^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Tentang Kebiasaan Berdosa - Pertimbangan XXII St. Alfonsus
PERTIMBANGAN XXII.
Tentang Kebiasaan Berdosa
“Ketika orang fasik datang ke dalam lubuk dosa, dirinya menjadi jijik.” Amsal xviii. 3.
POIN PERTAMA.
Salah satu penyakit yang menimpa kita akibat dosa Adam adalah kecenderungan jahat untuk berbuat dosa, yang menyebabkan sang Rasul menangis ketika mendapati dirinya sendiri terdesak oleh konkupisensi dan terjurus kepada dosa-dosa yang dibencinya itu: “aku melihat hukum yang lain dalam anggota tubuhku … yang menjadikan aku tawanan dalam hukum dosa” (Roma vii. 23). Itulah sebabnya sangat sulit bagi diri kita yang terjangkiti bahwasanya oleh konkupisensi ini, dan terdesak oleh begitu banyaknya musuh untuk melakukan kejahatan, untuk sampai tanpa dosa pada negeri surgawi kita. Namun meskipun menimbang kerapuhan kita itu, saya bertanya, apakah yang akan anda katakan kepada seorang musafir yang ketika harus menyeberangi lautan yang berembuskan badai besar pada biduk yang pecah, memenuhinya dengan beban yang begitu beratnya sehingga akan cukup menenggelamkan kapal itu seandainya pun tidak ada badai dan kapalnya kuat? Nasib apa yang akan anda perkirakan bagi hidup orang itu? Tetapi kita boleh berkata demikian pula tentang orang yang terbiasa berdosa, yang ketika harus menyeberangi lautan kehidupan ini – lautan berbadai, tempat binasanya begitu banyak orang – pada sebuah biduk yang pecah dan rapuh, demikianlah daging yang kepadanya kita bersatu, namun masih terus membebaninya dengan terbiasa berdosa. Orang semacam itu hampir tidak akan selamat, sebab kebiasaan buruk membutakan pemahaman, mengeraskan hati, dan karena itu membuatnya tegar sampai kesudahannya.
Pertama-tama, kebiasaan buruk membuahkan kebutaan. Dan mengapakah bahwasanya para kudus selalu mengemis terang dari Allah, dan gemetar diri mereka karena takut menjadi pendosa terburuk di dunia? Sebab mereka tahu bahwa kalau untuk sesaat mereka kehilangan terang itu, tiada dosa berat yang tak mungkin mereka lakukan. Bagaimanakah begitu banyak orang Kristen telah hidup dengan tegar dalam dosa sampai mereka pada akhirnya mencampakkan diri mereka sendiri ke dalam hukuman kekal? “Niat jahat mereka sendiri membutakan diri mereka” (Kebijaksanaan Salomo ii. 21). Dosa merampas penglihatan mereka; dan seiring bertambahnya dosa, begitu pula kebutaannya bertambah. Allah adalah terang kita; maka semakin jiwa menarik diri dari Allah, ia menjadi semakin buta: “Tulang-tulangnya akan penuh kemaksiatan masa mudanya” (Ayub xx. 11). Seperti bejana yang penuh tanah tak dapat ditembus cahaya matahari, demikian pula hati yang penuh kemaksiatan tak dapat dimasuki terang Ilahi. Maka dari itu kita memang melihat beberapa pendosa yang kembali berdosa kehilangan segala terang, dan beralih dari dosa ke dosa, bahkan tanpa kembali memikirkan pembenahan: “Orang fasik berjalan mondar-mandir berkeliling” (Mazmur xi. 9). Karena telah terperosok ke dalam lubang yang gelap itu, orang-orang celaka yang malang itu tak mampu berbuat apa-apa selain berdosa; mereka hanya berbicara tentang dosa; mereka hanya berpikir tentang dosa; dan hampir tidak mampu memahami pada akhirnya bahaya macam apa yang ada dalam dosa. Kebiasaan berbuat dosa (ujar St. Agustinus) mencegah para pendosa melihat kejahatan yang mereka lakukan. Karena itulah mereka hidup seolah-olah tidak lagi percaya akan Allah, akan Surga, akan Neraka ataupun akan alam baka.
Dan lihatlah, dosa yang pertama-tama membuat ngeri, akibat kebiasaan buruk tidak lagi mengerikan: “Buatlah mereka seperti baling-baling, seperti sekam di hadapan angin” (Mazmur lxxxii. 14). Lihatlah, ujar St. Gregorius, betapa mudahnya jerami ditiup oleh angin yang terhalus sekalipun; demikian pula anda juga akan melihat orang yang sebelum jatuh, melawan setidak-tidaknya untuk jangka waktu tertentu, dan memerangi godaan, namun ketika kebiasaan buruk menjangkitinya, ia pun seketika jatuh setiap kalinya digoda, dan pada setiap kesempatan yang menghadirkan dosa. Lantas mengapa? Karena kebiasaan buruk telah merampas terang dari padanya. St. Anselmus berkata bahwa Iblis memperlakukan beberapa pendosa tertentu seperti orang yang menahan seekor burung dengan seutas tali; ia membiarkan burung itu terbang, namun ketika ingin hatinya, ia kembali menarik burung itu ke tanah. Demikianlah adanya, ujar orang kudus itu, dengan orang-orang yang terbiasa berdosa: “Terjerat oleh kebiasaan buruk, mereka terikat oleh musuh; dan meski terbang, mereka terjerumus ke dalam kemaksiatan-kemaksiatan yang sama”.[1] Beberapa orang, imbuh St. Bernardinus dari Siena, terus berbuat dosa bahkan tanpa kesempatan berdosa.[2] Orang kudus itu membandingkan orang-orang yang terbiasa berdosa dengan kincir angin, yang berputar setiap kali udara berembus; dan juga berputar berkeliling-keliling, meskipun tidak ada bulir jagung yang perlu digiling, dan majikannya hendak kincir itu berhenti. Anda akan melihat orang yang biasa berdosa tanpa kesempatan menikmati pikiran-pikiran jahat, tanpa kenikmatan, dan hampir tanpa punya kehendak, karena terseret secara paksa oleh kebiasaan buruk. Seperti yang dicatat oleh St. Yohanes Krisostomus, “Kebiasaan adalah hal yang punya belas kasih; ia memaksa orang, terkadang tanpa sekeinginan dirinya sendiri, untuk melakukan perbuatan-perbuatan terlarang”. Ya, karena (seturut St. Agustinus), kebiasaan buruk pada akhirnya menjadi semacam kebutuhan: “Ketika tidak ada perlawanan yang dilakukan terhadap kebiasaan, kebiasaan itu menjadi kebutuhan” ... Maka sebagaimana manusia perlu bernapas, begitu pula orang-orang yang terbiasa berdosa dan telah menjadikan diri mereka sendiri budak dosa, hampir tampak perlu berdosa. Saya telah menggunakan istilah budak; ada hamba yang melayani demi bayaran, namun para budak melayani karena dipaksa dan tanpa diupah: sampai seperti itulah orang-orang celaka yang malang, yang pada akhirnya berdosa tanpa mengalami kenikmatan.
“Ketika orang fasik datang ke dalam lubuk dosa, dirinya menjadi jijik” (Amsal xviii. 3). St. Krisostomus menjelaskan hal ini tentang orang yang terbiasa berdosa: orang itu terjerumus ke dalam lubang kegelapan, kendati koreksi, khotbah, larangan-larangan, Neraka, Allah – kendati semuanya, dan menjadi seperti burung nasar, yang alih-alih meninggalkan jasad, membiarkan dirinya sendiri terbunuh olehnya. Romo Recupito bercerita bahwa seorang penjahat yang sedang berjalan ke tempat hukuman mati, menengadah, melihat seorang gadis muda, dan menyetujui pikiran jahat. Romo Gisolfo juga bercerita bahwa seorang penghujat yang juga dijatuhi hukuman mati, menuturkan sebuah penghujatan ketika tangganya diambil … Bagaimanakah orang-orang ini bahwasanya menghindari jurang kalau mereka tidak lagi melihat? Butuh mukjizat rahmat. Orang-orang yang malang ini akan membuka mata mereka dalam Neraka ketika itu tiada lagi berguna apa-apa bagi mereka, selain untuk menangisi kegilaan mereka dengan lebih getir.
DAMBAAN DAN DOA.
Ya Allahku, Engkau telah memberikan berkat-berkat luar biasa atas diriku, dan menolong aku lebih dari orang lain; dan aku telah menghina Engkau dengan begitu luar biasanya, dengan mengesalkan diri-Mu lebih daripada orang lain yang kukenal. Ya Hati Penebusku yang Berduka, dirundung nestapa dan disiksa pada kayu Salib akibat melihat dosa-dosaku, berilah aku melalui jasa-jasa-Mu pemahaman yang jelas tentang pelanggaran-pelanggaranku, dan dukacita atas pelanggaranku itu. Ah ya Yesusku, aku penuh kemaksiatan; namun Engkau Mahakuasa, Engkau bisa dengan mudah mengisi jiwaku dengan kasih-Mu yang suci. Maka Engkaulah andalanku; Engkaulah kebaikan tak terhingga dan kerahiman tak terbatas. Aku bertobat, ya Kebaikanku yang Terluhur, atas penghinaanku kepada-Mu. Oh, biarkan aku mati saja, dan tak pernah mengecewakan-Mu! Telah kulupakan diri-Mu; tetapi Engkau tidak melupakan aku; aku memahaminya dengan terang yang Kauberikan kepadaku sekarang. Maka dari itu, karena Engkau bahwasanya memberi aku terang itu, berilah aku pula kekuatan untuk bersetia kepada-Mu. Aku berjanji lebih baik mati seribu kali daripada kembali memunggungi-Mu. Tetapi semua harapanku ada dalam pertolongan-Mu: “Pada-Mu, ya Tuhan, kutempatkan pengharapanku; jangan biarkan diriku binasa untuk selama-lamanya”. Pada-Mu, ya Yesusku, aku berharap supaya tidak lagi pernah mendapati diriku terjerat dalam dosa dan kehilangan rahmat-Mu. Kepadamu pula kuberpaling, ya Maria, ya Ratuku yang terberkati: “Padamu, ya Ratu, ‘ku t’lah berharap; jangan biarkan diriku binasa untuk selama-lamanya”. Ya pengharapanku, aku percaya bahwa dengan perantaraanmu, takkan pernah aku mendapati diriku bermusuhan dengan Putramu. Ah, mohonkanlah kepada-Nya supaya membiarkan aku mati daripada diriku ditinggalkan-Nya, sehingga mengalami kemalangan terbesar ini.
POIN KEDUA.
Kebiasaan buruk juga mengeraskan hati: “Kebiasaan berdosa mengeraskan hati”;[3] dan Allah dengan adil membiarkannya sebagai hukuman atas perlawanan terhadap panggilan-panggilan-Nya. Sang Rasul berkata, bahwa Tuhan “berbelas kasih kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya; dan Ia menegarkan hati siapa saja yang dikehendaki-Nya” (Roma ix. 18). St. Agustinus menerangkannya demikian: Allah tidak mengeraskan hati orang yang terbiasa berdosa; namun Ia mencabut rahmat-Nya atas kedurhakaan orang itu terhadap rahmat-rahmat yang lalu, dan karena itu hatinya menjadi keras seperti batu: “Hatinya akan keras seperti batu, dan keras seperti paron tukang besi” (Ayub xli. 15). Maka ketika orang lain terharu dan menangis karena mendengar khotbah-khotbah tentang kerasnya keadilan Ilahi, rasa sakit yang diderita orang terkutuk, dan sengsara Yesus Kristus, orang yang terbiasa berdosa sama sekali tidak terpengaruh; ia akan berbicara tentang hal-hal ini, dan mendengar hal-hal itu dibicarakan, namun dengan ketidakacuhan, seolah-olah hal-hal itu tidak bersangkutan dengan dirinya; dan hatinya hanya akan menjadi semakin keras: “Ia akan menjadi keras seperti paron tukang besi”. Bahkan kematian mendadak, gempa bumi, halilintar dan kilat pun tidak lagi akan menakutkannya; alih-alih membangkitkan hatinya dan membuatnya sadar, hal-hal itu akan membuahkan mati rasa terhadap maut dalam dirinya, yang di dalamnya ia akan tidur dengan putus asa: “Oleh sebab hardik-Mu, ya Allah Yakub, mereka semua telah tertidur” (Mazmur lxxv. 7). Kebiasaan buruk secara bertahap menghancurkan bahkan sesal nurani sekalipun. Bagi orang yang terbiasa berdosa, dosa-dosa terbesar tampak seperti bukan apa-apa, ujar St. Agustinus: “Betapapun mengerikannya dosa-dosa, ketika terbiasa dilakukan, tampak kecil atau bukan dosa sama sekali”. Dosa tentunya membuahkan suatu rasa malu ketika diperbuat; namun ujar St. Hieronimus, “Orang yang terbiasa berdosa kehilangan rasa malu dalam berdosa sekalipun”. St. Petrus membandingkan orang yang terbiasa berdosa dengan babi yang berkubang dalam lumpur (2 St. Petrus ii. 22). Seperti babi berguling-guling dalam kubangan tanpa menyadari bau busuknya, demikian pula adanya dengan orang yang terbiasa berdosa; bau busuk yang tercium oleh semua orang lainnya, tidak disadarinya seorang diri. Dan seandainya kubangan itu juga membuatnya kehilangan kemampuan melihat, tidak mengejutkan, ujar St. Bernardinus, kalau ia tidak berbenah diri bahkan ketika Allah menghukumnya! “Orang-orang berkubang dalam dosa, seperti babi betina dalam genangan kotoran; siapa yang terkejut kalau mereka tidak menyadari datangnya penghakiman Allah yang membalas dendam!”[4] Maka alih-alih berduka atas dosa-dosanya, ia bersuka karena dosanya itu, ia menertawakannya, ia membual tentang dosa-dosanya: “Mereka gembira ketika telah berbuat jahat”. “Orang bodoh melakukan kejahatan ibarat permainan” (Amsal ii. 14; x. 23). Tanda-tanda apakah ini kalau bukan ketegaran satanik! Semuanya itu adalah tanda-tanda pengutukan, ujar St. Thomas dari Villanova: “Hati yang keras adalah tanda pengutukan”. Saudaraku, gemetarlah, takutilah bahwa hal yang sama itu akan terjadi kepada anda. Kalau-kalau anda punya kebiasaan buruk, berjuanglah untuk segera mematahkan kebiasaan itu, sekarang, saat Allah memanggil anda. Dan selama hati nurani merundung diri anda, bersukacitalah; sebab itulah tanda Allah masih belum meninggalkan diri anda. Namun berbenah dirilah, dan tinggalkanlah kebiasaan itu cepat-cepat, sebab jika tidak, lukanya akan bernanah, dan anda akan binasa.
DAMBAAN DAN DOA.
Bagaimanakah aku bisa berterima kasih kepada-Mu, ya Tuhan, sebagaimana mestinya atas banyaknya rahmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku! Betapa seringnya Engkau memanggilku, dan aku telah melawan! Alih-alih bersyukur kepada-Mu dan mengasihi-Mu, karena telah meluputkanku dari Neraka, dan memanggil daku dengan begitu banyak kasih, aku terus menyulut amarah-Mu dengan penghinaanku sebagai balasannya. Tidak, ya Allahku, takkan lagi kuterus menghina kesabaran-Mu; aku sudah cukup banyak menghina-Mu. Engkau sendiri, Engkau yang adalah kasih tak terhinggalah yang mungkin dapat tahan dengan diriku sampai sekarang. Namun sekarang kulihat bahwa Engkau tak bisa lagi tahan dengan diriku; dan dengan alasan yang benar. Maka ampunilah, ya Tuhanku dan Penguasaku yang baik, segala penghinaanku terhadap Engkau; kubertobat dari penghinaanku itu dengan segenap hati, dan aku bertekad ke depannya tidak akan menghina-Mu lagi. Apa! Akankah aku terus menyulut amarah-Mu? Ah, ampunilah aku, ya Allah jiwaku; bukan karena jasa-jasaku, yang hanya pantas mendapat pembalasan dendam dan Neraka, namun dengan jasa-jasa Putra-Mu dan Penebusku, tempat pengharapanku. Maka demi cinta akan Yesus Kristus, terimalah aku dalam rahmat-Mu, dan berilah aku ketekunan dalam kasih-Mu. Lepaskanlah aku dari segala keterlekatan yang tak murni, dan tariklah aku sepenuhnya supaya datang kepada-Mu. Kucinta Kau, ya Allah yang Mahabesar, ya Pecinta jiwa-jiwa yang Terluhur, yang patut mendapat kasih yang tak terhingga. Oh, seandainya saja aku telah selalu mencintai-Mu! Ya Maria, ya Bundaku, karuniakanlah rahmat supaya sisa hidupku dapat kujalani bukan dengan menghina Putramu, namun hanya dengan mengasihi-Nya dan menangisi kekecewaan yang telah kusebabkan kepada-Nya.
POIN KETIGA.
Ketika orang kehilangan terang dan hatinya mengeras, akibat yang mungkin terjadi adalah si pendosa akan mengalami penghujung hidup yang buruk dan mati tegar dalam dosa: “Hati yang keras akan celaka pada akhirnya” (Sirakh iii. 27). Orang bajik terus berjalan pada jalan yang lurus: “Jejak orang benar adalah lurus” (Yesaya xxvi. 7). Orang-orang yang terbiasa berdosa, sebaliknya, selalu berjalan berkeliling: “Orang fasik berjalan mondar-mandir berkeliling” (Mazmur xi. 9). Mereka meninggalkan dosa untuk beberapa waktu, dan mereka lalu kembali berdosa. Kepada orang-orang semacam ini, St. Bernardus mewartakan kebinasaan: “Celakalah manusia yang mengikuti lingkaran ini!” Orang semacam itu akan berkata: Aku akan berbenah sebelum mati. Tetapi kesulitannya ada di sini: orang yang terbiasa berdosa akan harus berbenah meskipun mencapai usia lanjut. Roh Kudus berkata demikian: “Orang muda sesuai dengan jalannya, maka ketika menjadi tua dia tidak akan menyimpang dari padanya” (Amsal xxii. 6). Alasannya, seturut St. Thomas dari Villanova, adalah kekuatan kita sangatlah lemah: “Kekuatanmu akan seperti debu dari tali eretan” (Yesaya i. 31). Karena itulah orang kudus itu mencatat bahwa jiwa yang kehilangan rahmat tidak mampu menghindari doa-dosa baru: “Karena itu terjadilah kepada jiwa yang miskin rahmat, bahwa ia tidak mampu lolos dari dosa-dosa baru”.[5] Namun di samping itu, kegilaan macam apa yang dialami seseorang, yang secara sengaja mempermainkan segala harta miliknya dan kehilangan semuanya itu, dalam harapan dapat memenangkannya kembali pada akhirnya! Demikianlah kegilaan orang yang terus hidup dalam dosa, dan berharap memperbaiki segala sesuatu di saat tiba akhir hayat. Dapatkah orang Etiopia atau macan tutul mengubah warna kulit mereka? Dan bagaimanakah orang bisa menjalani kehidupan baik kalau ia telah lama terjangkiti kebiasaan berbuat dosa? “Dapatkah orang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengubah belangnya? “Masakan kamu dapat berbuat baik, hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat?” (Yeremia xiii. 23). Maka terjadilah bahwa orang yang terbiasa berdosa pada akhirnya berserah kepada keputusasaan, dan karena itu mengakhiri hidupnya.[6]
Ketika St. Gregorius mengomentari perikop Ayub yang berkata demikian, “Ia telah merobek-robek aku luka demi luka, ia telah menerjang aku bagaikan raksasa” (xvi. 14),[7] ia berkata, “Jika seseorang diserang musuh, ia mungkin dapat membela dirinya ketika mengalami luka yang pertama; namun semakin banyak luka yang dideritanya, semakin ia kehilangan kekuatan, sampai ia pada akhirnya ditaklukkan dan dibunuh”. Demikian pula adanya dengan dosa: setelah dosa yang pertama, dosa itu menjadi raksasa: “ia telah menerjang aku bagaikan raksasa”. Di sisi lain, si pendosa menjadi lebih lemah dan diliputi luka-luka; lantas, bagaimanakah ia bisa lolos dari maut? Dosa, menurut Yeremia, bagaikan sebuah batu yang berat dan membebani jiwa, “Mereka melontari aku dengan batu” (Ratapan iii. 53). Dan St. Bernardus berkata bahwa sulit adanya bagi orang yang terbiasa berdosa untuk bangkit, sama seperti orang yang telah ditindih oleh batu yang berat dan tak cukup kuat untuk memindahkan batu itu serta membebaskan diri darinya; “Ia sulit bangkit kalau ditindih oleh beban kebiasaan buruk”.
Tetapi orang yang terbiasa berdosa akan berseru, lalu tak adakah harapan untuk perkaraku? Tidak, bukannya tidak ada harapan, kalau anda ingin berbenah. Namun sungguh benar ketika seorang penulis mencatat, bahwa penyakit parah memerlukan obat yang ampuh: “Baik adanya memulai pengobatan untuk penyakit-penyakit parah dengan obat-obatan yang keras”.[8] Seandainya seorang dokter berkata kepada orang sakit yang terancam bahaya maut, dan orang itu menolak obat-obatan yang tepat akibat tidak mengetahui parahnya penyakitnya itu, “Sahabatku, engkau akan mati kalau tidak makan obat semacam itu”; bagaimanakah si orang sakit akan menjawab? “Lihatlah aku”, akan seperti itu jawabannya, “siap makan apa saja; hidupkulah yang menjadi taruhannya”. Wahai orang Kristen yang terkasih, hal yang sama itu saya katakan kepada anda: jika anda telah terjangkiti kebiasaan melakukan dosa tertentu, anda berada pada jalan yang buruk, dan juga tentang jumlah orang sakit yang “jarang-jarang sembuh”, seturut St. Thomas dari Villanova. Anda berada pada tepi jurang kebinasaan. Namun kalau anda ingin pulih, ada obatnya: tetapi anda tidak boleh mengharapkan suatu mukjizat rahmat terjadi; dari pihak anda, anda harus melakukan kekerasan terhadap diri anda sendiri, anda harus melarikan diri dari kesempatan-kesempatan berbahaya, menghindari pergaulan buruk, dan melawan ketika anda digoda, dengan berserah diri kepada Allah. Anda harus menempuh jalan yang tepat, sering pergi mengaku dosa, membaca buku rohani setiap harinya, mengamalkan devosi kepada Santa Perawan Maria, berdoa secara konstan kepadanya supaya dia boleh mendapatkan bagi anda kekuatan agar anda tidak kembali jatuh. Anda harus melakukan kekerasan kepada diri anda sendiri, jikalau tidak, ancaman Tuhan terhadap orang yang tegar akan digenapi sehubungan diri anda: “Kalian akan mati dalam dosa-dosa kalian” (St. Yohanes viii. 21). Dan jika anda tidak berbenah sekarang, ketika Allah memberi terang pada diri anda, akan menjadi lebih sulit untuk melakukannya kemudian. Dengarlah Allah yang memanggil anda: “Keluarlah, hai Lazarus”. Pendosa malang yang sudah mati, keluarlah dari liang kubur kehidupan buruk anda yang gelap. Tanggapilah segera, berilah diri anda kepada Allah dan gemetarlah, takutilah bahwa ini akan menjadi panggilan terakhir bagi anda.
DAMBAAN DAN DOA.
Ah, ya Allahku, akankah aku lalu menanti sampai Engkau meninggalkanku sama sekali, dan mengirim aku masuk dalam Neraka? Ah, ya Tuhanku tunggulah diriku; sebab aku bertekad mengubah hidupku, dan memberikan diriku sendiri kepada-Mu. Katakanlah kepadaku yang harus kulakukan, dan itu akan kulakukan. Ya Darah Yesus, bantulah aku. Ya Maria, Pembela orang berdosa, tolonglah daku; dan Engkau, ya Bapa yang Kekal, melalui jasa-jasa Yesus dan Maria, kasihanilah aku.Ya Allah kebaikan yang tak terhingga, aku bertobat karena telah menghina-Mu; dan Kau kucinta di atas segala-galanya. Ampunilah aku, demi kasih Yesus Kristus, dan berilah aku kasih-Mu. Berilah aku pula takut yang besar akan kebinasaan kekalku seandainya aku kembali menghina-Mu. Terang, ya Allahku, terang dan kekuatan! Segalanya kuharapkan melalui kerahiman-Mu. Engkau telah mengaruniakanku begitu banyak rahmat ketika aku tersesat jauh dari pada-Mu; lantas betapa lebih besar harapanku sekarang, ketika aku kembali kepada-Mu; lantas betapa lebih besarnya harapan yang mungkin kupunya supaya diriku boleh kembali kepada-Mu, dalam tekad untuk mengasihi Engkau satu-satunya. Kau kucinta, ya Allahku, hidupku, segalanya bagiku. Kau kucinta pula, ya Maria, ya Bundaku; kepadamu kutitipkan jiwaku; jagalah dia dengan perantaraanmu supaya jangan lagi jatuh dan menjadi aib bagi Allah.
Catatan kaki:
Disadur dari sumber berbahasa Inggris, yang orisinalnya diterjemahkan dari bahasa Italia.
St. Alfonsus Maria de Liguori, The Eternal Truths. Preparation for Death [Kebenaran-Kebenaran Abadi. Persiapan Kematian], London, Burns and Lambert, 1857, hal. 155-163.
Tanda * tertera pada kutipan yang tidak bisa ditemukan penulisnya atau yang tidak bisa ditemukan perikop rujukannya oleh Penyunting.
[1] *St. Anselmus ap Edimor. in vita, lib. Ii.
[2] *St. Bernardinus dari Siena, Serm. xv.
[3] Cornel. a Lap. Comm. In Ecclus. c. iii. v. 27.
[4] *St. Bernardinus dari Siena, P. ii. p. 182.
[5] St. Thomas dari Villanova, Conc. i. de judicio (qui est Dom. i. Adv).
[6] Catatan penerjemah: rujukan dibuat kepada Amsal xiv. 28, namun tidak dapat ditemukan rujukan ini pada Alkitab Latin Vulgata.
[7] Catatan penerjemah: rujukan dibuat kepada ayat 15, namun tidak benar menurut Alkitab Latin Vulgata.
[8] *Card. Methin, c. 16.
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 3 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 4 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 4 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 4 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 4 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 4 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 4 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 6 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 7 bulanBaca lebih lanjut...