^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Santo Johannes de Britto, dari Serikat Yesus, Martir
“Beato Johannes de Britto, yang kepadanya Allah telah mengkhususkan kemuliaan untuk menumpahkan darahnya demi Tuhan kita, terlahir di Lisbon pada tanggal 1 Maret 1647. Ia berasal dari suatu keluarga bangsawan kuno dari Portugal. Ayahnya bernama don Salvator de Britto, dan ibundanya bernama dona Beatrix Brittes Pereira. Keduanya melayani istana don João, adipati Bragança, dan mereka pun melayaninya sampai ke Lisbon pada tahun 1640, sewaktu ia dinyatakan sebagai raja Portugal dan membebaskan negaranya dari dominasi bangsa Spanyol.
Don Johannes de Britto adalah anak bungsu dari ketiga anak don Salvator; rupanya pucat dan halus dan ia pun harus dibaptis hampir sesegera mungkin setelah kelahirannya. Don Johannes de Britto diberi nama Johannes Hektor. Ibundanya, dona Beatrix, begitu menyayanginya oleh karena parasnya yang elok dan oleh karena kecenderungannya terhadap kebajikan. Wanita yang saleh ini membesarkan anak-anaknya dalam cinta yang besar akan Tuhan kita, tetapi don Johannes terutama menanggapi perhatian ibundanya. Dona Beatrix menempatkan don Johannes di istana untuk menjadi pelayan istana don Pedro, sewaktu ia masih berusia sembilan tahun, dan mengajarkannya agar ia menghindari dosa dan menjaga ketidakbersalahannya yang berharga berkat pembaptisannya.
Raja Portugal telah meninggalkan dua putra: 1) don Alfonso yang menjadi penerusnya, tetapi yang akibat kesehatannya yang rapuh terpaksa turun takhta, dan 2) don Pedro, yang kepadanya diberikan oleh ayahnya bangsawan Portugis sebagai teman-teman belajarnya. Para pria muda ini kesulitan untuk membiasakan diri terhadap pengendalian diri, dan moralitas yang murni dan ketat dari don Johannes de Britto. Sewaktu ia masuk ke dalam kamarnya untuk berdoa, dan bukan untuk menyerahkan diri kepada kesenangan teman-temannya yang gaduh, mereka mengolok-oloknya, terkadang mereka pun memukulinya. Mereka juga menyebutnya sebagai sang Martir sambil tertawa ; dan sewaktu ia di kemudian hari memang menjadi martir Tuhan kita, Raja don Pedro berkata sambil menangis dan mengangkat tangannya ke langit: ‘Itulah nama yang kami telah berikan kepadanya sewaktu ia melayani saya, dan ia sungguh pantas mendapatkan nasib yang begitu mulia oleh karena kebajikannya.’
Sekitar tahun 1658 atau 1659, don Johannes menderita penyakit yang begitu parah sehingga para dokter pun menjadi putus asa sewaktu mereka mencoba menyelamatkannya. Ibundanya yang berduka berlutut di kaki ranjangnya. Pria muda yang suci itu yang memiliki kepercayaan yang besar terhadap sang rasul yang terberkati untuk orang-orang India, Santo Fransiskus Xaverius, menyerahkan nasibnya kepada Santo Fransiskus, dan ibundanya bersumpah bahwa anaknya itu akan mengenakan jubah Serikat Yesus selama kurun waktu satu tahun , jika kesehatannya pulih. Penyakitnya pun segera sirna, dan beberapa hari setelahnya anak itu menjadi sembuh.
Don Johannes pun kembali melayani istana dengan mengenakan jubah hitamnya yang kecil, ikat pinggangnya serta Rosarionya, dan mengenakan pakaian suci itu dengan kebersahajaan … yang memesona semua orang yang melihatnya. Sewaktu ia melewati jalanan Lisbon untuk pergi ke kolese Yesuit, di mana ia mengikuti pelajaran-pelajarannya, orang-orang pun keluar ke ambang pintu rumah mereka dan memanggilnya si rasul cilik. Pada suatu hari, Sri Raja sedang mengarak Sakramen Mahakudus, don Johannes bukannya tetap berada di belakang Sri Raja bersama para pelayan istana, tetapi ia bergegas untuk bergabung bersama para novis dari Serikat Yesus, dan sambil mengambil sebatang lilin, dari wajahnya yang laksana malaikat terpancar suatu devosi yang begitu lembut kepada Tuhan kita, sehingga semua orang yang memandangnya tidak mampu menahan air mata mereka.
Sewaktu ia menuntaskan tahun dari masa kaulnya, ia melepaskan jubah Yesuitnya, tetapi ia lalu menyesalinya. Segera, ia meminta izin kepada ibundanya untuk memasuki Serikat Yesus. Wanita yang saleh itu tidak berani menolak untuk menyerahkan putranya kepada Allah yang memanggilnya; tetapi don Pedro, dan Sri Raja yang adalah saudaranya, mencoba untuk menahan don Johannes untuk tetap melayani mereka. Kedua pangeran itu begitu mencintainya; mereka menjanjikan kepada don Johannes jabatan yang tinggi, tetapi upaya mereka sia-sia; mereka pada akhirnya menyerah kepada air mata don Johannes, dan dengan sedih berpisah darinya.
Don Johannes memasuki novisiat pada tanggal 17 Desember 1662; pada waktu itu ia hampir berusia enam belas tahun. Pada hari Natal, ia menerima jubah Serikat Yesus. Para novis terbiasa menuliskan pada hari itu sepucuk surat kepada bayi Yesus yang ilahi, dan untuk meminta-Nya rahmat sebagai kado. Don Johannes meminta pertolongan untuk menjadi misionaris untuk negeri Jepang, agar ia dapat bekerja di negeri itu untuk waktu yang lama demi kemuliaan Allah, dan agar karyanya dimahkotai dengan kemartiran. Sang rasul untuk orang India yang terberkati, Santo Fransiskus Xaverius, mengilhaminya dengan segala keinginan itu dan dengan demikian mempersiapkannya untuk mengikuti jejak kakinya dalam kemuliaan.
Selama masa novisiatnya, don Johannes gemar mengunjungi rumah sakit. Ia membalut luka orang sakit, mengajarkan dan melayani mereka dengan penuh kasih. Ia membawa seorang yang lanjut usia dengan kesabaran yang mengagumkan. Semua cercaannya hanya dibalasnya dengan perhatian yang amat lembut. Orang tua itu akhirnya lelah setelah menganiayanya, dan ia pun pulang ke rumahnya, bertobat kepada Allah dan berseru dengan nyaring bahwa pertobatannya itu adalah berkat kelemahlembutan dari novis yang muda itu, yang tidak dikenalnya, tetapi yang pastinya adalah seorang santo.
Pada suatu hari sewaktu ia melayani orang sakit, ia berpakaian seperti para perawat, putra dari don Pedro memerintahkannya untuk datang. Ia pun bergegas tanpa berganti pakaian. Melihat pelayanannya yang penuh kasih itu, sang pangeran, yang tergerak oleh kebajikannya yang begitu besar, tidak sanggup menahan diri untuk berkata kepadanya: ‘Anda melayani seorang tuan yang akan memberi anda imbalan yang lebih besar dari semua raja di dunia.’
Pada tanggal 18 Desember 1664, dua tahun setelah ia memasuki novisiat, don Johannes membuat kaul biarawannya, dan diutus ke kolese di Ebora untuk mempelajari retorik serta sastra. Begitu giatnya ia belajar di sana sehingga ia jatuh sakit. Para superiornya, yang berharap bahwa perubahan udara akan menyembuhkannya, memindahkannya ke universitas Coimbra, di mana ia mempelajari filsafat selama empat tahun. Ia menjadi salah satu murid yang paling brilian dari universitas yang ternama itu. Berikut catatan yang ditemukan di bawah namanya, di dalam daftar tahun 1669: Johannes de Britto, usia dua puluh dua tahun, enam tahun sebagai biarawan; karakter amat baik, dikaruniai dengan kearifan dan kebijaksanaan; kemampuan amat baik dalam bidang ilmu pengetahuan.
Bagaimanapun, gairah misi semakin lama semakin berkembang di dalam hatinya. Kami tidak tahu cara yang lebih baik untuk melukiskan perasaan yang dialaminya dalam perkara itu, selain dengan menyalin salah satu dari surat-suratnya kepada Romo Oliva, jenderal dari Serikat Yesus.
Sewaktu menanti tanggapan dari jenderal, Johannes kembali menulis kepadanya pada tanggal 5 Maret tahun 1669. Pada akhirnya, sang jenderal pun memberikannya suatu harapan; tetapi para superiornya memanggilnya pergi ke Lisbon, di mana ia harus mengajar tata bahasa selama dua tahun. Johannes berpasrah kepada kehendak Allah, karena ia berpikir bahwa perkaranya itu gagal. Tahun kedua dari masa perguruannya itu, seorang misionaris yang ternama dari Madurai [India], Romo da Costa, singgah di Lisbon untuk datang mencari di Eropa para pekerja Injil untuk misinya. Johannes pun memohon dengan sangat kepadanya sehingga perintah-perintah yang mendesak datang dari Roma; ia pun diutus untuk mempelajari teologi, dan ia ditahbiskan sebagai imam tidak lama sebelum ia pergi, pada permulaan tahun 1674.
Romo de Britto amat bersukacita; tetapi ia masih harus melalui rintangan yang berat. Segera setelah ibundanya mendapat kabar tentang kepergiannya, ia pun menangis tersedu-sedu dan memohon kepada provinsial agar jangan membiarkan putranya pergi; tetapi perintah-perintah dari sang jenderal sangatlah persis, dan sang provinsial pun tidak dapat mengubahnya. Maka, ibunda yang bersedih hati itu pun mencoba untuk menggoyahkan tekad dari putranya.
Itu adalah suatu cobaan yang kejam bagi Johannes; tetapi Allah memberikannya kekuatan untuk melawan air mata dari orang yang begitu disayanginya, dari keluhan yang menyayat hatinya. Ibundanya itu tidak putus asa, dan karena ia tidak mampu mengalahkan keberanian yang besar itu, ia jatuh tersungkur di kaki nuncio, yang pada waktu itu adalah Monsinyur Fransiskus Ravizza. Nuncio itu, yang tersentu oleh dukacitanya, memrintahkan kepada sang provinsial untuk mencabut perintah-perintah yang telah diberikannya untuk kepergian Romo de Britto. Sang provinsial yang amat malu itu menunjukkan suratnya kepada Romo de Britto.
Mereka pergi menemuinya bersama.
Sang nuncio menjawab, tergerak sehingga menitikkan air mata, ‘Lalu pergilah, dan semoga Allah menyertai anda di sepanjang perjalanan yang Panjang itu. Saya berdoa agar Ia menopang anda dalam kelelahan dan melawan bahaya-bahaya yang menanti anda: semoga anda dapat memenangkan banyak jiwa dan bekerja untuk waktu yang lama demi kemuliaan Tuhan kita yang mahabaik!’
Setelah melakukan begitu banyak upaya yang sia-sia, dona Beatrix de Britto tidak menyerah. Hati seorang ibu tidak pernah menyerah. Ia telah kehilangan suaminya; ia baru saja kehilangan putra sulungnya, tiada lagi yang tersisa baginya selain Romo de Britto dan seorang putra yang lain, don Fernando de Britto yang akan kami ceritakan secara rinci; ia tidak mampu bertekad untuk kehilangan separuh dari hal-hal yang begitu dicintainya. Wanita itu yang dahulu begitu saleh dan pemberani, yang dalam beberapa tahun kemudian akan mengundang keluarga dan teman-temannya untuk bersukacita bersamanya atas kemartiran yang mulia dari anaknya, menemukan dirinya sendiri tanpa kekuatan untuk berpisah darinya. Ia mencoba segala cara. Ia mengutus kepadanya salah satu dari tuan yang agung dari istana untuk menghalau anaknya unuk pergi; ia membuat Sri Raja sendiri berbicara demi keinginan-keinginannya dan membuat suatu halangan terakhir terhadap hati dari teman lamanya. Pria muda yang suci itu tidak tergoyahkan; ia mengalahkan segala upaya dari daging dan darah, dari kemuliaan dan kemegahan raja, atau rahmat Allahlah yang menopangnya dalam pertarungannya, dan berjaya bersamanya.
Romo de Britto pergi pada tanggal 25 Maret tahun 1674. Selagi para rekannya pergi untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Sri Raja, dan pergi ke tengah-tengah khalayak yang besar yang luluh oleh karena bakti mereka, kepada kapal yang akan membawa mereka, Romo de Britto, karena ia tetap menakuti adanya halangan yang tak terduga, datang sendiri, ke dalam suatu tempat persembunyian, dan hanya muncul setelah mereka keluar dari pelabuhan. Pertama-tama kapal itu bernavigasi dengan mulus, tetapi di tengah perjalanan, mereka dikejutkan oleh suatu periode yang begitu tenang yang menahan mereka di daerah yang amat panas itu. Persediaan pun menjadi langka; air yang tersedia menjadi rusak, suatu penyakit yang menular terjadi pada para penumpang dan pelaut. Semua keberanian pun menjadi sirna; para misionaris sendiri yang terjangkiti penyakit kehilangan kekuatan. Romo de Britto hampir bertindak sendirian dari antara mereka untuk merawat mereka semua. Ia bekerja untuk merawat rekan-rekannya serta para pelaut, dan menyibukkan diri atas raga dan jiwa mereka. Penyakit itu sedemikian parahnya sehingga Pengurapan Terakhir harus diberikan kepada tiga puluh orang dalam satu hari. Romo da Costa meninggal di lengannya. Pada akhirnya, saat tampak pupus segala harapan manusiawi, Romo de Britto seperti biasa mengandalkan pelindungnya, Santo Fransiskus Xaverius. Mereka pun berdoa novena dalam penghormatan kepada Santo Fransiskus Xaverius; dan sejak hari-hari pertama dari novena itu, angin pun bertiup dan mereka mampu meloloskan diri dari perairan yang mematikan itu. Penyakit itu hilang hampir seketika.
Di Tanjung Harapan Baik, angin dan badai lalu menjadi suatu bahaya yang lain bagi mereka, tetapi dengan berdoa kepada Santo Fransiskus Xaverius, angin itu mereda dan memberikan mereka jalan. Mereka pun sampai ke Goa, setelah navigasi yang berlangsung enam bulan, dan mereka disambut dengan sukacita yang luar biasa oleh para Romo dari Serikat Yesus.
Kunjungan pertama Romo de Britto adalah kepada santo pelindungnya yang terkasih. Ia pertama-tama pergi mengunjungi makam Santo Fransiskus Xaverius; lama ia bersujud di sana, dan membasahi makamnya dengan air matanya. Ia lalu melanjutkan studi teologinya yang belum tuntas di Eropa. Keinginannya untuk menaklukkan halangan terakhir ini yang masih memisahkannya dari misi-misi tersebut begitu membara, sehingga dalam beberapa bulan ia menjadi mampu menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari Summa Theologiae dari Santo Thomas.
Selama beberapa waktu, ia telah hidup sebagai misionaris, yakni, dengan gaya hidup orang India. Ia hanya makan sedikit nasi dan sayuran. Ia tidak pernah makan ikan; dan ia tidur di atas tikar, berjalan tanpa alas kaki di atas pasir yang panas. Rekan-rekannya mengagumi bagaimana tubuh yang sedemikian lemahnya mampu menjalani hidup yang begitu keras.
Ia pun melalui ujiannya dengan keberhasilan yang begitu besar sehingga para superiornya ingin menahannya untuk mengajar ilmu filsafat di universitas Goa; tetapi mereka menyerah kepada air matanya. Ia diutus ke kolese di Ambalacata, di Malabar, dan di sana ia ditempatkan untuk tinggal di Colley, di pedalaman India.
Ia tidak sampai ke sana tanpa susah payah; ia harus melalui pegunungan yang tinggi, di mana jalanannya bahkan tidak dimarkahi, dan di mana harimau-harimau datang untuk menyerangnya pada malam hari dan hanya menjauh sewaktu melihat api. Saat ia sampai, Allah telah mempersiapkan untuknya suatu cobaan yang berat. Wabah menimpa negeri itu. Romo de Britto memulai misinya dengan merawat orang-orang sakit dengan kasih yang luar biasa sehingga ia memenangkan hati para penyembah berhala yang malang itu. Ia menginjili mereka selama sepuluh tahun, dan Allah memberkati pelayanannya dengan banyak konversi. Ia telah mempelajari bahasa rakyat dan bahasa kaum brahmana, dan ia menulis dalam bahasa itu dengan keanggunan yang langka. Ia terkadang berdebat dengan mereka. Pada suatu hari, dua orang yang paling terpelajar dari negeri itu mengajaknya untuk melakukan diskusi agamawi. Suatu khalayak yang ramai berhimpun untuk menikmati pertunjukan yang tidak lazim itu. Para brahmana berbicara kepadanya tentang takdir.
Para brahmana yang malang itu memandangnya sambil tercengang, tanpa tahu bagaimana menjawab orang Eropa yang malang itu. Mereka pun pergi sambil melontarkan penghinaan kepadanya, dan orang-orang Kristiani menertawakan kemarahan dan kebingungan mereka.
Daerah India itu dahulu berada di bawah kuasa beberapa kepangeranan yang kecil yang melakukan perang yang ganas satu sama lain. Beberapa kali, Romo de Britto jatuh ke dalam tangan para serdadu. Allah menyelamatkannya melalui suatu perlindungan yang bermukjizat. Tangan-Nya menyertainya ke mana-mana. Pada suatu hari, sewaktu ia tidak tahu bagaimana ia dapat menyeberangi suatu sungai yang mengalir deras, seorang pria muda hadir di tepi sungai, dan membawanya seketika ke tepian yang lain dan menghilang. Di dalam penyakit-penyakitnya, di dalam perjalanannya menyeberangi lautan, di dalam bencana banjir, jika ia memanggil nama Santo Fransiskus Xaverius, ia segera ditolong.
Tetapi, para penyembah berhala berkonversi dalam jumlah ribuan orang. Romo de Britto menjelajahi semua kerajaan yang ada dan merampas di berbagai tempat banyak jiwa dari belenggu Iblis. Kata-katanya yang bersemangat, hidupnya yang suci, keketatan hidupnya, doa-doanya, mukjizat-mukjizatnya, semuanya itu membantu untuk memperluas kerajaan Yesus Kristus.
Seorang wanita kerasukan iblis. Ia merupakan anggota kelas brahmana, dan kendati berbagai mantra sihir para imam mereka, mereka tidak mampu menyembuhkannya. Wanita itu mendengar tentang Romo de Britto, dan mengutus seorang kurir kepadanya untuk memohon doa-doanya. Romo de Britto pun mengutus salah satu katekisnya untuk membawa abu yang diberkati kepada wanita itu. Segera setelah abu itu dibubuhkan kepada kepala wanita itu, ia pun kembali sembuh dan berkonversi.
Lebih dari dua puluh orang juga dibebaskan dari roh jahat. Romo de Britto menyembuhkan orang-orang sakit yang paling putus asa dengan memerciki mereka dengan air suci, atau dengan memanggil atas diri mereka nama Santo Fransiskus Xaverius, yang kepadanya Romo de Britto mengatribusikan mukjizat-mukjizatnya.
Seorang pria yang berkuasa pada suatu hari memuntahkan seribu hujat terhadap hukum Yesus Kristus. Betapa malangnya pria itu, ujar Romo de Britto! Seminggu sebelum ia mati, lidah dan mulutnya digerogoti oleh belatung dan kanker yang mengerikan. Hal itu terjadi dan menakutkan segenap negeri.
Iblis, yang murka akibat penaklukkan yang dibuat oleh Romo de Britto ini membuat para penyembah berhala mengamuk. Pada suatu hari, sewaktu Romo de Britto sedang mempersiapkan dua ratus orang katekumen untuk pembaptisan di dalam hutan Madurai, ia diculik oleh para serdadu yang telah mengintainya, dan dirantai di dalam penjara para criminal. Dua kali para serdadu mengambil pedang untuk memenggal kepalanya, yang bahkan diberikan oleh Romo de Britto sendiri kepada para algojonya itu; tetapi, karena mereka takut orang-orang akan memberontak, atau mereka takut melampaui perintah-perintah dari pangeran, mereka tidak berani membunuhnya dan pada akhirnya membebaskannya, setelah menyiksanya sesanggup mereka.
Tetapi, Romo de Britto telah dijadikan sebagai superior dari misi-misi di Madurai; ia hanya melihat suatu kesempatan yang baru untuk mengerahkan semangatnya dengan lebih luas. Ia pun pergi ke Marava. Setelah perjalanan yang panjang dan sulit, ia pun sampai pada tahun 1686. Dalam tiga bulan, ia membaptis lebih dari dua ribu penyembah berhala. Masa panen tampaknya telah tiba. Jiwa-jiwa menjadi tunduk di bawah kata-katanya, bagaikan bulir-bulir gandum di bawah sabit. Begitu banyak katekumen memanggilnya dari provinsi-provinsi utara. Ia pergi, tetapi di desa kecil yang bernama Mangalam, ia dikejutkan oleh sekumpulan serdadu yang mengenalinya dan membawanya kepada Cumarà Pilley, jenderal mereka dan perdana menteri dari Raja di Marava.
Lalu salah satu dari orang tua jenderal itu memukuli pipinya; tetapi korban yang lembut itu memalingkan pula pipi yang lain. Ia diikat ke sebuah batang pohon dan ditinggalkan untuk dihina oleh gerombolan serdadu yang rusuh.
Keesokan harinya, ia dibawa ke tepi sungai di mana, dengan kaki dan tangan yang diikat, ia ditahan dan dibenamkan beberapa kali ke dalam air sampai ia hampir mati lemas. Lalu, salah satu kakinya dan salah satu tangannya digantung antara kedua pohon, dan ia dibiarkan tergantung untuk waktu yang lama. Pada akhirnya, ia dihukum agar kedua kaki dan tangannya dipenggal, dan agar ia diikat dalam keadaan demikian ke suatu tiang sampai ia mati.
Sang hamba Allah itu bersukacita karena ia dengan demikian ia menumpahkan segenap darahnya demi Tuhan kita, tetapi waktunya belum tiba. Ia pun dikeluarkan dari penjara, tubuhnya dibentangkan di atas bebatuan, para serdadu menginjak-injak kakinya sampai kakinya remuk. Salah satu dari para katekisnya menderita siksaan yang sama. Setelah anggota badan dari katekis itu diremukkan, seorang serdadu menghantam kepalanya sedemikian kerasnya sehingga bola matanya keluar dari rongganya dan tergantung di wajahnya.
Sang katekis pun dibawa kembali ke dalam penjara di mana Romo de Britto berada. Romo de Britto mengambil bola mata yang tergantung itu, mengembalikannya ke rongganya, dan membuat sebuah tanda salib di atasnya, dan memulihkan penglihatannya. Cumarà, yang mendapat kabar tentang mukjizat itu, menyuruh agar sang katekis segera dibawa menghadapnya. Pada sore hari itu; mereka menyalakan obor; menutupi mata yang lainnya, dan memberikan kepada sang katekis sehelai kertas yang di atasnya terdapat tulisan; sang katekis mampu membaca dengan sempurna. Karena ia tidak mampu menyangkalnya, Cumarà mengatribusikannya kepada ilmu sihir.
Beberapa hari setelahnya, sewaktu Romo de Britto dibawa untuk disiksa, suatu pemberontakkan meletus di ibu kota Marava; sang jenderal pergi untuk meredakan pemberontakan itu, dan memanggil tahanannya untuk menghadapnya. Raja dari negeri itu ingin menemuinya, dan memerintahkannya untuk menjelaskan kepadanya doktrin Kristiani, dan setelah ia puas akan jawaban-jawabannya, ia pun membebaskannya. Tetapi, ia melarangnya untuk memasuki Negerinya, sambil memperingatkannya bahwa jika ia kembali lagi, ia akan memenggal kepalanya.
Romo de Britto, setelah ia tinggal beberapa waktu lamanya di perbatasan Marava, kembali, dalam kelelahan yang besar, ke tengah-tengah rekan-rekannya. Ia melewatkan beberapa bulan bersama mereka, dan dari sana ia diutus, dalam sesal hatinya, untuk pergi ke Eropa sebagai jaksa dari misi-misi. Ia sampai pada tanggal 8 September. Seluruh kota Lisbon, yang mengetahui karyanya serta bahaya-bahaya yang dihadapinya demi iman, berlari ke hadapannya. Rumah dari para Romo Serikat Yesus tidak henti-hentinya dipenuhi oleh para tuan dari istana, kebanyakan dari sahabat-sahabat masa kecilnya, yang ingin kembali bertemu dengan pria yang dahulu mereka berikan julukan yang begitu bernubuat sang martir. Sri Raja Pedro memerintahkannya untuk datang ke istananya, dan karena ia tidak mampu menahan ketidaksabaran untuk merangkul mantan pelayan istananya, ia pun keluar dari apartemennya, merangkulnya dengan lembut dengan lengannya, dan mencucurkan air mata bahagia, dan membuatnya duduk di sisinya. Di sana, Sri Raja membuat Romo de Britto menceritakan panjang lebar semua detail dari perjalanan dan misinya. Romo de Britto juga masih mengenakan turban, jubah para brahmana dan sendal, sedemikian rupa sehingga sewaktu Sri Raja mendengarnya berbicara, ia merasa melihat Romo de Britto mengerahkan semangatnya di tengah-tengah orang-orang India.
Sri Ratu juga ingin bertemu dengan Romo de Britto dan menerima berkat darinya. Ia memohonnya untuk mengucapkan Misa satu kali di istananya, agar ia dapat menyambut Komuni dari tangannya. Perdana Menteri, yang adalah marquis dari Marialva, mengundangnya untuk makan malam; sang nuncio juga ingin mengundangnya untuk bersantap di mejanya; tetapi saat ia mendatangi tempat kediaman masing-masing orang, Romo de Britto hanya menerima sedikit sayuran dan beberapa buah-buahan.
Ia lalu pergi mengunjungi kolese-kolese di Coimbra, Porto, dan Braga, untuk merekrut pekerja untuk misinya. Di Coimbra, dan di mana-mana, semua Romo yang melihat pria yang terhormat itu, terbakar oleh semangat untuk keselamatan jiwa-jiwa, dan mereka meminta kepada para superior mereka izin untuk mendampinginya. Gairah itu pun harus ditahan, agar kursi universitas tidak kehilangan para pengajar yang paling terpelajar. Pada perjalanan itu, Romo de Britto menemui ibundanya di rumah saudarinya, dona Louisa de Britto, di kastel yang dilewatinya. Betapa besar sukacita ibundanya yang lembut itu untuk menemui anaknya yang telah begitu ditangisinya dan yang dikiranya akan hilang selamanya. Romo de Britto kembali menemuinya satu kali sebelum ia pergi ke India di Portallegro di mana ibundanya itu tinggal, dan juga saudaranya, komandan don Fernando de Britto yang tinggal di sebuah villa di lingkungan itu.
Ia hanya menemui saudaranya oleh karena ketaatan dan agaknya oleh kehendak ilahi. Romo de Britto berjalan bersama seorang pendamping di jalan Portallegro, sewaktu seketika, mereka dihampiri oleh suatu badai yang mengerikan. Romo de Britto ingin melanjutkan perjalanannya.
Tetapi, Sri Raja, yang mencintainya dan ingin agar Romo de Britto tinggal di dekatnya, setiap hari membuat suatu penghalang baru agar ia tidak kembali ke India. Ia sering memanggilnya ke istana, bertanya-tanya tentang misi-misinya, dan berupaya untuk meyakinkannya bahwa ia akan jauh lebih berguna kepada orang-orang India jikalau ia tinggal bersama Sri Raja, melalui informasi yang akan diberikannya tentang kebutuhan-kebutuhan mereka, daripada jika ia berkhotbah sendiri di tengah-tengah mereka. Sri Raja memiliki suatu rencana yang tidak berani dinyatakannya pertama-tama. Ia ingin memberikan Romo de Britto kepada putranya, putra mahkota, sebagai gubernur. Ia pada akhirnya berbicara kepadanya tentang hal itu, sambil menunjukkan kepadanya kebaikan yang akan dibuatnya kepada segenap negeri dengan membesarkan pangeran muda itu dalam sudut pandang keagamaan yang dapat diilhaminya. Kata-kata itu adalah suatu sambaran kilat bagi Romo de Britto. Semua harapannya yang panjang untuk memperoleh kemartiran hancur sudah. Ia berkata kepada Sri Raja bahwa ia tidak lagi mengenal kebiasaan istana, bahwa ia telah lupa akan hal-hal yang berbau Eropa; dan karena ia tidak mampu meyakinkannya dengan cara itu, ia mengaku bahwa ia telah bersumpah untuk mengonsekrasikan diri untuk misi-misi sampai kematiannya.
Sri Raja masih ragu bagaimanapun, dan ingin agar sumpahnya itu dibatalkan; tetapi Romo de Britto tahu bagaimana cara membuat Sri Ratu memainkan peran demi kepentingannya, dan Sri Ratu pun meyakinkan suaminya. Lalu, karena ia tidak lagi berani mencabut perkataannya, Sri Raja ingin agar Romo de Britto setidaknya dijadikan sebagai Uskup Agung Cranganor [Kodungallur]. Rini de Britto berusaha keras untuk membuat Sri Raja berpaling dari rencananya itu. Ia pada akhirnya berlabuh pada tanggal 14 Maret 1690; tetapi, karena angin bertiup ke a rah yang berlawanan, ia pun kembali ke darat. Pada tanggal 8 April, Romo de Britto diberi tahu bahwa angin telah berubah arah. Karena ia melewati istana untuk pergi ke kapal, ia ingin berterima kasih sekali lagi kepada marquis de Marialva yang begitu baik kepadanya. Sri Raja tahu bahwa mereka akan mengangkat jangkar pada saat itu. Ia menahan Romo de Britto dengan pertanyaan-pertanyaan serta pelukan-pelukan; ia lalu mengutus seseorang untuk membawa Sri Ratu dan putranya agar mereka menerima berkat untuk terakhir kalinya dari Romo de Britto, dan saat itu pula, ia memberi perintah agar semua perahu pergi dari Pelabuhan.
Romo de Britto pada akhirnya berjalan ke tepi pantai: semua kapal telah berlabuh. Ia mencari sebuah perahu, tetapi tidak ada lagi; ia kembali mencari dan menemukan sebuah perahu yang separuh hancur; ia pun segera naik ke atasnya untuk bergabung kepada armada itu. Salah satu pendayungnya jatuh ke laut; ia pun menariknya dari air. Tetapi, ia tidak lagi melihat kapal yang berlalu. Romo de Britto yang sedih itu pun berdoa kepada Santo pelindungnya yang terkasih, Santo Fransiskus Xaverius.
Pada saat itu, don Manuel da Silva, pengawas tentara, baru saja kembali untuk memimpin armada keluar dari Sungai Tajo. Ia melihat perahu itu, dan ia mencurigai bahwa itu adalah perahu penumpang yang terlambat, dan mengirimkan sebagai bantuannya, sebuah perahu yang lebih kuat yang dengannya Romo de Britto pada akhirnya kembali bergabung dengan rekan-rekan perjalanannya yang kehilangan harapan untuk menemuinya.
Setelah navigasi selama tujuh bulan yang sulit itu di mana Romo de Britto hampir mati akibat suatu penyakit yang menimpa banyak orang di kapal itu, mereka pun mendarat di Goa. Romo de Britto singgah di sana beberapa waktu lamanya dan berkhotbah di kota itu dengan kesuksesan yang luar biasa; lalu, sewaktu cuaca menjadi baik untuk pergi bernavigasi, ia kembali ke Madurai dan datang untuk tinggal di perbatasan Marava. Segera setelah rakyat mengetahui kedatangannya, mereka berlari dalam gerombolan untuk mendengarkannya dan untuk diajar oleh Romo de Britto tentang iman. Gereja yang dibangunnya menjadi terlalu sempit, sehingga ia harus berkhotbah di alam terbuka. Ribuan penyembah berhala berkonversi, dalam waktu sepuluh hari, dua belas ribu orang dibaptis oleh tangannya. Lengannya yang lelah tidak lagi mampu menuangkan air yang menyucikan, dan para katekisnya harus menopangnya. Kabar tentang mukjizat-mukjizat menarik perhatian orang-orang sakit dari berbagai daerah. Seorang pangeran dari Marava, yang bernama Taradevem, yang tidak dapat disembuhkan baik oleh para dokter maupun penyihir, mengutus seseorang untuk memohon Romo de Britto untuk mengajarkan dirinya tentang hukumnya dan terutama untuk memulihkan kesembuhannya. Romo de Britto mengutus kepada pangeran itu seorang katekis yang mengajarkannya misteri-misteri yang paling utama dari iman; ia lalu membacakannya Injil Santo Johannes, sewaktu sang pangeran mengucapkan Syahadat, dan ia pun sembuh.
Pangeran Tariadevem lalu meminta Romo de Britto untuk datang membaptisnya. Romo de Britto datang kepadanya:
Tanpa ragu-ragu, pangeran itu menyuruh para wanita itu untuk menghadapnya, dan menjelaskan kepada mereka keperluannya agar ia berpisah dari empat wanita yang terakhir yang telah dinikahinya, dan mengajukan kepada mereka agar mereka kembali ke istana di mana mereka akan diperlakukan dengan baik, jika mereka lebih tidak ingin pulang kepada keluarga mereka. Para wanita itu semuanya pergi, dan murka terhadap Romo de Britto. Salah satu dari mereka adalah keponakan Raja dari Marava. Ia lalu menyulut kemarahan dari pamannya terhadap agama yang menjadi sebab penghinaan yang begitu besarnya. Adapun para brahmana, yang melihat perkembangan orang-orang Kristiani, dan yang takut bahwa mereka akan menjadi lebih kuat, bercerita kepada Sri Raja bahwa kuil-kuil telah menjadi kosong, berhala-berhala ditinggalkan, dan ia harus menghentikan Romo de Britto, jika ia tidak ingin melihat ibadat kuno dari para leluhurnya binasa di bawah serangan Romo de Britto.
Tetapi, Romo de Britto, setelah membaptis Pangeran Tariadevem dan merayakan di istananya pesta Epifani pada tahun 1693, kembali ke perbatasan Marava. Ia telah memerintahkan agar tiga gereja kecil dibangun di hutan yang berdekatan untuk orang-orang Kristiani yang baru. Pada tanggal 8 Januari, setelah mengucapkan Misa, ia memperingatkan orang-orang yang hadir agar mereka pergi secepatnya, sebab para penganiaya sudah dekat. Semua orang pun menjauh, kecuali seorang brahmana dan dua pria muda yang tidak ingin berpisah daripadanya. Beberapa jam kemudian, sekelompok serdadu sampai; mereka membakar gereja-gereja itu, dan sambil membawanya dengan rantai, menuntunnya sampai ke menteri raja. Menteri raja, yang berharap menemukan harta di dalam pakaian Romo de Britto, amat terkejut sewaktu ia melihat bahwa hanya ada satu salib di dalamnya: ia menjatuhkan salib itu ke tanah dan menginjak-injaknya dengan penuh kebencian. Romo de Britto pun tersungkur ke tanah walaupun ia dirantai, dan seraya mengambil salibnya, ia mengecup salib itu sambil mencucurkan air mata kelemahlembutan sebagai silih atas penghinaan atas Tuhannya dan Allahnya. Dari penjaranya, ia menulis kepada para Romo dari Serikat Yesus untuk berpuasa selama tiga hari dan mendaraskan Rosario suci tiga kali agar Allah menganugerahkannya rahmat untuk bertekun dalam iman.
Pada tanggal 28 Januari, Sri Raja memerintahkan agar Romo de Britto dibawa menghadapnya dan menghardiknya karena ia kembali masuk ke dalam negerinya kendati perintah-perintahnya.
Seorang kapten dari pengawal, yang mendengarnya berbicara demikian, memukul pipinya dan berkata kepadanya:
Sri Raja akan telah membuatnya dibunuh seketika seandainya ia tidak menakuti Pangeran Tariadevem, yang telah datang dengan berani untuk mengakui imannya, dan yang amat dicintai oleh para rakyat. Takhta istana adalah miliknya; sepupunya, raja pada saat ini, telah menggulingkannya melalui suatu pengkhianatan. Selain itu, mereka telah menemukan daftar orang yang telah dibaptis oleh Romo de Britto, dan jumlahnya begitu banyak sehingga Sri Raja takut bahwa setelahnya akan terjadi pemberontakan. Maka, ia menyebarkan kabar kepada para rakyat bahwa ia hanya ingin mengusir Romo de Britto, di bawah dalih bahwa ia akan dibawa ke Oriyur, suatu kota yang berbatasan dengan negeri itu, di mana saudaranya memerintah, Pangeran Urendeiavem.
Pada waktu perjalanannya, orang-orang Kristiani berlari di jalan untuk menerima berkat dari Romo mereka. Ia menghibur mereka, dan menyemangati mereka. Setibanya di Oriyur, sang pangeran ingin agar ia dibunuh segera: atas desakan dari istrinya dan beberapa orang Kristiani dari istananya, ia setuju untuk menunda hukuman matinya itu atas perintah rahasia yang telah diterimanya. Pada tanggal 3 Februari, Romo de Britto menulis dengan arang, di atas daun palma, ucapan perpisahannya yang terakhir kepada para rekannya dari Serikat Yesus. Pada hari Rabu Abu, yakni, keesokan harinya, 4 Februari 1693, ia dibawa untuk disiksa, di atas bukit kecil dekat sebuah sungai, di luar perbatasan kota itu. Ia berjalan dengan langkah yang sedemikian cepatnya sehingga para serdadu yang tertegun saling berkata satu sama lain: Orang mengira bahwa pria ini pergi ke sebuah pesta. Sang algojo pun tiba. Romo de Britto berlutut dan lama berdoa. Putra dari sang pangeran berlari dan menghardik Perumal, nama dari serdadunya, karena ia tidak melaksanakan hukuman mati itu. Lalu, Romo de Britto mendekati tepian sungai, merangkul algojonya, dan berlutut. Ia menundukkan kepalanya, dan berkata: Saya siap, jalankanlah perintah anda.
Romo de Britto mengenakan beberapa relikui yang tergantung di lehernya. Sang algojo, karena ia takut terkena suatu kutukan yang akan menimpa dan mencabut nyawanya, pertama-tama menghantam Romo de Britto di pundaknya, dan hampir membunuhnya, untuk memotong tali di mana relikui itu tergantung; lalu ia memenggal kepala itu, yang, tidak seperti biasanya, jatuh ke belakang bersama tubuhnya. Perumal lalu memotong kaki dan tangannya, dan seraya melekatkan kaki dan tangannya bersama kepalanya di ikat pinggangnya, ia menggantung leher Romo de Britto di sebuah tiang. Beberapa penjaga ditugaskan di sana agar orang-orang Kristiani tidak dapat mengambilnya; tetapi suatu banjir besar pun datang, airnya menyeret kepalanya; tubuhnya jatuh dan dimakan sebagian oleh binatang-binatang buas, seperti yang telah diprediksikan oleh Romo de Britto di dalam penjaranya. Orang-orang Kristiani mengumpulkan sisa-sisa tubuhnya, mengambil kepalanya, dan relikui-relikui yang berharga itu disimpan di Goa di dekat makam dari ia yang begitu dicintai oleh Romo de Britto di dunia ini, Santo Fransiskus Xaverius.
Pedang simitar dari sang algojo diberikan kepada Sri Raja don Pedro, yang menerimanya seraya menangis, dan mendapatkan izin dari Raja dari Marava untuk membangun sebuah gereja di tempat kemartiran itu. Setiap hari Rabu, suatu khalayak yang besar pergi berziarah ke sana. Orang-orang sakit yang dibawa ke sana langsung mengalami kesembuhan. Di sana, para iblis pun diusir; orang buta kembali melihat; Perumal, sang algojo, di sana terbebas dari suatu obsesi dan meminta untuk dibaptis; para rakyat, yang menyaksikan begitu banyak mukjizat, berkonversi dalam jumlah ribuan orang. Seorang Yesuit, yang datang enam bulan setelah kemartiran itu, membaptis empat belas ribu orang. Diperkirakan bahwa lebih dari tiga puluh ribu orang adalah jumlah dari orang-orang yang telah dibaptis oleh Romo de Britto selama masa hidupnya; tetapi darahnya menjadi suatu benuh yang lebih subur daripada kata-katanya: Sanguis martyrum, semen christianorum.
Ibundanya yang tua masih hidup sewaktu kabar kematiannya yang mulia sampai ke Portugal. Kabar itu menjadi bagi semua orang yang telah mengenal Romo de Britto suatu sukacita yang suci dan bagaikan suatu kemenangan bagi publik, tetapi terutama bagi wanita yang saleh dan terhormat itu, yang terkenal oleh semangat dan imannya. Ia menghimpun keluarga dan sahabat-sahabatnya, dan mengadakan untuk mereka suatu perjamuan makan yang besar, bersukacita bersama mereka atas penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada keluarganya, dan karena Ia telah memandangnya pantas untuk menjadi ibunda dari seorang martir.
Ya iman yang mengagumkan, dan yang pantas ditemukan di abad-abad pertama! Ya keluarga yang berbahagia, yang lebih diagungkan oleh kematian daripada oleh daun salam dari seorang kapten yang mulia! Nama Johannes de Britto berada lebih lama dalam kenangan orang-orang daripada nama penakluk yang memberikan India kepada negerinya.
Pada tanggal 18 Mei 1852, martir yang mulia itu dibeatifikasikan oleh Paus Pius IX.”
Catatan kaki:
Disadur dari sumber berbahasa Prancis:
Romo Ribadeneira, Les Vies des saints et fêtes de toute l’année [Riwayat hidup para kudus dan pesta-pesta di sepanjang tahun], Edisi ke-7, Februari, Paris, Louis Vivès, Librairie-Éditeur, 1872, hal. 197-214.
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 1 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 2 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 2 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 2 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 2 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 3 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 3 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 4 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 5 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 5 bulanBaca lebih lanjut...