Ibadat Resmi Jumat Agung Novus Ordo mengandung Kemurtadan

Gambar: Arturo Mari | L'Osservatore Romano, diambil dari angelusnews.com

Bidah Yohanes Paulus II dan Sekte Vatikan II dengan para Yahudi, Pagan, Orang tidak Beriman, minggu dari tanggal 25/03/2004

Ibadat Jumat Agung Novus Ordo, Doa-Doa Syafaat Umum, VI, Doa untuk orang-orang Yahudi: “Marilah berdoa untuk Orang-Orang Yahudi, mereka yang pertama kali mendengar sabda Allah, agar mereka dapat terus bertumbuh di dalam cinta akan nama-Nya dan kesetiaan terhadap perjanjian-Nya.”

Komentar: Kita melihat bahwa Gereja Vatikan II secara resmi berdoa pada hari Jumat Agung agar orang-orang Yahudi bertumbuh di dalam kesetiaan terhadap perjanjian Allah! Ini adalah bidah dan kemurtadan. Perjanjian Lama dibatalkan dengan Kedatangan Kristus dan tidak lagi dapat ditaati tanpa berbuat dosa (de fide). Maka, orang-orang Yahudi tidaklah bersetia kepada Perjanjian Allah, dan mereka tidak dapat bersetia kepada Perjanjian-Nya jika mereka tidak berkonversi dan menaati Perjanjian Baru dan Abadi milik Yesus kristus.

Berikut adalah Doa Tradisional Gereja Katolik untuk orang-orang Yahudi pada hari Jumat Agung. Seseorang yang membandingkannya dengan doa di atas dapat melihat perbedaan antara kedua agama itu:

Doa Jumat Agung Gereja Katolik untuk orang-orang Yahudi: “Marilah kita berdoa pula untuk orang-orang Yahudi yang durhaka: agar Tuhan dan Allah kita mengangkat selubung hati mereka, dan agar mereka dapat mengakui Yesus Kristus, Tuhan kita.

Allah yang Mahakuasa dan kekal, Engkau yang tidak menolak untuk mencurahkan kerahiman-Mu atas orang-orang Yahudi yang durhaka sekalipun, dengarkanlah doa-doa kami yang kami panjatkan atas nama kebutaan orang-orang itu, agar dengan mengakui terang kebenaran-Mu, yang adalah Kristus, mereka dapat dibebaskan dari kegelapan mereka.”

Tetapi sekte Novus Ordo secara resmi berdoa agar para Yahudi bertumbuh di dalam kesetiaan terhadap Perjanjian Allah, yang menunjukkan bahwa Perjanjian Lama itu valid dan bahwa orang-orang Yahudi dapat bersetia dengan menaatinya. Ini adalah kemurtadan dan penyangkalan terhadap Kristus. Hal ini membuktikan bahwa Yohanes Paulus II dan para “pendahulunya” bukanlah Paus yang sejati, karena mereka telah menyetujui dan mempermaklumkan liturgi yang murtad ini. Gereja Katolik tidak berdoa dan tidak dapat berdoa secara resmi, seperti yang dilakukan sekte Vatikan II, agar para Yahudi bertumbuh di dalam kesetiaan terhadap Perjanjian Allah.

Paus Eugenius IV, Konsili Florence, 1441, ex cathedra:
"Ia [Gereja Roma yang Kudus] dengan teguh percaya, mengakui, dan mengajarkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum dari Perjanjian Lama, atau dari hukum Musa, yang terbagi menjadi perayaan-perayaan, ritus-ritus kudus, kurban-kurban, dan sakramen-sakramen, karena hal-hal tersebut telah diinstitusikan untuk menandakan suatu hal di masa depan, walaupun pada masa itu hal-hal tersebut pantas untuk penyembahan ilahi, setelah kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus yang telah ditandakan oleh hal-hal tersebut, telah berakhir dan sakramen-sakramen dari Perjanjian Baru bermula; dan barangsiapa, bahkan setelah Sengsara Kristus, menaruh harapan di dalam ketentuan-ketentuan hukum tersebut dan berpatuh kepada hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang diperlukan untuk keselamatan, seolah-olah iman di dalam Kristus tidak dapat menyelamatkan tanpa hal-hal tersebut, berdosa berat. Tetapi ia [Gereja] tidak menyangkal bahwa setelah Sengsara Kristus sampai kepada pemakluman Injil, hal-hal tersebut diizinkan untuk ditaati selama bagaimanapun hal-hal tersebut dipercaya sama sekali tidak diperlukan untuk keselamatan; tetapi setelah pemakluman Injil, ia [Gereja] menyatakan bahwa hal-hal tersebut tidak dapat ditaati tanpa hilangnya keselamatan kekal. Oleh karena itu, ia [Gereja] mencela sebagai orang-orang yang terasing dari iman akan Kristus, semua orang yang, sejak dari masa itu menaati penyunatan, Sabat, dan segala kewajiban dari hukum tersebut, dan menyatakan bahwa mereka tidak dapat mengambil bagian di dalam keselamatan kekal, kecuali jika pada suatu hari, mereka berpaling dari kesalahan-kesalahan tersebut.”[1]

Paus Eugenius IV, Konsili Florence, “Cantate Domino,” 1441, ex cathedra:
“Ia [Gereja Roma yang Kudus] dengan teguh percaya, mengakui dan berkhotbah bahwa ‘semua orang yang berada di luar Gereja Katolik, bukan hanya orang-orang pagan tetapi juga Yahudi atau bidah dan skismatis, tidak dapat mengambil bagian di dalam kehidupan kekal dan akan masuk ke dalam api yang kekal yang telah disiapkan untuk iblis dan para malaikatnya,’ [Matius 25, 41] kecuali jika mereka bergabung ke dalam Gereja sebelum akhir hidup mereka; bahwa kesatuan dari tubuh gerejawi ini sedemikian kuatnya sehingga hanya kepada mereka yang tetap tinggal di dalamnyalah sakramen-sakramen Gereja berdaya guna menuju keselamatan, dan hanya kepada mereka jugalah puasa, derma, dan karya-karya kesalehan serta praktik-praktik lain dari para laskar Kristiani menghasilkan upah yang abadi; dan bahwa tidak seorang pun dapat diselamatkan, sebanyak apa pun ia telah berderma, walaupun ia telah menumpahkan darah dalam nama Kristus, kecuali jika ia telah bertekun di pangkuan dan di dalam kesatuan Gereja Katolik.”[2]

Paus Benediktus XIV, Ex Quo Primum (#61):
“Pertimbangan pertama adalah bahwa perayaan-perayaan Hukum Musa telah dihapuskan oleh kedatangan Kristus dan bahwa perayaan-perayaan tersebut tidak lagi dapat ditaati tanpa dosa setelah pemakluman Injil.”[3]

Paus Benediktus XIV, Ex Quo Primum (#59), 1 Maret 1756:
“Bagaimanapun, mereka tidak berupaya untuk menaati peraturan-peraturan Hukum Lama, yang semua orang ketahui telah ditiadakan dengan kedatangan Kristus.”[4]

Paus Pius XII, Mystici Corporis Christi (#29-30), 29 Juni 1943:
“ … Perjanjian Baru telah mengambil alih Hukum Lama yang telah dihapuskan … Yesus telah membuat batal Hukum Lama dengan ketentuan-ketentuannya … ‘Lalu ... terjadi suatu peralihan yang sedemikian rupa dari Hukum Lama kepada Injil, dari Sinagoga kepada Gereja … sehingga, sewaktu Tuhan kita wafat, tabir mistis yang menyembunyikan bagian terdalam dari bait dan rahasianya yang kudus, telah terkoyakkan dengan dahsyat dari atas ke bawah.’ Di Salib, oleh karena itu, Hukum Lama telah mati ….” (Mystici Corporis #29-30)[5]

Catatan kaki:

[1] Denzinger 712.

[2] Decrees of the Ecumenical Councils {Dekret-Dekret Konsili-Konsili Ekumenis}, Vol. 1, hal. 578; Denzinger 714.

[3] The Papal Encyclicals {Ensiklik-Ensiklik Paus}, Vol. 1 (1740-1878), hal. 98.

[4] The Papal Encyclicals {Ensiklik-Ensiklik Paus}, Vol. 1 (1740-1878), hal. 98.

[5] The Papal Encyclicals {Ensiklik-Ensiklik Paus}, Vol. 4 (1939-1958), hal. 42.