Perjalanan St. Dominikus Savio di Sekolah Castelnuovo D'Asti, Cobaan-Cobaan & Kesulitan-Kesulitannya

BAB IV.

Perjalanan Dominikus di Sekolah Castelnuovo D’Asti.
Cobaan-Cobaan dan Kesulitan-Kesulitan.
Cara Dia Memperlakukan Teladan Buruk.
Puji-Pujian Gurunya.

Karena studi-studi awalnya sekarang sudah tuntas, Dominikus seharusnya dikirim belajar di sekolah tinggi untuk mengikuti kelas-kelas yang lebih sulit. Itu tak tersedia di daerah pedesaan kecil. Dominikus sangat berharap agar ini bisa diatur, dan orang tuanya sangat mendukung hal itu, namun kondisi mereka tidak memperkenankan tercapainya rencana-rencana ambisius itu. Meskipun begitu, Penyelenggaraan Ilahi bermaksud menyediakan sarana-sarana agar anak laki-laki itu boleh mencapai tujuan yang telah ditetapkan baginya.

Dominikus dulu sering berkata demikian dengan candanya:

“Andaikan aku seekor burung, aku mau terbang setiap pagi ke Castelnuovo d’Asti supaya bisa melanjutkan studiku.”

Keinginannya yang besar untuk melanjutkan studinya membuat dia mengatasi segala kesulitan, dan diaturlah sehingga ia menghadiri sekolah negeri, meski jaraknya dua mil dari rumah. Ia harus berjalan bolak-balik ke sana dan dari sana. Belum sampai usia sepuluh tahun, ia harus menghadapi berbagai macam cuaca, baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Dominikus puas, karena ia dengan demikian melakukan berlaku taat kepada orang tuanya, yang berarti berkembang dalam ilmu para Kudus. Dan baginya, ini tampak sebagai alasan yang lebih dari cukup untuk menanggung segala kesulitan.

Pada suatu hari, ada orang lanjut usia yang melihat Dominikus berjalan di sepanjang jalan, sekitar pukul dua siang, di bawah teriknya matahari. Bermaksud memberi anak itu semangat, orang tua itu berkata kepadanya:

“Tak takutkah kamu berjalan sendirian begitu jauhnya?”

 “Aku tidak sendirian”, jawab Dominikus, “Malaikat pelindung menyertaiku, dan mendampingi setiap langkahku.”

“Namun perjalanan panjang dalam cuaca sangat panas ini pastinya melelahkan bagimu.”

“Tak ada yang tampak melelahkan atau menyakitkan, kalau kita bekerja kepada majikan yang memberi upah besar.”

“Lantas siapakah majikanmu?”

“Allah, Pencipta kita, yang mengganjar bahkan secangkir air dingin sekalipun, kalau diberikan demi cinta akan Dia.”

Peristiwa ini diceritakan oleh orang yang bercakap-cakap dengan Dominikus, dan ia mengakhirnya dengan berkata:

“Anak laki-laki yang punya pikiran-pikiran semacam itu di kepalanya ketika masih berusia sepuluh tahun, tentunya ditakdirkan mendapat karir yang besar.”

Di sekolah, Dominikus segera menemukan cara membedakan pergaulan baik dan mereka yang berpengaruh buruk. Kalau ia melihat anak rajin dan hormat, yang sungguh paham pelajaran-pelajarannya dan selalu bekerja keras, Dominikus mencoba bergaul dengannya. Namun anak laki-laki yang urakan, lancang atau lalai dalam menunaikan tugas, dia tinggalkan sebatang kara. Dominikus selalu bersikap baik terhadap mereka dan selalu menggunakan setiap kesempatan untuk sedikit berbuat baik kepada mereka, namun ia memastikan supaya tidak menjadi akrab dengan mereka.

Perilakunya di sekolah tinggi Castelnuovo d’Asti boleh menjadi teladan bagi setiap siswa muda yang ingin maju dalam pengetahuan dan kebajikan. Oleh sebab itulah, cerita yang diberikan oleh gurunya ini berfaedah dan patut disimak. Ia berkata:

“Dengan senang hati saya mengirimkan anda catatan tentang Dominikus Savio, sebab hanya dalam jangka waktu singkat, ia telah beroleh kehormatan dan rasa sayang yang besar dari diri saya, dan karena masih ada ingatan yang jelas di benak saya tentang perilakunya yang baik sekali, semangatnya dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik serta kebajikan-kebajikannya yang banyak jumlahnya. Saya tak bisa berkata banyak tentang perihal menunaikan tanggung jawab agamanya, sebab ia menghadiri gereja paroki distriknya sendiri, yang berjarak dua atau tiga mil dari sekolahan. Oleh sebab itulah dia bukan bagian dari konfraternitas kami, meskipun kami pastinya akan senang menerima masuk anak yang persis seperti dia.

Dia datang ke sekolah ini begitu selesai dengan sekolah dasarnya, sejak hari pesta St. Aloysius, 21 Juni 1852. Itu sendiri agaknya luar biasa, sebab pelindung agung siswa muda itu mendapat pengikut yang paling berbakti dalam diri Dominikus. Penampilan dan perilakunya lembut, dan padanya, ada percampuran antara hawa yang keras dan bersahabat. Disposisinya selalu ditandai dengan ketenangan dan sifat baik. Baik di sekolah maupun di luar sekolah, perilakunya sedemikian rupa sehingga selalu membuahkan kesan menyenangkan, dan bagi saya, berhadapan dengan dia dalam pekerjaan sekolahnya itu seperti mendapat hadiah atas banyaknya kelelahan yang harus ditanggung dengan begitu seringnya dalam melatih anak laki-laki, yang sering kali lamban dan tak semangat belajar. Maka, boleh sekali dikata bahwa dia itu Savio (bijak), bukan hanya dalam nama, namun juga secara fakta, yaitu, dalam studinya, dalam kesalehan, dalam percakapan dan dalam menghadapi orang lain, serta dalam segala perbuatannya.

Sejak hari dia masuk sekolah sampai akhir tahun sekolah itu, dan sepanjang empat bulan di tahun kemudian yang dihabiskannya bersama kami, kemajuannya dalam studi-studinya hampir boleh dikata fenomenal. Dengan cepat ia menjadi nomor satu di kelasnya, dan meraih penghargaan-penghargaan lain dari sekolah dan selalu mendapat nilai penuh untuk mata pelajaran yang diuji dari waktu ke waktu. Kesuksesannya yang gemilang ini harus dianggap sebagai hasil dari kemampuannya yang luar biasa dan cintanya akan studi dan kebajikan.

Patut mendapat pujian istimewa pula kecermatannya dalam melaksanakan setiap tanggung jawab, tidak peduli sesepele apa pun, serta kehadirannya secara konsisten di kelas-kelas, apa pun kesulitan yang dihadapinya dan walau dia harus berjalan jauh ke sekolah. Dia sama sekali bukan anak laki-laki yang kuat atau bertenaga, dan kenyataan bahwa dia bepergian ke sekolah dan pulang dari sekolah, dengan jarak hampir tiga mil setiap jalan, dengan sendirinya membuktikan secra jelas kerajinannya dalam studi-studinya. Namun pada tahun itu, 1852-1853, ia memperlihatkan tanda-tanda kerapuhan dan kesehatan yang melemah secara umum, sehingga orang tuanya memutuskan pindah rumah. Saya begitu kecewa karena kehilangan seorang siswa yang begitu menjanjikan. Saya sudah menjadi dekat dengan dia, namun saya sudah berekspektasi akan kehilangan dia sebab sudah saya lihat badannya yang lemah itu mulai menyerah akibat kelelahan. Dan ketika saya lalu mendengar bahwa ia akan pergi ke Oratorium di Torino, saya sangat gembira, sebab saya tahu bahwa di sana, dia akan mendapat kesempatan untuk menggarap kecerdasan serta kesalehannya yang langka itu.”

Demikianlah catatan yang diberikan oleh guru kelasnya.

Catatan kaki:

Disadur dari sumber berbahasa Inggris:

The Life of Dominic Savio [Riwayat Hidup Dominikus Savio], yang diterjemahkan dari karya orisinal Santo Yohanes Don Bosko, Salesian Press, Surrey Lane, Battersea, London, S. W.; Nihil Obstat: F. Thomas Bergh, OSB (Censor Deputatus); Imprimatur: PETRUS, Episcopus Southwarcensis; 1915, hal. 11-15.