^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Ensiklik Libertas – Paus Leo XIII, 1888 – Tentang Kebebasan Manusia
LIBERTAS
Surat Ensiklik Paduka Suci Kita Leo XIII tentang Kebebasan Manusia
Kepada Saudara-Saudara Kami, Para Patriark, Primat, Uskup Agung, dan Uskup dari Dunia Katolik, dalam rahmat dan persekutuan dengan Takhta Apostolik.
LEO XIII, PAUS
Saudara-Saudara yang Terhormat, Salam dan Berkat Apostolik,
Kebebasan, karunia kodrati yang terluhur, yang hanya dipunyai oleh makhluk yang berakal atau bersifat rasional, menganugerahkan martabat yang satu ini kepada manusia – bahwa manusia berada dalam tangan keputusannya sendiri dan memiliki kuasa atas perbuatan-perbuatannya. Tetapi cara pelaksanaan martabat ini sedemikian pentingnya sebab penggunaan kebebasan dapat menghasilkan kebaikan yang terluhur atau kejahatan yang terbesar. Manusia bahwasanya bebas menaati akal dirinya sendiri, mengejar kebaikan moral, dan berjuang dengan tekad bulat untuk mencapai tujuan akhirnya. Bagaimanapun, manusia juga bebas untuk berpaling kepada hal-hal yang lain; dan dalam mengejar kesia-siaan yang hampa yang berkedokkan kebaikan, ia dapat mengganggu tatanan yang benar dan jatuh terjerembap ke dalam kehancuran yang telah dipilihnya dengan sukarela. Dengan memulihkan dan meninggikan martabat alami yang asali, Yesus Kristus, sang Penebus umat manusia, telah sudi menganugerahkan pertolongan-Nya yang istimewa kepada kehendak manusia; dan dengan karunia-karunia rahmat-Nya di dalam kehidupan ini, dan janji kenikmatan surgawi pada alam baka, Ia mengangkat kehendak manusia kepada suatu keadaan yang lebih mulia. Demikian pula, karunia kodrati yang agung ini telah senantiasa, dan akan selalu dihargai sepatutnya oleh Gereja Katolik; sebab hanya Gereja Katoliklah yang telah diserahkan tanggung jawab untuk mewariskan kepada segala keturunan manfaat-manfaat yang telah ditebuskan bagi kita oleh Yesus Kristus. Walau bagaimanapun, ada banyak orang yang membayangkan bahwa Gereja memusuhi kebebasan manusia. Di dalam benak mereka terdapat suatu gagasan yang bejat dan absurd tentang kebebasan, sehingga mereka menyesatkan gagasan kebebasan sendiri, atau memperluas gagasan itu secara sewenang-wenang kepada banyak hal di dalam mana manusia tidak dapat secara benar dianggap bebas.
2. Pada kesempatan-kesempatan lainnya, dan terutama di dalam Surat Ensiklik Kami Immortale Dei, dalam membahas apa yang disebut-sebut sebagai kebebasan-kebebasan modern, Kami telah membedakan unsur-unsur yang baik dan yang buruk dari kebebasan-kebebasan modern tersebut; dan Kami telah memperlihatkan bahwa segala sesuatu yang baik di dalam kebebasan-kebebasan semacam itu sama lawasnya dengan kebenaran sendiri, dan bahwa Gereja telah senantiasa menyetujui dan mengamalkan kebaikan itu dengan sukarela. Akan tetapi, segala sesuatu yang baru yang telah ditambahkan, terus terang saja merupakan kebobrokan, yang merupakan buah dari zaman yang bermasalah dan dari kehausan yang berkepanjangan akan kebaruan-kebaruan. Bagaimanapun, menimbang banyaknya orang yang sedemikian bersikerasnya berpegang kepada pendapat mereka sendiri dalam perkara ini sehingga mereka membayangkan bahwa kebebasan-kebebasan modern ini (walaupun kebebasan-kebebasan ini begitu busuknya) merupakan kemuliaan yang teragung dari zaman kita ini dan landasan kehidupan sipil sendiri, Kami merasakan adanya tanggung jawab yang mendesak, demi kebaikan bersama, untuk membahas perkara ini secara terpisah.
3. Apa yang akan Kami bahas secara langsung adalah kebebasan moral, baik dalam perorangan maupun dalam komunitas. Tetapi, akan baik adanya untuk membahas kebebasan kodrati secara singkat; sebab walaupun kebebasan kodrati berbeda dan terpisah dari kebebasan moral, kebebasan kodrati merupakan mata air yang darinya segala jenis kebebasan mengalir secara sua vi suaque sponte. Akal sehat semua manusia, yang tentunya bagi kita merupakan suara alam, hanya mengakui adanya kebebasan kodrati dalam diri makhluk yang dikaruniai intelek atau akal; dan dengan menggunakan akal dirinyalah manusia secara benar dianggap bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan dirinya. Sebab berbanding dengan binatang yang mengikuti indra, mencari kebaikan dan menghindari kejahatan hanya dengan instingnya, manusia memiliki akal sebagai pembimbingnya dalam setiap dan segala perbuatannya dalam kehidupan. Akal melihat bahwa segala sesuatu yang dianggap baik di atas bumi, mungkin ada atau tidak ada, dan karena akal menilai bahwa tidak satu pun dari hal-hal itu kita perlukan, akal membiarkan kehendak untuk bebas memilih apa yang disukainya. Tetapi manusia dapat menilai kontingensi ini, demikianlah sebutannya, hanya karena manusia memiliki jiwa yang bersifat sederhana, rohani, dan berakal – jiwa yang dengan demikian, tidak berasal dari hal-hal lahiriah, dan tidak bergantung kepada hal-hal lahiriah untuk keberadaannya; tetapi jiwa manusia diciptakan secara langsung oleh Allah, dan jiwa manusia ini, yang jauh melampaui keadaan hal-hal lahiriah, memiliki cara hidup dan bertindaknya sendiri. Itulah sebabnya, karena jiwa manusia mengetahui alasan-alasan yang tak dapat berubah dan yang niscaya tentang yang benar dan yang baik, jiwa manusia memandang diri kita tidak memerlukan suatu hal tertentu pun. Maka dari itu, dengan membuktikan bahwa jiwa manusia bersifat imortal, dikaruniai daya pikir, dan sama sekali tidak memiliki unsur lahiriah, seseorang pada saat itu juga telah menempatkan landasan yang terkuat bagi kebebasan kodrati.
4. Sebagaimana Gereja Katolik menyatakan kesederhanaan, kerohanian, dan imortalitas jiwa dengan teramat kuat, demikian pula, Gereja menyatakan kebebasan jiwa dengan kegigihan dan keterbukaan yang sepadan. Kebenaran-kebenaran ini telah selalu Gereja ajarkan dan junjung sebagai suatu dogma iman; dan manakala para bidah atau inovator telah menyerang kebebasan manusia, Gereja telah membelanya dan melindungi harta milik yang mulia ini dari kehancuran. Sejarah telah menjadi saksi akan tenaga yang Gereja kerahkan untuk melawan kegilaan kaum Manikhea dan orang-orang lain yang serupa dengan mereka; dan kesungguhan Gereja di kemudian hari dalam membela kebebasan manusiawi pada Konsili Trente, dan melawan para pengikut Jansenius, diketahui oleh semua orang. Gereja sama sekali tidak pernah berdamai dengan fatalisme pada suatu saat pun, dan pada suatu tempat pun.
5. Maka dari itu, seperti yang telah Kami katakan, kebebasan hanya dimiliki oleh makhluk yang dikaruniai akal atau intelek. Jika dipandang dari hakikatnya, kebebasan adalah daya untuk memilih jalan yang pantas untuk ditempuh demi mencapai tujuan tertentu; sebab barang siapa dapat memilih satu dari banyak hal, ia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya sendiri. Segala sesuatu yang dipilih sebagai suatu jalan dipandang sebagai baik atau berguna, dan kebaikan, dengan demikian, adalah objek yang benar dari keinginan manusia. Itulah sebabnya, kebebasan memilih merupakan milik kehendak, atau identik dengan kehendak sejauh mana kehendak berdaya untuk memilih dalam tindakannya. Tetapi kehendak tidak lalu dapat bertindak sebelum dicerahkan oleh pengetahuan yang dimiliki oleh akal. Dalam kata lain, kebaikan yang diharapkan oleh kehendak niscaya baik adanya sejauh mana kebaikan itu diketahui oleh akal. Dan hal itu semakin benar, sebab di dalam semua tindak yang sukarela, pilihan dibuat setelah adanya suatu penilaian terhadap kebenaran tentang kebaikan-kebaikan tersebut dan tentang preferensi yang harus kita berikan kepada satu daripada yang lain. Tetapi, penilaian adalah perbuatan milik akal, dan bukan milik kehendak; tidak seorang pun yang berakal sehat dapat meragukannya. Maka, karena telah diakui bahwa kebebasan tinggal di dalam kehendak yang secara hakikatnya cenderung taat kepada akal, tujuan dari akal sendiri, seperti tujuan kehendak, adalah suatu kebaikan yang selaras dengan akal.
6. Bagaimanapun, karena kedua daya ini tidak memiliki kesempurnaan yang mutlak, akal budi mungkin dan sering mengajukan kepada kehendak suatu hal yang tampaknya baik, namun yang hanya merupakan kebaikan yang semu, dan kehendak juga menurutinya. Sebab, sebagaimana kemungkinan terjadinya kesalahan, dan kesalahan yang nyata, adalah kecacatan pikiran dan merupakan bukti ketidaksempurnaan pikiran, demikian pula, perihal mengejar kebaikan yang semu, kendati merupakan bukti kebebasan diri kita, sama seperti penyakit merupakan suatu bukti kehidupan kita, bagaimanapun merupakan suatu kecacatan dalam kebebasan manusia. Juga, kehendak bergantung kepada akal. Dan hanya karena alasan yang satu ini, sewaktu kehendak menginginkan segala sesuatu yang berlawanan dengan akal, kehendak pun menyalahgunakan kebebasannya untuk memilih dan merusakkan kebebasan itu sampai kepada hakikatnya. Itulah sebabnya, Allah, yang adalah kesempurnaan yang tak terbatas, oleh karena kecerdasan-Nya yang tertinggi dan karena Ialah kebaikan dari hakikat-Nya sendiri, juga memiliki kebebasan yang tertinggi. Bagaimanapun, Ia tidak dapat memilih kejahatan; tidak pun para malaikat dan para kudus, yang menikmati visiun beatifis berkat intuisi yang mereka peroleh dari kebaikan yang tertinggi. Santo Agustinus dan orang-orang lain membuat pernyataan yang penuh hikmat ini kepada para pengikut Pelagius, bahwa, seandainya kemungkinan menyimpang dari kebaikan dimiliki oleh hakikat atau kesempurnaan dari kebebasan, maka Allah, Yesus Kristus, para malaikat dan santo-santa, yang tidak memiliki kuasa ini, sama sekali tidak akan memiliki kebebasan, atau akan memiliki kebebasan yang kurang daripada yang dimiliki oleh manusia dalam keadaan pengembaraannya dan ketidaksempurnaannya. Hal yang satu ini sering dibahas oleh sang Doktor Malaikat di dalam pembuktiannya, bahwa kemungkinan berbuat dosa bukanlah kebebasan, melainkan kehambaan. Akan cukup adanya untuk mengutip komentarnya yang tajam tentang perkataan Tuhan kita: Barang siapa berbuat dosa adalah budak dosa.[1] ‘Setiap makhluk’, ujarnya, ‘adalah apa yang dimilikinya secara kodrati. Itulah sebabnya, sewaktu ia digerakkan oleh hal yang asing, ia tidak bertindak seturut dirinya sendiri, melainkan seturut pengaruh hal yang lain, sebagai seorang hamba. Tetapi manusia seturut kodratnya bersifat rasional. Maka sewaktu ia bertindak seturut akalnya sendiri, ia digerakkan oleh dirinya sendiri dan seturut kehendak bebasnya; dan inilah kebebasan. Tetapi sewaktu ia berdosa, ia bertindak melawan akal, ia digerakkan ibaratnya oleh orang lain, dan dikekang oleh batasan-batasan yang asing. Itulah sebabnya ‘barang siapa berbuat dosa adalah budak dosa.’ Itulah pula apa yang dahulu telah disadari secara jelas oleh filsafat kuno, terutama tentang ajaran bahwa barang siapa bukan orang bijak tidaklah bebas; dan maksud istilah ‘orang bijak’, dikenal dengan baik sebagai manusia yang terlatih untuk hidup seturut kodratnya, yakni, dalam kelurusan dan kebajikan.
7. Karena kebebasan manusia demikian adanya, kebebasan itu niscaya memerlukan terang dan kekuatan untuk menjuruskan perbuatan-perbuatannya kepada kebaikan dan mengekang tindakan-tindakannya dari kejahatan. Jika tidak, kebebasan milik kehendak kita akan menghancurkan diri kita. Pertama-tama, harus ada hukum; yakni, aturan pengajaran yang tetap tentang apa yang harus diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat. Aturan ini tidak dapat berlaku dalam makna yang benar kepada binatang, yang kodratnya lebih rendah, sebab binatang bertindak seturut kebutuhan dan mengikuti insting alami, dan binatang sendiri pun tidak dapat bertindak seturut cara yang lain. Sebaliknya, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, makhluk yang dikaruniai kebebasan dapat bertindak atau tidak bertindak, dapat melakukan suatu hal atau hal yang lain, seturut keinginannya sendiri, sebab penilaiannya mendahului pilihan yang dibuatnya. Penilaian ini memberitahukan diri kita, bukan hanya tentang apa yang berhakikat baik atau apa yang buruk, tetapi juga apa yang baik dan, dengan demikian, harus dilakukan, atau apa yang buruk dan, dengan demikian, harus dihindari. Akal manusialah yang bahwasanya menentukan apa yang harus dicari atau dihindari oleh kehendak, demi mencapai tujuan akhir manusia yang seharusnya menjadi alasan pelaksanaan semua perbuatannya. Pengaturan akal inilah yang disebut sebagai Hukum. Maka dari itu, hukum diperlukan bagi manusia oleh karena kehendak bebasnya sendiri, atau oleh karena kebutuhan moral agar manusia tidak bertindak secara berlawanan dengan akal. Tiada sesuatu pun yang dapat dituturkan atau dibayangkan, yang lebih absurd dan lebih bertentangan dengan akal sehat, daripada pernyataan ini: bahwa karena manusia secara kodrati bersifat bebas, ia dengan demikian terkecuali dari hukum. Seandainya ini adalah kebenaran, maka untuk menjadi bebas, manusia harus kehilangan akal; sedangkan kenyataannya adalah bahwa kita wajib menundukkan diri kepada hukum persisnya karena kita bersifat bebas atas dasar kodrat diri kita sendiri. Sebab hukum adalah panduan perbuatan manusia; hukum menjuruskannya kepada kebaikan melalui imbalan-imbalannya, dan menghalaunya dari kejahatan melalui hukuman-hukumannya.
8. Hukum yang terutama dalam hal ini adalah hukum kodrat, yang tertulis dan terukir di dalam benak setiap insan; dan hukum ini tiada berbeda dari akal diri kita sendiri, yang memerintahkan kita untuk berbuat benar dan melarang kita berbuat dosa. Bagaimanapun, semua ketentuan akal manusia dapat memiliki kuasa hukum hanya jika akal merupakan suara penafsir kuasa yang lebih tinggi, yang kepada-Nya akal dan kebebasan kita niscaya bergantung. Karena peranan hukum bahwasanya adalah untuk memberlakukan kewajiban dan menganugerahkan hak, hukum harus sepenuhnya berlandaskan otoritas, yakni, berlandaskan suatu kuasa yang sungguh mampu mengembankan tanggung jawab dan mendefinisikan hak-hak, dan juga untuk menyertakan ganjaran-ganjaran yang diperlukan dalam bentuk imbalan dan hukuman kepada setiap dan semua perintahnya. Jelas adanya bahwa semua hal ini tidak mungkin ada dalam diri manusia, jika manusia mengembankan kepada dirinya sendiri tugas sebagai pembuat hukum yang tertinggi, sewaktu ia harus mengatur perbuatan-perbuatannya sendiri. Itulah sebabnya, hukum kodrat setara dengan hukum abadi yang terukir dalam diri makhluk yang dianugerahi akal, dan yang menjuruskan mereka kepada perbuatan dan tujuan yang benar untuk diri mereka; dan tujuan yang satu ini tiada bedanya dengan akal abadi milik Allah, Pencipta dan Pengatur dunia. Demi menjalankan aturan bertindak ini dan demi mengekang kejahatan, Allah telah sudi mengaruniakan pertolongan-pertolongan yang khusus dan teramat layak untuk menguatkan dan membimbing kehendak manusia. Pertolongan-Nya yang terutama dan terluhur adalah rahmat ilahi, yang mampu mencerahkan benak serta menyegarkan dan menguatkan kehendak. Rahmat-Nya itu mampu menggerakkan kehendak agar senantiasa mengejar kebaikan moral, sehingga memudahkan penggunaan kebebasan asali kita dan membuatnya lebih tidak berbahaya. Dan sama sekali tidak benar untuk membayangkan bahwa dengan campur tangan Allah ini, gerak-gerik kehendak kehilangan kebebasannya, sebab pengaruh rahmat ilahi bekerja secara batiniah dalam diri manusia dan selaras dengan kecenderungan-kecenderungan kodratinya, sebab pertolongan itu bersumber dari Ia yang adalah sang Pencipta jiwa kita dan kehendak kita, dan yang menggerakkan semua makhluk dengan suatu cara yang selaras dengan kodrat mereka. Seperti yang dinyatakan oleh sang Doktor Malaikat, karena rahmat ilahi berasal dari Pencipta kodrat sendiri, rahmat itu memiliki kesesuaian yang begitu mengagumkan untuk memelihara kodrat-kodrat individu dan menjaga karakter, perbuatan, dan energi masing-masing individu.
9. Apa yang telah dikatakan tentang kebebasan individu dapat diterapkan dengan mudah kepada umat manusia yang berserikat satu dengan yang lainnya dalam masyarakat sipil. Sebab apa yang dibuat oleh akal dan hukum kodrat bagi individu-individu, juga dilaksanakan kepada para warga Negara oleh hukum manusia, yang dipermaklumkan demi kebaikan mereka, Dari antara hukum-hukum yang ditetapkan oleh manusia, beberapa dari hukum itu berkenaan dengan hal yang baik atau yang buruk secara kodrati; dan hukum-hukum itu memerintahkan umat manusia untuk mengikuti apa yang benar, dan untuk menghindari apa yang salah, dan juga menyertakan sanksi yang pantas pada waktu yang sama. Tetapi hukum-hukum semacam itu sama sekali tidak bersumber dari masyarakat sipil; karena sebagaimana masyarakat sipil tidak menciptakan kodrat manusia, demikian pula masyarakat sipil tidak dapat dikatakan sebagai pencipta kebaikan yang selaras dengan kodrat manusia, ataupun pencipta kejahatan yang berlawanan dengan kodrat manusia itu. Hukum-hukum manusia sudah ada sebelum manusia hidup bersama dalam masyarakat, dan bersumber dari hukum kodrat, dan dengan demikian, dari hukum abadi. Maka dari itu, asas-asas hukum kodrat, yang secara keseluruhan termuat dalam hukum-hukum manusia, tidak hanya memiliki kuasa hukum manusia semata, tetapi asas-asas itu mempunyai kuasa yang lebih luhur dan lebih agung milik hukum kodrat dan hukum abadi. Dan dalam ranah hukum-hukum semacam ini, pembuat hukum sipil terutama bertanggung jawab untuk menjaga ketaatan komunitasnya dengan menggunakan suatu disiplin umum dan dengan menghukum orang-orang yang jahat dan maksiat, demi menghalangi mereka sehingga tidak berbuat jahat dan membawa mereka kembali kepada kebaikan, atau setidaknya mencegah mereka supaya tidak mencelakakan dan membahayakan masyarakat. Adapun ketentuan-ketentuan lainnya yang dibuat oleh otoritas sipil, ketentuan-ketentuan semacam itu tidak berasal secara langsung dari hukum kodrat; melainkan adalah dampak-dampak yang lebih jauh dan tidak langsung dari hukum kodrat. Ketentuan-ketentuan semacam itu bertujuan untuk memperjelas berbagai hal yang hanya disinggung oleh hukum kodrat secara umum dan samar. Sebagai contoh, walaupun kodrat manusia memerintahkan setiap insan untuk memberdayakan perdamaian dan kesejahteraan, namun demikian, sejauh mana, dalam kondisi-kondisi seperti apa, atas tujuan-tujuan apa, hikmat manusia dan bukan kodratlah yang menentukan hal-hal semacam itu. Bagaimanapun, hukum-hukum yang khusus untuk bertindak ini, yang diciptakan oleh akal yang bijak dan yang dikeluarkan oleh otoritas yang legitim, adalah apa yang disebut secara tepat sebagai hukum manusia. Hukum manusia ini mewajibkan semua warga negaranya untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama dari komunitasnya, serta melarang mereka untuk menyimpang dari tujuan ini; dan sejauh mana hukum manusia selaras dengan asas-asas kodrat, hukum manusia menuntun kepada kebaikan, dan mencegah kejahatan.
10. Maka dari itu, jelas adanya bahwa hukum abadi milik Allah merupakan satu-satunya standar dan aturan bagi kebebasan manusia, bukan hanya bagi diri setiap manusia secara perorangan, tetapi juga dalam komunitas dan masyarakat sipil yang dibentuk oleh manusia sewaktu mereka berhimpun. Maka dari itu, di dalam masyarakat, kebebasan yang sejati bukanlah bahwa setiap manusia berbuat sesuka hati: hal ini akan menyebabkan suatu kekacauan yang luar biasa bagi Negara, suatu masalah yang akan berakhir dalam penindasan. Sebaliknya, kebebasan yang sejati demikian adanya, yakni bahwa dengan pertolongan hukum-hukum sipil, kita dapat dengan lebih mudah hidup seturut asas-asas hukum abadi. Demikian pula, kebebasan milik mereka yang berada dalam kedudukan otoritas bukanlah bahwa mereka berkuasa untuk memberlakukan perintah-perintah yang tak masuk akal dan sewenang-wenang atas rakyat mereka, yang akan sama jahatnya dan yang akan menuntun kepada kehancuran persemakmuran itu; tetapi kuasa hukum-hukum manusia yang mengikat demikian adanya, yakni bahwa hukum-hukum manusia harus dipandang sebagai penerapan hukum abadi, dan hukum-hukum manusia tidak dapat menyetujui suatu hal pun yang tidak termuat di dalam hukum abadi, sebagai pokok segala hukum. Itulah sebabnya St. Agustinus berkata dengan amat bijak: ‘Pada waktu yang sama, saya juga mengira bahwa engkau tidak melihat suatu hal pun yang adil maupun sah dalam hukum duniawi yang tidak diturunkan dari hukum abadi ini oleh manusia untuk diri mereka sendiri.’[2] Maka seandainya suatu pihak yang berkuasa menyetujui suatu hal pun yang bertentangan dengan asas-asas akal sehat dan dengan demikian mencelakakan kebaikan bersama, hal itu sama sekali tidak memiliki kuasa hukum, sebab hal itu tidak sejalan dengan hukum keadilan dan akan menjauhkan manusia dari kebaikan yang merupakan tujuan masyarakat sipil sendiri.
11. Maka dari itu, baik secara perorangan maupun dalam masyarakat, baik dalam diri orang-orang yang memerintah atau yang diperintah, hakikat kebebasan manusia mensyaratkan ketaatan kepada suatu hukum abadi tertentu yang tertinggi, yang tiada bedanya dari otoritas Allah, yang memerintahkan perbuatan baik dan melarang perbuatan jahat. Dan otoritas Allah yang Mahaadil atas umat manusia ini sama sekali tidak mengurangi ataupun menghancurkan kebebasan mereka, tetapi justru melindungi dan menyempurnakannya, sebab kesempurnaan yang sejati dari segala ciptaan adalah dalam mengejar dan menggapai tujuan mereka. Bagaimanapun, tujuan yang terluhur yang harus menjadi aspirasi kebebasan manusia adalah Allah.
12. Demikianlah asas-asas dari doktrin yang terbenar dan terluhur ini yang diketahui bahkan dengan terang akal sendiri. Gereja, yang diajar oleh teladan-teladan serta doktrin Penciptanya yang ilahi, telah menyebarluaskan dan meneguhkan asas-asas tersebut di segala tempat; sebab Gereja telah senantiasa menjadikan asas-asas tersebut sebagai tolak ukur bagi tanggung jawabnya dan bagi ajarannya kepada bangsa-bangsa Kristiani. Sehubungan dengan moral, hukum-hukum Injil tidak hanya jauh melampaui hikmat orang-orang pagan, tetapi juga mengundang dan memperkenalkan manusia kepada suatu kesucian yang tak dikenal oleh orang-orang dari zaman purbakala. Hukum-hukum Injil juga pada waktu yang sama membuat manusia memiliki suatu kebebasan yang lebih sempurna dengan mendekatkan dirinya kepada Allah. Itulah sebabnya, kuasa Gereja yang besar senantiasa terwujud dalam menjaga dan melindungi kebebasan sipil dan politik milik rakyat. Faedah-faedah semacam ini tidak perlu disebutkan satu per satu. Cukup untuk diingat bahwa perbudakan, yang merupakan aib kuno bangsa-bangsa pagan, dihapuskan terutama oleh upaya-upaya baik yang dikerahkan oleh Gereja. Yesus Kristuslah yang pertama kalinya menegaskan kesetaraan hukum dan persaudaraan yang sejati antarumat manusia, dan para Rasul-Nya menggemakan suara-Nya sewaktu mereka menyatakan bahwa di masa depan, tidak akan ada orang Yahudi, Yunani, barbar, ataupun Skitia, tetapi mereka semua bersaudara dalam Kristus. Begitu besarnya dan begitu ternamanya kuasa Gereja dalam hal ini, sehingga pengalaman pun bersaksi bahwa di mana pun Gereja menapakkan kaki, adat-adat yang biadab tidak dapat bertahan lama; tetapi kelemahlembutan segera menggantikan kekejaman, dan terang kebenaran lekas mengusir kegelapan barbarisme. Manfaat Gereja yang telah dianugerahkannya kepada bangsa-bangsa beradab di setiap zaman juga berlimpah-ruah, baik dalam perlawanan Gereja terhadap kezaliman orang jahat, atau dalam perlindungannya terhadap orang tak bersalah dan tak berdaya dari ketidakadilan; atau akhirnya dalam menggunakan pengaruhnya kepada perkara-perkara masyarakat demi mendirikan segala macam bentuk pemerintahan yang dicintai oleh warga negara berkat keadilannya, atau ditakuti oleh orang-orang asing berkat kekuatannya.
13. Di samping itu, tanggung jawab yang tertinggi adalah untuk menghormati otoritas, dan menundukkan diri dengan taat kepada hukum yang adil; dan dengan demikian, warga negara terjaga dari upaya-upaya fasik yang dilakukan oleh orang-orang jahat. Kuasa yang sah berasal dari Allah, dan barang siapa melawan otoritas, melawan ketetapan Allah; itulah sebabnya ketaatan yang amat dimuliakan adalah yang tunduk kepada otoritas yang teradil dan yang tertinggi dari segalanya. Tetapi sewaktu kuasa untuk memerintah tidak ada, atau sewaktu suatu hukum yang ditetapkan berlawanan dengan akal, atau dengan hukum abadi, atau dengan ketetapan tertentu milik Allah, adalah suatu perbuatan yang benar untuk tidak taat, yakni, tidak taat kepada manusia, demi menaati Allah. Dengan demikian, dengan adanya penghalang yang melawan kezaliman, otoritas dalam Negara tidak akan berbuat semena-mena, tetapi kepentingan-kepentingan dan hak-hak milik semua orang akan terjaga – hak-hak milik perorangan, milik lembaga keluarga, dan milik semua anggota persemakmuran itu; sebab mereka semua bebas untuk hidup seturut hukum dan akal yang benar; dan itulah yang merupakan kebebasan yang sejati, seperti yang telah Kami buktikan.
14. Seandainya saja dalam diskusi-diskusi yang membahas kebebasan, orang-orang memahami makna kebebasan yang benar dan legitim, seperti yang baru saja dijelaskan oleh akal dan perkataan Kami, tidak akan ada lagi orang yang berani menjatuhkan fitnah yang sedemikian besarnya ini terhadap Gereja, yakni pernyataan bahwa Gereja adalah musuh kebebasan milik perorangan dan masyarakat. Tetapi ada banyak orang yang mengikuti jejak kaki Lucifer, dan menjadikan seruan pemberontakannya itu sebagai milik mereka sendiri, ‘Aku tidak akan menghamba’; dan dengan demikian, mereka sama sekali menggantikan kebebasan sejati dengan penyalahgunaan kebebasan yang teramat absurd. Demikianlah, contohnya, mereka yang tergolong bagian organisasi yang luas dan kuasa itu, yang meminjam nama mereka dari istilah kebebasan, yakni mereka yang menjuluki diri mereka sendiri Liberal.
15. Tujuan yang hendak dicapai oleh kaum Naturalis atau Rasionalis dalam filsafat, sedang diupayakan dalam ranah moral dan politik oleh para pendukung Liberalisme melalui pelaksanaan asas-asas yang ditetapkan oleh Naturalisme. Doktrin yang mendasar dari Rasionalisme adalah supremasi akal manusia. Di dalam paham ini, akal manusia menolak memberikan ketaatan yang wajib diberikan kepada akal ilahi dan abadi, dan dengan demikian, menyatakan kemerdekaannya sendiri, dan menjadikan dirinya sendiri sebagai satu-satunya pokok yang teragung, sumber, dan hakim atas kebenaran. Maka, para pengikut paham Liberalisme ini menyangkal adanya segala macam otoritas ilahi yang wajib ditaati, dan menyatakan bahwa setiap manusia merupakan hukum bagi dirinya sendiri; dengan demikian, muncullah sistem etika yang mereka juluki moral independen, yang di balik kedok kebebasan, melepaskan manusia dari segala kewajiban untuk mematuhi perintah-perintah Allah, dan menggantikannya dengan penyalahgunaan kebebasan yang tak terbatas. Hasil akhir dari semuanya ini tidak sulit untuk diperkirakan, terutama sewaktu masyarakat menjadi pokok permasalahannya. Sebab sekalinya manusia dengan teguh meyakini bahwa dirinya tidak perlu tunduk kepada suatu hal pun, konsekuensinya adalah bahwa sebab efisien kesatuan masyarakat sipil tidak perlu dicari dari sumber yang bersifat eksternal bagi manusia, atau lebih tinggi darinya, melainkan hanya dalam kehendak bebas perorangan; bahwa otoritas Negara hanya berasal dari rakyat; dan bahwa, sebagaimana akal setiap manusia adalah satu-satunya aturan hidupnya, demikian pula akal kolektif komunitaslah yang sepatutnya menjadi pedoman yang tertinggi dalam mengatur urusan-urusan masyarakat. Dan itulah asal-muasal doktrin yang menyatakan bahwa kekuatan ada dalam jumlah, dan bahwa hanya mayoritas sendirilah yang menciptakan hak dan kewajiban. Tetapi seperti yang telah dikatakan, jelas adanya bahwa semuanya ini berlawanan dengan akal. Penolakan terhadap segala ikatan persatuan antara manusia dengan masyarakat sipil di satu sisi, dan antara manusia dengan Allah (dan demikian dengan sang Pembuat Hukum yang tertinggi) di sisi lain, sederhananya sungguh berlawanan dengan kodrat, bukan hanya dengan kodrat manusia, tetapi juga dengan kodrat segala ciptaan; karena segala akibat niscaya harus dalam suatu cara yang benar terhubung dengan sebab yang menghasilkannya; dan demi mencapai kesempurnaan, setiap kodrat harus membatasi dirinya sendiri dalam ranah dan jenjang yang telah ditetapkan kepadanya oleh tatanan kodrat, yakni, bahwa yang lebih rendah harus tunduk dan taat kepada yang lebih tinggi.
16. Tetapi, di samping itu, doktrin semacam itu menyebabkan kerusakan yang terbesar baik kepada individu maupun kepada masyarakat. Sebab sekalinya otoritas satu-satunya untuk memutuskan yang benar dan yang baik dianggap milik akal manusia, dan sekalinya perbedaan yang riil antara kebaikan dan kejahatan dihancurkan; kehormatan dan aib tidak berbeda secara kodrat, melainkan seturut opini dan penilaian setiap orang; kenikmatan menjadi tolak ukur keabsahan; dan, dengan tatanan moral yang hanya memiliki sedikit daya atau yang tidak memiliki daya untuk mengendalikan atau mengekang kecenderungan-kecenderungan manusia yang sulit diatur, niscaya terbukalah jalan menuju kebejatan universal. Juga, sehubungan dengan perkara-perkara masyarakat, otoritas menjadi terpisah dari asas yang benar dan kodrati, asas yang merupakan sumber segala efektivitas otoritas itu untuk mencapai kebaikan bersama; dan hukum yang menentukan apa yang baik untuk dilakukan dan dihindari berada sepenuhnya di bawah kendali mayoritas. Keadaan semacam ini pada dasarnya meratakan jalan menuju kezaliman. Sekalinya kuasa Allah atas manusia dan masyarakat sipil ditolak, niscaya masyarakat tidak lagi memiliki agama, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan agama akan diperlakukan dengan ketidakacuhan yang penuh. Di samping itu, bersenjatakan gagasan kedaulatan, khalayak ramai akan dengan mudah tergoda oleh hasutan dan mengalami kegemparan; dan sewaktu mereka tidak lagi mengacuhkan tanggung jawab dan hati nurani, tiada lagi suatu hal pun yang dapat membatasi mereka selain kekerasan, walaupun kekerasan itu sendiri tiada kuasa untuk membendung hasrat masyarakat. Bukti untuk kenyataan itu Kami miliki dalam perjuangan-perjuangan yang hampir setiap harinya Kami lalui melawan kaum Sosialis dan berbagai sekte pembangkang lainnya yang telah bekerja sejak begitu lama untuk mengguncangkan Negara-Negara sepenuhnya. Maka dari itu, hendaknya orang yang mampu menilai hal-hal secara adil memutuskan bilamana doktrin-doktrin semacam itu mempromosikan kebebasan sejati, satu-satunya kebebasan yang pantas bagi manusia, ataukah doktrin-doktrin itu sebaliknya membejatkan dan menghancurkan kebebasan itu.
17. Ada bahwasanya beberapa penganut paham Liberalisme yang tidak menganut opini-opini ini, opini-opini yang seperti yang kita lihat, kian menakutkannya itu, yang secara terbuka bertentangan dengan kebenaran, dan merupakan penyebab kejahatan-kejahatan yang paling mengerikan. Bahwasanya karena banyak dari antara mereka terdesak oleh kuasa kebenaran, mereka tidak ragu untuk mengakui bahwa kebebasan semacam itu adalah kemaksiatan, dan sederhananya adalah penyalahgunaan kebebasan, manakala kebebasan itu tidak dibatasi dalam tuntutan-tuntutannya sehingga mengabaikan kebenaran dan keadilan; dan dengan demikian kebebasan itu harus dibimbing, diatur oleh akal yang benar, dan oleh karena itu, kebebasan itu harus tunduk kepada hukum kodrat dan hukum ilahi yang abadi. Tetapi, mereka berpendapat bahwa mereka harus berhenti sampai di sini, sebab mereka percaya bahwa sebagai makhluk yang bebas, manusia sama sekali tidak terikat oleh hukum Allah, selain hukum yang hendak diberlakukan-Nya kepada kita melalui akal kodrati. Tetapi dalam hal ini, mereka sama sekali tidak konsisten. Sebab, seperti yang harus mereka akui, dan yang tidak dapat disangkal dengan benar oleh seorang pun, jika kehendak sang Pembuat Hukum ilahi harus ditaati, karena setiap manusia berada di bawah kuasa Allah dan harus condong menjurus kepada Allah sebagai tujuan akhirnya, maka dari itu tidak seorang pun dapat membatasi otoritas legislatif-Nya tanpa menentang ketaatan yang wajib diberikan kepada-Nya. Bahwasanya jika benak manusia sedemikian gegabahnya sehingga mendefinisikan kodrat dan cakupan hak-hak dan Allah serta tanggung jawab-Nya kepada manusia, penghormatan kepada hukum-hukum ilahi hanya akan lebih bersifat kelihatan daripada bersifat riil, dan penilaian yang sewenang-wenang akan lebih utama daripada otoritas dan penyelenggaraan Allah. Itulah sebabnya, manusia harus senantiasa menimba aturan hidup kita dengan penuh taat, bukan hanya dari hukum abadi, tetapi juga dari semua dan setiap hukum yang telah hendak disampaikan oleh Allah, dalam hikmat dan kuasa-Nya yang tak terhingga, serta melalui sarana-sarana yang telah berkenan kepada-Nya, dan yang hendak diberitahukan-Nya kepada kita melalui tanda-tanda yang jelas dan yang sama sekali meniadakan kesempatan untuk adanya keraguan. Dan hal ini pun semakin benar sebab hukum-hukum semacam ini memiliki sumber yang sama dan Pencipta yang sama dengan hukum abadi, dan dengan demikian, niscaya hanya akan berselaras dengan akal dan menyempurnakan hukum kodrat. Di samping itu, kita menemukan kuasa pengajaran Allah sendiri termuat di dalam hukum-hukum semacam ini. Untuk mencegah akal dan kehendak kita jatuh ke dalam kesalahan, hukum-hukum ini membimbing akal dan kehendak kita dengan arahan-arahan yang teramat baik. Maka dari itu, marilah kita membiarkan apa yang tidak dapat dan tidak sepatutnya dipisahkan berada dalam persatuan yang kudus dan tak terganggu gugat; dan dalam segala hal (sebab ini merupakan ketentuan akal yang benar sendiri) hendaknya Allah dilayani dengan penuh kepatuhan dan ketaatan.
18. Beberapa orang lain yang agak lebih moderat tetapi tidak lebih konsisten, menegaskan bahwa moral perorangan harus dibimbing oleh hukum ilahi, tetapi moral Negara tidak demikian adanya, sehingga dalam perkara-perkara masyarakat, perintah-perintah Allah dapat dilanggar, dan dapat diabaikan sama sekali dalam penyusunan hukum. Dari situ, muncullah teori yang mematikan, yakni, pemisahan antara Gereja dan Negara. Tetapi jelas adanya bahwa posisi semacam itu absurd. Kodrat Negara sendiri berseru bahwa Negara wajib menyediakan sarana dan kesempatan yang memungkinkan komunitas untuk hidup secara benar, yakni, seturut hukum-hukum Allah. Sebab karena Allah adalah sumber segala kebaikan dan keadilan, sama sekali konyol adanya bagi Negara untuk tidak mengacuhkan hukum-hukum Allah atau memandulkan hukum-hukum Allah melalui ketetapan-ketetapan yang berlawanan. Di samping itu, orang-orang dalam posisi otoritas bukan hanya berkewajiban kepada persemakmuran untuk menyediakan sarana untuk mencapai kesejahteraan lahiriahnya dan kenyamanan hidupnya, tetapi juga terutama untuk kesejahteraan rohaninya. Tetapi, demi meningkatnya kebaikan-kebaikan semacam itu, tiada suatu hal pun yang dapat dibayangkan, yang lebih pantas adanya, selain hukum-hukum yang diciptakan oleh Allah. Dan dengan demikian, mereka yang dalam pemerintahan Negara mereka tidak memedulikan hukum-hukum ilahi ini, menyalahgunakan kuasa politik dengan menyebabkan kuasa itu menyimpang dari tujuannya yang benar dan dari ketentuan kodrat sendiri. Dan suatu hal yang lebih penting, dan yang telah Kami tunjukkan lebih dari satu kali, adalah walaupun otoritas sipil tidak memiliki tujuan langsung yang sama dengan otoritas rohani dan tidak menempuh jalan yang sama, kedua otoritas ini terkadang harus bertemu yang satu dengan yang lainnya dalam pelaksanaan kuasa mereka masing-masing. Sebab keduanya memerintah orang-orang yang sama, dan keduanya tidak jarang harus menghadapi perkara-perkara yang sama, walaupun dari sudut pandang yang berbeda. Manakala hal ini terjadi, karena keadaan konflik absurd adanya dan jelas berlawanan dengan ketetapan Allah yang penuh hikmat, niscaya harus ada suatu aturan atau tata cara untuk meniadakan sebab-sebab ketidaksepakatan dan perselisihan, dan untuk menjaga kerukunan dalam segala hal. Kerukunan ini telah secara pantas dibandingkan dengan kerukunan antara raga dan jiwa yang ada demi kesejahteraan yang satu dan yang lainnya; pemisahan yang satu dari yang lainnya menimbulkan bahaya yang mematikan bagi raga, sebab pemisahan itu mencabut kehidupannya sendiri.
19. Tetapi, demi membuat kebenaran-kebenaran ini terlihat dengan lebih jelas, baik adanya bagi kita untuk mencermati secara terpisah berbagai jenis kebebasan yang orang anggap sebagai prestasi-prestasi zaman kita ini. Dan pertama-tama, marilah kita mencermati kebebasan dari diri perorangan yang begitu berlawanan dengan kebajikan agama, yakni, kebebasan beribadah – demikianlah julukannya. Gagasan ini didasari asas bahwa setiap manusia bebas mengakui agama yang berkenan kepada dirinya, atau bahkan tidak mengakui agama sama sekali.
20. Tetapi, kenyataannya sungguh berkebalikan, sebab tanggung jawab yang terutama dan tersuci dari antara segala tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh manusia adalah yang memerintahkannya untuk menyembah Allah dengan penuh bakti dan kesalehan. Kenyataan ini niscaya bersumber dari kebenaran bahwa kita senantiasa berada dalam kuasa Allah, dan senantiasa dibimbing oleh kehendak dan penyelenggaraan-Nya, dan karena kita terlahir dari-Nya, kita harus kembali kepada-Nya. Di samping itu, tidak mungkin ada kebajikan sejati tanpa agama, sebab kebajikan moral berkenaan dengan hal-hal yang menuntun kepada Allah sebagai kebaikan yang tertinggi dan terluhur bagi manusia; dan itulah sebabnya agama yang mengerjakan karya-karya yang menjurus secara langsung dan segera kepada penghormatan ilahi[3] merupakan penguasa dan aturan bagi segala kebajikan. Dan jika orang bertanya, dari antara banyak agama yang saling berlawanan, agama mana yang perlu dianut, akal dan hukum ilahi tidak ragu memberi tahu kita agar kita mengamalkan agama yang diperintahkan oleh Allah, dan yang dapat dengan mudah dikenali oleh manusia melalui tanda-tanda lahiriah yang seturut penyelenggaraan Ilahi membuat agama itu dapat dicirikan, sebab dalam perkara yang sedemikian pentingnya ini, kesalahan akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang amat berbahaya. Itulah sebabnya, sewaktu kebebasan seperti yang telah Kami jelaskan itu diajukan kepada manusia, maka manusia diberi kuasa untuk membejatkan atau meninggalkan, tanpa hukuman, tanggung jawab yang tersuci, dan untuk menggantikan kebaikan yang tak tergantikan dengan kejahatan; seperti yang telah Kami utarakan, kebebasan semacam itu bukanlah kebebasan, melainkan pembusukan kebebasan dan merupakan tunduknya jiwa dengan penuh kehinaan kepada dosa.
21. Jika dicermati dari sudut pandang masyarakat, kebebasan semacam ini tentunya menyiratkan bahwa tiada suatu alasan pun bagi Negara untuk mempersembahkan penghormatan kepada Allah, atau untuk menghendaki agar Ia diakui secara publik; bahwa tiada suatu bentuk ibadat pun yang lebih dipreferensikan daripada yang lainnya, tetapi bahwa semua agama harus dipandang memiliki hak-hak yang setara, tanpa memedulikan agama rakyat sama sekali, sekalipun rakyat mengakui iman Katolik. Tetapi untuk membenarkan kebebasan semacam ini, orang harus berasumsi bahwa Negara sama sekali tidak memiliki tanggung jawab kepada Allah, atau bahwa tanggung semacam itu, jikalau ada, dapat ditinggalkan tanpa hukuman; kedua pernyataan ini tentunya salah. Bahwasanya tidak dapat diragukan bahwa persatuan antarumat manusia dalam masyarakat hanya mungkin merupakan buah kehendak Allah, baik jika ditinjau dari para anggotanya, dari bentuk pemerintahannya, dari tujuan keberadaannya, maupun dari besarnya manfaat yang dihasilkannya bagi manusia. Allahlah yang telah menciptakan manusia untuk masyarakat, dan yang telah menempatkan manusia bersama dengan manusia-manusia lain yang seperti dirinya, sehingga kebutuhan-kebutuhan kodrati yang tidak dapat dipenuhi oleh upaya-upayanya sendiri dapat terpenuhi dalam perhimpunannya dengan orang lain. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus mengakui Allah sebagai Pokok dan Penciptanya, dan harus menaati dan menghormati kuasa serta otoritas-Nya. Maka dari itu, Negara dilarang oleh keadilan, dan dilarang oleh akal untuk menjadi tidak bertuhan; atau untuk mengambil rangkaian tindakan yang menuntun kepada ketidakbertuhanan, yakni, untuk memperlakukan berbagai agama (sebagaimana yang mereka katakan) secara setara, dan untuk menganugerahkan kepada masing-masing agama tanpa dibeda-bedakan, hak-hak yang setara. Itulah sebabnya, karena pengakuan akan satu agama diperlukan di dalam Negara, agama yang harus diakui itu adalah satu-satunya agama yang benar, dan yang dapat diakui tanpa kesulitan, terutama di dalam Negara-Negara Katolik, sebab tanda-tanda kebenaran ibaratnya terukir pada agama ini. Maka dari itu, agama ini harus dijaga dan dilindungi oleh para pemerintah Negara, jika mereka hendak (sebagaimana yang harus mereka lakukan) menyejahterakan kepentingan masyarakat dengan bijak dan dengan penuh guna. Sebab keberadaan otoritas publik adalah demi kesejahteraan orang-orang yang diperintahnya; dan walaupun tujuan langsungnya adalah untuk membimbing manusia kepada kemakmuran yang ada dalam hidup ini, namun demikian, dalam upayanya itu, otoritas publik tidak boleh mengurangi, sebaliknya harus meningkatkan, kemampuan manusia untuk mencapai kebaikan yang terluhur yang adalah kebahagiaannya yang abadi: kebahagiaan ini tidak akan pernah tercapai jika agama diabaikan.
22. Bagaimanapun, semuanya ini telah Kami jelaskan dengan lebih lengkap di tempat yang lain. Kami sekarang hanya ingin menambahkan pernyataan bahwa kebebasan yang kodratnya sedemikian sesatnya itu menimbulkan kemudaratan yang amat besar terhadap kebebasan sejati, baik milik para pemerintah maupun rakyat yang mereka perintah. Sebaliknya, agama, oleh karena hakikatnya sendiri, luar biasa berfaedah bagi Negara, sebab agama memperoleh kuasa asalinya dari Allah sendiri, dan dengan demikian, dengan otoritas yang besar agama menuntut para pangeran untuk mengingat tanggung jawab mereka untuk tidak memerintah secara tidak adil atau dengan keras, dan untuk memimpin rakyat mereka dengan baik dan hampir dengan cinta kasih yang kebapaan. Di sisi lain, agama memperingatkan para rakyat agar taat kepada otoritas yang sah, sebagai para pelayan Allah; dan agama juga mengikat para rakyat kepada para pemerintah mereka bukan semata-mata dengan ikatan kepatuhan, melainkan dengan penghormatan dan rasa sayang, dan melarang segala pemberontakan dan upaya-upaya yang mungkin mengganggu tatanan serta ketenteraman Negara, dan yang pendek kata, menyebabkan dikekangnya kebebasan warga negara melalui batasan-batasan yang lebih ketat. Kami tidak perlu menyebutkan betapa besarnya jasa agama dalam bimbingannya kepada moral yang murni, dan dengan moral yang murni, kepada kebebasan sendiri. Akal membuktikan dan sejarah menegaskan bahwa semakin Negara-Negara bermoral, semakin besar kebebasan dan kemakmuran serta kuasa yang mereka nikmati.
23. Kami sekarang harus secara singkat membahas kebebasan berbicara, dan kebebasan Pers, yakni kebebasan untuk mengungkapkan segala sesuatu secara tertulis yang berkenan kepada seseorang. Jelas adanya bahwa kebebasan semacam ini bukanlah suatu hak, jika tidak dikendalikan secara benar, dan jika kebebasan ini melampaui batasan-batasan dan tujuan segala kebebasan sejati. Sebab hak adalah suatu kuasa moral, dan seperti yang telah Kami katakan dan yang harus Kami ulangi berkali-kali, akan menjadi absurd untuk percaya bahwa kuasa ini secara kodrati dianugerahkan, tanpa adanya pembedaan maupun kearifan, kepada kebenaran dan kebohongan, kepada kebaikan dan kejahatan. Manusia berhak untuk secara bebas dan berhati-hati menyebarkan segala hal yang benar dan terpuji di seluruh Negara, sehingga sebanyak mungkin orang dapat memiliki hal-hal tersebut; tetapi, opini-opini yang penuh dusta, wabah batiniah yang besarnya tak tertandingi, serta kemaksiatan-kemaksiatan yang membejatkan hati serta kehidupan bermoral harus dikekang dengan giat oleh otoritas publik, agar kejahatan-kejahatan semacam itu tidak secara tersembunyi merekayasakan kehancuran Negara. Dosa-dosa benak yang jangak, yang niscaya menyebabkan penindasan bagi khalayak yang tak terdidik, harus secara benar dibendung oleh otoritas hukum sama halnya dengan kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh kekerasan kepada pihak yang lemah. Dan pengekangan ini menjadi lebih diperlukan, menimbang sebagian besar masyarakat sama sekali tidak mampu, atau hanya mampu dengan kesulitan yang besar, meluputkan diri dari khayalan-khayalan serta kelicikan-kelicikan yang menyesatkan, terutama yang menggugah hasrat diri. Seandainya kebebasan tanpa batas untuk berbicara dan menulis dianugerahkan kepada semua orang, tiada lagi hal yang sakral dan murni, tiada suatu hal pun yang mungkin luput, bahkan kebenaran-kebenaran asali, asas-asas kodrati yang agung yang harus dianggap sebagai warisan bersama yang mulia bagi seluruh umat manusia. Maka, karena kebenaran secara bertahap menjadi samar akibat kegelapan, kesalahan yang berbahaya yang banyak jumlahnya akan dengan mudah berjaya, demikianlah yang terlalu sering terjadi. Dengan demikian, apa yang dihilangkan oleh kebebasan menjadi kemenangan bagi penyelewengan; sebab semakin penyelewengan dikekang secara lebih penuh, kebebasan menjadi semakin lebih bebas dan terjamin. Bagaimanapun, sehubungan segala perkara opini yang oleh Allah diperkenankan bagi manusia untuk didiskusikan secara bebas, kebebasan penuh untuk berpikir dan berbicara secara kodrati merupakan hak setiap orang; sebab kebebasan semacam itu tidak pernah menuntun manusia untuk menegahkan kebenaran, tetapi membuat kebenaran ditemukan dan diumumkan.
24. Penilaian yang serupa harus diberikan kepada apa yang disebut sebagai kebebasan mengajar. Sama sekali tidak dapat diragukan bahwa kebenaran sendirilah yang harus memenuhi benak manusia; sebab di dalam kebenaran terdapat kesejahteraan, tujuan akhir, dan kesempurnaan kodrat yang cerdas; itulah sebabnya hanya kebenaranlah yang patut diajarkan baik kepada orang yang tak terdidik maupun yang terdidik, demi membawakan pengetahuan bagi mereka yang tidak memilikinya, dan demi menjaga pengetahuan dalam diri mereka yang mempunyainya. Oleh sebab itu, semua pengajar sederhananya berkewajiban untuk memberantas kesalahan dari pikiran dan mendirikan penghalang-penghalang yang kuat guna menutup jalan masuk bagi keyakinan-keyakinan sesat. Maka dari itu, seperti yang terlihat dengan jelas, kebebasan yang telah Kami bahas ini sungguh berlawanan dengan akal, dan secara mutlak condong membejatkan pikiran-pikiran manusia, sebab kebebasan ini menuntut untuk dirinya sendiri hak untuk mengajarkan segala sesuatu yang berkenan kepadanya: suatu kebebasan yang tidak dapat dianugerahkan oleh Negara jika Negara tidak ingin gagal dalam tanggung jawabnya. Dan hal ini pun semakin benar, sebab otoritas para pengajar berbobot besar bagi para pendengar mereka, yang jarang dapat menilai untuk diri mereka sendiri yang mana dari pengajaran yang diberikan kepada mereka yang adalah kebenaran atau dusta.
25. Maka dari itu, agar kebebasan ini patut menyandang namanya, kebebasan ini harus dijaga dalam batasan-batasan tertentu, agar tanggung jawab pengajaran tidak, tanpa hukuman, dijadikan alat pembejatan. Akan tetapi, kebenaran, yang harus menjadi satu-satunya pokok pengajaran, memiliki dua jenis: kodrati dan adikodrati. Kebenaran-kebenaran kodrati, seperti prinsip-prinsip kodrat dan segala sesuatu yang didapatkan dari prinsip-prinsip tersebut oleh akal manusia, ibaratnya merupakan warisan bersama milik umat manusia. Kebenaran-kebenaran ini merupakan landasan yang kukuh bagi moral, keadilan, agama, serta ikatan-ikatan masyarakat manusia sendiri; dan dengan demikian, akan menjadi ketidaksalehan yang terbesar, kegilaan yang paling tidak manusiawi, untuk membiarkan kebenaran-kebenaran ini dilanggar atau dihancurkan.
26. Tetapi, kewaspadaan yang tidak kurang besarnya juga harus dikerahkan untuk menjaga khazanah yang agung dan suci dari kebenaran-kebenaran yang telah diajarkan kepada kita oleh Allah sendiri. Berkat banyak argumen yang meyakinkan, yang sering digunakan oleh para pembela Kekristenan, ada beberapa doktrin utama yang telah ditetapkan, sebagai contoh: bahwa ada beberapa hal yang telah diwahyukan oleh Allah; bahwa Putra Tunggal Allah telah menjadi daging, demi mewartakan kesaksian tentang kebenaran; bahwa Ia telah mendirikan suatu lembaga yang sempurna, yakni Gereja yang dikepalai-Nya, dan yang kepadanya Ia telah berjanji akan berada bersamanya sampai akhir zaman. Kepada lembaga ini, Ia telah memercayakan segala kebenaran yang telah diajarkan-Nya, agar lembaga itu dapat menjaga dan membela segala kebenaran-Nya itu dan menjelaskan kebenaran-kebenaran-Nya itu dengan otoritas yang sah; dan pada saat itu pula, Ia memerintahkan semua bangsa untuk mendengarkan suara Gereja, layaknya suara-Nya sendiri, dan mengancam mereka yang tidak ingin mendengarkan suara Gereja dengan kebinasaan kekal. Maka jelas adanya bahwa pengajar manusia yang terbaik dan yang teramat pasti adalah Allah, sumber dan pangkal segala kebenaran; dan Putra Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Jalan, Kebenaran, dan Hidup, Terang sejati yang mencerahkan setiap manusia, dan yang ajaran-Nya harus dipatuhi: Dan mereka semua akan diajar oleh Allah.[4]
27. Dalam iman dan dalam ajaran moral, Allah sendiri membuat Gereja mengambil bagian dalam otoritas ilahi-Nya, dan berkat karunia surgawi-Nya, Gereja tidak dapat disesatkan. Maka dari itu, Gereja adalah pengajar yang terbaik dan yang terandal bagi umat manusia, dan di dalam Gereja berdiam suatu hak yang tak dapat diganggu gugat untuk mengajar mereka. Dengan kebenaran yang menopangnya yang diperolehnya dari Pendirinya yang ilahi, Gereja telah senantiasa berjuang untuk memenuhi dengan suci tugas yang dipercayakan kepadanya oleh Allah. Tanpa pernah dikalahkan oleh kesulitan-kesulitan dari segala penjuru yang mengelilinginya, Gereja tidak pernah berhenti menuntut kebebasannya untuk mengajar. Dan dengan demikian, dunia yang terbebas dari takhayul-takhayulnya yang teramat menyedihkan, telah mengalami pembaruan berkat hikmat Kristiani. Akan tetapi, sungguh benar adanya, seperti yang diutarakan secara jelas oleh akal sendiri, bahwa tidak mungkin ada pertentangan yang riil antara kebenaran-kebenaran wahyu ilahi dan kebenaran-kebenaran kodrati, dan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan semua kebenaran itu niscaya merupakan kesalahan. Oleh sebab itu, ajaran ilahi Gereja, yang sama sekali bukan merupakan rintangan bagi pencapaian pendidikan dan perkembangan sains, atau yang sama sekali tidak memperlambat kemajuan peradaban, kenyataannya mencerahkan hal-hal tersebut dengan bimbingan terang yang pasti. Dan oleh karena alasan yang sama inilah ajaran ilahi Gereja menghasilkan faedah yang besar dalam menyempurnakan kebebasan manusia, sebab Yesus Kristus Juru Selamat kita telah berkata bahwa dengan kebenaran, manusia menjadi bebas: Kalian akan mengenal kebenaran, dan kebenaran akan membebaskan kalian.[5] Maka dari itu, sama sekali tiada alasan bagi kebebasan yang sejati untuk menjadi murka, atau bagi sains yang sejati untuk menjadi masygul, oleh karena keharusan untuk menanggung batasan hukum yang adil dan diperlukan, yang seturut penilaian Gereja dan Akal sendiri, harus mengendalikan pengajaran manusia.
28. Gereja bahwasanya, seperti yang dibuktikan oleh fakta di mana-mana, mengarahkan kegiatannya terutama dan secara khusus kepada pembelaan iman Kristiani, dan pada saat itu juga, Gereja dengan berhati-hati memupuk dan memajukan segala jenis ilmu pengetahuan manusia. Sebab ilmu pengetahuan secara kodrati baik, terpuji, dan dikehendaki; dan di samping itu, segala sains yang merupakan buah akal sehat dan yang bersesuaian dengan realitas hal-hal, berguna banyak untuk menegaskan apa yang kita percayai tentang otoritas Allah. Sungguh benar bahwa kita telah memetik faedah yang besar dari Gereja, yang telah secara berhati-hati melestarikan monumen-monumen kebijaksanaan kuno; yang telah membuka suaka bagi ilmu pengetahuan di mana-mana; yang telah senantiasa memberikan dorongan-dorongan kepada segala kemajuan intelek, dengan memupuk secara giat berbagai ilmu pengetahuan yang membuat budaya zaman kita menjadi jauh lebih maju. Pada akhirnya, Kami tidak boleh melupakan bahwa ada sebuah padang yang terbentang luas dan terbuka kepada kerajinan dan kecerdasan manusia, yang memuat segala sesuatu yang tidak secara langsung berhubungan dengan iman dan moral Kristiani, atau yang tidak berada dalam cakupan otoritas Gereja, sehingga Gereja membiarkan penilaian orang-orang yang terdidik bebas dan tak terkekang.
29. Berdasarkan semuanya ini, kodrat dan sifat kebebasan yang dengan begitu bersemangatnya didukung dan diserukan oleh para penganut paham Liberalisme dapat dipahami. Di satu sisi, mereka menuntut agar mereka dan Negara dapat menyalahgunakan kebebasan yang membuka jalan kepada segala kebejatan pendapat; dan di sisi lain, mereka merintangi Gereja dengan berbagai cara, menghalangi kebebasan Gereja dengan batasan-batasan yang tersempit, walaupun dari ajaran Gereja bukan hanya tidak ada suatu hal pun yang perlu ditakuti, tetapi dari setiap sudut ada begitu banyak faedah yang dapat dipetik.
30. Ada suatu kebebasan lain yang didukung secara luas, yakni, kebebasan berhati nurani. Apabila maksud istilah ini adalah bahwa setiap orang diperkenankan, seturut pilihannya sendiri, untuk menyembah Allah atau tidak, gagasan ini telah secara cukup dibantah oleh argumen-argumen yang telah dikemukakan. Tetapi istilah ini juga dapat dimengerti dengan makna bahwa setiap manusia dalam Negara diperkenankan untuk mengikuti kehendak Allah dan untuk menaati perintah-perintah-Nya seturut kesadaran akan tanggung jawab yang bebas dari segala rintangan. Inilah bahwasanya yang merupakan kebebasan sejati, kebebasan yang pantas bagi para putra Allah, yang secara mulia mempertahankan martabat manusia, dan yang lebih kuat dari segala kekerasan ataupun kejahatan: suatu kebebasan yang telah selalu dikehendaki dan telah amat disayangi oleh Gereja. Inilah jenis kebebasan yang dituntut oleh para rasul untuk diri mereka sendiri dengan ketabahan yang pemberani, yang diteguhkan oleh para apologis Kekristenan melalui karya-karya tulis mereka, dan yang dikuduskan oleh para martir yang banyak jumlahnya dengan darah mereka. Dan kebebasan ini memang patut diperlakukan secara demikian; sebab kebebasan Kristiani ini memberikan kesaksian bagi kuasa Allah yang mutlak dan yang teramat adil atas manusia, dan bagi tanggung jawab manusia yang terutama dan terluhur kepada Allah. Kebebasan ini sama sekali berbeda dengan pikiran yang penuh hasutan dan pemberontak; dan tidak sedikit pun menghinakan otoritas publik; sebab hak untuk memerintah dan mewajibkan ketaatan ada hanya sejauh mana hak itu selaras dengan otoritas Allah, dan berada dalam takaran yang telah ditetapkan-Nya. Tetapi sewaktu suatu perintah apa pun sederhananya berlawanan dengan kehendak Allah, terjadi suatu penyimpangan yang besar dari tatanan yang telah disusun secara ilahi ini, dan pada saat itu juga, terjadi suatu konflik yang secara langsung berlawanan dengan otoritas ilahi; maka dari itu, ketidaktaatan adalah perbuatan yang benar.
31. Akan tetapi, para pendukung Liberalisme, yang memberikan Negara kuasa absolut dan tak terbatas, dan yang menyerukan bahwa manusia sepatutnya hidup bersama tanpa perlu bertanggung jawab kepada Allah, tidak mengakui kebebasan yang Kami bicarakan ini, kebebasan yang terkait erat dengan kebajikan dan agama; dan segala sesuatu yang dilakukan demi pelestarian kebebasan ini dianggap sebagai suatu penghinaan dan pelanggaran terhadap Negara. Bahwasanya seandainya apa yang mereka katakan itu sungguh benar, tidak akan ada dominasi yang begitu zalimnya yang harus kita terima atau tanggung.
32. Dambaan Gereja yang paling membara tentunya adalah untuk melihat prinsip-prinsip Kristiani yang baru saja Kami jabarkan diresapkan dalam segala tatanan Negara secara riil dan dalam praktik; sebab prinsip-prinsip itu akan memiliki kemujaraban yang terbesar untuk menyembuhkan kejahatan-kejahatan masa kini, kejahatan-kejahatan yang baik jumlahnya maupun kebesarannya tidak dapat disembunyikan, dan yang sebagian besar merupakan buah dari kebebasan palsu yang sangat dipuji-puji itu, dan yang dahulunya dipercaya memuat benih-benih keamanan dan kemuliaan. Harapannya ini telah dikecewakan oleh hasilnya. Yang muncul bukanlah buah-buah yang manis dan berfaedah, melainkan buah-buah yang getir dan beracun. Maka jika suatu obat dikehendaki, hendaknya obat itu dicari dalam pemulihan doktrin sehat, satu-satunya hal yang darinya kita dapat mengharapkan dengan penuh kepercayaan, pelestarian aturan, dan dengan demikian, jaminan bagi kebebasan yang sejati.
33. Namun demikian, dengan kearifan seorang ibunda yang sejati, Gereja memerhatikan beban kelemahan manusia yang berat, dan Gereja tidak mengabaikan gerakan yang menyeret benak dan perbuatan manusia di zaman ini. Maka dari itu, walaupun Gereja tidak manganugerahkan hak selain untuk berbuat apa yang baik dan jujur, Gereja tidak melarang otoritas publik untuk menolerir apa yang menyimpang dari kebenaran dan keadilan, demi menghindari kejahatan tertentu yang lebih besar, atau demi memperoleh atau melestarikan kebaikan tertentu yang lebih besar. Dalam penyelenggaraan-Nya, Allah sendiri, yang secara tak terhingga baik dan kuasa, walau bagaimanapun membiarkan kejahatan untuk berada di dunia, baik agar kebaikan yang lebih besar tidak dirintangi, maupun agar kejahatan yang lebih besar tidak terus berlanjut. Dalam pemerintahan Negara-Negara, patut adanya untuk meneladani Ia yang memerintah dunia. Di samping itu, karena otoritas manusia tiada kuasa untuk mencegah setiap kejahatan, otoritas manusia harus (seperti yang dikatakan oleh St. Agustinus) mengabaikan dan membiarkan banyak hal terjadi tanpa hukuman, yang dihukum secara benar oleh Penyelenggaraan ilahi.[6] Tetapi seandainya pun dalam keadaan-keadaan semacam itu, demi kebaikan bersama (dan inilah satu-satunya alasan yang sah) hukum manusia boleh atau mungkin sepatutnya menolerir kejahatan, hukum manusia tidak boleh ataupun tidak sepatutnya menyetujui atau menginginkan kejahatan demi kejahatan sendiri; sebab kejahatan, yang secara kodrati adalah tiadanya kebaikan, berlawanan dengan kebaikan bersama yang harus diinginkan dan dibela semampunya oleh pembuat hukum. Dalam hal ini, hukum manusia harus berjuang untuk meneladani Allah, yang, seperti yang diajarkan oleh St. Thomas, dalam hal membiarkan adanya kejahatan dalam dunia, tidak menghendaki terjadinya kejahatan, tidak pun menghendaki agar kejahatan tidak terjadi, tetapi hanya menghendaki agar kejahatan dibiarkan terjadi, dan hal ini baik adanya.[7] Perkataan sang Doktor Malaikat ini merupakan rumusan singkat yang memuat segenap doktrin toleransi terhadap kejahatan.
34. Tetapi agar penilaian Kami tetap benar adanya, harus diakui bahwa semakin Negara perlu menolerir kejahatan, semakin kondisi-kondisi Negara itu menyimpang dari kesempurnaan; dan toleransi terhadap kejahatan itu, yang diatur oleh hikmat politis, harus secara ketat dibatasi dalam batasan-batasan yang diperlukan oleh sebab keberadaannya, yakni, kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, jika toleransi semacam itu akan mencelakakan kesejahteraan masyarakat, dan menyebabkan kejahatan-kejahatan yang lebih besar bagi Negara, toleransi semacam itu tidak akan sah adanya; sebab dalam kasus semacam itu, tidak ada motif kebaikan. Dan walaupun dalam kondisi yang luar biasa dari zaman ini, Gereja merelakan adanya kebebasan-kebebasan modern tertentu, bukan karena Gereja menyukai kebebasan-kebebasan semacam itu pada hakikatnya, tetapi karena Gereja menilai pantas adanya untuk membiarkan kebebasan-kebebasan semacam itu, seandainya keadaan membaik di kemudian hari, Gereja jelas akan menggunakan kebebasannya dengan mengerahkan segala upaya, imbauan, nasihat, dan permohonan, demi menunaikan, karena itulah tanggung jawabnya, tugas yang telah diterimanya dari Allah, yakni, memperolehkan keselamatan kekal bagi umat manusia. Namun demikian, ada satu hal yang senantiasa benar: bahwa kebebasan ini, yang dianugerahkan kepada semua orang dan untuk semua orang tanpa dibeda-bedakan bukanlah kebebasan yang pada hakikatnya didambakan, seperti yang telah sering Kami ulangi, sebab akal berlawanan dengan gagasan bahwa kesalahan dan kebenaran harus memiliki hak-hak yang setara.
35. Dan sehubungan dengan toleransi, mengejutkan adanya, bagaimana orang-orang yang menganut paham yang disebut Liberalisme itu telah sebegitu jauhnya menyimpang dari kewajaran dan kebijaksanaan Gereja. Sebab dalam membiarkan penyalahgunaan kebebasan yang tak terbatas itu, yang telah Kami bahas, mereka melampaui segala batasan dan pada akhirnya mereka tidak membuat pembedaan yang kentara antara kebenaran dan kesalahan, kejujuran dan ketidakjujuran. Dan karena Gereja, yang adalah tiang penyangga dan landasan kebenaran, dan pengajar moral yang tiada dapat terusakkan, sungguh-sungguh terpaksa mengutuk dan mengecam toleransi yang sedemikian kacau dan jangaknya itu, mereka memfitnah Gereja bahwa Gereja tidak memiliki kesabaran dan kelemahlembutan. Dan oleh karena itu, mereka gagal untuk melihat bahwa dengan melakukan pemfitnahan itu, mereka menganggap Gereja bersalah atas sesuatu yang kenyataannya adalah hal yang terpuji. Akan tetapi, kendati mereka mempertunjukkan segala toleransi ini, apa yang sangat sering terjadi adalah bahwa walaupun mereka sendiri mengaku diri siap menganugerahkan kebebasan yang berlimpah-ruah kepada semua orang, mereka sama sekali tidak toleran terhadap Gereja Katolik, sebab mereka sering menolak untuk membiarkan Gereja memiliki kebebasannya.
36. Dan sekarang, untuk menyederhanakan dan memperjelas semua uraian ini bersama dengan konsekuensi-konsekuensi langsungnya, Kami merangkum semua uraian ini secara singkat: bahwa manusia, atas dasar keperluan kodratnya, tiada hentinya bergantung sepenuhnya kepada Allah, dan dengan demikian, segala kebebasan, selain kebebasan yang tunduk kepada Allah dan yang taat kepada kehendak-Nya, sama sekali mustahil adanya untuk dipahami. Penyangkalan terhadap adanya otoritas ini dalam diri Allah, atau penolakan untuk tunduk kepada otoritas-Nya itu, setara dengan tidak bertindak sebagai manusia yang bebas, melainkan bertindak sebagai manusia yang berkhianat dengan menyalahgunakan kebebasannya; dan sikap batin yang bahwasanya seperti itulah yang menimbulkan dan yang menyebabkan kemaksiatan besar yang disebut Liberalisme itu. Tetapi, dosa ini memiliki beberapa bentuk; sebab bagi kehendak, ada lebih dari satu cara dan jenjang untuk menyimpang dari ketaatan yang wajib diberikan kepada Allah atau kepada mereka yang mengambil bagian dalam otoritas ilahi-Nya.
37. Sebab pemberontakan terhadap otoritas tertinggi milik Allah, dan penolakan terhadap segala ketaatan kepada-Nya baik dalam kehidupan bermasyarakat, maupun dalam kehidupan pribadi dan berkeluarga, adalah pembejatan kebebasan yang terbesar, dan jenis Liberalisme yang terburuk: dan kepada jenis Liberalisme semacam inilah celaan-celaan yang telah Kami rumuskan sejauh ini berlaku sepenuhnya.
38. Segera setelahnya, kita melihat sistem yang dirancang oleh mereka yang memang mengakui adanya tanggung jawab untuk tunduk kepada Allah, Pencipta dan Pengatur dunia, sebab segala kodrat bergantung kepada kehendak-Nya, tetapi yang secara lancang menolak segala hukum iman dan moral yang melampaui akal kodrati, tetapi yang diwahyukan oleh otoritas Allah; atau mereka yang setidaknya menyatakan secara kurang ajar bahwa tiada alasan mengapa hukum-hukum ini harus diindahkan oleh Negara terutama dalam perkara-perkara masyarakat. Betapa kelirunya orang-orang ini, dan betapa tidak konsistennya diri mereka itu, telah kita lihat di atas. Berdasarkan ajaran ini yang menjadi sumber dan pangkalnya, muncullah asas yang mematikan itu, yakni pemisahan antara Gereja dan Negara; sedangkan, sebaliknya, jelas adanya bahwa kedua kuasa itu, yang walau berbeda dalam fungsi-fungsinya dan tak setara dalam derajatnya, bagaimanapun harus hidup dengan rukun, dengan keharmonisan dalam tindakan yang dijalankan oleh keduanya dan dalam penunaian tanggung jawab masing-masing kuasa dengan penuh kesetiaan.
39. Tetapi ada dua cara memahami ajaran ini. Banyak orang mengharapkan agar Negara dipisahkan dari Gereja secara penuh dan seutuhnya; mereka beranggapan bahwa dalam segala sesuatu yang berkenaan dengan hak-hak masyarakat manusia, institusi-institusi, moral, hukum, fungsi-fungsi Negara, pendidikan orang muda, tiada perhatian yang perlu diberikan kepada Gereja seolah-olah Gereja tidak ada; dan bahwa sebaik-baiknya, warga negara perorangan diizinkan menunaikan kewajiban agama mereka dalam kehidupan pribadi, jika mereka hendak melakukannya. Untuk melawan orang-orang semacam ini, semua argumen yang telah Kami ajukan untuk membantah asas pemisahan antara Gereja dan Negara juga berlaku; bersama dengan tambahan yang satu ini, bahwa sama sekali absurd adanya bahwa Gereja harus dihormati oleh warga negara, tetapi boleh dianggap hina oleh Negara.
40. Beberapa orang yang lain tidak menentang keberadaan Gereja, tidak pun mereka mampu melakukannya; walau bagaimanapun, mereka meniadakan kodrat dan hak-hak Gereja sebagai lembaga yang sempurna, dan menjunjung pendapat bahwa Gereja tidak berhak membuat legislasi, menilai, atau menghukum, tetapi hanya berhak memberikan anjuran, nasihat, dan memerintah para umatnya seturut kesetujuan dan kehendak umatnya sendiri. Dengan pendapat semacam itu, mereka membejatkan kodrat lembaga ilahi ini, dan melemahkan serta mempersempit otoritasnya, jabatannya sebagai pengajar, dan segala kinerjanya; dan pada saat itu juga, mereka melebih-lebihkan kuasa pemerintah sipil sedemikian rupa sehingga menundukkan Gereja Allah kepada kuasa dan kehendak Negara, seperti segala jenis perhimpunan bebas lainnya. Untuk membantah ajaran semacam itu sepenuhnya, argumen-argumen yang sering digunakan oleh para pembela Kekristenan, dan yang dituangkan oleh Kami, terutama dalam Surat Ensiklik Immortale Dei, berguna banyak; sebab dengan argumen-argumen itu, terbukti bahwa seturut ketentuan ilahi, Gereja memiliki segala sifat dan hak yang merupakan ciri dari suatu lembaga tertinggi yang legitim dan yang sempurna dalam semua bagiannya.
41. Pada akhirnya, masih ada beberapa orang yang tidak menyetujui pemisahan antara Gereja dan Negara, namun demikian, mereka berpendapat bahwa Gereja harus menyesuaikan diri kepada zaman dan menyelaraskan diri kepada tuntutan sistem pemerintahan modern. Opini semacam itu sehat adanya, jika dipahami dengan makna penyesuaian yang sepantasnya, yang konsisten dengan kebenaran dan keadilan; yakni, bahwa Gereja, dalam harapan akan kebaikan besar tertentu, dapat bertindak dengan murah hati, dan dapat menyesuaikan diri kepada zaman sejauh mana yang diizinkan oleh tugas sucinya. Tetapi opini semacam itu tidak sehat sehubungan dengan praktik-praktik dan doktrin-doktrin yang diperkenalkan secara tidak sah oleh kebejatan moral dan penilaian yang sesat. Tiada zaman yang dapat dilalui tanpa agama, kebenaran, dan keadilan: hal-hal yang agung dan sakral ini telah dipercayakan kepada penjagaan Gereja. Maka dari itu, akan menjadi hal yang sedemikian anehnya untuk berharap agar Gereja berbuat kesalahan atau ketidakadilan secara sembunyi-sembunyi, atau agar Gereja secara diam-diam bersekongkol untuk melakukan hal-hal yang membahayakan agama.
42. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, tidak seorang pun diizinkan untuk meminta, membela, atau menganugerahkan kebebasan tak bersyarat untuk berpikir, berbicara, menulis, atau beribadat, seolah-olah hal-hal ini tergolong hak-hak yang dianugerahkan oleh kodrat dengan berlimpah-ruah kepada manusia. Seandainya benar bahwa hal-hal itu dianugerahkan oleh kodrat, maka manusia akan berhak menolak untuk taat kepada Allah, dan tidak akan ada kendali atas kebebasan manusia. Itulah pula mengapa kebebasan dalam hal-hal ini dapat ditolerir sewaktu ada sebab yang benar; tetapi toleransi itu hanya dapat dibuat dengan pengendalian yang sedemikian rupa sehingga akan mencegah membusuknya toleransi itu menjadi penyalahgunaan kebebasan dan penyelewengan. Dan manakala kebebasan-kebebasan itu berlaku, manusia harus menggunakan kebebasan-kebebasan itu dalam melakukan kebaikan, dan harus menilai kebebasan-kebebasan itu seturut penilaian Gereja; sebab suatu kebebasan hanya dapat dipandang sebagai sah sejauh mana kebebasan itu meningkatkan kesanggupan kita untuk berbuat baik, dan tidak lebih dari itu.
43. Sewaktu terjadi atau sewaktu ada alasan untuk menakuti terjadinya penindasan yang tidak adil terhadap rakyat di satu sisi, atau perampasan kebebasan Gereja di sisi lain, adalah suatu hal yang diizinkan untuk mencari suatu organisasi politik yang lain, yang di dalamnya orang dapat bertindak dengan kebebasan yang wajar. Dalam kasus semacam itu, orang tidak boleh menuntut untuk memiliki kebebasan yang berlebihan dan jangak, melainkan suatu kelegaan tertentu demi kesejahteraan bersama, sehingga walaupun Negara mengizinkan penyalahgunaan kebebasan guna berbuat jahat, kuasa untuk berbuat baik tidak dihalangi.
44. Kembali lagi, preferensi terhadap suatu bentuk pemerintahan yang bersifat demokratis bukanlah hal yang pada hakikatnya menyalahi tanggung jawab, dengan syarat bahwa doktrin Katolik ditaati sehubungan dengan asal-muasal dan pelaksanaan kuasa publik. Gereja tidak menolak satu pun dari antara aneka rupa bentuk pemerintahan, dengan syarat bahwa bentuk-bentuk pemerintahan itu pada hakikatnya pantas untuk menyejahterakan rakyatnya; tetapi apa yang Gereja inginkan, dan kodrat pun setuju dengan Gereja, adalah agar bentuk-bentuk pemerintahan itu terlembaga sedemikian rupa sehingga tidak melanggar hak seorang pun, dan terutama sehingga menghormati hak-hak Gereja.
45. Mengambil bagian dalam pengelolaan perkara-perkara masyarakat adalah hal yang terpuji, kecuali jika terjadi keadaan-keadaan yang istimewa di beberapa tempat tertentu. Gereja bahkan mendukung setiap orang untuk membaktikan pelayanan-pelayanannya demi kebaikan bersama, dan untuk melakukan segala hal yang dapat dilakukannya demi pertahanan, pelestarian, dan kemakmuran negaranya.
46. Gereja pun tidak mengutuk orang-orang yang hendak membuat negeri mereka merdeka dari segala kuasa yang asing atau yang menindas, dengan syarat upaya itu dapat dilakukan tanpa melanggar keadilan. Tidak pun Gereja mempersalahkan orang-orang yang bekerja demi memberikan kepada masyarakat faedah dengan hidup seturut hukum-hukum mereka sendiri, dan kepada warga negara mereka peningkatan dalam kesejahteraan mereka. Gereja telah senantiasa memajukan kebebasan sipil dengan teramat setia, dan hal ini terutama telah terlihat di kota-kota Italia, yang di bawah pemerintahan kotamadyanya mendapatkan kemakmuran, kuasa, dan kemuliaan, yang diperoleh pada kala di mana kuasa Gereja yang berfaedah telah menyebar luas, tanpa menghadapi perlawanan, kepada segala bagian Negara.
47. Ajaran-ajaran ini, yang seluruhnya terilhami oleh iman dan akal, telah Kami sampaikan kepada anda sekalian demi menunaikan tanggung jawab apostolik yang Kami emban. Dan Kami berharap, terutama dengan kerja sama anda sekalian bersama diri Kami, agar ajaran-ajaran ini dapat menjadi berguna bagi begitu banyak orang. Dalam kerendahan hati, Kami menatap Allah dengan penuh permohonan, dan Kami berdoa dengan tulus hati kepada-Nya, agar dalam kerahiman-Nya Ia mencerahkan manusia dengan terang kebijaksanaan dan nasihat-Nya, sehingga berkat karunia-karunia surgawi yang menguatkan mereka ini, mereka dapat melihat kebenaran dalam perkara-perkara yang sedemikian pentingnya ini, dan agar di kemudian waktu, dalam masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi, di setiap waktu dan dengan ketabahan yang tak tergoyahkan, mereka dapat hidup seturut kebenaran. Sebagai jaminan atas karunia-karunia surgawi ini, dan sebagai kesaksian niat baik Kami kepada anda sekalian, Saudara-Saudara yang Terhormat, dan kepada para imam serta para umat yang dipercayakan kepada anda masing-masing, dengan penuh kasih Kami menganugerahkan, dalam Tuhan, Berkat Apostolik.
Diberikan di Roma, di Gereja Santo Petrus, tanggal 20 Juni tahun 1888, pada masa Kepausan Kami yang kesebelas.
LEO XIII, PAUS.
Catatan kaki:
Disadur dari sumber-sumber berikut:
Sumber utama yang berbahasa Inggris
The Great Encyclical Letters of Pope Leo XIII [Surat-Surat Ensiklik Agung Paus Leo XIII], Imprimatur Jno. M. Farley (New York, 4 Agustus 1908), New York, Cincinnati, Chicago, Benziger Brothers, 1903, hal. 135-163.
Sumber pendamping yang berbahasa Prancis & Latin
Lettres apostoliques de S.S. Léon XIII, encycliques, brefs, etc. [Surat-Surat Apostolik dari Takhta Suci Leo XIII, Ensiklik-Ensiklik, Breve-Breve, dll.], Edisi II, Paris, A. Roger et F, Chernoviz, Éditeurs, hal. 172-213.
[1] Yohanes viii. 34.
[2] De lib. Arb. 1. I, v. 4, n. 15.
[3] St. Thomas. II-II. qu. LXXXI. a. 6.
[4] Yohanes vi. 45.
[5] Yohanes viii. 32.
[6] St. August., de lib. arb., lib. 1. cap. 6, num. 14.
[7] St. Thomas, 1 q. xix. a 9 ad. 3.
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 3 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 4 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 4 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 4 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 4 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 6 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 7 bulanBaca lebih lanjut...