Kabar Kematian Dominikus Savio. Kesaksian Luar Biasa

BAB XXIV.

Kabar Kematian Dominikus Savio. Kesaksian Luar Biasa.

Kata-kata terakhir yang dituturkan Dominikus, seperti yang diceritakan pada bab sebelumnya, tidak memberi kesan kepada bapaknya bahwa dia sekarat. Bapaknya itu mengira Dominikus sedang kembali dalam masa istirahat. Ia pergi keluar kamar untuk beberapa menit, dan ketika kembali, berbicara kepada Dominikus; namun tak ada jawaban, dan ia melihat bahwa Dominikus benar-benar sudah mati. Boleh dibayangkan dukacita orang tuanya serta lara yang mereka alami karena kehilangan putra seperti itu.

Yang paling menanti-nanti kabarnya adalah Oratorium. Kepada saya, dikirimkan sepucuk surat cepat-cepat oleh bapaknya, dan ketika saya membaca: “Saya punya berita menyedihkan untuk anda,” saya simpulkan bahwa semuanya berakhir sudah. Bapaknya lalu berkata: “Putra kami terkasih, murid anda, berserah jiwa kepada Allah kemarin sore, dengan ketidakberdosaan seorang S.t Aloysius yang lain dan sesudah menyambut Sakramen Mahakudus dengan cara yang teramat membangun.”

Suasana Oratorium gelisah ketika saya mengabarkannya kepada anak-anak. Beberapa berduka karena kehilangan sahabat sejati semacam itu; yang lain, karena kehilangan penasihat berharga, dan mereka semua rindu teladan hidup bajiknya yang sungguh mengilhami. Beberapa dari mereka berkumpul bersama untuk mendaraskan doa bagi Dominikus, namun kebanyakan menyatakan bahwa mereka yakin Dominikus itu orang kudus dan sudah ada di Firdaus. Beberapa anak langsung mulai meminta perantaraannya, dan anak-anak secara umum berusaha mencari-cari sesuatu yang tadinya adalah kepunyaan Dominikus, untuk dijadikan relikui. Guru kelas yang dihadiri Dominikus di Torino, Romo Picco, memberitakan kabar menyedihkan itu kepada para murid laki-lakinya dalam kata-kata ini:

“Belum lama lalu, saya kebetulan berbicara kepada kalian semua tentang ketidakpastian hidup manusia, dan sudah saya tunjukkan bahwa kematian tidak menyisihkan mereka yang masih berusia seumur jagung sekalipun. Pada waktu itu, di kelas saya ini ada contohnya: seorang laki-laki yang penuh hidup dan gairah, namun demikian, sesudah beberapa hari dirinya absen, kita mendengar bahwa ia jatuh sakit dan meninggal dunia, sehingga orang tua serta para kerabatnya sangat berduka.

Ketika saya ungkapkan contoh itu, saya pada waktu itu tidak mengira bahwa tahun ini akan didukakan oleh peristiwa serupa, bahwa kejadian seperti itu akan terulang pada anak yang dulu pernah duduk di sini, mendengarkan saya. Ajal telah menjemput salah seorang rekan kalian, Dominikus Savio. Kalian mungkin ingat bahwa Dominikus tidak baik-baik saja terakhir kali ia ada di sini dan harus sama sekali jauh-jauh dari kelas. Para dokter menasihati agar ia dibawa pergi ke kampung halamannya, dan di sana, ia meninggal hanya setelah empat hari mengidap penyakit.

Hari kemarin saya membaca surat dari bapaknya, yang di dalamnya ia mengumumkan kabar menyedihkan itu, dan gambaran yang dibuatnya tentang kematian suci anak laki-laki itu mengharukan saya sampai berlinang air mata. Tak bisa ia temukan ungkapan yang lebih tepat bagi anak laki-laki terkasihnya itu, selain dengan menyebutnya St. Aloysius yang lain, karena kekudusan hidupnya sekaligus kepasrahannya dalam kematian. Saya andalkan para superiornya untuk menggambarkan kekudusan hidupnya, besar semangat serta kesalehannya; harus saya biarkan para rekan dan sahabat Dominikus yang setiap hari bergaul dengannya untuk menggambarkan kelembutan dan kesederhanaannya dalam berperilaku, dan betapa berhati-hatinya Dominikus dalam bertutur kata. Sejauh mana Dominikus saya bimbing, ia selalu patut mendapat pujian tertinggi atas perilakunya, kerajinannya serta keakuratannya, dan akan menjadi penghiburan terbesar bagi saya kalau kalian semua bersedia bertekad mengikut teladannya.

Ketika Dominikus di Oratorium, namun masih belum menghadiri kelas-kelas ini, kerajinannya serta kesalehannya membuatnya memenangkan reputasi tertinggi. Begitu cepat kemajuan yang dibuatnya sehingga saya sangat mendamba-dambakan dirinya datang, dan saya menaruh harapan-harapan terbesar bagi kariernya di masa depan. Saya dulu kadang kala bertemu Dominikus ketika saya berkunjung ke Oratorium, dan terkejut dengan ketidakberdosaan hidupnya serta kelemahlembutan sikapnya yang menarik orang, dan saya selalu tertarik dengannya secara khusus. Pada masa Dominikus menghadiri kelas-kelas ini, ia menepati ekspektasi saya dengan sempurna, dan kalian semua adalah saksi perilakunya yang unggul itu. Dalam banyak detail, suatu perkara yang kurang diperhatikan oleh kebanyakan anak laki-laki, Dominikus begitu tepat dan berhati-hati, dan dengan semangat serta ketajaman pikiran yang ia bawa dalam segala perbuatannya, Dominikus menguduskan seluruh harinya dan menjadikannya persembahan yang berkenan di mata Allah. Perilaku seperti itu patut diteladani; itu akan membawa penghiburan bagi orang tua dan guru, serta berkat dan kebahagiaan kepada para anak laki-laki sendiri.

Dominikus memberi kita teladan cara hidup harus dilalui dalam pengabdian kepada Allah, berkontras dengan orang muda yang tampak tidak tahu tentang tujuan mereka diciptakan, atau yang mengimpit sikap hati baik yang datang kepada setiap jiwa. Renungkanlah teladan Savio, dan kalian akan terbantu untuk melalui hidup dalam pengabdian kepada sang Pencipta dan untuk bersiap memberi pertanggungjawaban ketika tiba waktunya. Kalau saya melihat adanya perbaikan dalam pekerjaan dan perilaku, itu akan saya anggap diperoleh berkat perantaraan Dominikus, dan sebagai pahala sudah bergaul dengannya, meski hanya untuk sebentar saja.”

Demikianlah Romo Picco memberitakan kematian salah seorang muridnya yang paling menjanjikan, serta mengungkap dukacita umum karena kehilangan anak tersebut.

Catatan kaki:

Disadur dari sumber berbahasa Inggris:

The Life of Dominic Savio [Riwayat Hidup Dominikus Savio], yang diterjemahkan dari karya orisinal Santo Yohanes Don Bosko, Salesian Press, Surrey Lane, Battersea, London, S. W.; Nihil Obstat: F. Thomas Bergh, OSB (Censor Deputatus); Imprimatur: PETRUS, Episcopus Southwarcensis; 1915, hal. 102-105.