Acara Assisi Benediktus XVI – Seberapa Burukkah Acara itu? (2011)

Terdapat sekitar 300 perwakilan dari berbagai agama sesat pada pertemuan doa antaragama Benediktus XVI pada tanggal 27 Oktober 2011. 10 dari antara 300 menjadi pembicara. Berikut adalah cuplikan dari pidato-pidato mereka. Seluruh pidato berikut didukung oleh Benediktus XVI karena ia memungkinkan semuanya. Kenyataannya, Benediktus XVI mengetahui dan menyetujui isi dari setiap pidato tersebut sebelum pidato itu diberikan.

27 Oktober 2011 – Sambutan dari Acharya Shri Shrivastsa Goswami, Perwakilan Agama Hindu dari Kuil Sri Radharamana: “Ya Tuhan, yang tubuhnya tidak terbatas! Saya melihat dirimu dalam setiap tangan dan kaki, di dalam setiap mata dan kepala, di dalam setiap nama dan makhluk. Saya sujud kepadamu di dalam mereka semua’ Hinduisme adalah suatu ziarah dari ketidaktahuan menuju kebenaran, dari kematian menuju imortalitas… Dari Krishna kepada Buddha, dari Mahatma Gandhi kepada Martin Luther King Jr., dari Uskup Tutu – semua peziarah kebenaran ini menyatakan bahwa tidak terdapat jalan menuju perdamaian. Perdamaian sendiri adalah jalan… Dialog tidak berguna jika kita tidak melaksanakannya dengan kerendahan hati, kesabaran, dan keinginan untuk menghormati 'yang lain' - dan itu juga tanpa menginginkan balasan yang sama. Hal ini akan memberdayakan kita untuk mengatakan 'tidak' untuk ketidakadilan dalam bentuk apa pun. Hal itu membutuhkan banyak keberanian, dan keberanian itu hanya datang dari doa. Karena itu, mari kita bergabung dengan Sri Caitanya Mahaprabhu, guru spiritual abad ke-16, dalam doanya: ‘Saya tidak menginginkan kekayaan atau kesenangan duniawi; saya juga tidak mencari ketenaran atau nama. Saya hanya memohon agar saya bisa melayani orang lain dengan cinta ’. Ini adalah upaya yang berat. Hal ini mengharuskan kita untuk kembali melihat apa yang dinyatakan oleh Weda kuno: bahwa kebenaran itu satu - dan pada saat yang sama, bahwa hal itu dinyatakan dalam banyak cara yang berbeda. Om Shantih, Shantih, Shantih. ”[1]

Sang pemimpin Hindu memulai dengan menyatakan bahwa setiap manusia adalah Allah. Dalam pidato ini, kita melihat bahwa ia mempromosikan secara lancang hujat panteisme – bahwa Allah berada di dalam segala sesuatu. Orang Hindu itu pun menyatakan seorang mantan pemimpin Hindu sebagai seorang ‘guru spiritual’, seraya meminta semua hadirin untuk bergabung bersamanya dalam doanya.

27 Oktober 2011, Sambutan dari Ja-Seung, Presiden dari “Ordo Jogye” dari Buddhisme Korea: “Semua hal saling berhubungan. Anda dan saya tidaklah ada sebagai individu-individu yang terpisah; sebaliknya, kita semua secara rumit saling berhubungan satu sama lain. Buddhisme menawarkan wawasan tentang kebenaran ini melalui doktrin Asal Mula yang Bergantungan. Saya juga ingin Anda bergabung dengan saya dalam 'Persaudaraan untuk Perdamaian', sehingga koeksistensi yang harmonis dan rasa saling menghormati, terlepas dari agama, ras dan budaya dimungkinkan di dunia ini ... Para pemimpin agama yang terkasih, 'Deklarasi untuk Perdamaian Agama' dari Ordo Jogye dari Buddhisme Korea mempromosikan rasa saling menghormati di antara keyakinan yang berbeda.[2]

Dalam pidato ini, promosi sedunia untuk agama dan doktrin-doktrin sesat Buddhisme didukung.

27 Oktober 2011, Pidato Profesor Julia Kristeva, Perwakilan Orang-Orang yang Tidak Beriman: “Kata-kata Yohanes Paulus II, 'Jangan takut!', tidak hanya ditujukan kepada orang-orang percaya, yang mendorong mereka untuk menentang totaliterisme. Seruan Paus itu, Rasul Hak Asasi Manusia, juga mendesak kita, bukan untuk takut kepada budaya Eropa, melainkan, sebaliknya, untuk mendorong kita ke arah humanisme: untuk menghubungkan humanisme Kristen dan apa yang muncul dari Renaisans dan Pencerahan, yang bertujuan untuk membuka jalur yang tidak aman menuju kebebasan. Pada hari ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Paus Benediktus XVI karena ia mengundang beberapa humanis untuk pertama kalinya datang ke sini. Ini adalah suau acara ... Hari ini, jauh dari deglobalisasi, adalah suatu yang diperlukan untuk menemukan norma-norma internasional baru untuk mengatur dan mengendalikan sektor keuangan dan ekonomi global dan pada akhirnya untuk menciptakan satu otoritas tentang etika universal dan solidaritas."[3]

Di dalam pidato ini, Benediktus XVI memberikan suatu forum yang mendunia untuk seorang pemimpin resmi dari orang-orang yang tidak percaya akan Allah. Beneditkus XVI memberikan kepada orang-orang yang tidak percaya suatu forum mendunia untuk mempromosikan agnostisisme, humanisme, dan berbagai kepercayaan sesat lainnya. Pemimpin agnostik itu juga secara agresif mempromosikan suatu sistem satu dunia yang akan mengontrol dan mengendalikan segala aspek hidup di bumi.

27 Oktober 2011, Pidato Profesor Wande Abimbola - Juru Bicara “Agama Ifu dan Yoruba di Dunia”: “Pertama-tama, izinkan saya menyatakan rasa terima kasih yang mendalam kepada Bapa Suci, Paus Benediktus XVI, untuk telah mengundang saya untuk berpartisipasi dalam Hari Refleksi, Dialog, dan Doa untuk Keadilan dan Perdamaian di Dunia. Saya yakin bahwa saya berbicara untuk para pemimpin dan praktisi Agama-Agama Pribumi Afrika dan Dunia secara umum ketika saya berkata bahwa kami senang dilibatkan dalam acara bersejarah dan penting tersebut. Semoga Bapa Suci terus menjadi kuat, untuk memenuhi misi dan takdirnya bagi orang-orang di dunia. Kedua, saya menyampaikan salam dari orang-orang Afrika dan anggota Agama Yoruba di seluruh dunia, yang juru bicaranya adalah saya. Saya adalah seorang juru bicara dari mereka yang mengutus saya. Saya tidak berbicara untuk diri saya sendiri. Otoritas spiritual yang dengannya saya berbicara adalah milik mereka yang mengutus saya. Sudah tiba saatnya bagi para pemimpin semua agama di dunia untuk memiliki kerangka pikir baru di mana agama-agama pribumi diberi penghormatan dan pertimbangan yang sama seperti agama-agama lain. Kita tidak bisa memiliki perdamaian di dunia sewaktu kita tidak menghormati, menyalahgunakan atau memandang rendah sesama kita. Prasyarat mendasar untuk perdamaian, oleh karena itu, adalah agar semua orang beriman memiliki rasa hormat dan cinta satu sama lain. Mari kita berhubungan dengan orang-orang berdasarkan karakter mereka, bukan pada agama yang mereka praktikkan atau denominasi mereka. Mari kita semua bekerja sama untuk rasa hormat, cinta, dan keadilan yang lebih besar, sementara pada saat yang sama berpegang teguh pada ajaran agama yang kita anut. Kita harus selalu ingat bahwa agama kita sendiri, bersama dengan agama-agama yang dipraktikkan oleh orang lain, sah adanya dan berharga di mata Yang Mahakuasa, yang menciptakan kita semua dengan cara-cara hidup dan sistem kepercayaan yang jamak dan berbeda. Menghormati sesama pria dan wanita tidak cukup. Kita juga perlu mengembangkan rasa hormat yang mendalam terhadap alam. Jika alam tidak, dan sampai pada waktu alam, Bunda kita, diberikan penghormatan dan penghormatan kepadanya dalam pikiran dan tindakan kita, manusia tidak dapat menemukan perdamaian dan ketenangan sejati yang kita semua cari ... [Dia kemudian mulai berdoa]

Ifa n lo lee gbolomi tutu niyawo
Aya Ifa tutu jomi lo
Baraa mi Erigi Alo
Ifa lo gbolomi tutu niyawo
Aye Ifa tutu jomi lo
Adeyeri, Ifa seorang imam dari Alaraan Adetutu,

Ifa seorang imam dari Ajiforanghogbola,
Ini adalah para imam Ifa yang meramal untuk Orumila
Pada hari ia akan menikahi Ia-yang-mandi-dengan-air-sejuk
Oleh karenanya, hidup Ifa menjadi lebih sejuk dari air
Tuhanku yang Agung, Erigi Alo,
Ifa menikahi Ia-yang-mandi-dengan-air-sejuk
Hidup Ifa menjadi lebih sejuk dari air.

Kutipan di atas adalah suatu rujukan kepada Olokun, istri yang terakhir yang paling dicintai oleh Ifa. Semoga perairan Olokun yang sejuk, dari kedalaman samudra, membawakan kesejukan, cinta, ketenangan, dan perdamaian untuk kita semua dan untuk dunia kita yang dipenuhi pertentangan, kebencian, peperangan, dan kefanatikan.”[4]

Pada awal pidatonya, Abimbola menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada Benediktus XVI untuk telah mengundangnya ke acara ini dan memungkinkannya untuk mempromosikan agama sesatnya. Kedua, Abimbola meminta agar agama-agama satanik Yoruba diberikan penghormatan yang sama dengan agama-agama palsu lainnya di seluruh dunia. Ketiga, dia mendorong orang untuk berpegang teguh pada agama yang mereka percayai sekarang. Keempat, ia berkata, "Kita harus selalu ingat bahwa agama kita sendiri, bersama dengan agama yang dipraktikkan oleh orang lain, sah adanya dan berharga di mata Yang Mahakuasa."

Dalam pidato ini kita melihat bahwa Benediktus XVI mempromosikan bahwa semua agama “sah adanya dan berharga di mata Yang Mahakuasa.” Ini adalah penghujatan terhadap satu-satunya Allah yang benar, Allah Tritunggal Mahakudus. Abimbola kemudian menyatakan bahwa setiap orang harus memiliki rasa hormat yang mendalam terhadap alam dalam pikiran dan tindakan mereka. Ia mengatakan bahwa jika hal ini tidak terjadi, manusia tidak akan menemukan perdamaian sejati. Abimbola kemudian memanggil dewa-dewa palsu Olokun dan Ifa - melantunkan doa kepada para dewa palsu ini sambil mengocok kerincingan. Setelah pidatonya itu, Benediktus XVI berdiri dan menjabat tangan Abimbola. Karena itu Benediktus XVI memberikan dukungan publik secara penuh untuk apa yang dikatakan dan dilakukan Abimbola. Wande Abimbola adalah salah satu dari 10 orang yang dipilih untuk memberikan pidato selama pertemuan ini. Wande Abimbola duduk di tengah perkumpulan itu, dua tempat dari Benediktus XVI. Abimbola mewakili agama-agama Yoruba Afrika. Berikut adalah beberapa fakta tentang "agama" Yoruba dari situs web mereka sendiri: http://www.yorubaorganization.com/?page_id=124

“Saat ini terdapat ratusan kuil di seluruh Nigeria, Benin, Togo, Ghana, yang ditujukan untuk Ifa dan Orisha. Di sana, para pengikut melakukan ritual kuno dengan drum, nyanyian, tarian, kurban dan berkomunikasi dengan Roh melalui medium kerasukkan... Memahami rahasia kekuatan spiritual yang tak terlihat hanya mungkin melalui interaksi langsung dengan mereka. Itulah sebabnya dalam tradisi sihir-religius Yoruba, salah satu peran utamanya memiliki disiplin bernama Ifaiya - yang dimaksudkan untuk membangun hubungan dengan kekuatan spiritual yang memiliki kesadaran diri sendiri ... Seluruh praktik sihir-religius sangat efisien karena nubuat-nubuat Yoruba didasari instruksi yang dikirim dari dunia Spiritual."Seperti yang sudah disebutkan, Abimbola memanggil dewa sesat Olokun. "Olokun dianggap sebagai pelindung Orisa dari keturunan orang-orang Afrika ... Ia bekerja erat dengan Oya (Dewa Angin) ... Olokun ditemui dalam perwujudan pria dan wanita, tergantung pada wilayah Afrika Barat di mana ia disembah. Ia juga diwujudkan dalam beberapa ciri khas manusia ... Ia juga mengatur kekayaan materi, kemampuan psikis, mimpi, meditasi, kesehatan mental dan penyembuhan berbasis air ... Beberapa garis keturunan Afro-Kuba menyembah Olokun bersama-sama dengan Yemoja. Di masa lalu, para penyembah Santeria menganggap kedua Orisha ini sebagai perwujudan dari satu yang lain ... Namun di Afrika, Yemoja adalah keilahian Sungai Ogun di Nigeria dan Olokun dianggap sebagai ibu dari semua perairan... "(dari artikel wikipedia tentang Olokun )

Seperti yang sudah disebutkan, Abimbola juga memohon Dewa Ifa palsu. “Penyembahan terhadap Ifa berasal dari Afrika Barat dan dirayakan dalam agama Yoruba. Penyembahan itu juga dirayakan di Santeria, Afrika Barat & Diaspora Voodoo, dan juga di garis keturunan Orisa Ifa di seluruh dunia.” (dari artikel wikipedia di Ifa)

Ibu Wande Abimbola adalah "pendeta tinggi Sango." "Dalam agama Yorùbá, Sàngó (juga dieja, Sango atau Shango) ... mungkin adalah salah satu Orisha yang terpopuler yang juga dikenal sebagai dewa api, kilat dan guruh ... [Orisha adalah tradisi agama palsu yang mengharuskan penyembahan terhadap dewa sesat dalam agama Yoruba]; Beberapa orang percaya juga akan konsultasi dengan ahli ramalan geomantik ... Shango dihormati di Voodoo Haiti, sebagai dewa guntur dan cuaca ". (dari artikel wikipedia tentang Orisha dan Shango)

Oleh karena itu, Benediktus XVI mengundang seorang pria untuk mempromosikan dan berdoa kepada dewa-dewa sesat - dengan demikian menodai Basilika Santo Fransiskus, dengan tubuh Santo Fransiskus di dekatnya. Benediktus XVI memberikan forum yang mendunia untuk mempromosikan penyembahan roh dan alam, sihir dan voodoo.

Konsili Elvira, 305 Masehi:
“Telah didekretkan bahwa mereka yang di dalam usia dewasa setelah menerima Pembaptisan yang pergi ke kuil-kuil pagan untuk menyembah para berhala, yang merupakan sebuah kejahatan yang mematikan dan puncak dari keburukan, tidak boleh diterima ke dalam komuni bahkan pada saat mereka mati.”[5]

Seperti yang kita lihat dari Konsili regional ini, di dalam Gereja perdana, untuk pergi ke kuil pagan (yang dilakukan Yohanes Paulus II di Thailand) untuk menyembah berhala dianggap sebagai puncak kejahatan. Hal tersebut merepresentasikan kemurtadan dari Iman sehingga mereka yang bahkan bertobat hanya diperbolehkan untuk mengaku mengaku dosa (dan tidak menerima Komuni). Jika pergi ke kuil pagan dianggap sebagai kemurtadan yang sedemikian parah, apa yang akan mereka katakan tentang seseorang yang mengaku sebagai pemimpin Gereja yang mengubah gereja-gereja Katolik sendiri menjadi kuil-kuil pagan sehingga para penyembah berhala dapat menyembah dewa-dewa palsu di dalamnya? Mereka pasti akan menganggapnya sebagai puncak kemurtadan.

27 Oktober 2011, Salam pengantar untuk Assisi oleh “Kardinal Katolik” Peter Turkson, Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian: “Pada bulan Oktober 1986 atas undangan Beato Yohanes Paulus II, Kepala dan Perwakilan Gereja Kristen, Komunitas Gerejawi dan Agama-Agama Dunia berkumpul di sini di Assisi, kota St. Fransiskus, untuk berpuasa dan berdoa untuk perdamaian. Mereka sadar bahwa 'perdamaian', seperti yang dinyatakan Sri Paus pada kesempatan itu, 'perlu dibangun di atas keadilan, kebenaran, kebebasan dan cinta', dan bahwa 'Agama memiliki fungsi yang diperlukan untuk membantu mengarahkan hati manusia, sehingga perdamaian sejati dapat dibina dan dilestarikan '. Dua puluh lima tahun setelah pertemuan bersejarah itu, saya dengan senang hati menyambut Anda sepenuh hati ke Assisi, tempat kami berkumpul bersama atas undangan Paus Benediktus XVI untuk merayakan kenangan akan momen persaudaraan dan doa itu serta untuk memulai lagi sebagai 'peziarah kebenaran dan peziarah perdamaian '. Kita berkumpul di sini, sadar akan panggilan bersama untuk hidup bersama dalam damai, suatu kerinduan mendalam yang berdenyut tanpa henti di hati kita. Pencarian yang tak kenal lelah untuk pencapaian keinginan itu membuat kita semua menjadi sesama pengembara. Kita datang dari tradisi agama yang berbeda dan dari berbagai belahan dunia untuk memperbarui dan memperkuat pencarian kebenaran bahwa kita masing-masing, terlepas dari tradisi kita sendiri, tanpa henti berkomitmen untuk melakukannya. Kita datang juga untuk menyaksikan kekuatan agung dari agama untuk kebaikan, dan untuk memperbarui komitmen bersama untuk membangun perdamaian, untuk mendamaikan mereka yang berkonflik dan membawa manusia kembali ke dalam harmoni dengan ciptaan. ”[6]

Pada pidato pembukaan untuk acara ini, sang “Kardinal” pemurtad ini menyatakan bahwa pertemuan doa Assisi ini akan menjadi kelanjutan dari pertemuan doa Assisi yang pertama dari Yohanes Paulus II, di mana  “agama-agama dunia berkumpul di sini di Assisi, kota St. Fransiskus, untuk berpuasa dan berdoa untuk perdamaian." Berdoa bersama para pemimpin agama-agama non-Katolik selalu dikutuk sebagai dosa berat. “Kardinal” pemurtad itu kemudian menyatakan bahwa para pemimpin agama sesat ini, yang memiliki komitmen kuat untuk menyebarkan keyakinan sesat mereka, “berkomitmen tanpa henti” terhadap kebenaran. Akhirnya, ia menyatakan bahwa berbagai agama sesat menjadi saksi kekuatan agung dari "agama" untuk kebaikan. Hal ini berarti semua agama baik adanya.

27 Oktober 2011, Pidato Benediktus XVI kepada Para Pemimpin dari berbagai agama di dunia: “Saudara dan saudari yang terkasih, Para Pemimpin dan Perwakilan Gereja yang Terhormat, Komunitas Gerejawi dan Agama-Agama Dunia, Sahabat-Sahabat yang terkasih,

Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak Beato Paus Yohanes Paulus II pertama kali mengundang perwakilan agama-agama dunia ke Assisi untuk berdoa bagi perdamaian ... Sebagai seorang Kristiani, saya ingin mengatakan pada titik ini: ya, memang benar, dalam perjalanan sejarah, kekerasan telah digunakan atas nama iman Kristiani. Kami mengakuinya dengan sangat malu. Tetapi jelas sekali bahwa ini adalah penyalahgunaan iman Kristiani, penyalahgunaan yang jelas-jelas bertentangan dengan sifatnya yang sejati ... Musuh-musuh agama - seperti yang kami katakan sebelumnya - melihat dalam agama salah satu sumber utama kekerasan dalam sejarah kemanusiaan dan dengan demikian mereka menuntut agar hal tersebut dilenyapkan. Tetapi penyangkalan terhadap Allah telah menyebabkan banyak kekejaman dan tingkat kekerasan yang tidak mengenal batas ... Selain dua fenomena agama dan anti-agama, suatu pengarahan dasar lebih lanjut ditemukan dalam dunia agnostisisme yang sedang berkembang: orang-orang yang kepadanya karunia iman belum diberikan, tetapi yang tetap mencari kebenaran, mencari Allah. Orang-orang seperti itu tidak hanya menyatakan: 'Tidak ada Allah. Mereka menderita karena ketidakhadiran-Nya, tetapi di dalam hati mereka berjalan ke arah-Nya, karena mereka mencari kebenaran dan kebaikan. Mereka adalah 'peziarah kebenaran, peziarah perdamaian'. Mereka mengajukan pertanyaan dari kedua belah pihak. Mereka mengambil dari para ateis militan keyakinan palsu yang dengannya mereka mengklaim bahwa mereka tahu bahwa tidak terdapat Allah dan mereka mengundang mereka untuk mengabaikan polemik dan menjadi pencari yang tidak putus harapan akan keberadaan kebenaran dan akan kemungkinan dan kebutuhan untuk menghayatinya.Tetapi mereka juga menantang para pengikut agama untuk tidak menganggap Allah sebagai milik mereka sendiri, seolah-olah Ia adalah milik mereka, sedemikian rupa sehingga mereka merasa dibenarkan dalam menggunakan kekerasan terhadap orang lain. Orang-orang ini mencari, mereka mencari Allah yang benar, yang citranya sering tersembunyi dalam agama-agama karena cara-cara di mana agama-agama sering dipraktikkan. Sebagian dari ketidakmampuan mereka untuk menemukan Allah, adalah disebabkan oleh orang-orang beriman, semua orang beriman memiliki tanggung jawab untuk memurnikan iman mereka, sehingga Allah, Allah yang benar, menjadi dapat dijangkau. Karena itu saya secara sadar telah mengundang delegasi dari kelompok ketiga ini kepada pertemuan kami di Assisi, yang tidak hanya mempertemukan perwakilan lembaga-lembaga agama. Sebaliknya ini adalah kesempatan untuk kebersamaan dalam perjalanan menuju kebenaran, suatu sebab untuk mengambil sikap tegas bagi martabat manusia dan sebab keterlibatan bersama untuk perdamaian melawan segala bentuk kekerasan yang menghancurkan. Akhirnya saya ingin meyakinkan anda bahwa Gereja Katolik tidak akan menyerah dalam perjuangannya melawan kekerasan, dalam komitmennya untuk perdamaian di dunia. Kami dijiwai oleh keinginan umum untuk menjadi 'peziarah kebenaran, peziarah perdamaian'. Terima kasih.”[7]

 
Dalam pidato utama Benediktus XVI, ia menghubungkan acaranya sendiri dengan acara orisinal Yohanes Paulus II. Dengan demikian, ia mendukung tindakan Yohanes Paulus II yang mengundang para pemimpin dari berbagai agama sesat "untuk berdoa untuk perdamaian." Benediktus XVI kemudian mengatakan bahwa adalah suatu hal yang amat memalukan bahwa kekerasan telah digunakan dalam sejarah agama Kristiani. Karena itu Benediktus XVI mengutuk Perang Salib dan semua perang Kristiani yang terjadi dalam sejarah. Ini adalah bidah. Para Paus menyetujui dan memberkati Perang Salib.

Benediktus XVI kemudian menyatakan bahwa orang-orang agnostik (orang-orang yang tidak yakin bahwa Allah itu ada) adalah "peziarah kebenaran." Untuk menyebut orang-orang agnostik yang tidak beriman sebagai "peziarah kebenaran" adalah bidah yang amat memalukan. Benediktus XVI selanjutnya mengatakan bahwa kenyataan bahwa para agnostik tidak yakin bahwa Allah itu ada disebabkan, secara sebagian, oleh orang-orang beriman! Pernyataan ini secara langsung bertentangan dengan Kitab Suci. Kitab Suci menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui keberadaan Allah melalui terang akal budi dan penciptaan dunia. Alkitab menyatakan bahwa mereka yang tidak percaya kepada Allah tidak dapat berdalih. Benediktus XVI juga mengatakan bahwa citra Allah yang sejati tersembunyi dalam agama-agama sesat yang berbeda-beda. Benediktus XVI mengakhiri pidato sesatnya dengan mengatakan bahwa jika "orang beriman" dari berbagai agama sesat terus menyucikan "iman" mereka, mereka dapat terus menuntun orang-orang kepada Allah yang benar! Ini adalah kemurtadan total dari iman Katolik. Ketika dia berbicara tentang “orang-orang beriman”, ia jelas berbicara tentang para pemimpin dan anggota agama-agama non-Katolik.

Kemudian pada tanggal 27 Oktober 2011, setelah pidato utama di dalam Basilika Santo Fransiskus para peserta berkumpul di luar Basilika. Perwakilan dari berbagai agama diberikan waktu untuk berdoa dalam keheningan dan untuk memberikan beberapa patah kata untuk memperbarui komitmen mereka terhadap “perdamaian dunia”:

Kata-kata pemimpin Sikh Dr. Tarunjit Singh Butalia: "... rasa hormat untuk membantu mewujudkan koeksistensi yang damai dan persaudaraan antara orang-orang dari berbagai kelompok etnis, budaya dan agama."[8]

Kata-kata Profesor Guillermo Hurtado, perwakilan lain dari orang yang tidak beriman dari Meksiko: “Kami, kaum humanis dalam dialog dengan orang-orang beriman, berkomitmen untuk bersama-sama dengan semua pria dan wanita yang berkehendak baik dalam rangka membangun dunia baru di mana penghormatan terhadap martabat masing-masing dan setiap orang , aspirasi batin mereka dan kebebasan untuk bertindak atas dasar kepercayaan mereka sendiri, adalah fondasi bagi kehidupan di masyarakat. Kami akan melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa orang beriman dan tidak beriman, dalam kepercayaan timbal balik, dapat menjalani pencarian bersama untuk kebenaran, keadilan dan perdamaian."[9]

Kata-kata Benediktus XVI: “Semoga tiada lagi kekerasan! Semoga tiada lagi Perang! Semoga tiada lagi terorisme! Atas nama Allah, semoga setiap agama menghadirkan Keadilan dan Perdamaian, Pengampunan dan Kehidupan, Cinta! ”[10]

Benediktus XVI mengatakan bahwa setiap agama di Bumi dapat membawa keadilan, perdamaian, pengampunan, dan kehidupan. Ini sungguh adalah pertunjukkan yang luar biasa dari kemurtadan total dan total dari iman Katolik.

Setelah pernyataan dari para pemimpin berbagai agama sesat, moderator Vatikan kemudian berkata: “Kita sekarang akan mengheningkan cipta di mana setiap orang diundang untuk berdoa untuk perdamaian atau dengan sungguh-sungguh menginginkannya, masing-masing sesuai dengan keyakinan hati nurani mereka." Para perwakilan kemudian diberi waktu untuk berdoa kepada dewa-dewa sesat mereka. Kemudian berbagai pemimpin agama sesat diberi lampu, dan para peserta saling memberi salam damai satu sama lain. Interaksi ini termasuk Benediktus XVI memberikan"salam damai" dengan pemimpin "Ortodoks" Skismatis Timur dan seorang rabbi.

Kita telah melihat sekali lagi bahwa pada pertemuan doa Assisi, Benediktus XVI mempromosikan setiap "agama" di planet ini. Karena itu Benediktus XVI menunjukkan, sekali lagi, apa yang telah kami buktikan tentang keanti-Pausannya. Mengeluhkan dan mencela aktivitas di pertemuan doa Assisi tidak cukup baik untuk menyelamatkan jiwa Anda. Hanya ada satu iman yang dimiliki oleh anggota Gereja Katolik. Karena itu, jika anda ingin mempertahankan iman Katolik, Anda harus mencela sebagai di luar Gereja mereka yang tidak memiliki iman Katolik yang satu dan sejati. Karena itu, seseorang harus memegang posisi bahwa Benediktus XVI tidak memiliki iman Katolik dan merupakan Anti-Paus. Jika tidak, seseorang menempatkan dirinya di luar Gereja Katolik dan dalam jalan yang langsung menuju ke Neraka bersama Benediktus XVI.

Pidato penutup Benediktus XVI tanggal 27 Oktober 2011 untuk “Hari Refleksi, Dialog dan Doa untuk Perdamaian”: “Dari hati saya, saya berterima kasih kepada anda sekalian yang hadir karena anda telah menerima undangan saya untuk datang ke Assisi sebagai peziarah kebenaran dan perdamaian dan saya menyambut Anda masing-masing dengan kata-kata Santo Fransiskus sendiri: Semoga Tuhan memberi Anda damai - 'il Signore ti dia pace.'”[11]

Benediktus XVI sekali lagi menyatakan anggota dari setiap agama, termasuk perwakilan dari orang yang tidak beriman, "Peziarah kebenaran." Benar-benar murtad!

28 Oktober 2011, Sambutan Benediktus XVI kepada para delegasi yang berpartisipasi dalam Hari Doa Sedunia untuk Perdamaian pada tanggal 27 Oktober: "... Semoga persahabatan ini terus tumbuh di antara para pengikut agama-agama dunia dan dengan pria dan wanita yang berkehendak baik di mana-mana. Saya berterima kasih kepada saudara-saudari Kristiani saya atas kehadiran persaudaraan mereka. Saya juga berterima kasih kepada perwakilan orang-orang Yahudi, yang sangat dekat dengan kami, dan Anda semua, perwakilan terhormat dari agama-agama dunia. Saya sadar bahwa banyak dari Anda telah datang dari jauh dan telah melakukan perjalanan panjang. Saya mengucapkan terima kasih juga kepada mereka yang mewakili orang-orang yang berkehendak baik yang tidak mengikuti tradisi agama mana pun tetapi tetap berkomitmen untuk mencari kebenaran. Mereka rela membagikan ziarah ini bersama kami sebagai tanda keinginan mereka untuk bekerja sama membangun dunia yang lebih baik. Dengan menengok ke belakang, kita dapat menghargai pandangan jauh dari mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam mengadakan pertemuan Assisi pertama, dan kebutuhan yang terus-menerus bagi pria dan wanita dari berbagai agama untuk bersaksi bersama bahwa perjalanan roh selalu merupakan perjalanan damai. Pertemuan-pertemuan semacam ini tentunya luar biasa dan jarang terjadi, tetapi merupakan ungkapan nyata dari fakta bahwa di setiap harinya, di seluruh dunia kita, orang-orang dari berbagai tradisi agama hidup dan bekerja bersama dalam harmoni. Sangatlah penting untuk tujuan perdamaian bahwa begitu banyak pria dan wanita, yang terilhami oleh keyakinan terdalam mereka, berkomitmen untuk bertindak demi kebaikan keluarga manusia.”[12]

Benediktus XVI pertama-tama menyatakan bahwa pengikut agama sesat yang berbeda-beda adalah “pria dan wanita yang berkehendak baik”. Ia kemudian segera menyatakan bahwa mereka yang "tidak mengikuti tradisi agama" juga "berkehendak baik". Ini adalah bidah. Benediktus XVI juga menyatakan bahwa berbagai agama bersaksi bersama tentang "perjalanan roh". Hal ini untuk mengatakan bahwa agama-agama sesat memiliki dan dibimbing oleh Roh Kudus, Roh Kebenaran. Oleh karena itu Benediktus XVI mencampurkan Roh Kudus dengan roh jahat - karena roh jahat menciptakan agama-agama sesat dunia. Benediktus XVI menghujat Roh Kudus - Roh Kebenaran.

Catatan kaki:

[1] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 13. Versi Bahasa Inggris.

[2] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 13. Versi Bahasa Inggris.

[3] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 14. Versi Bahasa Inggris.

[4] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 12-13. Versi Bahasa Inggris.

[5] Dikutip oleh Amleto Giovanni Cicognani, Canon Law {Hukum Kanon}, Philadelphia, PA: The Dolphin Press, 1935, hal. 177.

[6] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 6. Versi Bahasa Inggris.

[7] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 8-9. Versi Bahasa Inggris.

[8] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 10. Versi Bahasa Inggris.

[9] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 10. Versi Bahasa Inggris.

[10] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 10. Versi Bahasa Inggris.

[11] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 11. Versi Bahasa Inggris.

[12] L’ Osservatore Romano, 2 November 2011, hal. 16. Versi Bahasa Inggris.