^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Damai Sejahtera Orang Benar di Waktu Ajal - Pertimbangan IX St. Alfonsus
PERTIMBANGAN IX.
Damai Sejahtera Orang Benar di Waktu Ajal
“Jiwa orang benar ada di tangan Allah, dan siksaan maut tidak akan menjamah mereka. Menurut pandangan orang bodoh, mereka terlihat mati; … namun mereka ada dalam damai.” – Kebijaksanaan Salomo vii. 1.
POIN PERTAMA.
“Jiwa orang benar ada di tangan Allah.” Kalau Allah menggenggam jiwa orang benar erat-erat di tangan-Nya, siapakah yang bisa merenggutnya dari Dia? Memang benar bahwa Neraka tiada henti-hentinya menggoda dan mencemooh orang kudus sekalipun di waktu ajal; namun Allah tiada berhenti membantu mereka, dan, seperti yang dicatat oleh St. Ambrosius, Ia memperbesar pertolongan-Nya kepada para abdi-Nya yang setia seiring bertambahnya bahaya yang mereka alami: “Di mana bahaya lebih besar, di situ pertolongannya lebih besar; sebab Allah penolong kita ketika dibutuhkan.”[1]
Ketika hamba Eliseus (Elisa) melihat kota terkepung oleh para musuh, ia menjadi takut; namun bapa kudus itu memberinya semangat, dengan berkata: “Janganlah takut, sebab ada lebih banyak yang menyertai kita daripada yang menyertai mereka” (4 Raja-Raja vi. 16). Dan kepada hambanya itu diperlihatkannya bala tantara Surga yang diutus oleh Allah untuk melindungi kota itu.
Iblis bahwasanya akan datang menggoda orang sekarat, namun malaikat pelindungnya juga akan datang menghiburnya; para kudus, para pembela kudusnya, akan datang; St. Mikhael, yang ditetapkan oleh Allah untuk membela para hamba-Nya yang setia pada peperangan terakhir mereka dengan Neraka, akan datang. Bunda kita yang Kudus akan datang untuk mengusir semua musuh dengan menempatkan para abdinya di bawah naungan mantelnya. Terutama, Yesus Kristus akan datang untuk menjaga domba-Nya yang tak bersalah atau yang bertobat dalam melawan godaan-godaan, sebab demi keselamatan mereka, Ia telah menyerahkan nyawa-Nya.
Akan diberikan-Nya kepercayaan dan kekuatan yang akan diperlukan jiwa dalam pergulatan semacam itu, sehingga dengan penuh semangat, jiwa akan berkata: “Tuhan telah menjadi penolongku” (Mazmur xxix. 10). “Tuhan adalah terang dan keselamatanku; kepada siapakah aku harus takut?” (Mazmur xxvi. 1). Allah, ujar Origenes, lebih memerhatikan keselamatan kita daripada Iblis memerhatikan kebinasaan kita; sebab Allah jauh lebih mengasihi kita daripada Iblis membenci kita: “Lebih besar perhatian-Nya dalam membimbing kita menuju keselamatan, daripada perhatian Iblis untuk menjerumuskan kita ke dalam pengutukan.”[2]
Allah itu setia, ujar sang Rasul; Ia tak membiarkan kita digoda di atas kekuatan kita: “yang tidak akan membiarkanmu digoda melampaui kekuatanmu” (1 Korintus x. 13). Namun anda akan berkata: Ada banyak orang kudus yang telah mati dalam ketakutan besar atas keselamatan mereka. Belluacensis berkata, bahwa Tuhan membiarkannya pada beberapa orang, untuk menahirkan mereka dalam maut dari kecacatan tertentu: “Orang benar terkadang ditahirkan di dunia ini dengan perjuangan keras pada waktu ajal.” Namun, kita membaca tentang riwayat hampir semua hamba Allah, bahwa mereka mati dengan senyum pada bibir mereka. Pengadilan Allah membangkitkan rasa takut dalam diri semua orang; namun tatkala pendosa beralih dari rasa takut kepada keputusasaan, orang kudus beralih dari rasa takut kepada damai sejahtera.
St. Antoninius bercerita bahwa St. Bernardus sedang sakit. Ia pun merasa takut, dan digoda sehingga tak merasa damai; namun dengan merenungkan jasa-jasa Yesus Kristus, diusirnya segala rasa takut dengan berkata, “Bilur-bilur-Mu adalah jasa-jasaku”. St. Hilarion merasa takut, namun kemudian, penuh sukacita berkata, “Pergilah, hai jiwaku; kepada apakah engkau merasa takut? Selama hampir tujuh puluh tahun engkau telah mengabdi Kristus, dan sekarang, engkau takut akan ajal?” Seolah-olah ia telah berkata, “Hai jiwaku, apakah yang kau takuti, karena engkau telah mengabdi Allah yang setia, dan tak pernah meninggalkan mereka yang telah bersetia kepada-Nya dalam hidup? Romo Yosef Scamacca, dari Serikat Yesus, ditanya apabila ia mati dengan damai sejahtera. Ia menjawab: “Apa! Apakah saya ini telah mengabdi Mahomet, sehingga saya sekarang perlu ragu akan kebaikan Allah, majikan saya, sehingga Ia takkan menyelamatkan saya?”
Seandainya dalam ajal, kita akan tersiksa oleh pikiran diri kita pernah menghina Allah, kita tahu bahwa Tuhan telah menyatakan diri-Nya akan melupakan dosa-dosa orang bertobat: “Jika orang fasik bertobat dari segala dosa yang telah dia perbuat, Aku tidak akan mengingat-ingat semua pelanggarannya” (Yehezkiel xviii. 21).
Namun boleh dikata, bagaimana kita bisa yakin Allah sudah mengampuni kita? St. Basilius mengajukan pertanyaan itu juga, dan menjawab: “Dengan syarat kita bisa berkata, aku membenci dan memperkejikan pelanggaran-pelanggaranku”[3] Barang siapa membenci dosanya, boleh yakin bahwa Allah telah mengampuninya. Hati manusia tiada bisa berada tanpa kasih: ia mengasihi manusia, atau mengasihi Allah. Dan siapakah yang mengasihi Allah? Ia yang menaati perintah-perintah-Nya: “Barang siapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku” (St. Yohanes xiv. 21). Maka, barang siapa mati dalam kepatuhan kepada perintah-perintah-Nya, orang itu mati mengasihi Allah; dan barang siapa mengasihi Allah, ia tidak takut. “Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1 St. Yohanes iv. 8).
DAMBAAN DAN DOA.
Ya Yesusku, kapankah datang hari diriku dapat berkata kepada-Mu: Ya Allahku, takkan pernah kubisa kehilangan Engkau? Hari aku akan melihat wajah-Mu, dan merasa yakin bisa mengasihi-Mu dengan segenap kekuatanku untuk selama-lamanya? Ah, Kebaikan Terluhurku, Kasihku satu-satunya, selama hidup, aku akan selalu mengalami bahaya menghina-Mu, dan kehilangan rahmat-Mu yang tercinta. Pernah ada waktu celaka ketika Engkau tak kukasihi, dan kasih-Mu kubenci: sekarang kubertobat dengan segenap jiwaku, dan kuharap Engkau sudah mengampuniku; dan sekarang, Kau kukasihi dengan segenap hatiku, dan kuingin melakukan segala yang kumampu untuk mengasihi-Mu dan berkenan kepada-Mu. Namun aku masih terancam bahaya menolak-Mu, ya kasihku, dan kembali memunggungi-Mu.
Ah, Yesusku, ya hidup-Ku, ya harta milik-Ku, janganlah Kaubiarkan itu terjadi. Alih-alih Kaubiarkan kemalangan terbesar itu jatuh padaku, biarkanlah aku mati pada saat ini dengan kematian terkejam yang mungkin berkenan pada-Mu untuk Kauberikan kepadaku: itu kupuas kumohonkan dan kudoakan. Ya Bapa yang Kekal, demi cinta akan Yesus Kristus, janganlah biarkan aku mengalami kebinasaan ini. Hajarlah aku sekehendak-Mu, itu pantas kudapat, dan aku pun menerimanya; namun bebaskanlah aku dari hukuman kehilangan rahmat-Mu dan kasih-Mu. Ya Yesusku, serahkanlah aku pada Bapa-Mu. Ya Maria, ya Ibundaku, serahkanlah aku pada Putramu; perolehkan daku ketekunan dalam persahabatan dengan-Nya, serta rahmat untuk mengasihi-Nya; kemudian semoga Ia memperlakukanku seturut kehendak-Nya.
POIN KEDUA.
“Jiwa orang benar ada di tangan Allah, dan siksaan maut tidak akan menjamah mereka. Menurut pandangan orang bodoh, mereka terlihat mati; … namun mereka ada dalam damai (Kebijaksanaan Salomo iii. 1).” Menurut pandangan orang bodoh, para hamba Allah tampaknya mati dengan penuh penderitaan dan keengganan, seperti orang duniawi; namun tidak seperti itu. Allah sungguh tahu cara menghibur anak-anak-Nya di waktu ajal; dan di tengah-tengah rasa sakit maut sekalipun, Ia membuat mereka mengecap rasa manis tiada tara, sebagai suatu prarasa Firdaus yang akan segera dikaruniakan-Nya kepada mereka.
Adapun mereka yang mati dalam dosa, di ranjang kematian mereka mulai mengalami prarasa Neraka: sesal, ngeri, putus asa, dll.; di sisi lain, para kudus, dengan doa-doa kasih Allah, yang kian sering mereka panjatkan di waktu itu, beroleh karunia untuk menikmati diri-Nya tidak lama kemudian, sehingga bahkan sebelum mati, mereka mulai mengalami damai sejahtera yang akan mereka nikmati secara penuh di Surga setelahnya. Bagi mereka, kematian bukanlah hukuman, namun pahala: “Ketika Ia menidurkan kekasih-Nya; lihatlah, warisan Tuhan” (Mazmur cxxvi. 4).
Kematian orang yang mengasihi Allah tidak disebut kematian, namun tidur; sehingga ia sungguh dapat berkata, “dalam damai itu juga, aku akan tertidur, dan aku akan beristirahat” (Mazmur iv. 8). Romo Suarez meninggal dalam damai yang sedemikian besar, sehingga pada saat ajalnya, ia sampai mampu berkata: “Tak pernah bisa kubayangkan, bahwa kematian akan begitu manisnya bagiku”. Ketika dinasihati oleh dokternya agar jangan terlalu banyak memikirkan kematian, Kardinal Baronius menjawab: “Mengapa gerangan? Apakah mungkin karena saya menakutinya? Saya tidak menakutinya, namun saya menyukainya.”
Menjelang kematian yang segera dialami oleh Kardinal Fisher, Uskup Rochester, demi iman, ia mengenakan pakaian terbaik yang dia punya, seraya berkata, seturut yang diceritakan oleh Saunders, bahwa ia hendak pergi ke upacara perkawinan. Setibanya di tempat penggantungan, ia membuang tongkatnya dan berkata, “Bergegaslah hai kakiku, sebab kita tidak jauh lagi dari Firdaus.” Sebelum meninggal, dilantunkannya Te Deum atas Syukur kepada Allah karena memperkenankannya mati sebagai martir demi iman suci, dan karena itu ia dengan penuh sukacita menundukkan kepalanya di bawah kapak. St. Fransiskus dari Assisi bernyanyik menjelang ajal, dan mengundang orang lain untuk bernyanyi. “Bapa”, ujar Bruder Elias, “kita seharusnya meratap, dan bukan bernyanyi, ketika kita mati.” “Aku tak bisa menahan diri menyanyi”, jawab orang kudus itu, “ketika aku merenungkan bahwa aku akan segera pergi menikmati Allah.” Seorang biarawati Teresian yang mati muda, berkata kepada para biarawati yang lain, yang sedang menangis di sekitarnya: “ … mengapakah kalian menangis? Aku akan pergi menemui Yesusku: bersukacitalah bersamaku, kalau kalian mengasihiku.”[4]
Romo Granada bercerita, bahwa seorang pemburu mendapati pengidap kusta sebatang kara ketika sekarat. “Bagaimana”, ujarnya, “engkau bisa menyanyi dalam keadaan seperti itu?” Jawab si petapa, “Saudara, antara aku dan Allah, tembok pembatasnya hanyalah badanku ini saja; aku sekarang melihatnya mengalami keruntuhan, penjaranya akan segera hancur, dan aku melihat Allah; karena itulah aku bersukacita dan bernyanyi.”
Keinginan melihat Allah inilah yang menyebabkan St. Ignatius martir berkata, bahwa seandainya binatang buas tidak mencabut nyawanya, ia akan menghasut mereka supaya memangsa dirinya. St. Katarina dari Genova tak bisa tahan kalau orang menganggap ajal sebagai kemalangan, dan ia berkata: “Ya maut yang terkasih, betapa engkau dipandang secara salah! Lantas, mengapakah engkau tidak datang menjemputku, aku yang memanggilmu siang dan malam?”[5] St. Teresa begitu merindukan ajal, sehingga ia tidak menganggap ajal sebagai kematian; dan dengan pikiran-pikiran inilah ia mengarang himnenya yang terkenal, “Aku mati, sebab aku tidak mati.” Seperti itulah kematian bagi para Kudus.
DAMBAAN DAN DOA.
Ya, Kebaikanku yang Terluhur, ya Allahku, kalau aku belum mengasihi-Mu, sekarang aku berpaling seutuhnya kepada-Mu. Kuucapkan selamat jalan kepada semua ciptaan, dan aku memilih untuk mengasihi Engkau saja, ya Tuhanku yang kinasih. Katakan aku yang Engkau inginkan dari padaku, dan itu akan kulakukan. Sudah cukup penghinaanku kepada-Mu. Akan kuhabiskan seluruh sisa hidupku untuk berkenan kepada-Mu. Berilah aku kekuatan agar dengan kasihku, aku bisa melunasi kedurhakaan yang telah kubuat kepada-Mu sampai sekarang, Selama bertahun-tahun lamanya, aku pantas terbakar dalam api Neraka, dan Engkau sudah mencari-cari aku sampai Engkau menarik aku kepada diri-Mu sendiri; karuniakanlah Rahmat, agar aku sekarang terbakar dengan api cinta kasih-Mu yang suci. Kucinta Kau, ya Kebaikan Tak Terhingga. Engkau ingin supaya aku mencintai-Mu saja; dan secara benar, sebab Engkau telah mengasihi aku lebih dari segala-galanya mengasihi aku, dan Engkau sajalah yang berhak dikasihi, dan hanya Engkaulah yang akan kukasihi; akan kulakukan segala-galanya demi berkenan kepada-Mu. Lakukanlah padaku kehendak-Mu itu. Cukup bagiku dengan mengasihi-Mu, dan dikasihi Engkau. Ya Maria, ya Ibundaku, bantulah aku; doakanlah aku kepada Yesus.
POIN KETIGA.
Lantas, bagaimanakah orang bisa menakuti ajal, ujar St. Siprianus, kalau ia berharap bahwa setelah maut menjemput, ia akan dimahkotai di Surga: “Janganlah kita takut dibunuh sehingga mendapat maut, kalau kita yakin bahwa kita akan dimahkotai setelah kematian.” Bagaimana bisa dia takut kematian, kalau tahu bahwa dengan meninggal dalam keadaan rahmat, badannya takkan menjadi fana? “yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati” (1 Korintus xv. 53). Barang siapa mengasihi Allah dan ingin melihat-Nya, ia memandang hidup sebagai hukuman, ujar St. Agustinus, dan ajal sebagai sukacita: “Barang siapa hidup dengan sabar, ia mati dengan penuh suka.”
Dan St. Thomas dari Villanova berkata, bahwa kalau ajal menjemput orang yang tertidur, ia datang bagaikan pencuri, merampok orang itu, menewaskannya dan mencampakannya ke dalam jurang Neraka; namun kalau ia mendapati orang itu berjaga-jaga, lantas ajal bagaikan duta besar Allah, ia memberi salam kepada orang itu, dan berkata: Tuhan menantikanmu pada pesta perkawinan; datanglah, dan akan kuantar engkau datang ke dalam Kerajaan terberkati yang kauingini: “Tuhan memanggilmu datang ke pesta perkawinan; datanglah, akan kubimbing engkau ke tempat yang kautuju.”
Oh, betapa besar sukacita orang yang menanti ajal dalam rahmat Allah, dalam harapan akan segera melihat Yesus Kristus dan mendengar kata-kata ini, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar!” (St. Matius xxv. 21). Oh, betapa besar nilai penitensi, doa, keterlepasan dari hal-hal duniawi, dan segala sesuatu yang telah dilakukan demi Allah, yang akan tersingkap pada waktu itu! “Katakanlah kepada orang benar: Itu baik; sebab ia akan makan dari buah pekerjaannya” (Yesaya iii. 10). Pada saat itulah ia yang telah mengasihi Allah akan mengecap buah dari semua pekerjaan sucinya. Karena itulah Romo Hipolitus Durazzo, dari Serikat Yesus, bersukacita alih-alih menangis, ketika sahabatnya, seorang rohaniwan, mati dengan segala tanda keselamatan. Namun betapa absurd, ujar St. Yohanes Krisostomus, kalau percaya akan Surga yang kekal, namun mengasihani mereka yang masuk ke dalamnya: “Percaya akan Surga, dan menangisi mereka yang lantas masuk ke dalamnya.”[6]
Oleh sebab itulah ada penghiburan yang luar biasa besar untuk mengenang penghormatan-penghormatan yang dipanjatkan kepada Bunda Allah, doa-doa rosario yang sudah didaras, kunjungan-kunjungan yang dilakukan ke altarnya, puasa pada hari Sabtu, lawatan-lawatan ke konfraternitasnya! Maria disebut Perawan yang Setia; oh betapa besar kesetiaan Maria dalam menghibur pada hambanya yang setia pada saat kematian! Ada seseorang yang berdevosi kepada Perawan Maria. Ketika sekarat, ia berkata kepada Romo Binetti: “Romo, anda tidak bisa membayangkan betapa besarnya penghiburan di waktu ajal untuk berpikir bahwa kita sudah melayani Ratu kita yang Terberkati itu. Ya Bapaku, kalau saja anda tahu betapa besar kebahagiaan yang saya alami karena telah mengabdi Bunda yang terkasih ini. Tak tahu saya cara mengungkapkannya.”
Betapa besar sukacita yang akan dialami orang, yang telah mengasihi Yesus Kristus, yang telah sering melawat-Nya dalam Sakramen Mahakudus, dan yang telah sering menyambut-Nya dalam Komuni Kudus, Ketika ia melihat Tuhannya masuk ke kamarnya dalam Viatikum Mahakudus, untuk mendampinginya berperjalanan ke akhirat! Maka berbahagialah orang yang dapat berkata kepada-Nya, bersama St. Filipus Neri, “Lihatlah kasihku, lihatlah kasihku; berikan aku kasihku.”
Namun, akan ada orang yang berkata: Siapa yang bisa berkata akan seperti apa nasibku? Siapa tahu, kalau pada ujungnya, akhir yang kualami pun akan nahas? Namun saya bertanya kepada orang yang berkata demikian: Apakah yang membuat kematianmu celaka? Dosa saja; maka hanya dosalah yang perlu kita takuti, dan bukan kematian. “Jelas adanya”, ujar St. Ambrosius, “bahwa yang pahit bukanlah ajal, melainkan dosa: yang harus kita takuti bukanlah ajal, namun kematian.”[7] Jadi, apakah anda mau tidak takut ajal? Hiduplah dengan baik. “Orang yang takut akan Tuhan akan mengalami penghujung hidup yang baik.”
Romo Colombière menganggap mustahil secara moral, bahwa orang yang sudah setia kepada Allah selama hidup akan mengalami penghujung hidup yang buruk atau celaka. Dan St. Agustinus, sebelumnya sudah berkata: “Barang siapa telah hidup dengan baik tidak bisa mati dengan buruk.” Barang siapa bersiap menyambut ajal tidak takut maut sama sekali, sekalipun kematian seketika. “Sebaliknya, orang baik mendapat ketenteraman walaupun mereka mati sebelum waktu mereka” (Kebijaksanaan Salomo iv. 7). Dan karena kita tidak bisa menikmati Allah selain dengan meninggal, St. Yohanes Krisostomus lantas menasihati kita: “Marilah kita mempersembahkan kepada Allah segala sesuatu yang wajib kita berikan kepada-Nya.”
Dan hendaknya kita Yakini, bahwa barang siapa mempersembahkan kematiannya kepada Allah, orang itu melakukan amal kasih tersempurna yang mampu dibuatnya kepada Tuhan; sebab dengan sukarela merangkul ajal yang oleh Allah berkenan Dia kirimkan kepada orang itu, dan pada waktu dan dengan cara yang dikehendaki-Nya, orang itu meneladani para martir suci. Barang siapa mengasihi Allah harus menginginkan dan merindukan kematian, sebab kematian mempersatukan kita untuk selama-lamanya dengan Allah, dan membebaskan kita dari bahaya kehilangan Dia.
Kematian adalah tanda kasih mungil kepada Allah, bahwa orang tidak ingin pergi cepat-cepat melihat-Nya, dengan kepastian bahwa dia takkan pernah lagi mampu kehilangan Allah. Sementara itu, hendaknya kita mengasihi-Nya sebesar kemampuan kita di dalam hidup ini. Hendaknya kita menggunakan hidup ini hanya untuk maju dalam kasih Ilahi. Jenjang kasih yang kita punya pada waktu ajal menjemput akan menjadi tolak ukur kasih kita kepada Allah dalam keabadian yang berbahagia.
DAMBAAN DAN DOA.
Ikatlah aku, ya Yesusku, kepada-Mu, supaya jangan pernah aku terpisah lagi dari Engkau. Kabulkanlah, agar aku boleh menjadi milik-Mu seutuhnya saat aku mati; supaya tatkala aku melihat-Mu untuk pertama kalinya, ya Penebusku, aku boleh melihat murka-Mu reda. Engkau mencari aku ketika akulari dari Engkau. Ah, janganlah mengusir aku dari pada-Mu, sekarang, saat aku mencari-Mu. Ampunilah segala kekecewaan yang telah kutimbulkan bagi-Mu. Mulai saat ini dan ke depannya, aku hanya akan memikirkan cara mengabdi dan mengasihi Engkau. Terlalu besar kewajiban-kewajibanku kepada-Mu. Engkau tak menolak memberikan Darah-Mu dan hidup-Mu demi cinta akan aku. Maka layak bagiku untuk ingin terbakar seutuhnya demi Engkau, ya Yesusku, seperti Engkau dulu terbakar seutuhnya demi aku.
Ya Allah penguasa jiwaku, aku ingin mengasihi-Mu banyak-banyak di kehidupan ini, supaya boleh aku mengasihi-Mu banyak-banyak di kehidupan yang akan datang. Ya Bapa yang kekal, tariklah seisi hatiku kepada-Mu; lepaskan hatiku ini dari kelekatan-kelekatan duniawi, lukailah dia, bakarlah dia dengan kasih suci-Mu. Dengarkanlah aku dengan jasa-jasa Yesus Kristus. Berilah aku ketekunan suci; dan berilah aku rahmat supaya selalu memintanya dari Engkau. Ya Maria, Ya Bundaku, bantulah aku dan perolehkan aku rahmat ini, agar tiada henti-hentinya meminta ketekunan suci dari Putramu.
Catatan kaki:
Disadur dari sumber berbahasa Inggris, yang orisinalnya diterjemahkan dari bahasa Italia.
St. Alfonsus Maria de Liguori, The Eternal Truths. Preparation for Death [Kebenaran-Kebenaran Abadi. Persiapan Kematian], London, Burns and Lambert, 1857, hal. 59-66.
Tanda * tertera pada kutipan yang tidak bisa ditemukan penulisnya atau yang tidak bisa ditemukan perikop rujukannya oleh Penyunting.
[1] S. Amb. de Jos. Pat. c. v. n. 27.
[2] Orig. Hom. XX. in lib. Num.
[3] S. Basil, Reg. brevius tractatae, interr. xii.
[4] *Dising. parol. i. § 6.
[5] S. Cth. Gen. vita, c. 7.
[6] S. Chrysost. ad vid. jun. tract. i. (tom. i. p. 197, B. ed Ben. Venet.).
[7] S. Amb. de bon mort. c. 8.
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 3 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 4 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 4 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 4 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 4 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 4 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 5 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 6 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 7 bulanBaca lebih lanjut...