^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Kesia-siaan Dunia - Pertimbangan XIII St. Alfonsus
PERTIMBANGAN XIII.
Kesia-siaan Dunia
“Apa gunanya bagi manusia, kalau ia memperoleh seluruh dunia, dan menderita kebinasaan jiwanya sendiri?” St. Matius xvi. 26
POIN PERTAMA.
Ada seorang filsuf kuno bernama Aristipus yang dahulu berperjalanan di laut. Kapalnya karam dan ia kehilangan semua barangnya; namun ketika sampai di pesisir, karena dirinya itu tersohor berkat pengetahuannya, orang-orang setempat menggantikan segala sesuatu yang hilang daripadanya itu; karena itulah ia menulis kepada sahabat-sahabatnya di negerinya sendiri untuk memberi tahu mereka seturut panutan teladannya, supaya mereka menyediakan diri mereka sendiri dengan barang-barang yang sedemikian rupa, sehingga tidak bisa hilang akibat karamnya kapal sekalipun. Namun demikian pula persisnya sahabat-sahabat serta saudara-saudara sedarah kita yang berada di akhirat berbicara kepada kita di dunia yang akan datang, menasihati kita agar di kehidupan ini, kita hanya menyediakan diri kita dengan kekayaan-kekayaan yang sedemikian rupa sehingga tidak dibinasakan bahkan oleh maut. Hari kematian disebut sebagai hari kebinasaan. “Hari kehancuran sudah dekat” (Ulangan xxxii. 35); karena pada hari itu, barang-barang di dunia ini, penghormatan, kekayaan, kenikmatan, semuanya itu akan binasa bagi kita. Karena itu, St. Ambrosius berkata, bahwa kita tidak bisa menyebut hal-hal itu sebagai barang milik kita, sebab kita tidak bisa membawanya bersama diri kita ke dunia yang akan datang; hanya kebajikan diri kitalah yang akan mendampingi kita ke sana: “Hal-hal itu bukan milik kita kalau tidak bisa kita bawa bersama diri kita; hanya kebajikanlah yang pergi bersama kita”.
Maka Yesus Kristus berkata, apa gunanya bagi kita untuk memperoleh seluruh dunia, jika dengan binasanya jiwa kita dalam maut, kita kehilangan segala-galanya: “Apa gunanya bagi manusia, kalau ia memperoleh seluruh dunia, dan menderita kebinasaan jiwanya sendiri?” Ah, betapa banyak orang yang pada masa muda belia mereka telah dibimbing oleh semboyan ini untuk menyendiri di dalam biara, betapa banyak rahib yang tinggal di padang gurun, betapa banyak martir yang menyerahkan nyawa mereka demi Yesus Kristus! Dengan semboyan ini, St. Ignatius dari Loyola menarik banyak jiwa datang kepada Allah, dan terutama jiwa yang cantik milik St. Fransiskus Xaverius, yang dahulu berada di Paris dan berserah kepada pikiran-pikiran duniawi. Fransiskus, ujar orang kudus itu kepadanya pada suatu hari, ingatlah bahwa dunia ini pengkhianat, berjanji dan tidak menepati; namun seandainya pun ia melakukan yang dijanjikannya, ia takkan pernah dapat memuaskan hatimu. Namun mari kita mengandaikan bahwa ia dapat memuaskannya, akan seberapa lamakah kebahagiaan ini berlangsung? Bisakah kebahagiaan itu berlangsung lebih lama dari hidupmu? Dan pada akhirnya, yang manakah bagiannya yang akan kaubawa bersama dirimu ke alam baka? Apa mungkin ada orang kaya yang telah membawa bersama dirinya sekeping uang, atau seorang hamba untuk kenyamanannya? Adakah raja yang telah membawa bersama dirinya seutas benang ungu sebagai kenang-kenangan? Ketika mendengar perkataan ini, St. Fransiskus meninggalkan dunia, mengikut St. Ignatius, dan menjadi seorang santo. “Sia-sia belaka”, demikianlah sebutan Salomo kepada barang-barang dunia ini; meskipun seperti yang diakui dirinya sendiri, ia tidak menolak satu pun dari yang termuat dalam dunia ini bagi dirinya sendiri: “Aku tidak merintangi mataku dari apa pun yang dikehendakinya” (Pengkhotbah ii, 10). Suster Margareta dari St. Anna, dari ordo Karmelit Tak Berkasut, putri Kaisar Rudolf II, berkata, “Apa gunanya kerajaan-kerajaan pada saat kematian?” Mengagumkan untuk berkata, bahwa para kudus gemetar ketika mereka memikirkan keselamatan kekal diri mereka. Romo Paulus Segneri ketakutan ketika bertanya kepada imam pengakuannya: Apa pendapatmu, Romo, akankah aku selamat? St. Andreas Avellino gemetar dan menangis, seraya berkata: Siapa yang tahu apabila aku akan selamat! Pikiran ini pula begitu menggelisahkan St. Louis Bertrand, sehingga pada malam hari, ia melonjak ketakutan dari ranjangnya, sambil berseru: Siapa tahu aku ini akan terkutuk! Dan meskipun demikian, para pendosa terus hidup dalam keadaan pengutukan, dan tidur, dan bersenda gurau, dan tertawa.
DAMBAAN DAN DOA.
Ah Yesus, Penebusku, kubersyukur kepada-Mu karena Engkau telah membuat diriku menyadari kebodohanku, serta kejahatan yang telah kuperbuat dengan memunggungi-Mu, Engkau yang telah memberikan Darah-Mu dan hidup-Mu demi aku. Tidak, tak pantas Engkau diperlakukan seperti yang telah kuperbuat kepada-Mu. Lihatlah, seandainya ajal sekarang datang menjemputku, apakah yang akan kudapati dalam diriku sendiri kalau bukan dosa-dosa dan sesal nurani, yang akan mengakibatkan aku mati dalam kegelisahan yang besar! Juru Selamatku, kuakui bahwa aku telah berbuat jahat; aku telah bersalah karena meninggalkan Engkau, ya Kebaikanku yang Terluhur, demi kenikmatan-kenikmatan yang hina dari dunia ini; kubertobat dengan segenap hatiku. Ah, demi dukacita yang membunuh-Mu di salib, berilah aku dukacita yang sedemikian rupa atas dosa-dosaku sehingga menyebabkan aku menangis di sepanjang sisa hidupku atas penghinaan-penghinaan yang telah kuperbuat terhadap diri-Mu. Ya Yesusku, ya Yesusku, ampunilah aku; dan kuberjanji tidak akan mengecewakan diri-Mu lagi, dan senantiasa mengasihi-Mu. Tak lagi pantas kudapat kasih-Mu, sebab sampai saat ini aku telah begitu membencinya; namun Engkau telah berkata, bahwa Engkau mengasihi orang yang mengasihi-Mu: “Aku mengasihi mereka yang mengasihi-Ku” (Amsal viii. 17). Kau kucinta; karena itu cintailah aku. Takkan lagi kuhidup dalam kekecewaan-Mu. Kutolak segala kebesaran dan kenikmatan dunia, kalau saja Engkau hendak mengasihiku. Ya Allahku, dengarlah daku, demi Yesus Kristus. Ia memohon kepada-Mu supaya tidak mengusirku dari hati-Mu. Kubaktikan diriku seutuhnya kepada-Mu; kubaktikan kepada-Mu hidupku, kenikmatanku, pancaindraku, jiwaku, ragaku, kehendakku, kebebasanku. Terimalah aku; janganlah diriku Kautolak sebagaimana diriku patut demikian karena telah begitu seringnya menolak persahabatan dengan-Mu: “Janganlah memalingkan wajah-Mu daripadaku”. Ya Perawan yang Tersuci, ya Bundaku Maria, doakanlah aku kepada Yesus; kuandalkan perantaraanmu seutuhnya.
POIN KEDUA.
“Ada neraca palsu di tangannya” (Hosea xii. 7). Kita harus menimbang segala hal dengan neraca Allah, bukan dengan neraca palsu dunia. Barang-barang dunia merupakan barang-barang yang celaka, yang tidak memuaskan hati, dan akan segera binasa: “Hari-hariku berlalu lebih cepat dari pada seorang pelari, mereka telah berlalu bagaikan kapal yang membawa buah-buahan” (Ayub ix. 25). Hari-hari kehidupan kita berlalu, dan berlari; dan apakah yang tersisa pada akhirnya dari kenikmatan-kenikmatan dunia ini? “Mereka telah berlalu bagaikan kapal”, yang tidak meninggalkan jejak di belakang diri mereka: “Bagaikan kapal yang melalui ombak: ketika dia berlalu, jejaknya tidak bisa ditemukan” (Kebijaksanaan Salomo v. 10). Matilah kita bertanya, dari antara banyak orang kaya, orang terpelajar, para pangeran, kaisar, yang sekarang berada di alam baka, apakah yang tersisa dari kemegahan, kemewahan, dan kebesaran yang telah mereka nikmati di kehidupan ini? Mereka semua menjawab: tidak ada, tidak ada. “Ya manusia”, ujar St. Agustinus, “engkau memperhatikan yang dahulu menjadi kepunyaannya di sini; lihatlah yang dia bawa bersama dirinya”.[1] Engkau hanya melihat kekayaan yang telah dipunyai orang besar; namun perhatikanlah yang mereka bawa bersama diri mereka ketika mereka mati. Bukan apa-apa selain jasad yang busuk, dan kain rombeng yang akan membusuk bersama diri mereka. Ketika orang-orang besar dari dunia ini meninggal, mereka hampir tidak dibicarakan sama sekali selama beberapa waktu; dan bahkan kenangan akan diri mereka hilang: “Kenangan akan mereka telah lenyap bersama sebuah suara” (Mazmur ix. 7). Dan jika mereka dengan celakanya terkubur dalam Neraka, apakah yang mereka lakukan di sana? Apakah yang mereka katakan? Mereka menangis dan berseru, “Apakah gunanya keangkuhan bagi kami, atau apa untungnya membangga-banggakan kekayaan? Semuanya itu berlalu ibarat bayang-bayang” (Kebijaksanaan Salomo v. 8). Telah menjadi apakah kemegahan dan kekayaan bagi diri kita, kalau semuanya itu telah berlalu seperti bayang-bayang, dan tidak ada yang tersisi dari semuanya itu selain kesakitan, tangisan, dan keputusasaan kekal?
“Anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesama mereka daripada anak-anak terang” (St. Lukas xvi. 8). Betapa bijaknya orang-orang duniawi dalam perkara-perkara duniawi mereka! Betapa besar jerih payah yang mereka kerahkan demi meraih posisi itu, properti itu! Betapa besar perhatian mereka untuk memelihara Kesehatan badan! Mereka memilih metode-metode teraman, para dokter terandal, obat-obatan terbaik, udara yang terbersih. Dan adapun jiwa mereka, betapa lalainya mereka! Namun sungguh pasti bahwa kesehatan, posisi, barang kepunyaan, harus kelak berakhir; namun jiwa dan alam baka tiada berakhirnya. “Kita mengamati”, ujar St. Agustinus, “betapa besarnya penderitaan yang dilalui manusia demi hal-hal yang begitu mereka cintai”. Apakah yang tak akan dilalui dengan tangguh orang yang pendendam itu, pencuri itu, orang bejat itu demi mendapatkan benda yang didambakan oleh keinginan-keinginannya yang bobrok! Namun demi jiwa mereka, mereka tidak ingin melalui apa-apa. Ya Allahku, di samping terang lilin yang dinyalakan pada saat kematian, pada saat kebenaran itulah orang-orang duniawi tahu dan mengakui kebodohan mereka. Pada saat itulah mereka lantas berkata: Oh, seandainya saja aku meninggalkan segala-galanya, dan menjadi seorang kudus! Paus Leo II berkata ketika ia sekarat: Akan menjadi lebih baik bagiku seandainya aku telah menjadi juru angkut di biaraku daripada menjadi Paus. Paus Honorius III juga berseru pada saat-saat terakhirnya: Akan menjadi lebih bagi bagiku untuk tetap berada di dapur biaraku dan mencuci piring. Felipe II, raja Spanyol, mengutus putranya datang ketika dirinya sekarat, dan menanggalkan jubah kebesarannya, ia memperlihatkan putranya itu dadanya yang digerogoti belatung, lalu berkata kepadanya: Pangeran, lihatlah cara kita mati, dan bagaimana keagungan dunia ini berakhir. Dan ia lalu berseru: Oh, seandainya saja aku menjadi seorang bruder di sebuah biara, dan bukan seorang raja! Di saat itu juga, ia melilit seutas tali bersama sebuah salib kayu pada lehernya; dan setelah mempersiapkan segala sesuatu untuk kematiannya, ia berkata demikian kepada putranya: Putraku, kuingin engkau hadir ketika peristiwa ini terjadi, supaya engkau boleh melihat bagaimana dunia pada akhirnya memperlakukan para raja sekalipun. Singkat kata, orang yang menjalani kehidupan terbaik adalah yang memiliki tempat terbaik bersama Allah. Putra yang sama ini, yang kemudian menjadi Felipe III, mati muda pada usia empat puluh tiga tahun, berkata: Para hambaku, pada khotbah upacara pemakamanku, janganlah berkhotbah apa-apa selain yang kalian lihat sekarang. Katakanlah, bahwa pada kematian, tak ada gunanya menjadi raja, selain merasa siksa karena telah menjadi seorang raja. Dan ia lalu berseru: Oh, seandainya saja aku tidak menjadi raja, dan telah hidup di padang belantara untuk melayani Allah; sebab sekarang aku akan hadir dengan ketenteraman yang lebih besar menghadap pengadilan-Nya, dan tidak akan mendapati diriku sendiri dalam bahaya kebinasaan yang begitu besarnya! Namun apa gunanya keinginan-keinginan ini pada waktu kematian, selain memperparah duka dan keputusasaan yang dialami dalam hidup, kalau orang itu tidak mengasihi Allah! Maka St. Teresa berkata: “Janganlah kita mencatat hal-hal yang berakhir dalam hidup ini; kehidupan sejati adalah hidup sedemikian rupa sehingga tidak menakuti ajal.” Maka kalau kita ingin melihat hal-hal duniawi itu sebagaimana adanya, marilah kita melihat hal-hal itu dari ranjang kematian, dan berkata: Penghormatan ini, kesenangan ini, kekayaan ini, akan berakhir pada suatu hari; jadi, kita harus berjuang untuk menjadi kudus, dan kaya hanya dalam hal-hal akan mendampingi kita, dan menjadikan kita bahagia untuk selama-lamanya.
DAMBAAN DAN DOA.
Ah, Penebusku, Engkau telah menderita banyak kesakitan dan penghinaan demi cinta akan daku, dan aku telah begitu mengasihi kenikmatan serta kesia-siaan dunia ini, sehingga demi hal-hal semacam itu, aku telah sering menginjak-injak rahmat-Mu di bawah kakiku. Namun karena ketika pun aku membenci Engkau, Engkau masih mengikuti aku, aku tidak bisa takut, ya Yesusku, takut ditolak, sebab aku sekarang mencari dan mengasihi Engkau dengan segenap hatiku, dan semakin berduka karena telah menghina-Mu daripada seandainya aku telah menderita segala macam kemalangan lainnya. Ya Allah milik jiwaku, sejak saat ini sampai ke depannya, takkan pernah lagi kukecewakan diri-Mu, bahkan dalam perkara terkecil sekalipun. Ajarlah aku seperti apa mengecewakan diri-Mu itu; sebab tidak akan pertimbangan duniawi pun yang akan menggoda aku untuk melakukannya. Aku sungguh ingin mengasihi-Mu. Kurangkul, ya Tuhan, segala rasa sakit dan salib yang berkenan kepada-Mu untuk Kaukirimkan bagiku. Berilah aku kepasrahan yang sangat kubutuhkan itu: “Bakarlah ini, potonglah ini.” Hukumlah aku di kehidupan ini, agar di kehidupan yang akan datang, aku bisa mengasihi-Mu untuk selama-lamanya. Ya Maria, ya Bundaku, kepadamu kuserahkan diriku; janganlah engkau berhenti mendoakan aku kepada Yesus.
POIN KETIGA.
“Waktunya singkat: mereka yang mempergunakan dunia ini seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya: sebab pola dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (1 Korintus vii. 31). Apakah hidup kita di dunia ini, kalau bukan sandiwara yang akan segera berakhir? “pola dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” – pola, yakni, seperti sandiwara, pertunjukkan. “Dunia”, ujar Kornelius à Lapide, “bagaikan sebuah panggung: satu generasi berlalu, yang lainnya datang. Ia yang memainkan peran raja tidak membawa kain ungu bersama dirina. Katakanlah kepadaku, hai vila, hai rumah, berapa banyakkah majikan yang telah kalian punya?” Ketika sandiwaranya berakhir, orang yang memainkan peran raja bukan lagi raja; majikan bukan lagi majikan. Pada hari ini anda empunya vila itu, istana itu; namun ajal akan datang, dan orang lainlah yang akan menjadi majikannya.
“Derita yang berlangsung satu jam saja membuat orang lupa akan kenikmatan-kenikmatan besar” (Sirakh xi. 29). Saat ajal yang mematikan itu membuat kita lupa, dan mengakhiri segala keagungan, kebangsawanan, dan kemegahan dunia ini. Kasimir, raja Polandia, meninggal ketika duduk pada mejanya, dengan para bangsawannya di sekeliling dia, setelah menempatkan bibir pada cangkirnya, dan tirai panggung dunia pun tertutup baginya. Kaisar Celsus terbunuh tujuh hari setelah ia terpilih, dan tirai panggung dunia pun tertutup bagi Celsus. Ladislaus, raja Bohemia, pada usia delapan belas tahun mendadak terkena sakit yang parah pada suatu pagi, ketika sedang menantikan mempelainya, putra mahkota raja Prancis, dan meninggal di tengah-tengah persiapan untuk upacara perkawinan; karena itu para kurir segera dikirim untuk menjemput sang putri supaya ia bisa pulang ke Prancis, sebab tirai panggung dunia telah tertutup bagi Ladislaus. Pikiran tentang kesia-siaan dunia ini menjadikan St. Fransiskus Borgia sebagai orang kudus, karena (seperti yang sudah dikatakan sebelumnya) melihat Permaisuri Isabella putus hidupnya di tengah-tengah keagungan duniawi dan pada usia muda belia. St. Fransiskus pun bertekad menyerahkan dirinya sendiri seutuhnya kepada Allah, seraya berkata: “Maka seperti itulah akhir dari keagungan dan mahkota dunia ini! Karena itulah sejak hari ini, aku akan melayani Majikan yang takkan pernah mati.”
Maka, marilah kita berjuang untuk hidup sedemikian rupa sehingga di waktu ajal, perkataan ini tidak bisa dikatakan tentang diri kita, seperti yang dahulu dituturkan kepada orang bodoh dalam Injil: “Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” (St. Lukas xii. 20). Demikianlah St. Lukas menyimpulkan: “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.” Dan ia lalu berkata: Berjuanglah memperkaya dirimu sendiri, bukan dengan kekayaan dunia, namun dengan Allah, dengan kebajikan, dengan jasa-jasa, yang akan tinggal untuk selama-lamanya bersamamu di Surga: “Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di Surga; di Surga ngengat dan karat tidak merusakkannya” (St. Matius vi. 20). Karena itu, marilah kita memastikan untuk mengumpulkan harta cinta kasih Ilahi yang besar. “Apakah”, ujar St. Agustinus, “yang dipunyai orang kaya kalau dirinya tidak punya kasih? Apakah yang tidak dipunyai orang miskin kalau ia punya kasih?” Kalau ia mempunyai segala kekayaan di dunia, dan tidak memiliki Allah, ia adalah orang termiskin di dunia ini. Namun orang miskin yang mempunyai Allah memiliki segala-galanya. Dan siapakah yang memiliki Allah? Orang yang mengasihi-Nya: “Barang siapa tetap tinggal di dalam kasih, ia tinggal di dalam Allah, dan Allah dalam dirinya” (1 St. Yohanes iv. 16).
DAMBAAN DAN DOA.
Ah, ya Allahku, tak kupilih agar Iblis bisa semakin menguasai jiwaku; hanya Engkaulah yang kupilih sebagai Majikan atas jiwaku, dan yang memerintahnya. Akan kutinggalkan segala-galanya demi mendapat rahmat-Mu. Rahmat-Mu lebih berharga bagiku daripada seribu mahkota dan seribu kerajaan. Dan siapakah yang harus kukasihi kalau bukan Engkau, Engkau yang adalah kecantikan yang tak terhingga, kebaikan tak terbatas, keindahan, keberlimpahan, dan kasih tak terhingga? Sampai saat ini, Engkau telah kutinggalkan demi ciptaan; inilah yang sekarang dan untuk selama-lamanya akan menjadi duka yang menembus hatiku, yaitu aku telah menghina-Mu yang telah begitu mengasihiku. Namun setelah mengikat diriku kepada-Mu, ya Allahku, dengan begitu banyaknya rahmat, tak lagi kubisa tahan kehilangan cinta kasih-Mu. Ambillah aku kepada-Mu, ya Kasihku, segenap kehendakku, dan segala sesuatu yang kupunya, dan lakukanlah kepadaku sesuai kehendak-Mu. Kalau di masa lalu aku sudah membiarkan diri terganggu oleh peristiwa-peristiwa yang merugikan, kumohon ampun kepada-Mu. Takkan lagi kumenggerutu, ya Tuhanku, di bawah kemurahan hati-Mu; kutahu bahwa kemurahan hati-Mu itu semuanya suci, dan semuanya adalah demi kebaikanku. Ya Allahku, lakukanlah kehendak-Mu, kuberjanji akan selalu berbahagia dan bersyukur senantiasa kepada-Mu. Kabulkanlah supaya aku boleh mengasihi-Mu, dan tak kupinta daripada-Mu apa-apa lagi. Apakah kekayaan itu? Apakah penghormatan itu? Apakah dunia itu? Hanya Allah, hanya Allahlah yang kuinginkan. Berbahagialah engkau, ya Maria, sebab di dunia ini engkau dahulu hanya mencintai bahwasanya Allah saja. Perolehkanlah aku rahmat untuk meneladanimu setidak-tidaknya sepanjang sisa hidupku. Engkaulah andalanku.
Catatan kaki:
Disadur dari sumber berbahasa Inggris, yang orisinalnya diterjemahkan dari bahasa Italia.
St. Alfonsus Maria de Liguori, The Eternal Truths. Preparation for Death [Kebenaran-Kebenaran Abadi. Persiapan Kematian], London, Burns and Lambert, 1857, hal. 88-95.
Tanda * tertera pada kutipan yang tidak bisa ditemukan penulisnya atau yang tidak bisa ditemukan perikop rujukannya oleh Penyunting.
[1] *St. Agustinus, Serm. xiii. de adv. Dom.
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 3 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 4 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 4 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 4 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 4 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 6 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 7 bulanBaca lebih lanjut...