^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Mematiragakan Selera Makan - Risalah St. Alfonsus
Mematiragakan Selera Makan
Santo Andreas Avellino berkata bahwa barang siapa hendak menjurus kepada kesempurnaan, harus memulai dengan mematiragakan mulutnya dengan penuh perhatian. Demikianlah apa yang dikatakan oleh Santo Gregorius sebelumnya: Non ad conflictum spiritualis agonis assurgitur, si non prius gulae appetitus edomatur.[1] Romo Rogacci juga menegaskan bahwa bagian yang terbesar dari hal bermati raga secara jasmaniah adalah dengan mematiragakan selera. Tetapi, perbuatan makan secara kodrati memuaskan selera; lantas, apa kita perlu berhenti makan? Tidak, kita perlu makan, karena Allah menghendaki agar kita menjaga hidup badani kita dengan demikian, demi melayani-Nya, sejauh mana kehendak-Nya membiarkan kita berada di bumi. Tetapi kita harus merawat badan kita, seturut Romo Vincentius Carafa, ibarat seorang raja yang memiliki separuh dunia, yang walau demikian harus membelai seekor kuda beberapa kali sehari: ia menunaikan tanggung jawabnya, tetapi bagaimana caranya? Dengan suatu keengganan dan kebencian tertentu, dan ia menunaikannya sesegera mungkin.
“Kita perlu makan untuk hidup,” ujar Santo Fransiskus de Sales, “dan bukan hidup untuk makan.” Ada orang yang tampaknya hanya hidup untuk makan, seperti yang dilakukan oleh binatang. Santo Bernardus berkata: Beluinus est homo, amando talia, qualia beluae: manusia menjadi binatang, sewaktu ia mencintai makanan seperti binatang. Demikianlah bagaimana Adam menjadi serupa dengan binatang, yakni dengan makan dari buah terlarang. Santo yang sama itu juga menambahkan, seandainya binatang telah dikaruniai dengan akal dan melihat bahwa Adam lupa akan Allah dan keselamatan kekalnya demi kenikmatan yang tercela dengan makan dari sebutir buah, mereka akan berkata: Lihatlah Adam telah menjadi binatang seperti kita: Puto, jumenta dicerent, si loqui fas esset: Ecce Adam factus est quasi unus ex nobis.[2] Itulah apa yang membuat Santa Katarina dari Siena berkata: ‘Mustahil adanya bagi orang yang tidak bermati raga dalam hal makanan untuk menjaga ketidakbersalahannya, sebab oleh karena itulah Adam kehilangan ketidakbersalahannya.’ Betapa menyedihkannya, sewaktu kita melihat orang-orang yang, seturut ucapan Santo Paulus, menjadikan perut mereka sebagai ilah mereka: Quorum deus venter est![3]
Betapa banyaknya orang yang celaka, yang telah mengalami kebinasaan jiwa akibat kerakusan! Santo Gregorius[4] bercerita bahwa dulu, di biara di Likaonia, hidup seorang biarawan yang hidupnya amat terpuji. Menjelang kematiannya, para rohaniwan lainnya berhimpun di sekelilingnya, untuk mendengarkan dari mulutnya, pada saat yang genting itu, beberapa patah kata yang membangun; tetapi apakah yang mereka dengar? “Saudara-saudaraku,” ujar biarawan yang sekarat itu, “ketahuilah bahwa sewaktu kalian sedang berpuasa, aku makan secara sembunyi-sembunyi; dan oleh karena itu, aku telah diserahkan kepada iblis, yang sekarang merampas hidupku dan merenggut jiwaku!” Setelah ia membuat pengakuan yang menyedihkan itu, ia pun mati. Santo yang sama[5] mengutip kejadian yang lain ini: seorang rohaniwati telah melihat adanya sebuah selada yang indah di taman. Ia melanggar aturan biara dengan mengambil selada itu, dan memakannya; seketika, iblis mengambil kuasa atas dirinya, dan mulai menyiksanya dengan dahsyat. Para rekannya memanggil kepala biara Equitius yang kudus itu; sewaktu ia tiba, iblis berseru: “Kejahatan apa yang telah kuperbuat? Aku sedang duduk di atas selada itu; wanita itu datang, dan mengambil aku. » Tetapi iblis tidak mampu melawan kuasa hamba Allah, yang memaksanya untuk pergi. – Kita membaca dalam Sejarah Ordo Sistersien bahwa sewaktu Santo Bernardus mengunjungi para novisnya, ia memanggil salah seorang dari antara mereka yang bernama Akardus, dan berkata kepadanya bahwa seorang novis yang lain, yang dirujuknya, pada malam hari berikutnya berusaha melarikan diri dari biara itu. Ia menganjurkan Akardus untuk mengejarnya, sewaktu ia melihatnya akan melarikan diri, dan menangkapnya. Memang benar, pada malam hari, Akardus pertama-tama melihat iblis yang menghampiri novis itu, dan menggodanya dengan kerakusan dengan menempatkan seonggok ayam panggang di depan hidungnya. Biarawan malang itu pun terbangun, dan karena ia menyerah kepada godaan itu, ia mengambil jubahnya dan bersiap diri keluar dari biara. Lalu Akardus mencegatnya, tetapi sia-sia; sebab karena novis itu ditaklukkan oleh kerakusan, ia bersikeras ingin kembali ke dalam dunia, di mana ia mengakhiri hidupnya dengan amat celaka.
Maka marilah kita berjaga agar tidak membiarkan diri ditaklukkan oleh kemaksiatan yang bengis itu. Santo Agustinus[6] berkata bahwa kita harus mengonsumsi makanan untuk menunjang kehidupan kita, tetapi kita harus mengonsuminya ibarat mengonsumsi obat-obatan, yakni, sejauh mana diperlukan, tetapi tidak lebih dari itu. Ketidakbertarakan dalam hal makanan sungguh membahayakan jiwa dan raga. Adapun raga, kebanyakan penyakit niscaya disebabkan oleh kerakusan: apopleksi, diare, penyumbatan, sakit kepala, nyeri usus, nyeri lambung, dan penyakit-penyakit yang tak terhitung jumlahnya hanya amat sering disebabkan oleh makanan yang berlimpah ruah. Tetapi penyakit badani adalah kerusakan yang lebih kecil yang diakibatkan oleh ketidakbertarakan; penyakit yang terburuk adalah yang dirasakan oleh jiwa.
Pertama-tama, seperti yang diajarkan oleh Doktor Malaikat, kemaksiatan ini menggelapkan pikiran, dan membuatnya tidak mampu melakukan latihan-latihan rohani, terutama doa. Sebagaimana puasa mempersiapkan jiwa untuk merenungkan Allah dan kebaikan-kebaikan abadi, demikian pula, ketidakbertarakan memalingkan jiwa dari-Nya. Seturut Santo Yohanes Krisostomus, orang yang perutnya penuh dengan makanan serupa dengan sebuah kapal yang memuat beban yang berat dan hampir tidak dapat bergerak; risiko besar menantikan orang itu, yakni ketersesatan, jika ia bertahan melawan badai godaan. Itulah sebabnya Santo Bernardus berpetuah: Panem ipsum cum mensura studebo sumere, ne, onerato ventre, siare ad orandum toedeat.[7] Kita harus berjaga-jaga agar makan secukupnya, bahkan roti sekalipun, agar jangan sampai perut yang terlampau penuh membuat doa menjadi tumpul. – Santo Bernardus juga menambahkan: Si ad vigilias surgere indigestum cogis, non cantum, sed planctum potius extorquebis:[8] Jika kita memaksa orang yang belum mencerna makanannya agar berjaga-jaga untuk menyanyikan madah pujian Allah, buah yang akan kita petik hanyalah keluh kesah dan rasa mual, dan bukan nyanyian. – Maka para biarawan harus berjaga-jaga agar hanya sedikit makan, terutama pada saat makan sore; sebab kelaparan yang kita rasakan di sore hari sering merupakan kelaparan yang palsu, yang disebabkan oleh asam yang diproduksi oleh makanan yang dikonsumsi pada siang hari; dan jika kita lalu ingin memuaskan nafsu makan kita, kita mudah makan secara berlebihan. Lalu, pada pagi hari, karena perut belum mencerna, lambung kita mual, kepala kita berat dan penuh dengan gas, sehingga kita tidak dapat mendaraskan Salam Maria dengan baik. Lihatlah, maka dari itu, apabila Tuhan sudi menghibur dalam doa orang yang menempatkan kenikmatannya dalam makanan, seperti binatang. Allah tidak memberi penghiburan-Nya, ujar Santo Bernardus, kepada mereka yang mencari-cari penghiburan dari dunia: Divina consolation non tribuitur admittentibus alienam.[9]
Di samping itu, orang yang memberi kebebasan kepada mulutnya, juga dengan mudah memberikan kebebasan kepada indranya yang lain. Sebab, karena ia telah kehilangan kontemplasi, seperti yang baru saja dikatakan, ia akan dengan mudah jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan lainnya dalam perkataan dan dalam perbuatan. Hal yang lebih buruk, adalah ketidakbertarakan menimbulkan bahaya yang besar terhadap kesucian. Kepuasan, ujar Santo Hieronimus, menimbulkan ketidakbertarakan: Ventris saturitas seminarium libidinis est.[10] Juga, Cassianus menjamin bahwa mustahil adanya untuk tidak mengalami godaan-godaan yang najis sewaktu perut kita terlampau penuh: Impossibile est saturum ventrem pugnas non experiri.[11] Itulah sebabnya, demi menjaga kesucian, para Kudus telah sedemikian berhati-hatinya mematiragakan mulut mereka. Sewaktu iblis ditaklukan dalam godaan-godaan kerakusan, ia berhenti menyerang kemurnian, ujar Doktor Malaikat: Diabolus, victus de gula, non tentat de libidine.
Mereka yang berjuang untuk mematiragakan selera mereka, membuat kemajuan yang berkelanjutan dalam kesempurnaan; sebab dengan mematiragakan selera, mereka memperoleh kemudahan yang lebih besar untuk juga mematiragakan indra yang lain dan untuk menjuruskan dirinya kepada latihan kebajikan, seperti yang diungkapkan oleh Gereja yang Kudus dalam nyanyian berikut: Deus, qui corporati jejunio vitia comprimis, mentem elevas, virtutem largiris et proemia:[12] Melalui puasa, Tuhan memberi kekuatan kepada jiwa kita untuk menaklukkan kemaksiatan, untuk mengangkat dirinya di atas keterlekatan-keterlekatan duniawi, untuk mempraktikkan kebajikan, dan untuk memperoleh jasa-jasa abadi.
Orang-orang yang lekat dengan kenikmatan-kenikmatan dunia ini menyanggah: Allah telah menciptakan makanan agar kita dapat menikmatinya. – Tetapi jiwa-jiwa yang penuh bakti tidak berdalih dengan demikian. Romo Carafa yang terhormat dari Serikat Yesus dahulu berkata: “Jikalau Tuhan telah memberi kita harta dunia ini, hal itu diberikan-Nya bukan hanya agar kita menikmatinya; tetapi juga agar kita mendapatkan sarana untuk memberi kesaksian akan rasa syukur kita dan cinta kasih kita kepada-Nya, dengan mempersembahkan kepada-Nya hadiah-hadiah yang pantas melalui tarak yang kita lakukan kepada diri kita sendiri.”
Demikianlah bahwasanya praktik jiwa-jiwa yang suci. – Para rohaniwan kuno, seperti yang dilaporkan oleh Santo Hieronimus,[13] memandang sebagai suatu ketidaksempurnaan yang besar perihal makan makanan yang dimasak; semua hidangan mereka terdiri dari roti yang beratnya satu pon. – Santo Aloysius Gonzaga, kendati rapuhnya kesehatannya itu, berpuasa dengan makan roti dan air saja tiga kali seminggu. – Santo Fransiskus Xaverius, di dalam misi-misinya, hanya makan beras yang dipanggang. – Santo Yohanes Fransiskus Regis, juga dalam perjalanan-perjalanan kerasulannya, hanya makan sedikit tepung yang dibasahi dengan air. – Santo Petrus Alcantara hanya memuaskan diri dengan sup sebagai seluruh makanannya …
Saya tidak mengajukan agar seorang rohaniwati wajib meniru teladan-teladan ini untuk menguduskan diri; tetapi saya hanya berkata bahwa orang yang lekat dengan kenikmatan mulut, yang tidak bertekad untuk bermati raga sampai jenjang itu, tidak akan pernah mengalami kemajuan yang besar dalam kehidupan rohani. Perbuatan makan adalah perbuatan yang lazim, yang dilakukan beberapa kali setiap harinya; sehingga mereka yang tidak berjuang untuk mematiragakan mulut mereka, setiap harinya melakukan sejumlah besar kesalahan.
Marilah kita sekarang membahas praktiknya; mari kita melihat bagaimana kita harus mematiragakan mulut kita. Santo Bonaventura memberi petunjuk kepada kita dalam tiga patah kata: In qualitate, in quantitate, et modo:[14] Dalam kualitas, dalam kuantitas, dan dalam cara.
I. Dalam KUALITAS: Kita tidak boleh mencari-cari hal-hal yang lezat, ujar Doktor Suci itu, melainkan hal-hal yang tersederhana: Ut non delicata requirat, sed simplicia. Seorang rohaniwati membuktikan dirinya kurang dalam kerohanian, imbuhnya, jika ia tidak puas dengan makanan yang ada, dan jika ia mencari makanan yang lebih berkenan kepada seleranya, atau meminta agar makanan itu disiapkan dengan suatu cara yang lain. Seorang rohaniwati yang termatiragakan tidak berbuat demikian: ia puas dengan apa yang diberikan kepadanya; dan jika kita memberikannya beberapa hidangan, ia memilih hidangan yang paling tidak berkenan kepada lidahnya, selama hidangan itu tidak membahayakannya. Demikianlah yang dilakukan oleh Santo Aloysius Gonzaga: ia berupaya memilih apa yang paling dibenci oleh seleranya.
Adapun hal yang terutama berkenaan dengan penggunaan daging dan anggur, berikut apa yang dicatat oleh Klemens dari Aleksandria: Vinum et cranium sagimen robur quidem adducunt corpori, sed animam reddunt languidam:[15] Anggur dan daging menguatkan badan, namun melemahkan jiwa. – Adapun daging, kita membaca dalam Kanon-Kanon suci bahwa pada zaman dahulu kala, para biarawan tidak diizinkan untuk mencicipinya: Carnem monacho nec sumendi nec gustandi est concessa licentia.[16] Dan Santo Bernardus yang berbicara tentang dirinya sendiri, berkata demikian: Abstineo a carnibus, ne carnis nutriant vitia:[17] Saya pantang makan daging, agar daging tidak memberi makan kemaksiatan dalam daging saya. – Adapun anggur, Kitab Suci berkata bahwa anggur tidak boleh diberikan kepada para raja: Noli regibus dare vinum.[18] Maksud istilah para raja di sini bukanlah para monark yang memimpin kerajaan mereka, melainkan orang-orang yang menguasai kecenderungan-kecenderungan mereka yang buruk, dan menundukannya kepada akal. Kitab Suci juga berkata: Cui voe?... nonne his qui commorantur in vino, et student calicibus epotandis?[19] Celakalah, celakalah untuk selama-lamanya,[20] mereka yang melakukan dosa anggur! Mengapa? Karena anggur menyulut hawa nafsu: Luxuriosa res, vinum.[21] Itulah sebabnya Santo Hieronimus berpetuah kepada Santa Eustokia: Hoc primum moneo, ut sponsa Christi vinum fugiat pro veneno; vinum et adolescentia, duplex incendium voluptatis est: Jika anda ingin menjaga kesucian diri anda, seperti yang harus dilakukan oleh mempelai Yesus Kristus, jauhilah anggur bagaikan racun; anggur dan masa muda adalah kebakaran yang berganda, yang menimbulkan hasrat akan kenikmatan-kenikmatan yang terlarang. – Kesimpulan yang harus ditarik dari semuanya ini adalah bahwa orang yang tidak cukup kuat atau cukup sehat untuk sepenuhnya pantang daging atau anggur, harus setidak-tidaknya mengonsumsi daging atau anggur dengan amat terkendali, agar mereka tidak terlalu ditindas oleh godaan-godaan yang najis.
Baik pula bagi seorang rohaniwati, saat bermati raga, untuk menolak bumbu-bumbu yang berlebihan, yang hanya berguna menggelitik selera. Bumbu-bumbu yang biasa digunakan oleh para Kudus hanyalah abu, lidah buaya, dan absintus; saya tidak menuntut agar anda sekalian melakukan keketatan ini, ataupun melakukan puasa yang luar biasa. Saya akan menambahkan: karena anda tidak tinggal seorang diri di padang gurun, tetapi karena anda hidup dalam komunitas, pantas adanya, seturut pendapat Cassianus,[22] agar anda menghindari … segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan biara, sebagai suatu hal yang amat mudah menimbulkan keangkuhan yang sia-sia. “Di meja makan,” ujar Santo Filipus Neri, “sewaktu kita ada teman, kita harus makan segalanya.” Atas dasar perkataannya ini, ia menujukan nasihat berikut kepada semua anggota dari institusinya: ‘Hindari segala keistimewaan, sebagai suatu sumber yang lazim dari kecongkakan rohani.’[23] Selebihnya, sewaktu kita memiliki semangat bermati raga, kita dengan mudah menemukan cara untuk bermati raga, tanpa membuatnya terlihat. Santo Yohanes Klimakus makan segalanya; tetapi ia hanya mencicipi hidangan dan bukan memakannya, dan ia dengan demikian bermati raga tanpa mengalami bahaya kecongkakan. Santo Bernardus[24] berkata bahwa, terkadang, orang yang hidup dalam komunitas, lebih puas berpuasa di hadapan orang lain, sewaktu mereka sedang makan, daripada berpuasa tujuh kali sewaktu yang lain juga berpuasa.
Namun demikian, saya tidak melarang anda untuk mempraktikkan puasa yang keras, yakni, dengan roti dan air, pada hari-hari devosi, seperti pada hari Jumat atau Sabtu, hari-hari vigilia pesta-pesta Santa Perawan Maria, atau hari-hari yang serupa. Puasa semacam itu lazim adanya di kalangan rohaniwati yang penuh bakti. Setidak-tidaknya, jika anda tidak berdevosi secara demikian, atau jika kelemahan raga anda tidak memperkenankan anda untuk berpuasa keras, jangalah anda mengeluhkan hidangan komunitas, dan jadilah anda puas dengan hidangan yang disajikan bagi anda. Santo Thomas Aquinas tidak pernah meminta apa pun yang istimewa untuk makanannya; ia selalu terlihat puas dengan apa yang disajikan kepadanya, dan ia mengonsumsinya dengan penuh kendali. Hal yang sama juga dikatakan tentang Santo Ignatius Loyola, bahwa ia tidak pernah menolak hidangan apa pun, dan bahwa ia tidak pernah mengeluhkan hidangan yang kurang dimasak atau yang kurang dibumbui. Para superior berkewajiban untuk memastikan agar komunitasnya tidak menderita akibat hal tersebut, tetapi seorang rohaniwati tidak boleh mengutarakan ketidakpuasan, sewaktu makanannya terlalu atau kurang dimasak, atau jika makanannya itu tawar atau terlalu asin. Jika orang miskin memiliki kecukupan untuk menunjang kehidupannya, makan apa yang diberikan kepadanya, tanpa syarat dan tanpa menggerutu; demikian pula, rohaniwati harus menerima apa yang ditawarkan kepadanya, seperti sedekah yang datang kepadanya dari Allah.
II. Dalam KUANTITAS, Santo Bonaventura berkata bahwa kita tidak boleh makan secara berlebihan, atau lebih sering daripada yang sepatutnya, supaya makanan menjadi suatu kelegaan bagi badan, dan bukan beban: Ut non nimis et soepius quam decet, ut si refectio corpori, non onus. Itulah sebabnya semua rohaniwan diwajibkan agar tidak pernah makan sampai kenyang, demikianlah yang ditulis oleh Santo Hieronimus kepada Santa Eustokia: Sit tibi moderatus cibus, et nunquam venter expletus. Beberapa rohaniwati tertentu berpuasa di hari tertentu, lalu keesokan harinya ia makan secara berlebihan; lebih baik, imbuh Santo Hieronimus, untuk membiasakan diri makan secukupnya, daripada berpuasa lalu makan secara berlebihan. Doktor Suci yang sama juga mencatat bahwa orang harus menghindari makan sampai kenyang, bukan hanya hidangan yang lezat, tetapi juga makanan yang keji dan keras: Sed et ex vilissimis cibis vitanda satietas est.[25] Apa gunanya seorang rohaniwati tidak makan ayam hutan, tetapi makan sayuran, jika sayuran itu membuahkan hasil yang sama dengan ayam hutan? Adapun kuantitas makanan yang layak untuk dimakan, Santo Hieronimus mengajukan aturan ini: hendaknya kita tetap mudah beraktivitas, setelah makan, agar kita dapat segera berdoa atau membaca: Quando comedis, cogita quod statim tibi orandum et legendum sit.[26]
Seorang Bapa yang kuno berbicara secara benar: “Barang siapa makan banyak dan meninggalkan meja kelaparan, akan menerima imbalan yang lebih besar daripada orang yang makan sedikit dan menjadi kenyang.” Cassianus[27] bercerita bahwa seorang rohaniwan yang baik, karena pada suatu hari ia harus duduk di meja untuk menemani orang asing, bagaimanapun tetap berada di sana tanpa menjadi kenyang. Inilah cara bermati raga yang terbaik, dan juga yang tersulit; sebab lebih mudah adanya untuk sama sekali menolak hidangan yang sedap, daripada mengendalikan diri setelah mencicipinya.
Sewaktu kita ingin mengurangi makanan dengan kadar yang sepantasnya, baik adanya untuk menguranginya sedikit demi sedikit, sampai kita melihat bahwa kita dapat menunjang diri dengan kuantitas tertentu, tanpa mengalami kesulitan yang besar. Dengan demikianlah Santo Doroteus memberlakukan mati raga kepada muridnya, Santo Dositeus, sampai kepada suatu jenjang yang baik. Tetapi, demi membebaskan diri dari segala keraguan dan segala kekhawatiran sehubungan puasa atau pantang, aturan yang pasti adalah menundukkan diri kepada penilaian sang pembimbing rohani. Santo Benediktus,[28] dan kemudian Santo Bernardus,[29] berkata bahwa mati raga yang dilakukan tanpa seizin bapa rohani, sebaliknya hanyalah perbuatan kegegabahan yang patut dihukum, dan bukan karya yang patut menerima imbalan: Quod sine permissione patris spiritualis fit, praesumptioni deputabitur, non mercedi. Bagaimanapun, aturan ini harus menjadi aturan yang umum bagi semua orang, dan terutama bagi para rohaniwati, yaitu mereka harus memastikan, seperti yang telah kami catat di atas, agar mereka makan sore dengan sederhana, meskipun mereka tampaknya mengalami kebutuhan yang besar; sebab pada sore hari, karena rasa lapar itu sering kali palsu, kita mungkin makan lebih daripada yang sepatutnya, dan pada keesokan harinya, pada pagi hari, kita sama sekali tidak enak badan, kepala kita berat dan lambung kita mual, dan dengan demikian, kita tidak berselera dan hampir tidak sanggup membaktikan diri untuk latihan rohani macam apa pun.
Sehubungan dengan minuman, kita dapat terutama mempraktikkan mati raga dengan pantang minum di luar jam makan, tanpa membahayakan kesehatan, tetapi setidaknya kita harus berserah kepada tuntutan yang khusus dari kodrat kita, sewaktu kita mengalami bahaya jika kita melawan rasa haus yang kita rasakan, seperti yang mungkin terjadi pada musim panas. Santo Laurensius Yustinianus, bahkan dalam panasnya musim panas, tidak pernah minum sewaktu ia tidak berada di meja makan; dan sewaktu ia ditanya bagaimana ia bisa menahan rasa haus, ia menjawab: “Tetapi bagaimanakah saya akan dapat tahan panasnya Api Penyucian, jika sekarang saya tidak bisa tahan tarak ini?” Orang-orang Kristiani kuno, pada hari-hari puasa, bahkan pantang minum sewaktu mereka tidak makan. Makanan hanya mereka makan pada sore hari; dan juga di hari ini, orang-orang Turki mengikuti praktik ini pada masa Ramadan, yang adalah Masa Prapaskah bagi mereka. Hendaknya kita setidaknya mengikuti aturan yang baik yang diberikan secara universal oleh para dokter, agar kita minum hanya empat atau lima jam setelah makan siang.
III. Dalam CARA. Menurut Santo Bonaventura, perbuatan makan kita tidak boleh dilakukan di luar jam makan, tidak pun tanpa aturan, melainkan secara taat agama: Ut non importune requiratur (cibus), nec inordinate sumatur, sed religiose.
1. Di luar jam makan: yakni, tidak diperbolehkan makan sebelum jam makan bersama. Itulah kecacatan dari salah seorang peniten Santo Filipus Neri. Karena Santo Filipus menyadari bahwa peniten itu tidak dapat pantang makan suatu makanan tertentu di sepanjang hari, ia berkata kepadanya: ‘Putraku, jika anda tidak mengoreksi kecacatan ini, anda tidak akan pernah sampai kepada kehidupan rohani.’[30] Kita membaca di dalam Kitab Sirakh: Berbahagialah tanah jika para pangeranmu hanya makan pada waktu yang tepat: Beata terra… cujus principes vescuntur in tempore suo.[31] Dan saya menambahkan: Berbahagialah biara jika para rohaniwatinya tidak makan di luar jam makan, yaitu makan siang dan makan sore! Karena Santa Teresa telah mendapat kabar bahwa di biara Ordonya, beberapa rohaniwati telah meminta izin kepada provinsial untuk makan sesuatu di luar kamar mereka, Santa Teresa menghardik mereka dengan berkata: “Lihatlah apa yang baru saja mereka pintakan! Itulah sebabnya segalanya akan hancur berantakan.”[32]
2. Tanpa aturan: yakni, tidak diperbolehkan makan dengan penuh gairah, seolah-olah kita disuapi oleh kedua tangan, atau dengan sedemikian tergesa-gesanya sehingga suapan yang satu tidak menantikan yang berikutnya. Janganlah anda sedemikian bergairahnya dalam menyantap makanan anda; demikianlah nasihat Roh Kudus: Noli avidus esse in omni epulatione.[33] Di samping itu, kita harus makan makanan hanya dengan intensi yang baik, untuk menjaga tenaga tubuh kita, agar kita sanggup melayani Tuhan secara layak. Makan hanya untuk kenikmatan yang kita rasakan, setidak-tidaknya adalah dosa ringan; sebab Paus Inosensius XI telah mengutuk pendapat mereka yang mendalilkan bahwa tidak ada dosa sewaktu orang makan atau minum hanya untuk memuaskan keinginannya. Tetapi, bukan berarti bahwa kita berdosa jika kita merasakan kenikmatan sewaktu makan; sebab, jika kita berbicara secara lazim, mustahil adanya untuk makan makanan yang kita perlukan, tanpa merasakan kepuasan kodrati yang ada di dalamnya. Maka harus dipahami bahwa kesalahan dalam hal makan adalah jika kita hanya mencari kenikmatan jasmani dengan perbuatan makan, seperti binatang, tanpa memiliki tekad untuk mencapai tujuan yang bajik. Itulah sebabnya, kita dapat, tanpa membuat suatu kesalahan pun, makan makanan yang lezat sekalipun, sewaktu intensi kita lurus, sedangkan kita sebaliknya dapat menjadi bersalah dengan mengonsumsi makanan yang biasa saja jika alasan kita makan adalah keterlekatan terhadap kenikmatan. Kita membaca dalam Riwayat Para Bapa[34] bahwa seorang tua yang kudus sedang memperhatikan para rohaniwan di meja makan. Ia melihat bahwa mereka semua makan makanan yang sama, tetapi ia lalu melihat bahwa beberapa makan madu, yang lain roti, dan yang lain kotoran. Berikut apa yang ditangkapnya sewaktu ia melihat penglihatan itu: madu melambangkan mereka yang makan dengan rasa takut yang suci bahwa mereka dapat mencelakakan pengendalian diri, dan yang juga mengangkat pikiran mereka kepada Allah dengan cita-cita yang saleh; roti melambangkan mereka yang mengalami kenikmatan sewaktu makan, dan bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya itu; dan pada akhirnya, kotoran, bagi mereka yang makan hanya demi kenikmatan makan.
CARA kita makan juga menuntut agar kita tidak berpuasa secara tidak berhati-hati, sehingga membuat diri kita tidak sanggup melayani komunitas atau menaati aturan komunitas kita. Itu adalah suatu kecacatan, dan banyak dari para pemula sering jatuh ke dalam kecacatan itu: karena mereka terdorong oleh semangat yang nyata yang biasanya disampaikan kepada mereka oleh Allah pada permulaan, demi menyemangati mereka untuk mengikuti jalan menuju kesempurnaan, mereka memaksa diri sendiri untuk menjalani ketarakan dan penitensi yang berlebihan; sehingga mereka terkena penyakit tertentu; atau mereka menjadi tidak sanggup untuk menunaikan tanggung jawab bersama, atau penyakit mereka membuat mereka meninggalkan segalanya. Dalam segala hal, keberhati-hatian diperlukan. Tuan yang memercayakan seekor kuda kepada perhatian pembantu rumah tangganya akan menjadi gusar, jika kudanya itu diberi makan terlalu banyak, atau terlalu sedikit, sehingga ia tidak dapat berkuda sekehendaknya. Santo Fransiskus de Sales berkata kepada para rohaniwati Visitasi: “Kesederhanaan yang berkelanjutan dan terkendali lebih baik daripada pantang yang keras yang dilakukan dari waktu ke waktu, dan yang diselang-selingi oleh kekenduran yang besar.”[35] Di samping itu, orang-orang yang berbuat demikian cenderung memandang diri mereka sendiri lebih sempurna daripada orang-orang yang tidak berpuasa. Tidak diragukan, ketidakberhati-hatian harus dihindari; tetapi kita juga harus mencatat apa yang dikatakan oleh seorang guru kehidupan rohani yang agung, yakni, bahwa roh jarang memperdaya kita sehingga melakukan mati raga yang berlebihan, sedangkan badan sering memperdaya kita dengan membuat kita lembek terhadapnya dan menyayangkannya dari hal-hal yang tidak berkenan kepadanya.
Berikut beberapa praktik mati raga yang baik:
Kita dapat melakukan mati raga semacam itu tanpa memaparkan diri kita kepada kecongkakan dan tanpa membahayakan kesehatan. Anda tidak perlu mempraktikkan semuanya; hendaknya anda hanya melakukan apa yang diizinkan oleh superior atau pembimbing rohani anda. Selebihnya, hal yang pasti, adalah lebih baik sering mempraktikkan pantang kecil-kecilan daripada pantang besar-besaran dan luar biasa yang jarang dilakukan, dan setelahnya anda hidup tanpa bermati raga.
Doa.
Ya Penebusku yang terkasih! Aku malu untuk tampak di hadirat-Mu, aku ini yang penuh kecacatan dan yang begitu suam-suam kuku! Setelah Kaulimpahkan segala rahmat-Mu kepadaku, aku pada saat ini seharusnya terbakar oleh cinta akan Engkau bagaikan para Serafim; tetapi sayang sekali! Aku menjadi lebih tidak sempurna daripada yang sebelumnya. Aku telah berjanji kepada-Mu berkali-kali untuk menguduskan diriku dan menyerahkan diriku seutuhnya kepada-Mu; tetapi semua janjiku telah sama banyaknya dengan kedurhakaanku. Penghiburanku adalah berhadapan dengan kebaikan yang tak terbatas, dengan Engkau, ya Allahku! Jangan Kautinggalkan aku, ya Tuhan! Teruslah Engkau menguatkanku; aku ingin mengoreksi diriku dengan rahmat-Mu; aku tidak lagi ingin melawan cinta kasih yang Kauberikan kepadaku. Aku sadar bahwa Engkau ingin agar aku suci; aku ingin menguduskan diri demi berkenan kepada-Mu. Aku berjanji kepada-Mu untuk mematiragakan pancaindraku, terutama dengan berpantang dari … (sebutkan kenikmatannya). Ah, ya Yesusku! Kuakui betapa sering Engkau telah menolongku demi memperoleh diriku sepenuhnya, dan betapa seringnya aku telah bersalah dengan menolak berbuat sesuatu demi Engkau dan dengan sedikit mencintai-Mu; aku ingin berhenti menjadi durhaka. Engkau telah sedemikian baiknya kepadaku; aku tidak lagi ingin menjadi kikir kepada-Mu, seperti yang telah kulakukan sampai saat ini. Kau kucinta, ya Mempelaiku yang ilahi! Aku bertobat dari segala penghinaan yang telah kusebabkan kepada-Mu; ampunilah aku, dan bantulah aku untuk bersetia kepada-Mu.
Ya Maria! Engkau yang telah senantiasa setia kepada Allah, perolehkanlah daku rahmat untuk menjadi setia kepada Allah setidak-tidaknya di sepanjang sisa hidupku.
Catatan kaki:
Disadur dari Œuvres completes de S. Alphonse de Liguori [Karya Lengkap Santo Alfonsus de Liguori], Léop. J. Dujardin, Imam, Tomus X, La véritable épouse de Jésus-Christ, Edisi IV, Vve H. Casterman, Tournai, 1876. hal. 237-253.
[1] Mor. l. 30. c. 20.
[2] In Cant. s. 35.
[3] Phil. 3. 19.
[4] Dial. l. 4. c. 38.
[5] Ibid. l. 1. c. 4.
[6] Conf. l. 10. c. 31.
[7] In Cant. s. 66.
[8] Apol. ad. Guill. c. 9.
[9] De Vit. et. Mor. cler. c. 21.
[10] Adv. Jovin. l. 2.
[11] De Coen. inst. l. 5. c. 13.
[12] Praefat. quadrap.
[13] Ad Eustoch.
[14] De Prof. rel. l. 2. c. 17.
[15] Strom. l. 7.
[16] De Consecr. d. 5. c. 32.
[17] In Cant. s. 66.
[18] Prov. 31. 4.
[19] Ibid. 23. 29.
[20] Kata Voe dalam Kitab Suci, seturut penjelasan Santo Gregorius (In Ezech. hom. 9) menandakan pengutukan abadi.
[21] Ibid. 20. 1.
[22] De Coenob. inst. l. 5. c. 23.
[23] Bacci. l. 2. ch. 14-17.
[24] De Grad. humil. gr. 5.
[25] Adv. Jovin. l. 2.
[26] Ep. ad. Furiam.
[27] De Coenob. inst. l. 5. c. 25.
[28] Reg. c. 49.
[29] In Cant. s. 19.
[30] Bacci, l. 2. ch. 14.
[31] Eccl. 10. 17.
[32] Surat kepada Romo Gratianus, 27 Februari 1581.
[33] Eccli. 37. 32.
[34] Vit. Patr. l. 6. libell. 1. n. 17.
[35] Introd. p. 3. ch. 23.
[36] Reg. c. 49.
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 3 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 4 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 4 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 4 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 4 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 6 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 7 bulanBaca lebih lanjut...