^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan | ![]() |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Tentang Kambuhnya Dosa - Khotbah XXXII St. Leonardus
KHOTBAH XXXII
Untuk Hari Senin Paskah
Tentang Kambuhnya Dosa
(DE LA RECHUTE)
Nos autem sperabamus quia ipse esset redempturus Israel.
Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. – LUC 24, 21.
I. Kodrat manusia malang. Ia menyalahgunakan obat-obatan penyembuhnya sehingga saat hendak bangkit, ia pun jatuh dengan lebih celaka daripada yang sudah-sudah, dan begitu berpaling dari kesesatan-kesesatannya, ia kembali lagi terjerumus ke dalamnya! Sayang sekali! Ikatan yang sudah terjalin dengan dosa-dosa kita begitu erat, sehingga ketika dicerahkan oleh rahmat dan kita menjadi ingin mematahkan ikatan itu serta mendapat rasa takut suci terhadap dosa-dosa kita, kebencian kita itu berlangsung terlalu singkat, sehingga padam bagaikan kilat.
Betapa banyak orang yang pada hari ini mengeluh tentang nyala api hasrat mereka, yang keesokan harinya kembali membangkitkan lidah-lidah api yang baru saja padam itu dengan semangat Setan! Betapa banyak orang dengan lugu mengakui bahwa mereka dulu teperdaya, bahwa mereka dulu berbuat salah, dan keesokan harinya jatuh kembali ke dalam kesalahan-kesalahan yang sama, dan kemudian mulai berbuat lebih buruk lagi!
Lihatlah contohnya dalam dua orang musafir yang dikisahkan dalam Injil pada hari ini. Begitu lekatnya mereka dengan sang Juru Selamat, mereka percaya perkataan-perkataan-Nya, dan berharap dengan teguh bahwa Ia akan membangkitkan dan menyelamatkan Israel: Sperabamus quia ipse esset redempturus Israel. Namun karena tiba sore hari ketiga menyusul kematian-Nya dan mereka menyadari bahwa Ia tidak muncul juga, mereka meninggalkan kota suci Yerusalem dan kembali ke Emaus, tempat berkumpulnya orang-orang jangak serta panggung kesesatan mereka. Mereka sudah berbicara tentang sang Juru Selamat dengan sebutan-sebutan ambigu: Qui fuit vir propheta;[1] mereka mengakui bahwa Dia seorang nabi, namun tidak berkata bahwa Dia dalah Putra Allah. Berjalan dengan hawa sedih dan khawatir: Et estis tristes,[2] seolah-olah menyesali diri mereka sudah percaya akan Dia dan menjadi bagian dari para murid-Nya.
Lebih jauh lagi, meninggalkan panji-Nya, mereka bernaung di bawah bendera lainnya dan menyebut para musuh sang Juru Selamat sebagai pangeran bagi mereka: Tradiderunt eum summi sacerdotes et principes nostri.[3] Lihatlah, mereka singkat kata kembali jatuh dalam ketidakberimanan mereka yang lampau, sedemikian rupa sehingga Tuhan kita Yesus Kristus harus menegur mereka, atas kebutaan dan ketidakpercayaan mereka itu: O stulti et tardi corde ad credendum![4]
Kodrat manusia malang. Ketika kehilangan ketabahan dalam kebajikan, ia begitu mudahnya kehilangan mahkota yang ditakdirkan baginya! Dan siapakah, saudara-saudaraku, yang mau meyakinkan saya, bahwa tidak akan ada dari antara anda yang setelah empat puluh hari ini memperlihatkan begitu banyak tanda-tanda pertobatan dan penyesalan, lalu kemudian akan meninggalkan bendera mereka sebelum besok sore tiba, maksudnya sebelum sore hari ketiga? Bahwa tidak akan ada yang bahkan sudah berpikir akan kembali menapakkan kaki dalam kebiasaan buruk yang lalu, kembali memulai permusuhan mereka, hubungan-hubungan jahanam mereka, dan segala kebiasaan keji mereka?
Kalau demikian adanya, demi membuat anda teguh dalam kebaikan, saya ingin memperlihatkan betapa nahasnya keadaan pendosa kambuhan. Si pendosa yang kembali kepada kesalahan-kesalahannya terdahulu, sehingga membuat dirinya begitu gampang jatuh, begitu sukar bertobat dan mustahil selamat secara moral.
Ya, seorang pendosa kambuhan jatuh dengan mudah, itulah poin pertamanya.
Ia bangkit dengan sulit, itulah poin keduanya.
Dan hampir mustahil selamat, itulah poin ketiganya.
Saya harap anda perhatian, sebab khotbah pagi ini akan memaku diri anda pada kaki Salib, demi mencegah diri anda kembali berdosa lagi. Ayo kita mulai.
POIN PERTAMA.
II. Hai pendosa kambuhan, ada berita pahit yang harus saya sampaikan kepada anda pagi ini. Dengan amat berat hati saya menyampaikannya, keadaan tempat diri anda berada itu sangat mematikan; ketika saya mencari tahu pendapat para doktor, mereka semua setuju dengan Nabi Yeremia, bahwa lukisan keadaannya tampak agak putus asa: Insanabilis fractura tua, pessima plaga tua, curationum utilitas non est tibi.[5]
Saya sedang berbicara kepadamu, engkau yang sedang hidup entah terbenam dalam kenikmatan badani, atau tegar hati dalam kebencian, atau tenggelam dalam kepentingan-kepentingan, atau terjerumus dalam kebiasaan memfitnah dan menghujat, atau segala kejahatan lain yang masih lebih berat lagi. Ketika dicerahkan oleh rahmat dan dijamah secara batin, anda pergi ke pesta-pesta terkhidmat dan mengosongkan hati nurani anda di kaki seorang imam. Begitu menerima absolusi, anda sudah terjun lagi ke dalam kenikmatan-kenikmatan bobrok anda, dalam permusuhan-permusuhan anda dan dalam kezaliman anda. Dengan kambuh dalam keadaan anda pertama kalinya, anda ibarat kata menarik pertobatan anda, anda membatalkan air mata dan dukacita anda. Sayang sekali! Jiwa anda itu benar-benar anda campakkan ke dalam keadaan yang patut diratapi! Karena lestari ketidaktabahan anda itu, anda selalu gampang kambuh, pertobatan anda menjadi semakin sulit, dan keselamatan anda ibarat kata mustahil.
Saya pertama-tama berkata bahwa anda menjadikan kejatuhan diri anda semakin mudah. Karena, seturut Doktor Malaikat dan para teolog lainnya yang sangat ketat, sekali jatuh, kejatuhan lainnya pun ikut serta dibawa, dan dosa hampir tidak pernah tinggal lama dalam hati nurani sendirian saja. Ada pula dari mereka yang berpendapat bahwa dosa berat, dalam suatu cara tertentu, merupakan hukuman atas dosa lain. Ini mereka dasari atas perkataan sang Pemazmur ini: Appone iniquitatem, super iniquitatem,[6] suatu pendapat yang walau bagaimanapun disangkal oleh para teolog lain secara mutlak.
Namun Santo Gregorius Agung yang sungguh-sungguh berbicara sebagai seorang Paus, tanpa membahas satu pun dari kedua opini tersebut, memutuskan bahwa ketika seorang pendosa kambuh dalam dosa-dosa yang sama, Allah menjatuhkan hukuman adil dan mengeraskan tangan-Nya. Ia menolak memberikan orang itu pertolongan-pertolongan termujarab, membiarkan terang batin dan dorongan-dorongan baik-Nya lebih jarang dan lebih tidak hidup, sehingga kehendak menjadi lebih lemah, pikiran menjadi lebih gelap, hati menjadi lebih parah sakitnya. Ia membiarkan hasutan-hasutan Iblis menjadi lebih sering berlangsung, lebih keras dan lebih mendesak, sehingga jiwa malang itu tersandung dari satu kejatuhan ke kejatuhan lain, senantiasa jatuh dengan lebih parah, dan selalu kembali jatuh dengan lebih mudah, seperti ajaran Sri Paus suci itu: Cor quippe prioribus peccatis gravatum juste Deus permittit, ut qui illuminati recte agere noluerunt, juste coecati adhuc faciant, unde amplius puniri mereantur.
Ini menunjukkan dengan jelas bahwa seorang pendosa yang selalu kambuh dalam kesalahan-kesalahan yang sama, semakin lama semakin memberatkan beban dosanya, dan karena itu semakin memudahkan dirinya kembali jatuh terus-menerus tiada henti.
III. Karena prinsip ini telah ditempatkan seturut teologi tersehat, marilah kita mendengarkan Santo Paulus Rasul yang menaruh bibirnya pada sangkakala dan berseru kepada kita: Nolite locum dare diabolo.[7] Anda semua yang pada hari-hari Paskah suci ini sudah berdamai dengan Allah, hati-hatilah supaya jangan kembali membuka jalan bagi Iblis untuk masuk hati anda, dan kambuh dalam kesalahan-kesalahan yang sudah-sudah. Sebab Iblis tidak akan puas dengan sedikit saja, ia tidak akan berhenti meski anda sudah terjun dalam lubang jurang dosa.
Dan janganlah orang berkata kepada saya: tidak begitu besar mudaratnya, kalau di hari-hari ini kita mendengarkan beberapa percakapan ringan, asalkan kita jangan sampai setuju dengannya, kalau kita sambil lalu membaca novel tertentu, kalau kita membolehkan diri bercanda dengan melibatkan ambiguitas, memikirkan hal-hal tertentu, dan bercakap-cakap soal hal-hal yang menggelitik hati. Jangan, jangan, jangan, ujar Santo Paulus, jangan memberi tempat sejengkal pun kepada Iblis: Nolite locum dare diabolo.
Sudah cukup anda menyediakan tempat kecil bagi Iblis di pojok hati anda; segera, menjadikan dirinya sendiri mitra kejahatan indra lahiriah anda, ia akan dengan mudah menjadi penguasa kekuatan jiwa, menawan segala kesenangan-kesenangan jiwa, dan dari sana akan diusirnya kehidupan rahmat, demi memasukkan dosa dan maut ke dalamnya. Iblis hanya akan beristirahat ketika sudah meraja seutuh-utuhnya dan ketika telah dilihatnya bendera Neraka dan kemaksiatan sebagai satu-satunya bendera yang berkibar.
Santo Gregorius menunjukkan alasannya kepada kita:
Di bumi ini, kita semua ditempatkan pada sebuah bukit yang curam dan licin, “badan yang menjadi bejat”, imbuh Roh Kudus, “menjadikan jiwa lebih berat: Corpus quod corrumpitur aggravat animam.”[8] Tanah tempat kita berjalan ada di atas sebuah bukit, kesempatan-kesempatan berdosa mendorong kita menuju ke bawah. Namun, ketika menghadapi bahaya dari bukit yang sudah begitu terjal nan licin, badan yang berat nan rapuh, getaran dahsyat dari godaan-godaan, masih kita sertakan lagi penyalahgunaan rahmat Allah; jika setelah pengakuan dosa, kita segera kembali jatuh ke dalam dosa; kalau kita memperparah kecenderungan-kecenderungan buruk yang sudah kita semai, dengan beban dosa-dosa baru, lantas tidak terlihat jelaskah, bahwa kita akan jatuh terguling-guling ke dasar jurang?
Lihatlah di puncak gunungnya, ada sebongkah batu raksasa: kalau anda hilangkan titik tumpu penyangganya, lantas anda akan melihat batu itu lepas dari puncak, melompat pada tepian gunung yang terjal itu. Sembari jatuh, batu itu juga akan menimbulkan rusaknya pepohonan, rumah-rumahan serta segala sesuatu yang didapatinya pada perjalanannya, sampai batu itu hilang di lubuk ngarai dan tersamarkan dalam lembah: coba angkat batu itu, kalau anda bisa.
Seperti itulah gambaran seorang pendosa kambuhan: ia mengaku dosa; itulah titik tumpu penyangganya; namun kalau setelah pengakuan dosa, ia lalu kambuh, titik tumpunya menghilang, rahmat diambil darinya, dan sayang sekali, ia pun terjerembap dengan dorongan batin yang sebegitu kuatnya, sehingga dirinya tak dapat dihentikan oleh nasihat, hardikan, koreksi, ancaman, janji, hukuman, teladan ataupun doa! “Sekali orang fasik sampai di dasar jurang,” ujar Roh Kudus, “ia memperolok segala-galanya: Impius, cum in profundum venerit peccatorum, contemnit.”[9] Dan barang siapa sudah berpengalaman dalam hal itu, ia tahu benar bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dia lakukan, menyebabkan kejahatan-kejahatan selanjutnya: Praecedentia crimina sequentium criminum sunt causa.
IV. Tidak seperti itu, sanggah si pendosa kambuhan, saya kambuh, namun berharap bisa berhenti di sana dan tidak kambuh lagi. Memuaskan diri sekali saja, apa bahayanya? – Ah, baiklah, satu kali lagi, lalu sudah.
Ilusi terkutuk! Betapa banyak orang yang telah kauseret ke Neraka!
Perhatikan baik-baik, anda semua yang hadir di sini dan sudah berdamai dengan Allah pada hari-hari suci ini: demi membuat anda kambuh, Iblis tidak akan datang mengundang anda supaya jatuh terjungkal ke dasar jurang. Tidak, tidak. Dia akan berkata kepada anda: Lakukanlah dosa itu satu kali, lalu sudah. Namun celakalah anda kalau anda menyerah untuk sekali itu! Akan anda lihat betapa palsu dan berdustanya, jaminan Iblis bahwa anda akan berhenti di sana dan tidak akan berlanjut lagi.
Bukankah, sebelum anda beroleh faedah absolusi, anda sudah menjamin kepada imam pengakuan dosa anda, bahwa dosa anda akan anda sudahi?
Tentu saja. Anda berkata: Romo, kunyatakan bahwa aku tidak akan melakukannya lagi, takkan pernah lagi; dan anda sudah berkata demikian sambil menangis dan mengeluh, disertai rahmat yang mengilhami anda dengan perasaan-perasaan murah hati itu. Namun demikian, tekad itu tiada berguna, dan anda kambuh berkali-kali. Lantas bagaimana, kok anda bisa menyanjung-nyanjung diri bahwa anda akan bertahan tidak berdosa sekarang, setelah sudah ada pengalaman bahwa anda tidak tabah tak berdosa?
Saya akan sangat terkejut kalau anda tidak kambuh. Saya katakan, anda akan berdosa lagi dengan lebih mudah dari yang sudah-sudah, dan dalam satu saat saja, akan anda kenakan lagi rantai panjang ketidaksetiaan anda itu, yang akan menghantar anda ke tepi jurang.
Dan supaya anda bisa melihat dengan jelas, betapa maya resolusi anda itu: aku tidak akan berdosa lagi; sekali lagi saja, lalu sudah; akan saya jelaskan dengan suatu perbandingan.
Andaikata anda punya seorang hamba. Hamba anda itu Muslim atau Yahudi, namun bukan seorang anak yang gampang berubah karena di usia itu perangainya masih ringan, melainkan seorang pria dewasa berakal sehat. Anda meminta saya supaya bekerja mengonversikannya, dan saya bahwasanya mengerahkan segala usaha saya. Puji Tuhan, ia menurut; tanda salib terpatri pada dahinya, ia mendaraskan Pater Noster (Bapa Kami) dan Credo (Syahadat), menyambut pembaptisan dan menjadi Kristen. Dua atau tiga hari setelah dibaptis, orang malang itu kembali ke Sinagoga bersama orang-orang Yahudi dan menyangkal Yesus Kristus. – Ah! Putraku, apa yang telah kauperbuat? Saya berkata demikian kepadanya. – Demi kasih Allah, bapaku, ampunilah aku; aku bertobat dari ketidakberimananku, kusangkal agama Yahudi dan aku kembali menjadi Kristen. – Ia dengan demikian bertahan tiga atau empat hari, dan sesudahnya, ia kembali masuk agama Yahudi. – Lah, itu, ujar anda kepada saya, jelas adalah olok-olok. – Sabar. Ia berkonversi ketiga kalinya: Oh! Sekarang, ujarnya, saya nyatakan sekali lagi dengan teguh, takkan lagi, takkan lagi saya menjadi Yahudi. – Belum berlalu waktu dua puluh empat jam, ia berubah tekad dan kembali menjadi Yahudi.
Seandainya orang malang itu melanjutkan permainannya sampai kelima belas atau kedua puluh kalinya, beralih dari Yahudi menjadi Kristen, lantas apa yang akan anda perbuat? Tentu saja, anda akan berkata bahwa dia tidak pernah punya iman. Namun mengapa, mengapa anda mau berkata seperti itu? Karena iman adalah kebajikan yang menyanggupkan jiwa berpegang kuat-kuat dan percaya pada kebenaran-kebenaran terwahyu di atas segala sesuatu. – Apa maksud perkataan ini: di atas segala sesuatu? – Maksudnya, kita harus percaya kebenaran-kebenaran iman dengan teramat pasti, lebih pasti dari hal-hal yang kita lihat sendiri, dan bahwa kekayaan, kehormatan, janji-janji, ancaman macam apa pun, belenggu, penjara, pedang, maupun pezalim, tidak boleh membuat kita goyah. Itulah maksudnya di atas segala sesuatu: namun orang yang berubah Syahadat tiap dua atau tiga hari, tanpa alasan apa-apa, memperlihatkan dengan jelas bahwa dia tidak pernah punya iman, dan bahwa ketika ia berkata: takkan lagi, takkan lagi saya menjadi Yahudi, ia menipu dan tidak berbicara seturut hatinya.
Anda sungguh teolog yang hebat, dan penjelasan anda sangat tepat. Sekarang, pinjamkan kecerdasan anda itu, sebab saya ingin membawa anda melihat faktanya, dan memperlihatkan bahwa begitu mudahnya diri anda jatuh dan kambuh ke dalam dosa, tidak hanya membuat anda cenderung jatuh tak terhitung kali, namun juga memberi saya suatu alasan untuk percaya, bahwa anda tidak pernah bangkit kembali dan bahwa dalam pengakuan-pengakuan dosa anda, anda tidak pernah memulihkan rahmat Allah. Alasannya jelas: penyesalan yang diperlukan untuk Sakramen Tobat haruslah bersifat seperti Iman: mutlak dan di atas segala sesuatu; artinya, kita harus membenci dosa di atas segala kemalangan. Kalau belum sampai titik seperti itu, kalau dalam penilaian anda, dosa tidak lebih besar dari segala kemalangan, dan kalau anda tidak membenci dosa lebih dari segala kemalangan, lantas penyesalan anda tidak akan menghapus dosa terkecil anda sekalipun, dan tidak akan berguna apa-apa untuk pengakuan dosa.
Namun, kalau anda menyatakan bahwa dalam perkara iman, orang tidak bisa dibilang percaya teguh di atas segala sesuatu, kalau orang itu berubah Syahadat lima belas atau dua puluh kali dan goyah setiap tiga atau empat hari, bagaimana anda bisa berharap diri saya mengakui bahwa anda punya tekad teguh untuk tidak berdosa lagi, bahwa anda punya dukacita mutlak atas segala dosa yang sudah diperbuat, kalau anda tidak hanya kambuh lima belas atau dua puluh kali saja, namun sejak lima belas atau dua puluh tahun lalu, hidup anda hanyalah serangkaian kejatuhan dan kekambuhan ke dalam dosa?
Ketika anda mengaku dosa di hari Paskah setiap tahun, mungkin setiap bulan, anda hanya mengubah invervalnya. Anda menyatakan bahwa anda takkan berbuat dosa lagi, takkan pernah lagi, sedangkan anda dari situ selalu mulai berdosa lagi dan anda selalu punya sekoper kesalahan yang sama untuk diletakkan di kaki imam pengaku dosa? Siapa yang mau anda buat percaya, hai pendosa kambuhan, bahwa pertobatan anda itu tulus? Sayakah? Tidak; saya tidak akan pernah percaya diri anda. Santo Ambrosiuskah? Santo Agustinuskah? Santo Bernarduskah? Santo Gregoriuskah? Santo Hieronimuskah? Apalagi mereka yang mencemooh pertobatan-pertobatan semantara itu, yang terbit bersama matahari dan terbenam pula bersamanya. Allahkah? Coba nilai sendiri, sembari merenungkan bahwa Allah melihat jelas-jelas lubuk hati manusia.
Anda hanya membuat diri anda sendiri percaya; anda sekaligus menjadi penyesat dan penipu, pengkhianat dan korban, dan akan anda lihat menjelang akhir hayat, sederet dosa, yang lama dan yang baru, terbelenggu yang satu dengan yang lain sejak bertahun-tahun lamanya. Keadaan yang patut diratapi tempat diri anda berada itu, cukup terasakah denyut nadinya?
Anda sekarang akan paham, bahwa semua kekambuhan anda itu tidak hanya membuat anda kembali jatuh lebih mudah hari demi hari, namun juga membuat pertobatan anda lebih sulit, dan pada akhirnya akan menyudutkan anda pada alternatif tak terelakkan ini: entah jangan berbuat dosa lagi sama sekali, atau terus mengikuti tepi jurang, akan sebesar itulah kesulitan yang merundung diri anda. Dari kedua pilihan itu, anda mau pilih yang mana?
POIN KEDUA.
V. Tidak satu pun! Itu pernyataan berlebihan, lho! Ingin saya terus suci, atau terus berdosa, ingin saya tidak jatuh sama sekali, atau saya tidak bangkit sama sekali! Kalau saya jatuh dari waktu ke waktu, saya akan bangkit; lagipula, Masa Prapaskah tidak berlangsung setahun penuh; Hari Paskah akan tiba dan saya akan bangkit. – Ah! Saya mendengar, harapan anda akan bangkit itu mempertahankan keinginan untuk jatuh, dan karena anda berspekulasi soal hari Paskah yang akan datang, anda hendak mengorbankan buah-buah hari Paskah yang lalu.
Ilusi! Kalau anda jatuh lagi, akan menjadi begitu sulit bagi anda untuk bangun, sehingga keselamatan akan menjadi mustahil secara moral bagi anda. Seperti yang akan saya buktikan, kesulitan ini timbulnya dari anda sendiri, dari Iblis dan dari Allah.
Saya mulai dengan diri anda sendiri, sebab anda sendiri bersama kebiasaan-kebiasaan buruk yang anda semai itu merupakan rintangan utama pertobatan anda. Siapa yang pernah bisa menyatakan, betapa besar kesulitan yang dialami untuk menaklukkan kebiasaan buruk! Santo Agustinus, Salvianus dan Santo Hieronimus menyebutnya sebagai rantai besi, kekuatan zalim, kodrat kedua, dan Santo Bernardus mengimbuhkan, bahwa perlu setidak-tidaknya lengan Allah yang Mahakuasa untuk menaklukkannya.
Memang benar, lihatlah bagaimana manusia sendiri berpegang pada adat yang murni bersifat lahiriah. Cobalah misalnya, anda paksa orang Persia membiarkan rambutnya tumbuh dan mengenakan topi kita alih-alih turban mereka, mereka akan bangkit dan membiarkan leher mereka dipenggal, alih-alih meninggalkan potongan rambut mereka. Namun itu hanya permasalahan lahiriah semata. Lantas akan seperti apa kebiasaan batiniah, yang dibentuk oleh kenikmatan, dihasut oleh hasrat, dan disusui oleh keterlekatan hati yang teramat menggebu? Ah! Betapa besar dukacita fana, nelangsa, kesedihan, keputusasaan, kegelisahan, kebingungan yang akan dialami si pendosa kambuhan, hamba kebiasaan buruk itu?
Ia mau, ia mencoba, ia berjuang, ia berdoa, ia mulai bekerja, ia menggunakan segala cara, lalu ia menyerah. Ia membuat keputusan, ia berjanji, ia membuat tekad baik, mengandalkan semua orang kudus, dan menyatakan bahwa ia akan teguh, lalu ia kembali jatuh lebih dalam dari yang sudah-sudah. Bagi saya, orang itu seperti anjing yang dihadiahkan raja bangsa India kepada Aleksander. Demi menguji keberanian anjing itu, Aleksander mengurungnya dalam lapangan tertutup dan memerintahkan agar ia diadu dengan seekor banteng yang murka; melihat banteng datang, si anjing memunggunginya dan tertidur. Dilepaskanlah seekor serigala, si anjing bahkan menolak melihatnya; lalu seekor beruang, lalu babi hutan: anjing itu bagaikan mencemooh dan mengolok-olok mereka, berpura-pura menggonggong, lalu kembali tertidur dengan kepala di sela-sela kakinya. Aleksander lalu memerintahkan agar dilepaskan seekor binatang paling mengerikan dari kebun binatang kecil itu, dan lihatlah, seekor singa besar yang sangat ganas. Melihatnya, si anjing gemetar, bangkit, takut, bulu badannya berdiri; ia menjadi waspada, matanya terpaku pada musuhnya yang ngeri itu dan seketika, usai menanti waktu yang tepat, anjing itu menerkam si singa, menyergap leher singa dengan giginya, menghentikannya, melukainya, mengoyak-ngoyaknya dan menelungkupkannya di tanah. Singa pun mengaum, lebih karena rasa sakit daripada amarah; ia pun mati. Raja memerintahkan agar anjing pemenangnya itu dilepaskan. Dipanggillah anjing itu, diteriaki, ditarik ekornya. Sia-sia belaka. Dipotonglah ekor anjing itu, disiksa dengan gerigi besi; tiada cara yang sanggup melepas anjing itu. Ia ingin mati dengan gigi yang ibarat kata terpatri pada leher musuhnya. Nafsu anjing tak terpuaskan, ujar Yesaya: Canes impudentissimi nescierunt saturitatem.[10]
Pendosa kambuhan dalam kebiasaan buruknya, telah menjalin ikatan jahat. Ia telah terikat pada kebiasaan buruk itu dengan hasrat sedemikian besar, sehingga sia-sia Allah berseru dan mengancam, si pendosa tidak bergerak. Allah menghajarnya dengan berbagai macam aib, kesulitan dan penyakit. Si pendosa menolak segala-galanya, selain dosa. Dan kendati pukulan-Nya yang berlipat ganda menghanguskan kekayaannya serta kehormatannya dalam hidup, si pendosa tetap lekat dengan kejahatan. Ia tahu bahwa dirinya berbuat jahat, camkan baik-baik, ia tahu bahwa dengan berbuat jahat, ia menjadi celaka di bumi ini, dan akan semakin celaka di dunia yang akan datang, namun demikian, ia terus melanjutkannya.
Menaklukkan kebiasaan buruk adalah perjuangan mengerikan, ujar Santo Agustinus. Vides quam male facias, quam detestabiliter facias, et facis tamen. Vincere consuetudinem dura pugna.
Pejudi kartu, terbebani urusan keluarga dan kewalahan utang, pada hari Minggu mempertaruhkan segala yang sudah dimenangkannya selama sepekan, dengan demikian merenggut roti dari mulut bocah-bocahnya, dan menghukum istrinya yang malang meratap dan bercucuran air mata. Dirinya tahu, si pejudi malang itu, bahwa dia berbuat jahat dengan berlaku demikian, dan tidak bisa berbuat hal lain. Ia mengutuki saat dirinya bermula, rekan-rekan yang menarik dirinya, ia mengutuki hasrat dirinya sendiri, ia ingin dirinya lepas, namun ada kuasa tersembunyi yang menawan dan merundung dirinya: Vincere consuetudinem dura pugna.
Mau berkata apa engkau, hai pendosa kambuhan? Hendakkah kauakui betapa sulitnya menguasai dan menaklukkan kebiasaan buruk? Namun, kalau anda terus memperkuatnya setiap hari dengan dosa-dosa kambuhan baru, bagaimanakah engkau bisa memperdayai diri sampai-sampai berkata: Kalau aku jatuh, akan datang hari Paskah berikutnya dan aku akan bangkit.
VI. Itu belum semuanya. Hai pendosa kambuhan, yang membuat dirimu jauh lebih sulit diobati, adalah kita hampir tidak tahu lagi jalan yang harus ditempuh, ketika kamu membuat semuanya itu hampir tak berguna apa-apa, entah karena penyalahgunaan, atau karena menyangkal bahwa engkau telah melakukannya.
Para kudus juga mengangkat bahu ketika melihat bahwa diri mereka tidak bisa membantu anda. Mereka pun bergegas pergi yang satu dan yang lain, meninggalkan anda bagaikan seonggok mayat: Curationum utilitas non est tibi. Sebab, ada di manakah rasa takut berfaedah yang dipatri Allah pada hati anda, yang membuat bayangan atau nama dosa berat saja, menjadi momok yang menggemetarkan diri anda? Ada di manakah, kesopanan alamiah yang membuat anda berbuat susila dalam setiap keadaan, dan berlaku kian sederhananya? Ada di manakah sesal yang menggelisahkan diri anda malam dan siang karena kesalahan sekecil apa pun? Ada di manakah kelembutan nurani, ketaatan alami, takut akan dosa, cinta kebajikan, kecenderungan berbuat bajik? Sayang sekali! Segala manfaat itu sudah anda hilangkan. Anda juga telah memadamkan dalam jiwa anda, terang menyala yang menyingkapkan kepada anda betapa mulianya rahmat dan persahabatan dengan Allah, betapa besar ganjaran yang telah dikhususkan-Nya bagi mereka yang mengabdi pada-Nya. Sudah anda lupakan segala sesuatu yang dulu anda pelajari, entah dari para pengkhotbah secara pribadi, entah dari bacaan-bacaan suci anda. Di sisi lain, para imam pengakuan tidak tahu lagi cara menarik diri anda dari kubangan tempat diri anda tenggelam.
Namun, agar anda bisa melihat apabila yang saya katakan ini benar, saya ingin menggambarkan kasus anda ini secara praktis. Lantas lihatlah, hai pendosa kambuhan, bahwa beberapa dari anda akan hadir di pengadilan Sakramen Tobat pada Sabtu Suci di sore hari, dan sesudah menghimpun semua dosanya, ia mengakuinya dengan gampang dari ingatannya dan dengan kefasihan yang mengagumkan. – Penitensi macam apa yang harus saya berikan kepada anda atas dosa yang begitu banyak itu? – Ah! Apa saja yang anda mau, Romo, asalkan bisa dilakukan. – Lantas pergilah mengaku dosa setiap bulan. – Bagaimana? – Datanglah kembali mengaku dosa setiap bulan selama tahun ini. – Itu tidak bisa saya janjikan kepada Romo, saya terlalu banyak urusan. – Maukah saya beri Rosario supaya anda daras? – Oh demi ampun, jangan, saya kebingungan ketika sedang mendaraskannya; saya khawatir apabila doa itu saya daraskan dengan baik; teringat saya, ketika imam pengakuan dulu memberi saya lima belas [misteri] untuk saya daraskan pada tahun lalu, demi menghormati kelima belas misteri, saya tidak mendaraskan satu pun. – Anda mau bersedekah? – Tolong jangan sentuh dompet saya; keluarga saya ada banyak dan ada banyak mulut yang perlu diberi makan. – Ah! Lihatlah, karena ada banyak mulut yang perlu anda beri makan, mati ragakanlah mulut anda sendiri, berpuasalah. – Berpuasa? Tetapi coba dipikirkanlah, Romo, saya saja tidak berpuasa di Masa Prapaskah. – Berpantanglah dari anggur selama lima hari Sabtu. – Perut saya terlalu dingin, air membuat saya sakit. – Lakukanlah meditasi setengah jam setiap hari. – Oh Romo, kepala saya terlalu lemah, sehingga mencoba bermeditasi sedikit membuat saya menderita. – Bacalah setiap hari satu bab dari buku Meneladani Kristus. – Meneladani Kristus? Buku apa itu? Dan juga, Tuhan sendiri yang tahu apabila saya punya waktu; tidak ada yang lain, yang bisa Romo berikan kepada saya? – Anda tidak bisa pergi mengaku dosa di tempat lain saja? Saya melihat anda seperti orang sakit yang tidak mau sembuh; pergilah, saya tidak mau memberi anda absolusi.
Seperti itulah yang harus dia katakan, kalau ingin memenuhi tanggung jawabnya. Namun ya Allah yang Mahabesar! Buklannya itu membuat putus asa para imam pengakuan yang tidak tahu lagi jalan apa yang harus ditempuh? Lalu anda masih terkaget-kaget ketika saya meminjam perkataan para nabi dan para Bapa kudus untuk menyatakan bahwa perkara anda ini agaknya putus asa? Insanabilis fractura tua, pessima plaga tua… curationum utilitas non est tibi:[11] Lukamu tak tersembuhkan, bisulmu sangat ganas; semua obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkanmu tidak berguna.”
VII. Kalau di samping segala rintangan yang anda bawa sendiri bagi pertobatan anda, kita tambahkan rundungan yang akan ditimpakan Iblis pada diri anda, Iblis, yang murka sedari kegagalannya yang pertama, siapa yang bisa paham betapa luar biasa sulitnya diri anda bangkit untuk ke depannya?
Kalau seorang penguasa zalim yang digulingkan dari takhta oleh para rakyat yang memberontak terhadap dia, sanggup memperoleh otoritasnya kembali, takkan berbuat apa dirinya untuk mengamankan mahkotanya? Digunakannya segala tipu muslihat dan segenap kekuatannya. Dari orang-orang besar dirampasnya segala sumber daya untuk bisa memberontak kembali; demi tujuan itu, ia memperbanyak tentara penjaga benteng, mempersenjatai perbatasan-perbatasannya, dan di sana membangun benteng-benteng digdaya. Dan agar mereka tidak bisa mengulangi upaya pertama mereka itu, si penguasa memperberat beban kuk yang dipasang pada diri mereka, dan tidak memperlakukan mereka sebagai rakyat, namun sebagai budak.
Selamat, hai pendosa peniten, karena anda sudah luput dari kezaliman Iblis pada hari-hari suci ini, dan karena anda sudah kembali beroleh kemerdekaan sebagai anak-anak Allah. Namun waspadalah agar musuh keselamatan anda jangan sampai bertakhta lagi di hati anda; sebab rasa takut Iblis terhadap serangan tak terduga baru, membuatnya kemudian mempertaruhkan segala siasatnya demi tidak kehilangan diri anda untuk kedua kalinya.
Dengan demikian, kalau ada bacaan suci yang telah mendorong diri anda untuk menggulingkan kuk yang dipasang Iblis dan kembali ke hadirat Allah, Iblis akan memastikan agar di tangan anda, anda mendapat lebih banyak buku novel, atau buku-buku konyol dan berbahaya lainnya. Saat mendengar khotbah, ia akan mencoba mengalihkan perhatian anda dengan menyibukkan diri anda dengan perkara-perkara anda. Kalau urusannya adalah asosiasi atau pertemuan keagamaan, Iblis akan mengalihkan anda dengan menarik anda ke tempat-tempat hiburan. Kalau anda sedang diterangi dengan ilham-ilham batin, Iblis akan berjuang melingkupi anda sedemikian rupa dalam kegaduhan dan kebisingan dunia, sehingga anda hampir tidak bisa lagi mendengar suara Allah. Singkat kata, Iblis akan melipatgandakan kekejamannya terhadap diri anda, dan memperkuat belenggu kehambaan anda. Lantas berjaga-jagalah anda, hai saudara-saudaraku, berjaga-jagalah agar anda jangan kembali jatuh pada cengkeraman tangan Iblis, sebab akan luar biasa sulitnya bagi anda untuk lolos dari jebakan-jebakan serta belenggu beban diri anda yang dipasang oleh pezalim yang tak pernah puas itu.
VIII. Pada akhirnya, dari pihak Allah, pertobatan anda juga akan semakin sulit, kalau anda lalu kambuh berdosa. Sudah pasti bahwasanya, bahwa tanpa rahmat, anda takkan pernah bisa bangkit; dan rahmat yang kian tak tergantikan ini, bagaimana bisa anda harapkan turun dari Allah yang sabda-Nya sudah anda ingkari dengan begitu kurang ajarnya? Terlalu sering anda berjanji kepada Allah dan menyatakan kepada-Nya, bahwa anda tidak akan menghina-Nya lagi, dan anda terus-menerus kambuh menghina-Nya, lebih sering dari sebelumnya. Sungguh kedurhakaan kurang ajar, melanggar janji-janji serta sumpah yang dibuat kepada Kemegahan Terluhur!
Tak ada yang lebih suci bagi umat manusia, selain perkataan yang sudah disampaikan; perkataan harus dijaga, di bawah ancaman kehilangan reputasi dan terkadang nyawa sendiri; namun kalau suatu janji bersifat khidmat dan dimeteraikan dengan sumpah, lantas bagi segala bangsa, bahkan yang terbarbar sekalipun, janji itu dianggap tak boleh dilanggar.
Pada pengadilan Sakramen Tobat, si pendosa mengulangi sumpah pembaptisannya di hadirat Allah, dan demi kembali pulang dalam rahmat beserta-Nya, si pendosa mengikat diri dengan janji-janji baru. Kalau orang itu kemudian mengkhianati kepercayaan tersumpah dan mengingkari perkataannya, bukankah dia itu orang paling pengecut dari antara umat manusia? Barang siapa tidak menunaikan perkataannya, menjadi bahan tuduhan seluruh kota; dan betapa banyaknya orang, demi mendesak seseorang untuk menunaikan perkataannya, sampai menumpahkan tetes darah terakhir diri mereka sendiri?
Namun kalau ketidaksetiaan manusia di hadapan orang lain saja tak bisa ditolerir, akan seperti apa kalau perkaranya dengan Allah, antara ciptaan dengan Penciptanya? Wajah anda memerah kalau ingkar janji kepada orang terendah sekalipun, kepada seorang pengemis, kepada seorang musafir, dan ketika berurusan dengan Allah, anda tidak mau susah sedikit pun, dengan menindas indra anda, dengan mematikan hasrat anda? Penghinaan besar, betapa besar olok-olok yang anda buat kepada Allah dengan berbuat seperti itu!
Bahwasanya para teolog membedakan dua jenis penghinaan: yang satu boleh disebut mutlak, yang diinginkan hanyalah agar orangnya terhina; penghinaan yang lain menyejajarkan orang tersebut dengan suatu tandingan tak layak, tandingan yang diberi preferensi. Saya jelaskan. Ketika ada rakyat yang memberontak terhadap penguasa mereka demi memerdekakan diri, penghinaannya bersifat mutlak, dan tidak begitu menyakitkan; namun kalau mereka menggulingkan penguasa itu dari takhta demi menempatkan orang asing sebagai gantinya, seorang pezalim jahanam, di situlah ada paralel (kesejajaran) menghina yang lebih menyakitkan. Demikian pula, kalau seorang istri berhenti mencintai suaminya, perempuan itu membuat penghinaan mutlak; namun kalau selain itu, si perempuan memberikan hatinya kepada seorang tandingan, penghinaan yang melibatkan preferensi itu jauh lebih bersimbah darah. Namun penghinaan dan penodaan semacam inilah yang menjadi kesalahan pendosa terhadap Allah. Ia menolak Yesus Kristus, penguasa sah hatinya, demi membuat Iblis sebagai raja pengganti-Nya, musuhnya yang paling mematikan.
Ketika anda sudah berbuat dosa untuk pertama kalinya, boleh dibilang bahwa penghinaan anda itu mutlak dan sederhana, sebab anda belum menguji kezaliman Iblis; namun, jika setelah mengalami kemalangan yang timbul akibat dosa, setelah mencicipi manisnya rahmat dan mendapat pengalaman dari Allah dan dari Iblis, anda kembali meninggalkan Allah demi berpihak pada kubu Lucifer, lantas anda membuat sebuah paralel menghina yang lebih perih dan menyakitkan bagi hati Allah. Sebabnya, anda dalam suatu cara tertentu menyatakan bahwa lebih baik hidup sebagai hamba Setan daripada rakyat merdeka milik Yesus Kristus, seperti yang dikatakan Tertulianus dengan gentar: Quod dicere quoque periculosum est, diabolum Domino praeponit. Adakah yang lebih menjijikkan? Namun demikian, seperti itu adanya. Pendosa kambuhan ibarat kata menerbitkan sebuah manifesto yang menyatakan, bahwa setelah melakukan percobaan, ia mendapati kubu Iblis lebih berfaedah, lebih bermanfaat daripada kubu Allah, dan karena itu, ia meninggalkan Tuhan demi mengikut musuh-Nya: Diabolum Domino proeponit. Alangkah besar penghinaannya!
IX. Namun agar kebenaran ini tertuang dengan lebih jelas lagi, marilah kita praktikkan. Coba bayangkan dalam benak anda, seorang peniten yang bersesal hati. Ia pergi ke gereja untuk berdamai dengan Allah dan membuat pengakuan lengkap atas dosa-dosanya. Lihatlah sikap kerendahan hati dan kesederhanaannya dalam menghampiri bilik pengakuan dosa. Sambil berlutut di kaki imam, ia pertama-tama mendesah, lalu memukuli dadanya, mata terarah ke tanah, lalu berkata kepada imam dengan penyesalan mendalam: Romo, saya sudah berdosa. Oh! Alangkah besar pesta, sukacita, kejayaan, kebahagiaan yang terjadi di kalangan para malaikat dan orang-orang terberkati di Surga! Betapa meriah ucapan selamat yang segera mereka sampaikan kepada Maria, pelindung orang berdosa, kepada Yesus Kristus, Allah Juru Selamat kita, kepada Allah Bapa kita! Cukup dikatakan bahwa Surga lebih bahagia dengan bertobatnya seorang pendosa pada saat ia membenci kesesatan-kesesatannya di kaki seorang imam, daripada ketika semua orang benar berkumpul bersama-sama. Namun ketika si peniten itu kembali jatuh dalam dosa, apa yang terjadi? Sayang sekali! Betapa besar perubahan suasananya!
Si pendosa kambuhan lalu bertobat dari penitensi-penitensinya yang lalu, ia bertobat dari pertobatannya, dan sama halnya ketika kembali kepada Allah, ia meminta ampun dari-Nya atas penghinaan-penghinaan yang sudah dia perbuat kepada-Nya, demikian pula dengan kembali jatuh dalam dosa, ia meminta maaf kepada Iblis, dan berkata dengan rendah hati kepadanya, kalau bukan dalam perkataan, setidak-tidaknya dalam perbuatan: Aku di sini, hai Lucifer, sujud di kakimu; kuakui diriku sudah berbuat jahat karena telah tidak taat kepadamu. Atas perbuatanku itu kumohon ampun, dan dengan tangan pada hati nuraniku, kuakui bahwa menghamba padamu lebih baik daripada mengabdi Allah; dan juga sekarang aku ini milikmu, seperti dahulu kala, dan aku ingin seperti ini ke depannya, dan bukan lagi milik Allah.
Demikianlah, ujar Tertulianus, cara pendosa kambuhan memuaskan Iblis, dengan bertobat dari penitensinya: “Et sic diabolo per aliam poenitentiae poenitentiam satisfacit.” Oh! Alangkah bangganya si pezalim congkak itu atas pengakuan kejinya! Sungguh, itu dijadikannya sebagai alasan menghina malaikat penjaga si pendosa, mengeluarkan kebenciannya terhadap Yesus Kristus, dan menghardik Gereja atas kerugian-kerugian yang dideritanya, dan Allah atas mudarat yang diperoleh-Nya. Sudah pasti bahwa Neraka juga tidak kurang bersukacita atas kambuhnya si pendosa, seperti Surga juga bersukacita atas pertobatannya.
Maka haruskah anda terkejut, hai pendosa kambuhan, bahwa para Bapa kudus membandingkan anda dengan Yudas si pengkhianat, dan sering kali menyebut anda sebagai pemurtad rahmat, pembelot Gereja, peniten Iblis? Pergilah sekarang, pergilah mengharapkan kerahiman Allah dan pertolongan rahmat-Nya, sedangkan dengan kekecutan yang begitu kejinya, anda telah menjadikan-Nya bahan cercaan dan dongeng bagi para musuh-Nya. Yang berhak anda nantikan dari-Nya, ujar Tertulianus, yang sama jijiknya, sama kejinya, sama pantas dimurkai dan ditinggalkan oleh mata-Nya, adalah anda berkenan kepada musuh-Nya: Eritque tanto magis perosus Deo, quanto oemulo ejus acceptior.
Masih bisa berkata apa lagi saya ini, hai saudara-saudaraku yang terkasih? Sayang sekali! Yang masih tersisa bagi saya hanyalah menangis bersama Yeremia, oleh sebab keadaan fatal dan hampir putus asa dari pendosa kambuhan: Pessima plaga tua; dan melihat nasihat, khotbah, doa, kurban suci, maupun sakramen-sakramen, tidak berguna apa-apa baginya, saya gemetar ketika mendapat kabar pada waktu tertentu, bahwa orang itu terkena kecelakaan mematikan ketika sedang berbuat jahat, dan pada saat itu juga orang itu berhenti hidup dan berdosa sekaligus. Sebab itulah, ujar Santo Atanasius, malapetaka tiba seperti lazimnya pada para pendosa kambuhan; mereka mati mendadak, mereka mati dalam keputusasaan, mereka mati sebagai orang-orang terkutuk; karena, bagi pendosa kambuhan, tidak hanya gampang jatuh saja, dan susah untuk bangkit, namun juga, keselamatan menjadi hampir mustahil. – Apa! Mustahil? – Ya, mustahil. Perkenankan saya beristirahat sejenak dan saya akan menunjukkannya kepada anda.
POIN KETIGA.
X. Sungguh perkataan besar, yang dikatakan pada akhir bagian pertama: keselamatan yang mustahil! Memang benar, cukup dikata seperti itu! Mungkinkah anda menjadi ketakutan? Berterimakasihlah kepada sang Rasul yang menggunakan perkataan mengerikan itu, bagaikan sebilah pedang, demi menembus hati pendosa kambuhan. Impossibile est, mustahil adanya, ujar sang Pengajar bangsa-bangsa; dan ia tidak mengungkapkan pendapatnya itu dengan ragu-ragu, dengan istilah-istilah rancu dan dengan metafora, tidak; ia berbicara terus-terang, dengan jelas: Impossibile est eos qui semel sunt illuminati, gustaverunt etiam donum coeleste, et participes facti sunt Spiritus Sancti,… et prolapsi sunt, rursus renovari ad poenitentiam. Mustahil bagi mereka yang sudah dicerahkan, yang telah mencicipi betapa manis hidup dalam rahmat bersama Allah, dan yang sesudahnya, kembali jatuh dalam dosa; mustahil, bahwasanya, dirinya kembai bertobat dan melakukan penitensi dengan tulus hati. – Mustahil!
Namun itu terlalu kuat, perkataannya; bagaimana anda bisa menyelaraskan Kitab Suci dengan teologi? Sudah pasti, menurut semua teolog, bahwa para pendosa terbesar setidak-tidaknya menerima rahmat memadai. Namun, kalau rahmat memberikan kemampuan untuk bertobat, bagaimana bisa mustahil memperbaiki diri sekali lagi dengan pertobatan: Rursus renovari ad poenitentiam? – Seharusnya anda sadari bahwa demi memperhalus kerasnya nas itu, saya tidak mengutarakan pendapat saya secara mutlak; karena itulah saya tidak berkata bahwa keselamatan menjadi sama sekali mustahil bagi pendosa kambuhan, namun hampir mustahil. Ini saya lakukan supaya selaras dengan pendapat Santo Tomas Aquinas, yang berpendapat bahwa perkataan sang Rasul bukannya bermaksud kemustahilan mutlak, namun kemustahilan moral, yang setara dengan kesulitan ekstrem: Qui post gratiam cadit in peccatum, difficile resurgit ad bonum.
Namun sayang sekali! Penjelasan ini menghilangkan segala kekerasannya; sebab, dalam perkara-perkara moral, kesulitan ekstrem dan kemustahilan hampir merupakan hal yang sama, atau setidak-tidaknya berdekatan sekali dan berjalan bersama-sama.
Lihat saja dalam hal-hal duniawi. Sudah pasti bahwa tidak mustahil, dadu yang anda lempar seratus kali berturut-turut memberikan skor yang sama; hanya sulit sekali, namun hanya karena itu sulit sekali, cobalah dan anda tidak akan berhasil. Tidak mustahil kalau dalam permainan kartu, anda terus mendapat kartu yang sama, itu sangat sulit; namun dalam perkara itu saja, cobalah, dan anda tidak akan berhasil. Tidaklah mustahil kalau anda pulang ke rumah, anda menapakkan kaki anda persis di tempat yang sama ketika anda pergi sebelumnya; namun itu perkara yang luar biasa sulit, cobalah, anda tidak akan berhasil.
Namun kalau dalam perkara-perkara duniawi yang betul-betul sulit saja, praktisnya menjadi mustahil, lantas bagaimana adanya dengan perkara-perkara moral? Maka harus disimpulkan bahwa pertobatan sangat sulit bagi pendosa kambuhan, bahkan, ia tidak akan bertobat. Maka dari itu, anda simpulkan sendiri konsekuensi akhirnya, bagi saya, saya tidak punya keberanian menyimpulkannya.
XI. Saya melihat bahwa argumen ini menarik anda cukup dekat dan menggelisahkan diri anda: namun marahilah diri anda sendiri, sebab anda sendirilah yang menempa belenggu yang mengikat diri anda, dan menjadikan diri anda amat kesulitan, dan dengan demikian memustahilkan pertobatan anda, sebab alih-alih meringankan kesulitan ekstrem itu, anda hanya semakin memperbesarnya.
Dengarkanlah. Ketika Yehuda diinvasi oleh bangsa Kaldea, bait suci Yerusalem dihancurkan: Zerubabel membangun kembali bait itu, namun pekerjaannya begitu keras dan sulit, sebab tidak seperti Salomo, pendiri pertamanya, yang hanya perlu waktu tujuh tahun untuk mendirikannya, Zerubabel perlu waktu lima belas tahun untuk kembali membangunnya. Herodes menghancurkannya untuk kedua kali, dan penerusnya, yang menyandang nama yang sama, membangunnya kembali, namun dengan kesulitan jauh lebih besar dari kedua kalinya, sebab dihabiskannya waktu empat puluh tahun kerja serta biaya-biaya luar biasa besar. Bait itu dihancurkan ketiga kalinya oleh bangsa Romawi: lihatlah, sekitar tujuh belas abad reruntuhannya meliputi tanah, tidak ada lagi perkara membangunnya kembali.
Pendosa kambuhan, itulah gambaran diri anda. Bait suci Yerusalem sudah jatuh, bukan karena kesalahannya sendiri, namun karena nahasnya waktu. Namun demikian, perlu banyak waktu untuk membangunnya pertama kali, lebih banyak lagi kedua kalinya, dan orang bahkan tidak memikirkannya lagi untuk ketiga kali, orang meninggalkan reruntuhannya kepada ular beludak, kepada ular tedung dan kalajengking yang menjadikannya tempat hunian. Anda adalah bait suci Allah yang hidup, dan anda jatuh secara spontan, bukan dua atau tiga kali, namun sepuluh kali, namun seratus kali, namun seribu kali. Apa kata saya? Setiap hari anda menggandakan kekambuhan anda; apa boleh dipercaya bahwa anda akan bangkit kembali?
Ah, celaka! Anda akan tinggal terkubur di bawah reruntuhan diri anda sendiri, dan jiwa anda akan menjadi sarang ular dan kalajengking, dalam kata lain, sarang segala macam kemaksiatan dan dosa. Tak percaya? Semoga Allah berkenan, dalam kasus ini, bahwa teorinya tidak berselaras dengan praktiknya. Saya harap kejadian berikut ini akan membantu terbukanya mata anda.
Seorang pedagang asal Spanyol telah merasakan hasrat yang dahsyat terhadap seorang perempuan, sehingga ia menginginkan perempuan itu terus-menerus menyertainya ke mana-mana. Ketika berlayar menuju negeri Hindia, ia berkata dirinya takkan berpisah dari si perempuan. Lautan meraung, karena ancaman badai yang mengamuk hendak menelan kapalnya: semua awak kapal serta penumpangnya berlindung kepada Allah, si pedagang sendiri dan gundiknya yang keji itu menjadi insaf dan berjanji akan memperbaiki diri. Langit pun tenanglah, dan kapal itu mendarat dengan aman di pelabuhan Manila.
Namun, beberapa hari sesudahnya, kembalilah si pedagang itu melanjutkan hubungan jahatnya, dan menimbulkan skandal bagi seluruh kota. Tiba waktu pulang ke Spanyol, ia pun kembali berlayar bersama si perempuan menyertainya. Baru-baru melaut, bertiuplah sebuah badai yang lebih ngeri dari yang pertama dan memecahkan kapal itu, barang-barang dagangannya jatuh tenggelam dan para penumpangnya terombang-ambing oleh gelombang yang murka. Kebetulan saja, si pedagang dan gundiknya bisa berpegangan erat-erat pada puing-puing kapal, yang satu di satu sisi dan yang lain di sisi lain. Terapung demikian di atas air, mereka pun membuat sumpah dan janji-janji besar, bahwa mereka tidak akan pernah saling bertemu lagi! Allah pun iba karena bela rasa dan menghantar mereka dengan aman sampai ke pesisiran. Percaya, kan, anda, bahwa mereka masing-masing akan pergi jauh-jauh ke padang belantara untuk berpenitensi?
Justru sebaliknya, hasrat mereka, setelah beberapa hari lamanya, kembali menyala dengan lebih menggebu-gebu dari yang sudah-sudah, dan skandal yang mengganda pun menyertainya. Allah ingin menyudahinya: dikirim-Nya pada si pedagang itu demam parah, dan lihatlah, tidak lama setelahnya, para dokter pun kehilangan segala harapan. Segera, didatangkan imam pengakuan. Ketika mendapat kabar soal hubungannya yang najis itu, sang imam menolak memberikannya absolusi, kalau si pedagang tidak mengusir mitra kejahatannya itu. Namun apa yang harus saya lakukan, Romo? – Usirlah makhluk itu. – Dengan suka hati. Ia memanggil hambanya dan menyuruhnya mengusir perempuan itu keluar pintu, lalu menyambut sakramen-sakramen, dan dengan sakramen-sakramen itu, kesehatan badannya pun pulih kembali. Dokter pun kembali: Betapa berbahagianya! Ujar bapak dokter; tidak ada demam lagi, lihatlah, anda sudah sehat. – Benarkah itu, dokter? – Pasti, nyalakanlah semangat anda.
Begitu bapak dokter pergi, si pedagang kembali memanggil pembantu rumah tangganya: Dengarkan, ujar si pedagang kepadanya, pergilah dan carilah perempuan itu. Si perempuan pun kembali, dan saat pedagang itu sedang meminta maaf, dan menuduh imam pengakuan telah berkata lancang, ia pun mati di hadapan perempuan itu sambil memegang tangannya, dan jiwanya terjerumus ke Neraka. Sudah yakinkah anda akhirnya, bahwa kesulitan ekstrem yang dialami pendosa kambuhan untuk bangkit, pada praktiknya setara kemustahilan sungguh-sungguhan?
XII. Lantas perkenankanlah saya, wahai saudara-saudara terkasih, untuk berseru bersama sang Rasul demi kepentingan anda: State, et nolite iterum jugo servitutis contineri.[12] Anda yang sudah berdamai dengan Allah pada hari-hari suci ini, waspadalah supaya jangan jatuh lagi di bawah beban perbudakan anda yang lalu. Ah! Pendosa, saudara-saudaraku yang terkasih, renungkanlah manfaat besar yang sudah anda dapat, ketika dengan absolusi yang diberikan imam kepada anda, anda keluar dari pengadilan Sakramen Tobat sebagai orang benar. Alangkah besar rahmat yang anda peroleh darinya. Penyesalan tulus yang menyertai anda dalam membenci dosa-dosa anda, air mata manis yang telah membasuh noktah-noktah jiwa anda, jiwa anda yang kembali sebegitu cantiknya di mata Allah, perasaan-perasaan lembut dan suci, desahan-desahan yang menghidupkan pengharapan anda, pengampunan atas segala dosa yang membebani jiwa anda dengan mata rantai yang kian beratnya, pulihnya segala jasa yang hilang akibat dosa dan gelar mulia anak-anak Allah, bukankah itu semua tergolong harta surgawi dan buah-buah mulia kebaikan Allah kepada diri anda? Lantas betapa besarnya utang budi yang sudah anda jalin dengan Allah untuk setia kepada-Nya, dan tidak pernah mengulangi pengkhianatan-pengkhianatan anda yang terdahulu?
“Maka berteguhlah, saudara-saudara terkasih, berteguhlah agar jangan engkau kembali mengenakan kuk kehambaanmu yang lalu: State, et nolite iterum jugo servitutis contineri.” Kalau sesudah pesta-pesta suci ini anda kembali jatuh lagi, apa yang akan terjadi? Sayang sekali! Saya gemetar ketakutan: saya pribadi tidak ingin mengatakannya kepada anda, saya ingin anda melihatnya dengan mata kepada anda sendiri. Lihatlah yang akan terjadi: Lihatlah salib ini dan memerahlah muka anda karena malu. Ketahuilah, hai pendosa kambuhan jahat, bahwa kalau anda mendapat nasib malang dan jatuh lagi dalam kesalahan-kesalahan anda yang lalu, anda kembali membuka luka-luka suci ini, dan menginjak-injak darah Mahamulia-Nya. Lihatlah kejahatan besar yang akan anda perbuat.
Ah! Betapa hitam kedurhakaan itu! Kerahiman membukakan segala urat Allah sang Juru Selamat demi membasuh segala noda yang anda punya, keadilan-Nya melembut dari segala hukum-Nya demi mengampuni anda atas pelanggaran-pelanggaran anda; dan anda, orang durhaka, anda kembali menghasut murka kebaikan tak terlukiskan itu? Lantas tidak tahukah anda, hai pendosaku yang malang, tepian jurang tempat diri anda berlari? Tidakkah anda lihat bahwa dengan jatuh kembali ke dalam dosa, anda akan membuka jalan kepada pelanggaran tak terhitung, sehingga mempermudah selalu jatuhnya diri anda, dan dengan memperkuat kebiasaan-kebiasaan buruk anda, anda menjadikan pertobatan semakin sulit?
Tidakkah anda lihat bahwa anda memberikan kesempatan bagi Iblis untuk semakin memperberat kehambaan anda, dan anda menjengkelkan Tuhan yang mendapati diri-Nya terusir dari hati anda, untuk digantikan oleh musuh terbesar-Nya? Kebutaan ganjil! Meninggalkan Allah demi Iblis! Lebih menyukai Iblis daripada Allah! Dan dari situ anda mendapat apa, kalau bukan melihat tertutupnya pintu Surga di depan mata dan menjadi mustahilnya keselamatan anda?
Lalu apa yang harus dilakukan? Haruskah anda karena itu patah semangat dan putus asa? Tidak, saudara-saudaraku yang terkasih, tidak. Memang benar bahwa sedikit pendosa kambuhan yang bertobat dengan tulus, dan bahwa kebanyakan dari mereka hidup dan mati dalam ketegaran hati. Namun kalau keselamatan mereka mustahil secara moral, itu bukan kemustahilan mutlak, dan kalau anda ingin bertobat, anda bisa melakukannya.
Maka yang saya minta dari anda hari ini bukanlah memohon maaf kepada Yesus Kristus atas dosa-dosa anda yang lalu; bukan, bukan, itu semua sudah diampuni dan harusnya tidak menggelisahkan anda lagi. Yang saya inginkan, adalah agar anda bersimpuh di kaki-Nya, mengerahkan banyak upaya untuk menjadi terhitung dari jumlah peniten berbahagia yang kecil itu, yang sungguh-sungguh bertobat sedemikian rupa sehingga mereka tidak pernah jatuh berdosa lagi. Lantas pukullah pasak itu dalam-dalam, akan saya katakan bersama Yesaya: Clavos tuos consolida,[13] dan tanpa panjang pikir lagi, teguhkanlah tekad fundamental untuk tidak pernah kembali lagi ke muntahan anda.
Semoga Allah tak berkenan, bahwa demi satu kenikmatan sesaat, demi satu pembalasan, demi satu kepentingan gelap, satu hubungan jahat, satu kepuasan memalukan, satu keangkuhan, anda lalu kehilangan mahkota cantik yang telah anda menangkan selama hari-hari suci ini. Ah! Lawanlah kuasa kebiasaan buruk yang menyeret diri anda ke Neraka, lawanlah kuat-kuat, hai saudara-saudaraku yang terkasih, lawanlah, apa pun harganya, seandainya anda harus kehilangan harta, reputasi, persahabatan dengan manusia, atau nyawa anda sendiri. Lebih baik mati daripada berbuat dosa lagi, ya, lebih baik mati.
Ulangilah di kaki Yesus tersalib:
Catatan kaki:
Disadur dari sumber berbahasa Prancis berikut:
Santo Leonardus dari Porto Mauritio, Sermons pour le carême [Khotbah-Khotbah untuk Masa Prapaskah], diterjemahkan dari bahasa Italia oleh F.-I.-J. Labis, edisi II, Tomus II, Khotbah XIII-XXXIII, Paris, P. M. Laroche, Librairie-Gérant, H. Casterman, Tournai, 1867, hal. 430-455.
[1] Luc. 24, 17.
[2] Ibid. v. 20.
[3] Ibid. v. 25.
[4] Ibid. 24, 25.
[5] Jerem. 30, 12.
[6] Ps. 68, 28.
[7] Ephes. 4, 27.
[8] Sap. 9, 15.
[9] Prov. 18, 3.
[10] Isa. 56, 11.
[11] Jerem. 30, 12.
[12] Galat. 5, 1.
[13] Isa. 54, 2.
Pengamatan menarik. Lebih relevan lagi karena banyak dari materi kami membahas bidah-bidah & kemurtadan Vatikan II, yang melibatkan orang-orang yang mengaku Katolik, padahal sebenarnya tidak, karena banyak dari mereka telah...
Biara Keluarga Terkudus 1 mingguBaca lebih lanjut...Berarti anda tidak paham ttg arti katholik, jadi anda belajar yg tekun lagi spy cerdas dlm komen
Orang kudus 1 bulanBaca lebih lanjut...Anda bahkan tidak percaya bahwa Yesus mendirikan Gereja Katolik, dan anda menyebut diri Katolik. Sungguh sebuah aib. Yesus jelas-jelas mendirikan Gereja di atas Santo Petrus (Mat. 16:18-19), yakni Gereja Katolik,...
Biara Keluarga Terkudus 1 bulanBaca lebih lanjut...Membaca artikel-artikel di Website ini, aku ingat satu ayat di Kitab Amsal. "Didikan yang keras adalah bagi orang yang meninggalkan jalan yang benar, dan siapa benci kepada teguran akan mati."...
St. Paul 1 bulanBaca lebih lanjut...Saya katolik, tetapi hanya perkataan Yesus yang saya hormati, yaitu tentang cinta kasih. Yesus tidak mendirikan gereja katolik. Anda paham arti cinta kasih? Cinta kasih tidak memandang. Tuhan meminta kita...
Kapten.80 1 bulanBaca lebih lanjut...Terimakasih atas artikelnya, saya semakin mengerti perjalanan kerajaan raja salomo
Novriadi 3 bulanBaca lebih lanjut...Justru karena kami punya kasih Kristiani sejati kepada sesama kamilah, materi-materi kami ini kami terbitkan. St. Paulus mengajarkan, bahwa kita harus menelanjangi perbuatan-perbuatan kegelapan (Ef. 5:11). Gereja Katolik, satu-satunya lembaga...
Biara Keluarga Terkudus 4 bulanBaca lebih lanjut...Halo – devosi kepada Santa Perawan Maria itu krusial untuk keselamatan dan pengudusan jiwa. Namun, dan juga yang terpenting, orang harus 1) punya iman Katolik sejati (yakni, iman Katolik tradisional),...
Biara Keluarga Terkudus 4 bulanBaca lebih lanjut...Since your comment is written in English, we are responding in English and including a translation in Indonesian. However, we would recommend that you write us in Indonesian instead, if...
Biara Keluarga Terkudus 4 bulanBaca lebih lanjut...Halo – memang benar bahwa orang hendaknya mengasihi orang lain dan menjaga ciptaan Allah. Namun, yang terutama, kita pertama-tama harus mengasihi/mencintai Allah. Sangat amat penting pula, terutama pada zaman kita,...
Biara Keluarga Terkudus 4 bulanBaca lebih lanjut...