Serangan Benediktus XVI yang Mencengangkan terhadap Iman Katolik; Kemurtadannya di Jerman, dsb. (2011)

Baca lebih lanjut Bidah-Bidah Terkini Benediktus XVI

Telegram Benediktus XVI, 29 September 2011, kepada Kepala Rabbi kota Roma, Dr. Riccardo Di Segni untuk Rosh Ha-Shanah, untuk Yom Kippur dan untuk Sukkot: “Pada perayaan Rosh Ha-Shanah, Yom Kippur, dan Sukkot, saya hendak menyampaikan salam saya yang terhangat dan harapan-harapan saya yang tulus kepada anda, yang terhormat Dr. Riccardo Di Segni, dan kepada segenap Komunitas Yahudi di Roma, agar hari-hari suci yang penting ini dapat menjadi suatu kesempatan untuk berkat yang berlimpah dari Yang Abadi dan sumber rahmat yang tak terbatas. Semoga bertumbuh kehendak di dalam diri kita untuk memajukan perdamaian dan keadilan di dunia, yang memiliki kebutuhan besar untuk saksi-saksi yang autentik terhadap kebenaran. Semoga Allah, di dalam kebaikan-Nya, melindungi Komunitas Yahudi dan semoga Ia mengaruniakan persahabatan yang mendalam di antara kita di kota Roma ini dan di seluruh dunia.”[1]

Pesan ini dapat didefinisikan sebagai suatu telegram kemurtadan. Benediktus XVI menghormati agama pemurtad Yahudi dengan mengirimkan sebuah telegram yang menghormati hari raya Yahudi. Konsili Florence mendefinisikan bahwa orang-orang yang mempraktikkan perayaan-perayaan Hukum Lama atau agama Yahudi hidup dalam keadaan dosa berat dan akan dihukum ke dalam Neraka selamanya. Tetapi, Benediktus XVI menyatakan bahwa sang Kepala Rabbi agama Yahudi di Roma “terhormat”. Ia menyatakan hari-hari raya Yahudi sebagai “hari-hari suci yang penting”. Ia berkata bahwa mereka yang mempraktikkan pesta-pesta keagamaan dan “hari-hari suci” Yahudi ini memiliki “suatu kesempatan untuk berkat yang berlimpah dari Yang Abadi dan sumber rahmat yang tak terbatas”. Benediktus XVI berkata bahwa Yesus akan memberikan berkat-berkat serta rahmat-rahmat kepada orang-orang yang secara eksplisit menolak diri-Nya. Ini adalah penghujatan. Ia berkata bahwa orang-orang dapat menerima berkat dan rahmat dengan melakukan hal yang telah dinyatakan oleh Gereja Katolik sebagai dosa berat. Pernyataannya tidak diragukan adalah bidah dan kemurtadan. Benediktus XVI menutup telegramnya dengan berkata bahwa sang rabbi dan orang-orang Yahudi lainnya adalah “saksi-saksi yang autentik terhadap kebenaran”. Pernyataan ini adalah penyangkalan terhadap Kristus dan suatu penghujatan secara langsung. Di dalam Perjanjian Baru, para Rasul dan mereka yang mengkhotbahkan Kekristenan disebut “para saksi”.

Salam dari Benediktus XVI pada tanggal 24 September 2011 pada saat pertemuan dengan para perwakilan “Ortodoks” dan “Gereja-Gereja Ortodoks Oriental”: “Katolik dan Ortodoks telah menjaga struktur yang mendasar yang sama yang diwarisi dari Gereja kuno; dalam makna ini kita semua adalah Gereja kuno yang masih ada dan baru. Di Jerman pada hari ini, seperti yang telah saya sadari, terdapat sekitar 1,6 juta orang Kristen Ortodoks dan Ortodoks Oriental. Mereka telah menjadi bagian yang pokok dari masyarakat yang membantu menghidupkan khazanah budaya-budaya Kristiani dan iman Kristiani Eropa… Sejak saat saya menjadi seorang profesor di Bonn dan terutama sewaktu saya menjabat sebagai Uskup Agung München dan Freising, saya telah sampai kepada pengetahuan dan menjadi semakin cinta akan Ortodoksi melalui persahabatan pribadi saya dengan para perwakilan dari Gereja-Gereja Ortodoks… Kita tahu bahwa di atas segala hal, perkara Keutamaanlah yang harus kita terus mengerti secara benar dalam pergulatan yang harus dilalui dengan sabar dan rendah hati. Sehubungan dengan hal ini, saya kira gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Paus Yohanes Paulus II di dalam ensiklik Ut Unum Sint (#95) tentang perbedaan antara kodrat dan bentuk dari pelaksanaan Keutamaan dapat menghasilkan poin-poin diskusi lebih lanjut yang berbuah… komitmen orang-orang Kristiani bersama, termasuk orang-orang Kristen Ortodoks dan Ortodoks Oriental, membuat sebuah kontribusi yang berharga untuk membangun suatu masyarakat…”[2]

Benediktus XVI membuat sejumlah pernyataan yang bidah tentang para “Ortodoks”. Pertama, ia berkata bahwa iman “Ortodoks” yang skismatis adalah iman Kristiani sejati yang sama yang telah berada di sepanjang sejarah. Ia membuat hal ini jelas sewaktu ia berkata “kita semua adalah Gereja kuno yang masih ada”. Ia lalu berkata bahwa para ”Ortodoks” membantu untuk menghidupkan iman Kristiani di Eropa. Benediktus XVI lalu berkata: “saya telah sampai kepada pengetahuan dan menjadi semakin cinta akan Ortodoksi.” Pernyataan ini adalah bidah yang sungguh mencengangkan. Pertimbangkanlah pernyataan ini sesaat. Agama “Ortodoks” adalah suatu agama skismatis yang menyangkal Kepausan, ketiga belas konsili Gereja yang terakhir, klausa Filioque, dsb. Tetapi, Benediktus XVI berkata: “saya telah sampai kepada pengetahuan dan menjadi semakin cinta akan Ortodoksi”! Ia lalu berkata bahwa kita mungkin dapat mengerti Keutamaan Sri Paus dengan cara yang berbeda dari masa lalu. Ia berkata bahwa ia “mengerti secara benar dalam pergulatan.” Ini adalah bidah terang-terangan. Ia menempatkan kebenaran Katolik tentang Keutamaan pada tingkatan yang setara dengan penyangkalan para skismatis terhadap dogma itu; ia mengajarkan bahwa kedua posisi itu harus ditinjau ulang. Ia bahkan merekomendasikan saran Yohanes Paulus II bahwa kita harus menimbang kembali Keutamaan Kepausan untuk menyenangkan para bidah. Ia lalu berkata bahwa para “Ortodoks” membangun masyarakat. Benediktus XVI adalah seorang bidah dan seorang skismatis.

Sambutan Benediktus XVI pada tanggal 22 September 2011 pada pertemuan dengan Komunitas Yahudi di Jerman: “… betapa besarnya kepercayaan yang telah tumbuh antara orang-orang Yahudi dan Gereja Katolik, yang menjaga bersama-sama bagian dari tradisi-tradisi mereka yang esensial, seperti yang telah anda tekankan. Pada waktu yang bersamaan jelas adanya bagi kita semua bahwa suatu hubungan kasih yang dipenuhi rasa pengertian timbal balik antara Israel dan Gereja, di mana masing-masing menghormati esensi yang lainnya, masih harus bertumbuh lebih lanjut dan perlu dibangun di dalam hati dari seruan iman kita… Sehubungan dengan kenangan ini, harus diakui dengan rasa syukur bahwa suatu kemajuan baru telah terlihat pada dekade-dekade terkini, yang memungkinkan untuk berbicara tentang suatu perkembangan kehidupan Yahudi yang riil di Jerman… Saya hendak mengungkapkan rasa syukur saya atas dialog yang semakin dalam antara Gereja Katolik dan agama Yahudi. Gereja merasakan suatu kedekatan yang besar dengan orang-orang Yahudi. Dengan deklarasi Nostra Aetate dari Konsili Vatikan Kedua, suatu ‘komitmen yang tak dapat dibatalkan untuk mengambil jalan dialog, persaudaraan dan persahabatan’ telah dibuat. Hal ini benar tentang Gereja Katolik secara keseluruhan, di mana Beato Yohanes Paulus II sendiri berkomitmen kepada jalan yang baru ini dengan semangat yang istimewa. Pastinya demikian pula adanya dengan Gereja Katolik di Jerman, yang sadar akan tanggung jawabnya yang khusus sehubungan dengan hal ini. Di dalam ruang lingkup publik, harus disebutkan secara khusus tentang ‘Pekan Persaudaraan’, yang diorganisir setiap tahun pada pekan pertama di bulan Mei oleh Serikat-Serikat Kemitraan Kristen-Yahudi setempat. Dari sisi Katolik, berlangsung pula pertemuan-pertemuan tahunan antara para uskup dan rabbi serta percakapan-percakapan yang distrukturkan dengan Dewan Sentral Yahudi. Pada tahun 1970-an, Komite Sentral Katolik Jerman mengambil inisiatif untuk membentuk suatu forum ‘Yahudi dan Kristen’, yang selama bertahun-tahun telah mengeluarkan banyak dokumen yang ditulis dengan baik dan yang membantu. Saya pun tidak boleh lalai untuk menyebutkan pertemuan yang bersejarah untuk dialog Yahudi-Kristiani yang berlangsung pada bulan Maret 2006 dengan partisipasi dari Kardinal Walter Kasper. Kerja sama itu terbukti berbuah.

Di samping inisiatif-inisiatif yang penting ini, saya merasa bahwa kita sebagai orang-orang Kristen juga harus semakin menyadari kedekatan interior kita dengan agama Yahudi yang anda rujukkan. Bagi orang-orang Kristiani, tidak boleh ada suatu lubang di dalam sejarah keselamatan. Keselamatan datang dari orang Yahudi (cf. Yoh. 4:22). Sewaktu konflik Yesus dengan agama Yahudi pada masa-Nya secara dangkal diinterpretasikan sebagai suatu pemutusan dengan Perjanjian Lama, konflik ini cenderung disederhanakan menjadi gagasan tentang suatu pembebasan yang secara salah memandang Taurat semata-mata sebagai pencanangan yang bagaikan budak untuk ritual-ritual serta perayaan-perayaan eksternal. Tetapi kenyataannya, Khotbah di Gunung tidak menghapuskan Hukum Musa, melainkan menyingkapkan kemungkinan-kemungkinannya yang tersembunyi dan mengizinkan tuntutan-tuntutan radikal yang lebih banyak untuk muncul. Khotbah di Gunung menunjukkan kita kepada sumber tindakan manusia yang terdalam, yakni hati, di mana pilihan-pilihan dibuat antara apa yang murni dan apa yang tidak murni, di mana iman, harapan dan kasih berkembang. Pesan harapan yang termuat di dalam kitab-kitab dari Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama Kristiani telah diapropriasikan dan terus dilanjutkan di dalam cara-cara yang berbeda oleh orang-orang Yahudi dan Kristen. Setelah antagonisme yang berabad-abad, kita sekarang memandang sebagai tugas kita untuk membawa kedua cara untuk kembali membaca naskah-naskah alkitabiah – cara Kristiani dan cara Yahudi – ke dalam dialog satu dengan yang lainnya, jika kita ingin mengerti kehendak Allah serta sabda-Nya secara benar. Dialog ini akan berguna untuk memperkuat harapan kita bersama dalam Allah di tengah-tengah masyarakat yang semakin sekuler. Tanpa harapan ini, masyarakat kehilangan kemanusiaannya. Setelah mempertimbangkan segala hal, kita dapat menyimpulkan bahwa interaksi antara Gereja Katolik dan agama Yahudi di Jerman telah menghasilkan buah-buah yang menjanjikan. Hubungan jangka panjang yang dipenuhi kepercayaan telah ditempa. Orang-orang Yahudi dan Kristen tentunya memiliki tanggung jawab bersama untuk kemajuan masyarakat, yang selalu mengikutsertakan suatu dimensi agamawi. Semoga semua orang yang mengambil bagian dalam perjalanan ini melangkah maju bersama. Untuk mencapai tujuan ini, semoga Yang Mahaesa dan Mahakuasa, Ha Kadosch Baruch Hu, menganugerahkan berkat-Nya. Terima kasih.”[3]

Benediktus XVI berkata bahwa Gereja Katolik menghormati esensi dari agama Yahudi – suatu agama yang menolak Yesus Kristus. Ia lalu berkata bahwa orang-orang Yahudi menyerukan “iman”!!! Lalu, Benediktus XVI berkata “harus diakui dengan rasa syukur bahwa suatu kemajuan baru telah terlihat pada dekade-dekade terkini, yang memungkinkan untuk berbicara tentang suatu perkembangan kehidupan Yahudi yang riil di Jerman.” Benediktus XVI bersyukur bahwa terdapat “suatu perkembangan kehidupan Yahudi yang riil.” Secara definisi, kehidupan Yahudi adalah kehidupan tanpa Yesus Kristus – yakni, yang dengan sendirinya tidak memiliki hidup. Benediktus XVI telah sekali lagi melakukan kemurtadan. Ia lalu berkata bahwa “Gereja merasakan suatu kedekatan yang besar dengan orang-orang Yahudi”. Bagaimanakah mungkin adanya sewaktu orang-orang Yahudi menolak Gereja dan pendirinya, Yesus Kristus?! Ia mendeskripsikan cara baru untuk memandang agama Yahudi ini sebagai berasal dari Konsili Vatikan Kedua. Benediktus XVI merujuk kepada cara ini sebagai “jalan yang baru ini”. Ya, jalan yang baru yang lebar menuju Neraka dan kemurtadan dari iman Katolik bermula di Vatikan II. Ia lalu berbicara tentang bagaimana “orang-orang Kristen juga harus semakin menyadari kedekatan interior kita dengan agama Yahudi.” Hal ini berarti bahwa ia percaya bahwa agama Yahudi dan Katolik terhubung bersama. Benediktus XVI lalu berkata bahwa perjanjian lama tidak dihapuskan oleh Yesus. Ini adalah bidah terang-terangan.

Benediktus XVI lalu menuturkan bidahnya yang terburuk. Ia berkata: “Pesan harapan yang termuat di dalam kitab-kitab dari Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama Kristiani telah diapropriasikan dan terus dilanjutkan di dalam cara-cara yang berbeda oleh orang-orang Yahudi dan Kristen. Setelah antagonisme yang berabad-abad, kita sekarang memandang sebagai tugas kita untuk membawa kedua cara untuk kembali membaca naskah-naskah alkitabiah – cara Kristiani dan cara Yahudi – ke dalam dialog satu dengan yang lainnya, jika kita ingin mengerti kehendak Allah serta sabda-Nya secara benar.” Benediktus XVI berkata bahwa kita memiliki tugas untuk kembali membaca naskah-naskah alkitabiah menurut kepercayaan Yahudi tentang makna Kitab Suci. Benediktus XVI berkata bahwa hanya dengan melakukan hal inilah kita akan mengerti kehendak Allah dan sabda-Nya dengan benar! Ia lalu berkata bahwa agama Yahudi memiliki suatu tanggung jawab untuk mengembangkan masyarakat. Benediktus XVI lalu mengakhiri kemurtadannya dengan memberi suatu berkat kepada orang-orang Yahudi.

Sambutan Benediktus XVI, 23 September 2011, pada saat pertemuan dengan Komunitas-Komunitas Muslim: “Dari tahun 1970-an sampai sesudahnya, kehadiran dari banyak keluarga Muslim telah menjadi suatu tanda yang khas di negeri ini. Upaya yang konstan diperlukan untuk memupuk kedekatan dan pengertian timbal balik. Upaya ini bukan hanya penting untuk koeksistensi yang damai, tetapi juga untuk kontribusi yang dapat dibuat oleh masing-masing untuk membangun kebaikan bersama di dalam masyarakat ini. Banyak orang Muslim mengatribusikan suatu kepentingan yang besar kepada dimensi agamawi dari hidup. Terkadang, hal ini dianggap sebagai provokatif di dalam suatu masyarakat yang cenderung memojokkan agama atau sebanyak-banyaknya menempatkan agama di antara pilihan-pilihan pribadi seorang individu. Gereja Katolik dengan teguh mendukung bahwa pengakuan yang layak harus diberikan kepada dimensi publik penganutan agama. Di dalam masyarakat yang amat majemuk, tuntutan ini bukanlah hal yang tidak penting. Sementara itu, harus dibuat suatu jaminan agar pihak yang lain selalu diperlakukan dengan rasa hormat. Rasa hormat timbal balik ini bertumbuh hanya atas dasar persetujuan tentang nilai-nilai asasi yang khas milik kodrat manusia, terutama martabat asasi dari setiap orang yang diciptakan oleh Allah. Persetujuan semacam itu tidak membatasi ungkapan agama-agama individual ; sebaliknya, persetujuan itu mengizinkan setiap orang untuk memberikan kesaksian yang eksplisit terhadap apa yang dipercayainya, tanpa menghindari perbandingan dengan orang-orang lain. Teman-teman yang terkasih, atas dasar apa yang telah saya gambarkan di sini, saya merasa bahwa kolaborasi yang berbuah mungkin terjadi antara orang-orang Kristen dan Muslim. Sementara itu, kita membantu untuk membangun suatu masyarakat yang berbeda di dalam berbagai aspek dari apa yang kita bawa bersama diri kita dari masa lalu. Sebagai umat beriman, yang bertindak dari keyakinan-keyakinan kita masing-masing, kita dapat menawarkan suatu kesaksian yang penting di dalam berbagai aspek kehidupan yang penting di dalam masyarakat… Inilah suatu alasan lain mengapa saya kira penting adanya untuk melangsungkan suatu hari refleksi, dialog, dan doa untuk perdamaian dan keadilan di dunia, yang seperti yang anda ketahui, kami rencanakan untuk laksanakan pada tanggal 27 Oktober mendatang di Assisi, dua puluh lima tahun setelah pertemuan bersejarah di sana yang dipimpin oleh pendahulu saya, Beato Paus Yohanes Paulus II. Melalui perkumpulan ini, kami hendak mengungkapkan, dengan kesederhanaan, bahwa kita sebagai umat beriman memiliki suatu kontribusi yang khusus untuk dibuat demi membangun suatu dunia yang lebih baik, sembari mengakui bahwa agar tindakan-tindakan kita menjadi efektif, kita perlu bertumbuh dalam dialog dan rasa saling hormat.”[4]

Benediktus XVI mengomentari populasi Muslim yang meningkat di Jerman seakan-akan hal itu adalah suatu perkembangan yang positif. Ia lalu berkata bahwa orang-orang Muslim dapat membangun masyarakat. Ia lalu memuji orang-orang Muslim atas “kepentingan yang besar kepada dimensi agamawi dari hidup.” Kemudian, ia berkata “Gereja Katolik dengan teguh mendukung bahwa pengakuan yang layak harus diberikan kepada dimensi publik penganutan agama.” Benediktus XVI lalu menuturkan bahwa Gereja “tidak membatasi ungkapan agama-agama individual ; sebaliknya, persetujuan itu mengizinkan setiap orang untuk memberikan kesaksian yang eksplisit terhadap apa yang dipercayainya.” Pernyataan ini sama sekali bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh Gereja Katolik di sepanjang sejarah. Benediktus XVI lalu mengulangi pernyataan bahwa para Muslim adalah umat beriman dan menyatakan bahwa orang-orang Muslim “memiliki suatu kontribusi yang khusus untuk dibuat demi membangun suatu dunia yang lebih baik.” Ia mengakhiri pidatonya yang bidah kepada para Muslim dengan menyatakan bahwa kita perlu bertumbuh di dalam rasa hormat timbal balik untuk Islam dan agama-agama sesat lainnya. Betapa ia seorang pemurtad!

Konferensi Pers Benediktus XVI, 22 September 2011 pada penerbangannya ke Berlin, Jerman:
Pertanyaan dari Pers: “Pada tahun-tahun terakhir, jumlah orang yang meninggalkan Gereja di Jerman semakin meningkat, sebagian akibat pelecehan anak-anak bawah umur yang dilakukan oleh anggota imamat. Apakah yang anda rasakan tentang fenomena ini? Dan apakah yang akan anda katakan kepada mereka yang ingin meninggalkan Gereja?
Jawaban dari Benediktus XVI: “Marilah memulai mungkin dengan mengidentifikasikan apakah yang secara khusus memotivasikan orang-orang yang merasakan skandal akibat kejahatan-kejahatan ini yang telah tersingkap pada waktu-waktu terkini. Sehubungan dengan informasi  ini, saya dapat mengerti dengan baik, terutama jika hal ini melibatkan orang-orang yang dekat…”[5]
Pertanyaan dari Pers: “Bapa Suci, anda akan mengunjungi bekas biara dari sang reformer Martin Luther di Erfurt. Orang-orang Kristen Evangelikal dan orang-orang Katolik yang berdialog dengan mereka sedang bersiap diri merayakan ulang tahun kelima ratus dari Reformasi. Dengan pesan apa, dengan pikiran apa anda bersiap diri untuk pertemuan ini? Apakah perjalanan anda juga akan dipandang sebagai suatu gerak-gerik persaudaraan kepada saudara-saudari kita yang terpisahkan dari Roma ?
Jawaban dari  Benediktus XVI: “Sewaktu saya menerima undangan untuk melakukan perjalanan ini, jelas bagi saya bahwa ekumenisme dengan teman-teman Evangelikal kita harus menjadi poin yang kuat, poin yang sentral bagi perjalanan ini. Kita hidup di masa sekularisme, seperti yang telah dikatakan, di mana orang-orang Kristen bertugas, bersama, untuk membuat pesan Allah, pesan Kristus menjadi hadir, untuk memungkinkan untuk percaya, untuk melangkah maju dengan ide-ide yang hebat ini, kebenaran-kebenaran yang agung ini… Maka, saya berterima kasih kepada teman-teman kita, saudara-saudari kita orang Protestan, yang telah membuat suatu tanda yang penuh makna mungkin terjadi: pertemuan kita di biara dari mana Luther memulai perjalanan teologisnya, doa kita di Gereja di mana ia ditahbiskan sebagai seorang imam dan percakapan kita bersama tentang tanggung jawab kita sebagai orang Kristen di masa ini. Maka saya amat gembira karena saya dapat menunjukkan kesatuan yang mendasar ini, kenyataan bahwa kita dalah saudara dan saudari yang bekerja bersama demi kebaikan umat manusia, dengan mewartakan pesan Kristus, dari Allah yang memiliki wajah manusia dan yang berbicara dengan kita.”[6]

Di dalam tanggapannya kepada pertanyaan pertama dari seorang wartawan, Benediktus XVI berkata bahwa ia “dapat mengerti dengan baik” mengapa orang-orang ingin meninggalkan Gereja Katolik jika skandal besar dilakukan oleh beberapa anggotanya. Ia tidak berkata sama sekali bahwa adalah suatu dosa untuk meninggalkan Gereja. Maka, perkataannya memberikan suatu “pembenaran” bagi mereka yang meninggalkan Gereja Katolik. Dengan demikian, ia kembali menyangkal iman.

Di dalam pertanyaan yang kedua, sang wartawan berkata bahwa orang-orang Protestan dan “Katolik” bersiap diri (pada tahun 2017) untuk menyelenggarakan dirgahayu ke-500 revolusi Martin Luther terhadap iman Katolik! Benediktus XVI mendukung pernyataan sang wartawan dengan secara langsung menanggapi pertanyaan itu: “ekumenisme dengan teman-teman Evangelikal kita harus menjadi poin yang kuat, poin yang sentral bagi perjalanan ini.” Ia lalu berkata bahwa orang-orang Protestan, Katolik, dsb. perlu pergi dan membuat orang-orang “percaya”. Maka, ia mendukung penerimaan segala jenis iman yang mengaku-aku Kristen. Menurut Benediktus XVI, segala jenis “Kekristenan” memadai, walaupun sekte-sekte ini menolak wahyu ilahi tentang Gereja, Kepausan, sakramen-sakramen, dan sebagainya. Ia menyebut para Protestan sebagai “saudara-saudari” dan sekali lagi memberikan pujian kepada Martin Luther sewaktu ia berbicara tentang “perjalanan teologis” Martin Luther. Benediktus XVI menegaskan kepercayaannya bahwa orang-orang Protestan adalah Kristen dengan berkata bahwa orang-orang Protestan memiliki “tanggung jawab kita sebagai orang Kristen di masa ini” untuk bekerja “demi kebaikan umat manusia”. Orang-orang Protestan tidak mempromosikan pesan Kristus – mereka menyerukan pesan Antikristus.

Sambutan Benediktus XVI, 23 September 2011, di rumah yang pernah menjadi tempat tinggal Martin Luther, kepada para perwakilan “Gereja” Protestan Evangelikal di Jerman: “Saya terutama bersyukur kepada anda, saudara yang terkasih, Pastor Schneider; karena anda telah menyambut saya dan atas kata-kata yang dengannya anda telah menyambut saya di sini di tengah-tengah anda sekalian. Anda telah membuka hati anda dan secara terbuka mengungkapkan suatu iman bersama yang sungguh, suatu kerinduan untuk kesatuan. Dan kita juga bergembira, sebab saya percaya bahwa sesi ini, pertemuan-pertemuan kita di sini, juga diselenggarakan sebagai pesta akan iman kita bersama. Di samping itu, saya hendak mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada anda sekalian atas kemurahan hati anda karena anda telah memungkinkan kita  untuk berbicara satu sama lain sebagai umat Kristen di sini. Sebagai Uskup Roma, saya amat tergerak untuk dapat bertemu dengan anda di sini di biara Agustinian yang kuno di Erfurt. Seperti yang baru saja kita dengar, inilah tempat di mana Luther mempelajari teologi. Di sinilah tempat di mana ia ditahbiskan sebagai seorang imam. Ia melawan kehendak bapanya, dan tidak melanjutkan studi Hukum, tetapi ia mempelajari teologi, dan mengambil jalan menuju imamat di dalam Ordo Santo Agustinus. Dan di dalam jalannya, ia bukan hanya memedulikan hal ini dan hal itu. Apa yang senantiasa menggerakkan dirinya adalah pertanyaan tentang Allah, gairah yang mendalam dan semangat yang mendorong segenap perjalanan hidupnya. ‘Bagaimanakah saya menerima rahmat Allah?: pertanyaan ini menyentuh hatinya dan menjadi dasar dari segala pencarian teologisnya dan pergulatan internalnya. Bagi Luther teolog bukan hanya semata-mata suatu tujuan akademik, melainkan pergulatan untuk dirinya sendiri, yang kemudian menjadi suatu pergulatan untuk dan dengan Allah: ‘Bagaimanakah saya menerima rahmat Allah? Kenyataan bahwa pertanyaan ini merupakan semangat yang mendorong seluruh hidupnya tak henti-hentinya membuat suatu kesan yang mendalam di dalam diri saya. Sebab siapakah yang sungguh peduli tentang hal ini pada hari ini – bahkan di antara umat Kristiani? Apakah makna pertanyaan tentang Allah itu di dalam hidup kita? Di dalam pengkhotbahan kita? Kebanyakan orang pada hari ini, bahkan orang-orang Kristen, memulai dari anggapan bahwa Allah pada dasarnya tidak tertarik terhadap dosa dan kebajikan… Pertanyaannya: seperti apakah posisi Allah terhadap diri saya, di manakah saya berdiri di hadapan Allah? – Pertanyaan Luther yang membara harus sekali lagi, secara pasti di dalam suatu bentuk yang baru, menjadi pertanyaan kita pula, bukan suatu pertanyaan akademik, melainkan suatu pertanyaan yang riil. Menurut pandangan saya, inilah panggilan-panggilan pertama yang harus kita tanggapi dalam pertemuan kita dengan Martin Luther… Pemikiran Luther, seluruh spiritualitasnya, sepenuhnya berpusat kepada Kristus: ‘Apakah yang memajukan perkara Kristus’ bagi Luther adalah kriteria hemeneutik yang menentukan untuk eksegesis Kitab Suci… Hal terutama dan yang terpenting untuk ekumenisme adalah bahwa kita terus memusatkan perhatian terhadap betapa banyaknya persamaan kita, tanpa kehilangan perhatian terhadapnya di tengah-tengah tekanan menuju sekularisasi – segala hal yang membuat kita Kristen pertama-tama dan terus menjadi karunia dan tugas kita. Adalah kesalahan dari periode Reformasi bahwa secara umum, kita hanya mampu melihat apa yang membagi-bagi diri kita dan kita gagal untuk menangkap secara eksistensial apa yang kita miliki bersama sehubungan dengan khazanah dari Kitab Suci dan dari syahadat-syahadat Kristen awal yang agung. Bagi saya, langkah maju ekumenis yang besar dari dekade-dekade terkini adalah bahwa kita telah menjadi lebih sadar akan semua kesamaan ini, bahwa kita mengakuinya sewaktu kita berdoa dan bernyanyi bersama, sewaktu kita membuat komitmen kita bersama untuk etika Kristiani dalam perkara-perkara kita dengan dunia, sewaktu kita memberikan kesaksian bersama kepada Allah Yesus Kristus di dunia ini sebagai fondasi asasi kita bersama. Tantangan kedua terhadap Kekristenan di dunia yang hendak saya bicarakan bersifat lebih mendalam dan di negara kita lebih kontroversial: konteks yang disekularisasikan dari dunia di mana kita umat Kristiani harus hidup dan memberikan kesaksian terhadap iman kita. Allah semakin diusir dari masyarakat kita, dan sejarah dari wahyu yang dikisahkan oleh Kitab Suci kepada kita tampaknya terkunci di dalam masa lalu yang semakin lampau. Haruskah kita menyerah kepada tekanan sekularisasi, dan menjadi modern dengan melarutkan iman? Tentunya, iman pada hari ini harus dipikirkan secara segar, dan terutama dihayati dengan segar, agar iman itu menjadi selaras dengan masa kini. Tetapi, bukanlah dengan melarutkan iman, melainkan dengan menghayatinya pada hari ini di dalam kepenuhannya, itulah cara kita mencapainya. Inilah tugas ekumenis di mana kita harus membantu satu sama lain: mengembangkan suatu iman yang lebih mendalam dan lebih hidup. Bukanlah strategi yang menyelamatkan kita dan menyelamatkan Kekristenan, melainkan iman – yang dipikirkan dan dihayati dengan segar; melalui iman semacam itu, Kristus memasuki dunia kita ini, dan bersama-Nya, Allah yang hidup. Sebagaimana para martir dari era Nazi membawa bersama dan memelopori awal pembukaan ekumenis akbar itu, demikian pula pada hari ini, iman yang dihayati dari dalam diri di tengah-tengah dunia yang telah menjadi sekuler adalah kekuatan ekumenis yang paling perkasa yang membawa kita bersama…”[7]

Benediktus XVI memulai sambutannya yang bidah kepada para Lutheran dengan menyatakan salah satu pemimpin Lutheran sebagai “pastor”. Hanya para imam yang ditahbiskan secara valid yang memiliki iman Katoliklah yang disebut “pastor”. Sewaktu ia berkata tentang “iman kita bersama”, ia menyatakan bahwa orang-orang Lutheran dan Katolik memiliki iman yang sama. Tentunya, ia menyatakan bahwa orang-orang Lutheran adalah Kristen walaupun mereka menyangkal banyak dogma Katolik. Ia lalu berbicara panjang lebar untuk memuji Martin Luther. Benediktus XVI berbicara tentang kehidupannya dan apa yang ia lakukan seakan-akan Luther adalah seorang santo yang agung. Ingatlah bahwa kita berbicara tentang Martin Luther, bidah yang paling terkenal keburukannya di sepanjang sejarah Gereja!

Ia berbicara tentang “gairah yang mendalam ” dari Martin Luther, ia berkata bahwa “ semangat yang mendorong seluruh hidupnya tak henti-hentinya membuat suatu kesan yang mendalam di dalam diri saya” tentang Luther. Ia menyatakan bahwa pergulatan Martin Luther adalah pergulatan untuk Allah. Ini adalah bidah. Ia berkata bahwa pertanyaan Martin Luther harus menjadi pertanyaan kita juga. Ia lalu berbicara dengan positif tentang “pertemuan kita dengan Martin Luther”. Benediktus XVI lalu menuturkan penghujatan bahwa “Pemikiran Luther, seluruh spiritualitasnya, sepenuhnya berpusat kepada Kristus.” Martin Luther menghujat Kristus dan sepenuhnya menyesatkan iman-Nya. Benediktus XVI lalu berkata bahwa “kita berdoa dan bernyanyi bersama” dengan para Lutheran. Berdoa dan bernyanyi dengan orang-orang non-Katolik telah selalu dikutuk oleh ajaran Katolik. Bagaimanapun, Benediktus XVI selalu mempromosikan dan terlibat dalam aktivitas ini. Sambutan ini diberikan pada waktu yang pada dasarnya adalah suatu ibadat Protestan. Hal ini mengikutsertakan Benediktus XVI yang berdoa dan bernyanyi bersama orang-orang Lutheran pada saat ibadat doa Lutheran. Pada saat ibadat doa ini, Benediktus XVI berdoa bersama seorang “uskup” wanita Lutheran dan memberikan berkat bersama dengan seorang “pastor” Protestan Lutheran. Ia juga berlutut di hadapan altar Protestan yang tidak memiliki Ekaristi ataupun memiliki sebuah tabernakel. Benediktus XVI lalu berkata bahwa orang-orang Lutheran perlu memberikan kesaksian tentang iman mereka dan bahwa mereka tidak boleh melarutkan iman itu. Ia menutup pidatonya yang bidah kepada para Lutheran dengan berkata kepada mereka bahwa mereka dapat membantu orang-orang Katolik untuk “mengembangkan suatu iman yang lebih mendalam dan lebih hidup”. Benediktus XVI sepenuhnya seorang bidah.

Sambutan Berpulang Benediktus XVI, 25 September 2011, di Bandara Lahr: “Di sini, di tanah Reformasi, kesatuan Kristiani secara alami adalah poin utama dari perjalanan saya. Saya hendak menyebutkan terutama pertemuan saya dengan para perwakilan dari Gereja Evangelikal di Jerman yang berlangsung di bekas biara Agustinian di Erfurt. Saya berterima kasih secara mendalam atas percakapan persaudaraan kita serta doa bersama. Penting pula adanya pertemuan-pertemuan saya dengan orang-orang Ortodoks serta Ortodoks Oriental, serta orang-orang Yahudi dan Muslim.”[8]

Benediktus XVI secara lancang memuji tanah ini sebagai “tanah Reformasi”. Ia jelas menyiratkan bahwa apa yang disebut-sebut sebagai reformasi Martin Luther adalah suatu hal yang amat baik untuk dunia. Ia juga berkata bahwa ia berterima kasih secara mendalam atas doa bersama orang-orang non-Katolik. Seperti yang baru saja kami sebutkan, siapa pun yang akrab dengan sejarah Gereja Katolik mengetahui bahwa doa semacam itu bersama orang-orang non-Katolik bertentangan dengan ajaran Katolik. Tetapi, sang bidah Benediktus XVI “berterima kasih secara mendalam” atas doa bersama dengan mereka.

Renungan Benediktus XVI, 28 September 2011, pada perjalannya ke Jerman pada saat Katekese: “Saya kemudian mengadakan pertemuan dengan beberapa perwakilan komunitas Yahudi Jerman. Mengingat akar kita bersama dalam iman kepada Allah Abraham, Ishak dan Yakub, kami menyoroti hasil yang diperoleh sejauh ini dalam dialog antara Gereja Katolik dan agama Yahudi di Jerman. Saya juga dapat bertemu dengan beberapa anggota komunitas Muslim, dan bersetuju dengan mereka tentang pentingnya kebebasan beragama untuk pembangunan umat manusia yang penuh damai… Perhentian kedua dalam kunjungan saya adalah Thuringia. Jerman dan Thuringia khususnya, adalah tanah Reformasi Protestan. Oleh karena itu, sejak awal, saya sangat ingin memberikan kepentingan yang khusus kepada ekumenisme dalam kerangka perjalanan ini; saya sangat mengharapkan pengalaman ekumenis di Erfurt, karena di kota inilah Martin Luther memasuki komunitas Agustinian dan ditahbiskan menjadi imam. Oleh karena itu, saya sangat gembira karena dapat bertemu dengan para anggota Dewan Gereja Evangelikal di Jerman dan melalui acara ekumenis di bekas Biara Augustinian. Pertemuan itu berlangsung dengan ramah, dalam dialog dan doa, membawa kita dengan lebih mendalam kepada Kristus. Kita melihat sekali lagi betapa pentingnya kesaksian bersama kita untuk iman kepada Yesus Kristus di dunia saat ini, yang terlalu sering tidak memperhatikan Tuhan atau tidak tertarik kepada-Nya… Saya juga dapat bertemu di dalam suasana persaudaraan beberapa perwakilan Ortodoks dan Gereja Ortodoks Oriental, yang kepadanya kami umat Katolik merasa sangat dekat. Dan tugas bersama untuk menjadi ragi bagi pembaruan masyarakat kita berasal dari persekutuan luas itu sendiri.”[9]

Benediktus XVI memuji Reformasi Protestan dengan berkata kepada semua orang di dalam suatu konteks kekaguman bahwa Thuringia adalah “tanah Reformasi Protestan”. Jelas bahwa ia memilih untuk pergi ke sana karena Thuringia adalah tanah revolusi Protestan. Ia juga merujuk, sekali lagi, kepada sobatnya, Martin Luther. Benediktus XVI menyebutkan “kesaksian bersama kita untuk iman” yang dimiliki oleh dirinya dan para bidah Lutheran bersama. Ia lalu berkata bahwa para “Ortodoks” skismatis memiliki tugas bersama dengan para Katolik untuk memperbarui masyarakat.

Pesan Benediktus XVI, 1 September 2011: “Dalam beberapa minggu kita akan merayakan ulang tahun ke-25 undangan Beato Yohanes Paulus II kepada para perwakilan dari berbagai agama di dunia untuk berkumpul di Assisi untuk pertemuan internasional untuk berdoa bagi perdamaian. Berawal dari peristiwa yang tak terlupakan itu, dari tahun ke tahun Komunitas Sant' Egidio telah menyelenggarakan pertemuan untuk perdamaian guna memperdalam semangat perdamaian dan rekonsiliasi agar Allah, melalui doa, menjadikan kita bangsa yang damai… Pertemuan seperti yang diadakan di Assisi dan yang diadakan di München pada saat ini adalah kesempatan-kesempatan di mana agama-agama dapat mempertanyakan diri mereka sendiri dan bertanya kepada diri sendiri bagaimana mempromosikan koeksistensi yang damai.”[10]

Benediktus XVI akan mengikuti rencana satanik Yohanes Paulus II dan mengumpulkan para anggota dari berbagai agama palsu untuk “berdoa bagi perdamaian.” Salah satu sorotannya, ujarnya, adalah bahwa jika anda mengaku diri Katolik, anda akan dapat mempertanyakan agama anda.

Pesan Benediktus XVI, 18 September 2011, tentang kunjungannya yang mendatang ke Jerman: “Poin yang tinggi dari Kunjungan itu adalah Erfurt: di biara Agustinian itu, di gereja Agustinian, di mana Luther bermula. Di sana saya akan dapat bertemu dengan para perwakilan dari Gereja Evangelikal Jerman. Di sana, bersama-sama, kita akan berdoa dan mendengarkan firman Allah, bersama-sama kita akan merenungkan dan bercakap-cakap. Kami tidak mengharapkan sesuatu yang sensasional. Faktanya, kehebatan yang sejati dari peristiwa itu terdapat pada fakta ini; agar di tempat ini kita dapat berpikir, mendengarkan sabda Allah dan berdoa bersama, sehingga kita akan berada dalam keharmonisan dan agar suatu ekumenisme sejati akan diungkapkan.”[11]

Erfurt bukanlah kota besar. Kota ini memiliki populasi sekitar 200.000 orang. Erfurt hanya dianggap penting bagi sejarah dunia karena di situlah Martin Luther memulai revolusinya melawan Gereja Katolik. Itulah persisnya mengapa Benediktus XVI ingin mengunjungi kota ini. Itulah juga mengapa dia pergi ke bekas rumah Martin Luther. Dia ingin menghormati rumah/biara di mana Luther mendapat ilham dari Iblis untuk memulai misinya untuk menghancurkan agama Katolik.

Katekese Benediktus XVI, 31 Agustus 2011: “Uskup Lutheran dari München berada di sisi saya dan saya berkata kepadanya secara spontan: 'dengan mendengarkan hal ini, seseorang mengerti: benar adanya, begitu pula keindahan yang tak tertahankan yang mengungkapkan kehadiran dari kebenaran Allah. ”[12]

Benediktus XVI menyebut seorang awam sebagai “Uskup.”

Sambutan Benediktus XVI, 14 September 2011, kepada Kelompok-Kelompok Khusus setelah Katekese tentang Mazmur 22: “Saya menyampaikan sambutan yang khusus kepada para delegasi Pelayanan Pembaruan Katolik Karismatik Internasional…”[13]

Seperti yang telah kami tunjukkan di masa lalu, Benediktus XVI sepenuhnya mendukung gerakan Karismatik.

Banyak dari anda yang membaca bidah-bidah ini di sepanjang tahun masih percaya bahwa Benediktus XVI adalah seorang Paus, dan oleh karena itu bahwa ia memiliki iman Katolik. Mencengangkan adanya menurut saya bahwa anda dapat membaca bidah-bidah ini dan masih percaya bahwa Benediktus XVI adalah seorang Katolik. Ia selalu mengajarkan bidah-bidah semacam ini. Apa anda perlu melihat 10 juta bidah yang dilakukannya, lalu anda akan menjadi yakin? Tidakkah anda dapat melihat bahwa Benediktus XVI tidak memiliki iman Katolik? Jika anda percaya bahwa ia memiliki iman Katolik, maka anda tidak percaya akan suatu hal pun. Bangun! Ia seorang Anti-Paus. Jika, setelah melihat semua informasi ini, anda masih percaya bahwa Benediktus XVI memiliki iman Katolik dan adalah anggota dari Gereja, anda seorang bidah. Anda akan mengikutinya sampai ke dalam api Neraka yang abadi.

Baca lebih lanjut Bidah-Bidah Terkini Benediktus XVI

Catatan kaki:

[1] L’ Osservatore Romano, 5 Oktober 2011, hal. 3. Versi Bahasa Inggris.

[2] L’ Osservatore Romano, 28 September 2011, hal. 16-18. Versi Bahasa Inggris.

[3] L’ Osservatore Romano, 28 September 2011, hal. 8. Versi Bahasa Inggris.

[4] L’ Osservatore Romano, 28 September 2011, hal. 10. Versi Bahasa Inggris.

[5] L’ Osservatore Romano, 28 September 2011, hal. 3. Versi Bahasa Inggris.

[6] L’ Osservatore Romano, 28 September 2011, hal. 4. Versi Bahasa Inggris.

[7] L’ Osservatore Romano, 28 September 2011, hal. 11, 14. Versi Bahasa Inggris.

[8] L’ Osservatore Romano, 28 September 2011, hal. 23. Versi Bahasa Inggris.

[9] L’ Osservatore Romano, 5 Oktober 2011, hal. 11-12. Versi Bahasa Inggris.

[10] L’ Osservatore Romano, 21 September 2011, hal. 5. Versi Bahasa Inggris.

[11] L’ Osservatore Romano, 21 September 2011, hal. 1. Versi Bahasa Inggris.

[12] L’ Osservatore Romano, 7 September 2011, hal. 12. Versi Bahasa Inggris.

[13] L’ Osservatore Romano, 21 September 2011, hal. 11. Versi Bahasa Inggris.