Kemurtadan Anti-Paus Fransiskus dengan para Yahudi

Pernyataan Publik 17 Desember 2015 oleh “Takhta Kudus” dari “Pertemuan Bilateral Komisi Delegasi Kepala Rabi Israel dan Komisi Hubungan Keagamaan dengan Para Yahudi Takhta Suci”:

“Delegasi Yahudi mengambil kesempatan untuk mengungkapkan penghargaannya sehubungan dengan dokumen baru yang dikeluarkan oleh Komisi Kepausan untuk Hubungan Keagamaan dengan Para Yahudi dalam rangka ulang tahun tersebut [ulang tahun dokumen Vatikan II Nostra Aetate]. Dokumen yang ditulis untuk para umat Katolik sebagai renungan teologis tentang hubungan Gereja dengan Bangsa Yahudi dan berjudul “Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya” (bandingkan Roma 11:29), menegaskan keabsahan abadi dari Perjanjian Ilahi dengan Bangsa Yahudi yang terpanggil untuk bersetia kepada Hukum Taurat. Dengan demikian, dokumen tersebut menegaskan integritas dari iman Yahudi dan pengertian Yahudi akan Kitab Suci dan bahwa tidak terdapat maksud dari pihak Gereja untuk mengonversikan para Yahudi. Teks tersebut juga merujuk dengan penuh hormat kepada pertemuan-pertemuan dan pernyataan-pernyataan dari komite bilateral ini dari Komisi Kepausan dengan Kepala Rabbi dari Israel dan mendukung kerjasama yang lebih besar antara Gereja dan Bangsa Yahudi untuk dunia yang lebih dari semata-mata penuh damai…”[1]

Dengan menyetujui dokumen ini, Anti-Paus Fransiskus menegaskan kemurtadan sekte Vatikan II “bahwa tidak terdapat maksud dari pihak Gereja [Vatikan II] untuk mengonversikan para Yahudi”. Dokumen ini sendiri adalah satu-satunya hal yang perlu dilihat seseorang untuk mengetahui bahwa Anti-Paus Fransiskus dan sekte Vatikan II-nya itu tidak Katolik.

Paus Gregorius XVI, Mirari Vos (#13), 15 Agustus 1832:
“Sebab sang Rasul telah memberi teguran bahwa ‘hanya ada satu Tuhan, satu iman, satu pembaptisan’; maka, semoga mereka menjadi takut, yakni, orang-orang yang membuat-buat gagasan bahwa dermaga keselamatan terbuka kepada orang-orang yang menganut agama apa pun. Hendaknya mereka sungguh-sungguh merenungkan kesaksian sang Juru Selamat sendiri, bahwa ‘barang siapa tidak bersama Kristus, ia melawan Kristus’ dan barangsiapa tidak memanen bersama-Nya akan tercerai-berai dengan tidak bahagia. Dan itulah sebabnya, ‘jikalau mereka tidak menjaga iman Katolik utuh dan murni, tidak diragukan bahwa mereka akan binasa selamanya (Syahadat Atansius).’”[2]

 

Pidato Fransiskus tanggal 17 Januari 2016, untuk menyalami komunitas Yahudi di dalam Sinagoga di Roma:

“Saudara-saudari yang terkasih,

Saya gembira dapat berada di sini bersama anda di dalam Sinagoga Agung ini… Hubungan kita begitu dekat dalam hati saya. Sewaktu saya berada di Buenos Aires, saya dulu pergi ke sinagoga-sinagoga dan bertemu dengan komunitas-komunitas yang berkumpul di sana. Saya mengikuti festival dan perayaan Yahudi dan bersyukur kepada Tuhan, yang memberikan kita kehidupan dan mendampingi kita di sepanjang sejarah. Lambat laun, ikatan rohani telah terbentuk, yang memupuk hubungan pertemanan yang autentik dan yang mengilhami komitmen bersama. Dalam dialog antaragama, adalah sesuatu yang mendasar bahwa kita bertemu satu sama lain sebagai saudara-saudari di hadapan Pencipta kita dan bahwa kita memuja-Nya; dan bahwa kita saling menghormati dan menghargai satu sama lain, dan mencoba untuk bekerja sama. Dan di dalam dialog Yahudi-Kristiani, terdapat suatu ikatan yang unik dan istimewa, oleh karena akar Yahudi dari Kekristenan: orang-orang Yahudi dan Kristiani harus menganggap satu sama lain sebagai saudara, yang bersatu di dalam Allah yang sama dan oleh warisan rohani bersama yang kaya (bandingkan Deklarasi Nostra Aetate, no. 4), untuk membangun dan terus membangun masa depan.

Dengan kunjungan ini saya mengikuti jejak kaki para Pendahulu saya. Paus Yohanes Paulus II datang ke sini 30 tahun lalu, pada tanggal 13 April 1986 ; dan Paus Benediktus XVI berada di antara anda enam tahun lalu. Yohanes Paulus II pada acara tersebut, membuat suatu ungkapan yang indah ‘kakak-kakak’, dan memang anda sekalian adalah kakak-kakak kami di dalam iman. Kita semua merupakan bagian dari satu keluarga, keluarga Allah, yang mendampingi kita dan melindungi kita sebagai umat-Nya. Bersama, sebagai Yahudi dan Katolik, kita terpanggil untuk memikul tanggung jawab kita untuk kota ini, berkontribusi, terutama secara rohani… Saya berharap bahwa kedekatan kita, pengertian timbal balik serta rasa saling hormat antara kedua komunitas iman ini dapat terus bertumbuh. Itulah mengapa penting bahwa saya berada di antara anda semua persisnya pada hari ini, 17 Januari, sewaktu Konferensi Waligereja Italia merayakan ‘Hari Dialog antara Katolik dan Yahudi’… Ikatan yang tidak terpisahkan yang menyatukan umat Kristiani dan Yahudi itu jelas secara teologis. Umat Kristiani, untuk dapat mengerti diri mereka sendiri, tidak dapat gagal untuk merujuk kepada akar Yahudi mereka… Kekerasan manusia terhadap manusia bertentangan dengan setiap agama yang berhak mendapatkan nama agama tersebut, dan terutama ketiga agama monoteis… Setiap umat manusia, sebagai ciptaan Allah, adalah saudara-saudari kita, tidak peduli asal-muasalnya ataupun praktik keagamaannya. Saudara-saudari yang terkasih, kita harus benar-benar bersyukur untuk segala hal yang telah menjadi mungkin untuk dicapai selama 50 tahun silam, karena kita telah mendewasa dan pengertian timbal balik, serta rasa percaya dan pertemanan kita telah menjadi lebih dalam. Marilah berdoa bersama kepada Tuhan agar Ia memimpin kita di dalam perjalanan kita menuju masa depan yang baik, masa depan yang lebih baik. Allah memiliki sebuah rencana keselamatan untuk kita…”[3]

Fransiskus berkata bahwa ia gembira dapat kembali berada di dalam sinagoga – suatu bangunan yang dibaktikan kepada agama sesat yang menolak Katolisisme dan Yesus Kristus. Sang pemurtad Fransiskus berkata bahwa di Buenos Aires ia mengunjungi sinagoga-sinagoga dan “ mengikuti festival dan perayaan Yahudi dan bersyukur kepada Tuhan”. Pada Konsili Florence, di dalam bulla Cantate Domino, Paus Eugenius IV menyatakan bahwa para Yahudi dan mereka yang mengikuti dengan taat Hukum Lama akan terkutuk. Fransiskus, bagaimanapun, mengajarkan bahwa adalah sesuatu yang diizinkan untuk mempraktikkan Hukum Lama dan agama Yahudi. Hal itu adalah bidah yang lancang terhadap Konsili Florence. Fransiskus lalu berbicara tentang “ikatan rohani” dengan para Yahudi yang menyangkal Kristus dan bagaimana mereka “memuja” Allah. Fransiskus berkata bahwa ia menghargai para Yahudi yang menyangkal Yesus dan berkata bahwa mereka “bersatu di dalam Allah yang sama” dengan “Katolik”, walaupun para Yahudi menolak Allah Tritunggal dan bahwa Yesus adalah Allah. Fransiskus juga berkata bahwa Yesus adalah “kakak-kakak di dalam iman”. Jadi, Kekristenan dan “Yahudi” adalah iman yang sama, menurut Anti-Paus pemurtad ini. Fransiskus lalu berkata bahwa para Yahudi yang menolak Kristus memiliki tanggung jawab untuk melindungi kekayaan rohani kota Roma! Sang pemurtad Fransiskus mengharapkan bahwa “kedekatan” dan “rasa hormat” yang dimilikinya untuk para penyangkal Kristus ini “dapat terus bertumbuh”. Fransiskus lalu berkata bahwa terdapat “ikatan yang tidak terpisahkan” yang menyatukan para Yahudi dan “Katolik”, dan bahwa hal tersebut “jelas secara teologis”. Fransiskus mengakhirinya dengan meminta doa bersama dengan para anggota dari agama sesat ini, dan ia mengajarkan bahwa keselamatan tersedia bagi mereka yang hidup dan akan mati menyangkal Yesus Kristus. Fransiskus menolak sepenuhnya ajaran Katolik dan kata-kata Kitab Suci.

1 Yohanes 2:23- “Setiap orang yang menyangkal Putra, dia juga tidak memiliki Bapa.”

Paus Eugenius IV, Konsili Florence, “Cantate Domino,” 1441-1442, ex cathedra:
“Ia [Gereja Roma yang Kudus] dengan teguh percaya, mengakui dan berkhotbah bahwa ‘semua orang yang berada di luar Gereja Katolik, bukan hanya orang-orang pagan tetapi juga Yahudi atau bidah dan skismatis, tidak dapat mengambil bagian di dalam kehidupan kekal dan akan masuk ke dalam api yang kekal yang telah disiapkan untuk iblis dan para malaikatnya,’ [Matius 25, 41] kecuali jika mereka bergabung ke dalam Gereja sebelum akhir hidup mereka; bahwa kesatuan dari tubuh gerejawi ini sedemikian kuatnya sehingga hanya kepada mereka yang tetap tinggal di dalamnyalah sakramen-sakramen Gereja berdaya guna menuju keselamatan, dan hanya kepada mereka jugalah puasa, derma, dan karya-karya kesalehan serta praktik-praktik lain dari para laskar Kristiani menghasilkan upah yang abadi; dan bahwa tidak seorang pun dapat diselamatkan, sebanyak apa pun ia telah berderma, walaupun ia telah menumpahkan darah dalam nama Kristus, kecuali jika ia telah bertekun di pangkuan dan di dalam kesatuan Gereja Katolik.”[4]

Catatan kaki:

[1] L’Osservatore Romano, 8 Januari 2016, hal. 2. Versi Bahasa Inggris.

[2] The Papal Encyclicals {Ensiklik-Ensiklik Paus}, Vol. 1 (1740-1878), hal. 237-238.

[3] L’Osservatore Romano, 22 Januari 2016, hal. 8,9. Versi Bahasa Inggris.

[4] Denzinger 714.

Gambar: Paul Haring | CNS ; diperoleh dari catholicphilly.com