engkau adalah manusia, sebab engkau dahulu manusia, dan engkau akan kembali menjadi manusia. Bahwasanya, kita entah percaya bahwa debu diri kita akan kembali menjadi manusia, atau kita tidak percaya. Kalau manusia pada akhirnya menjadi serpihan abu, tak ada lagi apa-apa yang perlu saya katakan; khotbah, Masa Prapaskah, segalanya itu tak berguna; dan kita hanya perlu keluar dari Gereja, sebab waktu yang kita lewatkan di sana sudah hilang. Namun kalau debu kita kelak akan bangkit dan kembali menjadi manusia, saya tak tahu lagi apa yang harus saya katakan. Ah! Saudara-saudaraku yang terkasih, apa yang membuat saya takut bukanlah debu yang akan menjadi nasib kita kelak nantinya, namun nasib yang akan dialami debu itu.
Saya tak takut akan kematian, saya takut akan ketidakmatian; saya takut akan bahaya kematian kekal yang takkan berkesudahan. Saya tak takut hari Abu, saya takut akan hari Paskah, yang mengingatkan saya akan kebangkitan saya kepada kehidupan atau kematian kekal: Sebab aku tahu bahwa Penebusku hidup, dan bahwa aku akan bangkit dari bumi pada hari terakhir. Ayub tak berkata: aku percaya, namun aku tahu; sebab kebenaran dan kepastian dari ketidakmatian manusia bukan hanya tergolong pasal iman, namun juga bagian dari ilmu pengetahuan; ilmu pengetahuan dan akal kodratilah yang membuat ketidakmatian manusia dikenal oleh Plato, Aristoteles dan begitu banyak filsuf pagan lainnya. Namun demikian, kalau kita berbicara secara singkat, jika saya merenungkan car akita hidup, saya menemukan bahwa kita tidak hidup seperti manusia fana, ataupun manusia yang tak fana. Kita tidak hidup seperti manusia fana; sebab kita memperlakukan hal-hal di kehidupan ini seolah-oleh hal-hal itu tak fana: kita tak hidup seperti manusia yang tak fana, sebab kita pun tak lagi memikirkan kehidupan kekal seolah-olah tidak ada kehidupan kekal sama sekali. Oh! Di sinilah saya merasa terbakar oleh semangat suci, dan saya tak bisa menahan diri untuk berseru dengan segenap tenaga: Manusia fana yang celaka, apakah yang kaupikirkan? Betapa besarkah kegilaanmu? Tahukah engkau bahwa engkau kelak akan mati? Tahukah engkau bahwa setelah kematian, engkau akan bangkit? Tahukah engkau bahwa keabadian yang tak berkesudahan menantikanmu? Maka tak takutkah engkau akan kematian kekal, kematian yang takkan berkesudahan? Jadi siapakah yang merampas akal sehat daripadamu? Kepada hal apakah kaubaktikan pikiran-pikiranmu, perhatian-perhatianmu? Apakah perkaramu? Bukankah perkara jiwa, jiwa yang kaumiliki, atau sebenarnya yang menjadi bagian dirimu sendiri; perkara jiwa yang tunggal dan tak fana; perkara jiwa yang sekalinya binasa, tak dapat dipulihkan? Dan begitu kecilkah perhatianmu terhadap jiwa yang tak fana? Ingatlah, kan kukatakan bersama Santo Krisostomus, bahwa ini perkara jiwa. Paparkanlah hartamu, kesehatanmu, kehidupanmu, kehormatanmu dan segala hal lainnya kepada bahaya, engkau akan kuampuni: namun jiwa, jiwa yang tak fana, bagaimanakah memaparkan jiwa yang tak fana kepada bahaya kematian yang takkan berkesudahan? Buka mata, wahai saudara-saudaraku yang terkasih, dan semoga contoh yang baru saya saya kutipkan bagi anda dapat menjadi penghalang bagi anda supaya menahan anda dari ujung tebing.
VIII. Seorang putri memiliki pelayan yang amat baik sifatnya, yang amat dikasihinya, yang berkali-kali telah diberinya penghormatan dengan gelar anak laki-laki. Pelayan itu telah melayani meja pada suatu pagi di mana ada banyak undangan di istana. Ketika pelayanannya tuntas, ia bukannya pergi makan bersama pelayan lainnya, ia pergi masuk kamarnya dan menghempaskan dirinya sendiri dengan pakaian lengkap pada ranjangnya. Para tuan sedang sibuk bercakap-cakap setelah santapan itu, dan para pelayan rumah tangga sedang makan sisa-sisa makanan pesta itu: pelayan malang itu meliuk-liuk di ranjangnya sebatang kara, tergerak oleh kejang perut yang amat menyakitkan. Karena kesakitan itu disebabkan oleh penyakit empedu, gerakan-gerakan yang dibuatnya semakin memperbesar kesakitannya, sedemikian rupa sehingga ia tercekik tanpa ada orang yang datang menolongnya. Beberapa jam kemudian, karena ia tidak muncul, salah seorang rekannya masuk ke dalam kamarnya; dan melihat badannya terbentang di ranjangnya, rekannya itu menggoyangkan badannya, karena ia mengira pelayan itu sedang tidur; namun tidurnya itu adalah tidur maut. Sayang sekali! Ia mati, ia mati, demikianlah jeritan yang terdengar di istana. Putri pun berlari ke kamar pelayannya, dan melihat anak laki-laki muda yang berusia lima belas tahun itu, yang tiga jam sebelumnya melayaninya di meja; Baginda Putri melihat pelayannya itu masih mengenakan jubahnya tanpa sepatah kata apa pun dan tak bernyawa. Ketika melihatnya demikian, dukacita, bela rasa, rasa takut dan kengerian akan maut membanjiri jiwanya.
Di waktu pagi keesokan harinya, setelah memerintahkan agar doa-doa dipanjatkan bahwa jiwa pelayannya itu, ia memerintahkan supaya seorang imam pengaku dosa yang paling terpercaya datang, dan mengakui dosa-dosanya kepada imam itu. Imam pengaku dosa itu menyadari cara Baginda Putri mengaku dosa, dan perasaan-perasaan yang diungkapkannya, kesan luar biasa yang terbekas pada dirinya oleh karena kematian itu. Maka imam itu berkata kepadanya: saya ingin agar setelah berkomuni pada pagi hari ini, anda meminta kepada Allah apa yang Ia hendaki dari diri anda sewaktu Ia membuat anda melihat kejadian semacam itu. Akan saya lakukan, ujar Baginda Putri kepadanya. Bahwasanya, setelah berkomuni, ia bermeditasi dan membuat doa iman dengan penuh semangat, dan berkata kepada Allah:
Baginda Putri hening sejenak; lalu ia mendengar sebuah suara batin yang berkata dengan amat jelas kepadanya:
Pikiran Baginda Putri pun dilanda oleh rasa takut, dan air matanya bercucuran. Ia lalu kembali mencari imam pengakuan dosanya, dan berkata kepadanya: Romo, aku takkan bangkit berdiri lagi sebelum kita setuju dalam dua hal ini: yang satu adalah pengakuan dosa umum untuk seluruh hidupku, yang lain adalah aturan hidup untuk ke depannya. Baginda Putri melakukan yang satu dan yang lain, dan dengan begitu cermatnya, sehingga beberapa tahun kemudian, ketika diberi tahu bahwa ia akan mati, ia menjawab dengan tersenyum: Terberkatilah Allah, selama bertahun-tahun aku menantikan setiap harinya kabar ini.
IX. Bangunlah, saudara-saudaraku, dan ikutilah teladan putri yang bijak itu, yang dengan sebegitu baiknya membenahi hidupnya sehingga ia sangat gembira ketika dijemput ajal; dan coba saya katakan kembali kepada anda: Debu, ingatlah bahwa engkau adalah manusia, dan engkau akan kembali menjadi manusia. Debu, engkau dahulu manusia, ingatlah bahwa engkau adalah manusia, dan setelah engkau jatuh ke tanah, engkau tak selamanya menjadi debu, namun kebangkitan badan akan sekali lagi menjadikanmu manusia. Ada bagimu kelahiran yang lain, kehidupan yang lain, dunia yang lain. Percayakah anda akan hal itu, hai orang Kristen? … Oh saya mohon kepada anda, demi lubuk kerahiman Yesus Kristus, janganlah anda membiarkan diri anda disesatkan lebih lama lagi. Bangunlah, kasihanilah, saya memohon kepada anda dengan tangan yang terlipat, kasihanilah jiwa anda yang malang: dan agar awal Masa Prapaskah ini dapat berbuah, lakukanlah apa yang dilakukan Putri itu, yang demi menaati nasihat-nasihat imam pengakuan dosanya, ia merenung, mendengarkan suara Allah, memahami bahaya kematian yang tak berkesudahan, dan melakukan pertobatan yang teladan yang mempermanis rasa getir yang dialami menjelang maut.
Dan agar hal itu dapat dipraktikkan, demikianlah permohonan yang saya haturkan kepada anda. Setiap harinya pada Masa Prapaskah, hadirilah Misa dengan penuh devosi. Pada waktu itu, merenunglah sedikit; dan anda masing-masing, sendiri-sendiri bersama Allah, hendaknya memikirkan kematian yang mendekat serta hidup anda di masa lalu. Di waktu itu, hendaknya anda meninggalkan segala devosi lainnya, segala doa lainnya, dan gunakanlah dua perempat jam itu untuk merenungkan kedua hal itu. Pada kurun waktu yang pertama, bertanyalah kepada diri anda sendiri: berapa lamakah dan bagaimanakah saya sudah hidup sampai sekarang? Oh! Betapa banyaknya penyesalan dan air mata yang akan anda temukan. Dan dalam kurun waktu seperempat jam yang kedua, masih berapa lamakah sisa hidup saya, dan bagaimanakah saya harus hidup sejak saat itu? Oh! Betapa banyaknya tekad baik yang akan dihasilkan dari meditasi itu bagi diri anda. Saya ulangi untuk anda: berapa lamakah dan bagaimanakah saya sudah hidup sampai sekarang?: demikianlah untuk seperempat jam yang pertama; masih berapa lamakah sisa hidup saya, dan bagaimanakah saya harus hidup sejak saat itu?; demikianlah untuk yang kedua. Oh! Betapa Masa Prapaskah ini akan berfaedah bagi anda, kalau setiap harinya, selama setengah jam, anda berhenti dan berpikir demikian! Dengan cara itulah anda akan paham dengan betapa cepat angin atau kilat dari hidup yang menyesatkan ini menghilang, ketika anda mendengar perkataan ini bergema pada telinga anda: Manusia, ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu. Dengan cara itulah anda akan membenci masa kini, dan bahwa dengan memahami bahaya kematian yang tak berkesudahan, anda akan menjamin masa depan anda, sebab anda tersambar oleh gemuruhnya perkataan ini: debu, ingatlah bahwa engkau adalah manusia dan engkau akan kembali menjadi manusia. Marilah kita beristirahat sejenak.
X. Marilah kita mengumpulkan harta di Surga. Harta yang dikutuk oleh Injil hanyalah abu; kalau anda ingin mendapatkan harta yang sejati, taruhlah harta yang dikutuk Injil itu dalam tangan orang miskin: demikianlah perkataan Santo Laurensius kepada Valerianus. Umat yang terkasih, saya telah datang kepada anda sekalian kendati angin, salju, es serta ribuan kesulitan lainnya. Siapakah yang membawa saya ke sini? Tahukah anda? Yang membawa saya ke sini adalah keinginan yang membara untuk menyelamatkan jiwa anda; dan saya mengeluh bahwa saya mencari bukan apa yang anda miliki, melainkan diri anda sendiri, bukan kepentingan diri saya, melainkan kepentingan Yesus Kristus. Upaya besar yang saya kerahkan ini adalah demi perkara besar yang anda miliki. Tanggung jawab diri saya adalah menunjukkan jalan keselamatan bagi anda; dan perkara anda, adalah berjalan pada jalan itu. Dan betapa pentingnya perkara itu, perkara keselamatan! Ini adalah perkara menyelamatkan jiwa, jiwa yang tunggal, jiwa yang tak fana, jiwa yang sekalinya binasa takkan bisa dipulihkan. Namun untuk menyelamatkan jiwa ini, cara apakah yang paling diperlukan dan yang paling lazim? Khotbah injili: dan hal itu cukup untuk membuat anda paham akan kewajiban yang ada bagi anda untuk datang mendengar semua khotbah pada Masa Prapaskah ini. Saya berkata: semua, karena sebagaimana yang dicatat oleh para penulis yang terkemuka, keselamatan jiwa terkadang bergantung kepada suat cahaya, suatu jamahan batin, suatu inspirasi yang kita terima. Namun, anda tak dapat mengetahui khotbah Masa Prapaskah yang mana, yang disertai inspirasi mujarab yang akan membawakan bagi hati anda hantaman penentu; entah apakah khotbah pada hari raya, ataukah pada hari-hari lainnya.
Maka mereka yang punya semangat yang sejati untuk keselamatan diri mereka harus memahami bahwa mereka tak boleh mengabaikan satu khotbah pun, tanpa mengalami bahaya kebinasaan. Namun tidaklah cukup untuk pergi mendengar khotbah, khotbah itu harus didengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi, catatlah baik-baik bahwa ketika khotbah disampaikan, ada dua yang sedang berbicara, Allah dan manusia; Allah sebagai kepala dan ketua, manusia sebagai perantara-Nya dan pelayan-Nya; sedemikian rupa sehingga seluruh pengkhotbahan itu terdiri dari yang manusia dan yang Ilahi. Dua hal bekerja sama di dalamnya: suara Allah dan suara manusia. Suara Allah sama adanya dengan suara semua pengkhotbah: dan untuk mendengarkannya, anda harus datang mendengar khotbah, sebab suara itulah yang melunakkan hati, membawa diri kepada kebaikan, dan dengan penuh daya berjaya atas jiwa kita, seturut perkataan sang Pemazmur: Ia akan memberikan kepada suaranya suara yang kuasa. Suara manusia berbeda-beda seturut orang yang berkhotbah, lebih anggun, lebih indah pada pengkhotbah yang satu, kasar dan tak berhias pada pengkhotbah yang lain. Seperti apa pun suara mereka, suara itu tetap, ujar Santo Paulus, merupakan sebuah gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Dan itulah sebabnya kebanyakan orang tak mendapatkan faedah dari pengkhotbahan itu: karena kebanyakan datang ke sana untuk mendengar suara manusia, dan bukan suara Allah; untuk memperhatikan gaya, logika, gambaran, dll. Hendaknya mereka yang datang kepada pengkhotbahan saya tak menantikan dari diri saya kembang yang indah: sebuah batang yang kasar dan keras seperti diri saya ini tak mampu menghasilkan tanaman hijau yang indah. Maka datanglah ke sini untuk mendengarkan suara batin dari Allah, yang pada semua khotbah mengetuk pintu hati anda; dan saya harap dengan demikian anda akan menimba guna yang besar.
Kami akan datang, Romo, tetapi dengan satu syarat. Satu syarat apa? Khotbah anda jangan terlalu panjang, dan hendaknya anda tidak menggunakan cercaan dan jangan melebih-lebihkan … ! Ah, saya paham: saya tak ingin menahan anda untuk lebih dari satu jam pada setiap khotbah: namun demikian, kalau roh Allah terkadang menggerakkan lidah manusia, apakah anda ingin memutuskan benang-Nya? Tidak akan menjadi kebaikan untuk diri saya maupun untuk diri anda, sebab seturut ajaran pengalaman, hal-hal yang diilhamkan oleh Allah dalam semangat wacana adalah hal-hal yang biasanya memperolehkan kemenangan. Saya ingin berkata bahwa kalau kadang kala saya melampaui waktu yang telah ditetapkan bagi saya, jangan anda menganggapnya sebagai kepanjangan, namun sebagai kesudian bagi jiwa dari Tuhan yang menghendakinya. Adapun cercaan, Yesaya berkata kepada saya: Berserulah, jangan berhenti, angkatlah suara bagaikan sangkakala. Ia ingin supaya lidah pengkhotbah menjadi sangkakala dan bukan lira. Santo Paulus di satu sisi berkata kepada saya: Tegurlah, nasihatilah, tuduhlah. Maka ia tak ingin saya menjadi seorang penyanjung, melainkan pengkhotbah, dan seorang pengkhotbah apostolik. Maka saya harus gemuruh melawan kemaksiatan, namun senantiasa menghormati orang yang bersalah. Saya akan mencela, saya akan menghardik niat jahat para pendosa, namun dengan rasa hormat yang mendalam yang patut diberikan kepada pada pendengar yang begitu berniat baik.
Apa yang sungguh dapat anda nantikan dari diri saya, adalah segala sesuatu yang akan saya sampaikan kepada anda, akan saya sampaikan dari hati dan dengan niat baik. Anda dapat berkata: Sudah datang kepada kami seorang pengkhotbah yang menyampaikan hal-hal dengan cara apostolik. Ia berbicara dengan sederhana, namun ia berbicara dari hati dan dari lubuk hati; dan anda akan berkata dengan benar. Saya hanya seorang rohaniwan yang malang, namun saya seorang pengkhotbah, dan apa yang saya janjikan kepada anda akan saya tunaikan: saya akan berbicara dari lubuk hati saya; maka datanglah, sebab saya berharap supaya Yesusku, berkat rahmat-Nya, akan membimbing apa yang akan keluar dari hati saya menuju hati anda.
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari karya yang disadur dari bahasa Italia ke dalam bahasa Prancis:
Œuvres du bienheureux Léonard de Port-Maurice [Karya-Karya Beato Leonardus dari Porto Mauritio], terjemahan M. Charles SAINTE-FOI, T. I, Paris, Louis Vivès, Librairie-Éditeur, 1858, hal. 1-22.
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 2 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 3 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 3 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 4 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 4 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 6 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 7 bulanBaca lebih lanjut...