Promosi terkini Benediktus XVI terhadap bidah indiferentisme religius, kebebasan beragama dan bidah-bidah lainnya

Baca lebih lanjut Bidah-Bidah Terkini Benediktus XVI

Sambutan Benediktus XVI, 31 Oktober 2011, di Pantai Gading: “Seperti banyak negara-negara Afrika, Pantai Gading memiliki kebhinekaan agama dan kelompok etnis. Ini adalah kekayaan yang amat besar. Kehidupan bersama harus selalu diinginkan dan dimajukan. Seperti yang telah saya katakan di dalam Ensiklik saya yang pertama: ‘Negara tidak boleh memberlakukan agama, tetapi Negara harus menjamin kebebasan beragama dan keharmonisan antara para pengikut agama-agama yang berbeda.”[1]

Benediktus XVI berkata bahwa hadirnya berbagai agama sesat di dalam negara anda adalah “kekayaan yang amat besar.”

Sambutan Benediktus XVI, 7 Oktober 2011, kepada para “Uskup” Indonesia: “Secara pantas, konstitusi Indonesia menjamin hak asasi manusia yang mendasar untuk mempraktikkan agama seseorang... Saya hanya dapat menyemangati anda dalam upaya-upaya anda yang berkelanjutan demi mempromosikan dan menunjang dialog antaragama di dalam bangsa anda. Negara anda, yang sangat kaya akan kebhinekaan budaya dan memiliki suatu populasi yang besar, adalah tempat tinggal sejumlah besar pengikut tradisi-tradisi keagamaan yang beragam... Orang-orang yang percaya akan Kristus, yang berakar dalam kasih, harus berkomitmen untuk berdialog dengan agama-agama lain, menghormati perbedaan-perbedaan satu sama lain.”[2]

Benediktus XVI berkata bahwa suatu negara itu kaya sewaktu negara itu memiliki sejumlah besar agama-agama sesat. Benediktus XVI sering menyebutkan bagaimana kita harus menghormati perbedaan-perbedaan serta kepercayaan-kepercayaan sesat tentang Allah.

Homili Benediktus XVI, 15 Desember 2011, kepada para murid universitas di Roma: “Tuhan meminta kalian masing-masing untuk bekerja sama untuk membangun kota manusia...”[3]

Sambutan Benediktus XVI, 24 November 2011: “Perhatian kepada negara dan kehidupannya lalu menimbulkan kemampuan untuk menafsirkan evolusi kehidupan dari para penghuninya...”[4]

Benediktus XVI mempromosikan gagasan yang tidak Kristiani tentang “evolusi kehidupan.”

Pesan Benediktus XVI, 8 Desember 2011, untuk Hari Perdamaian Sedunia: “Demi menjadi pembuat perdamaian sejati, kita harus mendidik diri kita sendiri dalam kasih sayang, solidaritas, kerja sama, persaudaraan untuk menjadi aktif dalam komunitas serta rasa peduli untuk menimbulkan kesadaran tentang masalah-masalah nasional dan internasional serta pentingnya mencari mekanisme-mekanisme yang memadai untuk redistribusi kekayaan...”[5]

Benediktus XVI mempromosikan kepercayaan komunis dan sosialis, yakni “redistribusi kekayaan.”

Sambutan Benediktus XVI, 17 Oktober 2011, kepada Delegasi “Gereja” Suriah-Malabar: “Saya tahu bahwa kehidupan bagi orang-orang Kristiani telah menjadi rumit akibat rasa ketidakpercayaan sektaris dan bahkan kekerasan, tetapi saya akan mendesak anda untuk terus bekerja bersama orang-orang yang berkehendak baik dari segala agama di daerah itu...”[6]

Benediktus XVI berkata bahwa para praktisi agama-agama sesat adalah “orang-orang yang berkehendak baik”.

Sambutan Benediktus XVI, 10 November 2011, kepada para pemimpin agama dari Dewan Keagamaan Israel:
“Paduka yang Terberkati,
Para Paduka yang Terutama,
Teman-teman yang terkasih,

Saya sangat gembira untuk dapat menyambut anda, para anggota dari Dewan Keagamaan Israel, yang seperti yang anda lakukan, mewakili komunitas-komunitas agamawi yang hadir di Tanah Suci, dan saya berterima kasih kepada anda sekalian atas kata-kata yang baik yang ditujukan kepada saya atas nama semua orang yang hadir. Di dalam masa yang penuh masalah, dialog antara agama-agama yang berbeda menjadi semakin penting untuk membuat suatu atmosfer pengertian serta rasa hormat timbal balik yang dapat menuntun kepada persahabatan dan kepercayaan yang kokoh satu sama lain... Di dalam situasi ini, sebagai para pemimpin agama, kita terpanggil untuk menegaskan kembali bahwa hubungan yang dihayati secara benar dari manusia kepada Allah adalah kekuatan untuk perdamaian... Ini adalah suatu kebenaran yang harus menjadi semakin kelihatan di dalam cara kita hidup bersama satu sama lain dalam keseharian kita. Maka, saya ingin menyemangati anda untuk memupuk suasana kepercayaan dan dialog antara para pemimpin dan anggota dari semua tradisi agamawi yang hadir di Tanah Suci. Kita berbagi suatu tanggung jawab yang besar untuk mendidik para anggota dari masing-masing komunitas agamawi kita, dengan suatu tujuan untuk memupuk pengertian yang lebih mendalam satu dengan yang lainnya dan untuk membangun keterbukaan terhadap kerja sama dengan orang-orang yang berasal dari tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda dari kita sendiri. Sayangnya, kenyataan dari dunia kita ini sering rapuh dan cacat adanya, bahkan di Tanah Suci. Kita semua terpanggil untuk kembali berkomitmen demi mempromosikan keadilan dan martabat yang lebih besar, untuk memperkaya dunia dan untuk memberikan kepada dunia suatu dimensi yang sepenuhnya manusiawi. Keadilan, bersama dengan kebenaran, cinta kasih, dan kebebasan, adalah persyaratan yang mendasar untuk perdamaian yang langgeng dan kuat di dunia. Pergerakan menuju rekonsiliasi memerlukan keberanian dan visi, serta kepercayaan bahwa Allah sendirilah yang akan menunjukkan jalan kepada kita. Kita tidak dapat mencapai tujuan-tujuan kita jika Allah tidak memberikan kepada kita kekuatan untuk melakukannya. Sewaktu saya mengunjungi Yerusalem pada bulan Mei 2009, saya berdiri di hadapan Tembok Barat, dan, di dalam doa saya yang tertulis yang ditempatkan di antara bebatuan dari Tembok tersebut, saya meminta kepada Allah perdamaian di Tanah Suci. Saya menulis: ‘Allah dari segala abad, pada kunjungan saya ke Yerusalem, ‘Kota Perdamaian’, rumah rohani bagi orang-orang Yahudi, Kristen, serta Muslim pula, saya membawa ke hadapan anda sukacita, harapan, serta ilham, percobaan, penderitaan, serta kesakitan dari semua umat-Mu di seluruh dunia.’”[7]

Dewan Keagamaan Israel mengikutsertakan para rabbi, seorang pemimpin Muslim, dsb. Benediktus XVI berkata bahwa Allah akan menunjukkan “jalan” kepada para pemimpin agama-agama sesat.

Sambutan Benediktus XVI, 31 Oktober 2011, kepada duta besar baru dari Brasil: “Gereja berharap bahwa Negara, sebaliknya, akan mengakui bahwa suatu sekularisme yang sehat tidak boleh memandang agama, semata-mata sebagai suatu sentimen individu yang dapat disingkirkan kepada lingkungan pribadi tetapi sebaliknya, sebagai suatu realitas, yang juga terorganisir di dalam struktur-struktur yang kelihatan, yang membutuhkan kehadiran publiknya di dalam komunitas untuk dapat diakui. Inilah mengapa Negara bertanggung jawab untuk menjamin kemungkinan pelaksanaan bebas terhadap ibadat untuk setiap denominasi agama... Untuk alasan ini, patut ditegaskan kembali, seperti yang telah ditegaskan di dalam Perjanjian tahun 2008 yang disebutkan di atas, bahwa, tanpa sama sekali menyiratkan bahwa Negara mengambil atau memberlakukan suatu kepercayaan agamawi yang spesifik, ajaran agama-agama denominasional di sekolah-sekolah negeri berarti pengakuan bahwa agama adalah nilai yang dibutuhkan untuk pembentukan integral seseorang. Dan ajaran tersebut tidak boleh dikurangi menjadi sosiologi agama-agama yang generik, sebab sama sekali tidak ada agama yang generik dan non-denominasional. Maka, ajaran agama denominasional di dalan sekolah-sekolah negeri bukan hanya sama sekali tidak merusak sekularisme Negara...”[8]

Pidato Benediktus XVI, 22 Desember 2011, kepada “Dewan Kardinal”: “Sekarang, akan terlalu panjang untuk membahas detail tentang pertemuan di Assisi, sebagaimana pantas adanya menimbang pentingnya pertemuan tersebut. Marilah kita berterima kasih saja kepada Allah, bahwa sebagai perwakilan-perwakilan dari agama-agama dunia dan sebagai perwakilan-perwakilan dari pemikiran yang mencari kebenaran, kita mampu bertemu pada hari itu di dalam iklim persahabatan dan rasa saling hormat, dalam cinta akan kebenaran dan di dalam tanggung jawab bersama untuk perdamaian.”[9]

Sambutan Benediktus XVI, 21 Oktober 2011, kepada duta besar baru dari Belanda: “Saya berbesar hati oleh karena kata-kata anda tentang intensi Pemerintahan Belanda untuk mempromosikan kebebasan beragama yang, seperti yang anda ketahui, adalah urusan yang dipedulikan oleh Takhta Suci secara khusus pada masa ini... Maka, sangatlah diharapkan bahwa Pemerintahan anda akan menjadi waspada, agar kebebasan beragama dan kebebasan beribadat akan terus dilindungi dan dipromosikan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.”[10]

Bidah-Bidah Terkini Benediktus XVI

Catatan kaki:

[1] L’ Osservatore Romano, 16 November 2011, hal. 15. Versi Bahasa Inggris.

[2] L’ Osservatore Romano, 12 Oktober 2011, hal. 3. Versi Bahasa Inggris.

[3] L’ Osservatore Romano, 21Desember 2011, hal. 17. Versi Bahasa Inggris.

[4] L’ Osservatore Romano, 7 Desember 2011, hal. 7. Versi Bahasa Inggris.

[5] L’ Osservatore Romano, 21Desember 2011, hal. 10, 16. Versi Bahasa Inggris.

[6] L’ Osservatore Romano, 19 Oktober 2011, hal. 13. Versi Bahasa Inggris.

[7] L’ Osservatore Romano, 16 November 2011, hal. 5. Versi Bahasa Inggris.

[8] L’ Osservatore Romano, 9 November 2011, hal. 5. Versi Bahasa Inggris.

[9] L’ Osservatore Romano, 28 Desember 2011, hal. 7. Versi Bahasa Inggris.

[10] L’ Osservatore Romano, 26 Oktober 2011, hal. 4. Versi Bahasa Inggris.