Dominikus Membuat Resolusi untuk Berjuang Mengejar Kesempurnaan

BAB IX.

Dominikus Membuat Resolusi untuk Berjuang Mengejar Kesempurnaan.

Pada bab-bab sebelumnya, kita sudah mencermati Dominikus sebagai seorang siswa yang menempuh perjalanannya di sekolah, dan telah berfokus terutama pada bakat dan kerajinannya. Kemajuan rohaninya bahkan lebih penting di matanya sendiri. Savio sudah berada di Oratorium selama enam bulan, ketika ia mendengar khotbah yang disampaikan di sana tentang cara mudah untuk sampai pada kesempurnaan para kudus. Ada tiga poin utama yang dibahas pengkhotbahnya dan ketiganya berkesan dalam-dalam pada benak Savio:

• Pertama, Allah menghendaki kita supaya menjadi sempurna;
• Kedua, menjadi sempurna itu mudah;
• Ketiga, ada pahala besar yang dipersiapkan bagi mereka yang sampai pada kesempurnaan.

Khotbah itu membuat hati Dominikus bercahaya dengan kasih akan Allah. Selama beberapa hari, ia luar biasa hening, sehingga para rekannya pun bertutur kata tentang hal itu, dan saya sendiri juga melihatnya. Saya mulai berpikir bahwa kesehatannya mulai bermasalah lagi, maka saya bertanya kepadanya tentang itu.

Jawabannya dia rumuskan dengan sangat anggun :

“Kalau saya sedang menderita sedikit pun”, ujarnya, “itu saya derita oleh sebab sesuatu yang bermanfaat.”

Saya memintanya supaya menerangkan: ia menjawab, bahwa ia telah memikirkan khotbah itu dan terbawa oleh keinginan untuk menjadi orang kudus; bahwa tampak baginya bahwa hal itu jauh lebih mudah daripada yang dulu dikiranya, dan ia meminta bimbingan khusus sehubungan dengan perilakunya. Saya tentu saja memuji maksud baiknya itu, namun menunjukkan bahwa tidak akan berfaedah kalau dia terganggu dan menjadi khawatir karena itu, sebab dalam kekhawatiran jiwa semacam itu, suara Allah tidak bisa didengar. Saya memberitahukannya agar ia selalu riang dan gembira saja, agar ia melakukan praktik-praktik kesalehan serta tanggung jawab lainnya dengan cermat, dan agar ia berekreasi secara teratur dengan para rekannya.

Pada suatu hari, saya beri tahu dia, bahwa saya ingin membuat hadiah untuk dirinya, namun saya biarkan dia memilih.

“Saya tak ingin apa-apa lagi”, tanggapnya, “selain menjadi sempurna; kalau itu tidak saya peroleh, saya tidak akan patut mendapat apa-apa.”

Pada suatu kesempatan lain, kami sedang membahas etimologi nama, dan ia mengajukan pertanyaan :

“Apa arti Dominikus?”

Ada orang yang menjawab :

“Kepunyaan Allah.”

“Nah, lihatlah”, jawabnya segera “apakah saya tidak benar ketika berkata bahwa saya harus menjadi orang kudus; nama saya saja berkata bahwa saya milik Allah; karena itu saya akan senantiasa berjuang menjadi orang kudus.”

Perkataan ini dan kata-kata serupa pada kesempatan-kesempatan lain mungkin tampak luar biasa dalam diri seorang anak laki-laki muda belia, namun Dominikus memaksudkannya sungguh-sungguh; dan itu diucapkannya bukan karena hidupnya tidak suci; sebaliknya, karena ia ingin melaksanakan penitensi, dan tetap diam dalam doa selama berjam-jam, hal-hal yang seturut keputusan para superiornya tidak pantas bagi anak seusianya ataupun bagi kesehatannya, atau bagi kesibukan-kesibukannya.

Catatan kaki:

Disadur dari sumber berbahasa Inggris:

The Life of Dominic Savio [Riwayat Hidup Dominikus Savio], yang diterjemahkan dari karya orisinal Santo Yohanes Don Bosko, Salesian Press, Surrey Lane, Battersea, London, S. W.; Nihil Obstat: F. Thomas Bergh, OSB (Censor Deputatus); Imprimatur: PETRUS, Episcopus Southwarcensis; 1915, hal. 31-33.