^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Surat Bulla Apostolicae Curae - Leo XIII, 1896 - Tentang Invaliditas Ritus Penahbisan Anglikan
(Tautan untuk mengunduh PDF)
APOSTOLICAE CURAE
SURAT APOSTOLIK
PADUKA SUCI KITA LEO XIII
PAUS, BERKAT PENYELENGGARAAN ILAHI
TENTANG TAHBISAN ANGLIKAN
LEO, USKUP
Hamba dari para hamba Allah,
Demi kenangan untuk selama-lamanya,
Perhatian apostolik dan cinta kasih Kami yang tiada kecil bagiannya telah Kami baktikan demi kesejahteraan bangsa Inggris yang mulia. Dengan kedua-duanya, dan beserta bantuan rahmat-Nya, Kami berjuang melaksanakan tanggung jawab dan mengikut jejak langkah yang ditinggalkan oleh “Gembala Agung segala domba”,[1] Tuhan kita Yesus Kristus. Surat yang pada tahun lalu Kami kirimkan kepada “bangsa Inggris yang sedang mencari Kerajaan Kristus dalam kesatuan iman” merupakan bukti khusus niat baik kami kepada negara Inggris. Dalam surat itu, Kami mengingat kenangan akan persatuan kuno rakyat negeri itu dengan Bunda Gereja, dan Kami pun berjuang mempercepat terwujudnya suatu rekonsiliasi berbahagia, dengan mendesak hati umat manusia agar rajin-rajin memanjatkan doa kepada Allah. Dan kembali lagi, tidak lama lalu, ketika tampak baik bagi Kami untuk membahas kesatuan Gereja secara lebih lengkap dalam sepucuk Surat umum dalam harapan ajaran Kami mampu memperkuat umat Katolik serta membawa terang yang menyelamatkan bagi mereka yang terpisah dari Kami, Inggris tidak menduduki tempat terakhir pada benak Kami.
Gembira hati Kami ketika mengakui bahwa semangat serta keterusterangan Kami, yang terilhami bukan oleh dorongan-dorongan insani semata, telah dengan besar hati mendapat kesetujuan rakyat Inggris; dan ini merupakan bukti yang sama kuatnya dalam menunjukkan baik kesantunan mereka maupun perhatian banyak orang terhadap keselamatan kekal mereka.
Dengan pikiran dan maksud yang sama, Kami sekarang telah bertekad mengalihkan pertimbangan Kami kepada suatu perkara yang tidak kalah besar bobotnya dan terkait erat dengan pokok permasalahan yang sama serta keinginan-keinginan Kami. Sebab, sudah ada suatu pendapat populer yang lebih dari satu kali ditegaskan oleh tindakan dan adat konstan Gereja. Menurut pendapat itu, tidak lama setelah Inggris terputus dari pusat kesatuan Kristiani, ada sebuah ritus pemberi Tahbisan Suci yang secara publik diperkenalkan di bawah Eduardus VI di negeri itu. Dengan diperkenalkannya ritus tersebut, di negeri itu Sakramen Imamat sejati seturut yang diinstitusikan oleh Kristus sudah tiada lagi, dan bersamanya, telah punah juga suksesi hierarkisnya. Namun, selama beberapa waktu, dan terutama pada beberapa tahun terakhir ini, telah muncul suatu kontroversi apabila Tahbisan Suci yang diberikan seturut Ordinal Eduardina memiliki hakikat sakramen dan menghadirkan hasil sebuah sakramen: mereka yang mendukung validitas absolut, ataupun validitas diragukan, tidak berasal dari kalangan penulis Anglikan tertentu saja, namun juga beberapa orang Katolik yang terutama bukan Inggris. Pertimbangan tentang unggulnya Tahbisan Kristiani menggerakkan para penulis Anglikan pada perkara ini, sebab mereka ingin rakyat mereka tidak kekurangan kuasa berganda atas tubuh Kristus itu. Para penulis Katolik terdorong oleh harapan dapat meratakan jalan bagi kaum Anglikan untuk pulang kepada kesatuan suci. Kedua belah pihak bahwasanya berpendapat, mengingat kajian-kajian yang baru-baru ini muncul ke permukaan untuk ditelaah, dan menimbang dokumen-dokumen baru yang diselamatkan dari tumpukan abu sejarah, bahwa sudah tiba saatnya perkara ini diselidiki kembali oleh otoritas Kami. Dan diri Kami, tanpa mengesampingkan keinginan-keinginan dan pendapat-pendapat itu, dan terutama, dalam menaati diktat-diktat kasih apostolik, telah mempertimbangkan bahwa tidak boleh ada cara yang tak dicoba kalau dapat sesedikit apa pun menjaga jiwa-jiwa dari celaka dan memperoleh kemaslahatan bagi mereka.
Maka dengan suka hati, Kami telah mengizinkan perkara ini kembali diselidiki, agar dengan kecermatan ekstrem yang diambil dalam penyelidikan baru ini, segala keraguan, atau bayang-bayang keraguan sekalipun, bisa dilenyapkan untuk ke depannya. Demi tujuan itu, Kami menugaskan sejumlah pria yang tersohor dalam keterpelajaran dan kecakapan mereka. Mereka menganut pendapat yang dikenal berbeda-beda pada perkara ini dan ditugaskan untuk menuangkan landasan-landasan putusan mereka secara tertulis. Lalu, usai memanggil mereka datang ke hadirat Kami, Kami pun mengarahkan mereka agar saling bertukar karya tulis, dan kemudian, agar menginvestigasi serta berdiskusi tentang segala sesuatu yang perlu demi beroleh pengetahuan penuh tentang perkara ini. Kami pun bertindak secara berhati-hati agar mereka bisa kembali menyelidiki semua dokumen terkait perkara ini yang diketahui ada dalam arsip Vatikan, mencari dokumen-dokumen baru, dan bahkan menyediakan bagi mereka semua akta berkenaan dengan perkara ini yang dilestarikan oleh Kementerian Suci – atau seperti julukannya, Dewan Agung – dan mempertimbangkan hal apa saja yang sampai saat ini telah diajukan sebagai dasar oleh orang-orang terpelajar dari kedua belah pihak. Ketika sudah dipersiapkan secara demikian, mereka pun Kami perintahkan agar bertemu dalam sesi-sesi khusus. Sesi-sesi berjumlah dua belas buah ini dilangsungkan di bawah kepemimpinan salah seorang Kardinal Gereja Roma yang Kudus, yang ditunjuk oleh diri Kami sendiri, dan mereka semua diundang untuk berdiskusi bebas. Pada akhirnya, Kami memberi arahan agar akta-akta pertemuan-pertemuan ini, beserta semua dokumen lainnya, diserahkan kepada Saudara-Saudara Kami yang Terhormat, para Kardinal dari Dewan yang sama, supaya ketika semua orang telah mengkaji perkara itu seutuhnya dan mendiskusikannya di hadirat Kami, mereka bisa memberi opini mereka masing-masing.
Usai telah ditetapkannya perintah untuk mendiskusikan perkara ini, baik adanya kajian mendalam tentang perkara ini tidak dimulai sebelum ditetapkannya secara berhati-hati posisi perkara ini seturut putusan-putusan Takhta Apostolik serta tradisi-tradisi terwaris, tradisi-tradisi yang asal-muasal serta nilainya penting sekali untuk ditentukan. Oleh karena itu, dipertimbangkanlah pertama-tama dokumen-dokumen utama yang memuat perhatian khusus para pendahulu Kami atas permohonan Ratu Maria, soal rekonsiliasi Gereja Inggris. Demi tujuan tersebut, Yulius III mengutus Kardinal Reginaldus Polus, seorang warga Inggris yang terpuji dalam berbagai hal, untuk menjadi Legatus a laetere-nya, “sebagai malaikat perdamaian dan kasihnya”, dan memberikannya mandat-mandat atau kuasa-kuasa luar biasa dan istimewa, serta arahan sebagai pedoman baginya. Hal-hal ini diteguhkan dan dijelaskan oleh Paulus IV. Di sini, agar bobot dokumen-dokumen ini ditafsirkan secara benar, perlu dinyatakan sebagai prinsip mendasar bahwa dokumen-dokumen ini tentunya tidak bermaksud membahas keadaan perkara-perkara abstrak, melainkan suatu perkara spesifik dan konkret. Sebab, karena kuasa-kuasa yang diberikan oleh para Paus ini kepada sang Legatus Apostolik hanya mengacu kepada Inggris serta keadaan agama di negeri itu saja, dan karena ada kaidah-kaidah bertindak yang ditetapkan dalam dokumen-dokumen itu atas permohonan Legatus tersebut, ini pastinya tidak mungkin hanya semata-mata arahan-arahan penentu syarat-syarat yang diperlukan untuk validitas penahbisan secara umum. Arahan-arahan ini pastinya berhubungan langsung dengan penyediaan Tahbisan Suci untuk Kerajaan tersebut, sebagaimana yang dituntut oleh kondisi keadaan-keadaan serta waktu yang sudah dikenal. Hal ini tidak hanya jelas dari sifat serta bentuk dokumen-dokumen tersebut, namun juga jelas kentara, karena sama sekali tidak akan relevan untuk mengajari Legatus tersebut tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk menganugerahkan Sakramen Imamat, sebab sang Legatus adalah orang yang keterpelajarannya sudah terkenal pada Konsili Trente.
Semua orang yang menimbang-nimbang perkara-perkara ini secara benar, tidak akan mengalami kesulitan untuk memahami alasan Surat-Surat Yulius III yang ditujukan kepada Legatus Apostolik itu pada tanggal 8 Maret 1554 memuat suatu rujukan khusus. Rujukannya pertama-tama mengacu kepada mereka yang boleh dipertahankan dalam Tahbisan mereka, karena “dipromosikan secara valid dan sah”;[2] dan kemudian kepada mereka yang “tidak dipromosikan kepada Imamat Suci”,[3] mereka ini boleh “dipromosikan jika mereka ditemukan layak dan cakap”.[4] Sebab, sudah tercatat secara jelas dan pasti seperti kenyataannya, bahwa ada dua golongan orang: yang pertama, mereka yang sudah benar-benar menerima Tahbisan Suci, entah sebelum perpecahan Henrikus VIII, entah sesudahnya, dari para pelayan yang terlibat dalam kesalahan dan skisma, namun menggunakan ritus Katolik lazim; kedua, mereka yang diinisiasi seturut Ordinal Eduardina, yang karena itu dapat “dipromosikan”,[5] sebab tahbisan yang telah mereka terima bersifat batal. Bahwa pikiran Sri Paus demikian adanya dan sama sekali tidak berbeda sedikit pun dari itu, jelas ditegaskan oleh Surat dari Legatus yang sama (29 Januari 1555) yang menyubdelegasikan kuasa-kuasanya kepada Uskup Norwich. Terlebih, patut dicatat secara khusus, pernyataan Surat-Surat Yulius III sendiri tentang menggunakan kuasa-kuasa Kepausan secara bebas, bahkan demi kebaikan mereka yang telah menerima konsekrasi mereka “secara kurang valid dan tanpa menggunakan formula lazim Gereja”.[6] Dengan ungkapan ini, yang dimaksud itu hanya mungkin mereka yang telah dikonsekrasi seturut ritus Eduardina, sebab selain ritus tersebut dan formula Katolik, tidak ada ritus lainnya di Inggris pada waktu itu.
Hal ini menjadi semakin jelas lagi, ketika kita pertimbangkan perdutaan yang diutus kepada Sri Paus di Roma pada bulan Februari 1555 oleh Raja Filipus dan Ratu Maria, atas nasihat Kardinal Polus. Tiga orang utusan Kerajaan, “yang amat termashyur dan dikaruniai segala Kebajikan”, salah satunya Thomas Thirlby, Uskup Ely, ditugaskan untuk mengabari Sri Paus secara lebih lengkap soal kondisi keagamaan negeri itu, dan terutama untuk memohon agar Sri Paus bersedia meratifikasi dan meneguhkan hal yang dengan bersusah payah diperjuangkan oleh sang Legatus, dan yang telah berhasil direalisasikannya, demi tujuan rekonsiliasi Kerajaan tersebut dengan Gereja. Demi tujuan itu, semua bukti tertulisnya serta bagian-bagian relevan dari Ordinal barunya diserahkan kepada Sri Paus. Usai para duta disambut dengan meriah dan bukti yang mereka serahkan telah “didiskusikan secara saksama” oleh beberapa Kardinal, “setelah pertimbangan matang”, Paulus IV mengeluarkan surat Bullanya, Praeclara carissimi pada tanggal 20 Juni di tahun yang sama. Dalam dokumen ini, sembari memberi kuasa dan kesetujuan penuh kepada yang telah dilakukan Polus, ada perintah demikian soal Penahbisan tersebut: “Mereka yang telah dipromosikan kepada Tahbisan Imamat … oleh siapa saja selain uskup yang tertahbis secara valid dan sah, wajib menerima Tahbisan itu kembali”.[7] Namun, para uskup yang tidak “tertahbis secara valid dan sah” itu sudah dibuat cukup jelas oleh dokumen-dokumen sebelumnya serta kuasa-kuasa yang digunakan pada perkara tersebut oleh sang Legatus: yang bersangkutan ini adalah mereka yang telah dipromosikan kepada Keuskupan, seperti pihak lain dipromosikan kepada Tahbisan-Tahbisan lain, “tanpa mengikuti formula lazim Gereja”, atau, seperti yang ditulis oleh Legatus itu sendiri kepada Uskup Norwich, “formula dan intensi Gereja” tidak ditaati. Orang-orang ini tentunya adalah mereka yang dipromosikan seturut formula ritus baru yang telah diselidiki secara saksama oleh para Kardinal yang telah ditentukan secara khusus itu.
Hendaknya tidak diabaikan pula sebuah perikop dari surat kepausan yang sama, yang membahas perkara itu juga. Beserta orang-orang yang memerlukan dispensasi, juga disebutkan satu per satu dalam perikop tersebut mereka “yang telah secara batal, namun de facto, menerima baik Tahbisan maupun benefisi-benefisi gerejawi”.[8] Menerima tahbisan secara batal[9] sama saja menerimanya dengan tindakan tidak laik dan mubazir,[10] yakni tidak valid,[11] sebagaimana yang terungkap dari makna kata itu sendiri serta kebiasaan penggunaannya. Hal ini terutama jelas ketika kata itu digunakan secara demikian pula sehubungan tahbisan, seperti pula dengan “benefisi-benefisi gerejawi”.[12] Seturut ajaran pasti kanon-kanon suci, benefisi-benefisi ini jelas batal kalau disertai dengan cacat yang merusak.[13] Terlebih, ketika beberapa orang ragu siapakah yang menurut benak Sri Paus dapat disebut dan dianggap sebagai uskup yang “tertahbis secara valid dan sah”, Sri Paus tersebut tidak lama setelahnya, pada tanggal 30 Oktober, kembali mengeluarkan surat-surat dalam bentuk breve dan berkata:
Kalau seandainya deklarasi ini tidak berlaku pada kasus nyata di Inggris, yakni pada Ordinal Eduardina, Sri Paus tentu tidak berbuat apa-apa dalam Surat-Surat bersangkutan itu yang melenyapkan keraguan dan memulihkan damai hati nurani. Di samping itu, dalam makna ini jugalah sang Legatus memahami dokumen-dokumen serta perintah-perintah Takhta Apostolik, dan secara laik dan cermat menaati perintah-perintah tersebut; demikian jugalah yang dilakukan oleh Ratu Maria serta semua orang lain yang membantu restorasi agama Katolik kembali ke keadaannya sebelumnya.
Otoritas Yulius III dan Paulus IV, yang sudah Kami kutip, jelas menunjukkan asal muasal disiplin yang telah diikuti tanpa terputus selama lebih dari tiga abad, bahwa Tahbisan yang dianugerahkan seturut ritus Eduardina hendaknya dianggap batal dan tidak valid. Disiplin ini terbukti penuh dari berbagai macam kasus penahbisan ulang absolut seturut ritus Katolik bahkan di Roma sekalipun. Dalam mengikuti disiplin ini, kita punya sebuah bukti yang secara langsung berpengaruh pada perkara yang sedang dibahas ini. Sebab seandainya kebetulan masih ada keraguan soal makna sebenarnya yang harus dipahami dari dokumen-dokumen Kepausan ini, asas yang berlaku adalah, Adat merupakan penafsir terbaik soal hukum (Consuetudo optima legum interpres). Karena di dalam Gereja, selalu ada kaidah konstan dan tetap bahwa mengulangi Sakramen Imamat adalah penistaan, lantas sama sekali mustahil Takhta Apostolik pernah diam-diam mengiakan dan menolerir adat semacam itu. Namun tak hanya menolerir adat ini, Takhta Apostolik juga telah menyetujui dan mengesahkannya, setiap kali timbul suatu kasus tertentu yang membutuhkan penilaiannya pada perkara ini. Kami kutip sebagai bukti, dua kejadian semacam ini dari antara banyak kejadian yang telah dari waktu ke waktu diserahkan kepada Dewan Agung Kementerian Suci. Yang pertama (di tahun 1684) dari seorang Kalvinis Prancis, dan yang lain (di tahun 1704) dari Yohanes Klemens Gordon, kedua-duanya telah menerima Tahbisan mereka seturut ritual Eduardina. Pada kasus pertama, usai penyelidikan rinci, para konsultor yang tidak sedikit jumlahnya, memberi tanggapan mereka secara tertulis –mereka juga menyebutnya sebagai nota mereka – dan yang lainnya pun bulat suara setuju dengan kesimpulan mereka tentang “invaliditas Penahbisan”, dan satu-satunya alasan para Kardinal memandang pantas untuk menjawab dengan sebuah dilata [yakni, tidak merumuskan kesimpulan pada saat itu] hanyalah ketepatan waktunya. Dokumen-dokumen yang sama ini juga diandalkan dan ditimbang kembali pada penyelidikan kasus kedua, dan pernyataan-pernyataan opini tertulis tambahan pun didapatkan pula dari para konsultor, dan para doktor paling terkemuka dari Sorbonne dan Douai begitu pula dimintakan pendapat. Tak diabaikan upaya apa pun seturut hikmat dan keberhati-hatian, demi menjamin perkara itu ditampi secara menyeluruh.
Dan penting di sini untuk dicatat, bahwa meskipun Gordon sendiri (yang kasusnya pada waktu itu sedang dibahas) serta beberapa konsultor telah mengutip Penahbisan Parker dari antara alasan-alasan yang membuktikan invaliditas seturut pemikiran mereka sendiri soal Penahbisan itu, namun dalam penyampaian putusannya, alasan ini sama sekali dikesampingkan, seperti yang terbukti dari dokumen-dokumen yang autentisitasnya tak terpungkiri. Dan ketika putusannya diumumkan, tak ada alasan lain yang dijadikan dasar, selain cacat formula dan intensi; dan demi membuat putusan soal formula ini semakin pasti dan lengkap, dilakukanlah tindak pencegahan dengan menyerahkan Ordinal Anglikan agar diselidiki, dan agar dibandingkan dengan formula-formula Penahbisanyang dikumpulkan bersama-sama dari berbagai ritus Timur dan Barat. Kemudian, Klemens XI sendiri, beserta hasil pemungutan suara yang semufakat dari pihak para Kardinal yang bersangkutan, pada Feria V.[14] di tanggal 17 April 1704 mendekretkan:
Penting untuk diingat bahwa putusan ini sama sekali tidak ditentukan oleh tradisi instrumen (traditionis instrumentorum); kalau kasusnya demikian, lantas seturut adat yang sudah tetap, akan diberi arahan untuk mengulangi penahbisannya secara bersyarat. Dan masih lebih penting lagi untuk dicatat bahwa putusan Sri Paus ini berlaku secara universal kepada seluruh Penahbisan Anglikan, sebab meski merujuk pada suatu kasus tertentu, putusan itu tidak dilandasi alasan apa-apa yang bersifat istimewa pada kasus itu, namun dilandasi cacat formula, sebuah cacat yang sama-sama berdampak pada semua Penahbisan ini; sebegitu besar dampaknya, sehingga ketika di kemudian hari muncul kasus-kasus serupa untuk diberi putusan, dekret Klemens XI yang sama itu dikutip sebagai normanya.
Maka dari itu, harusnya sudah jelas bagi setiap orang, bahwa kontroversi yang baru-baru ini muncul kembali itu sudah secara definitif dibereskan oleh Takhta Apostolik, dan perihal penulis Katolik masih memandangnya sebagai pertanyaan terbuka, itu harus kita anggap disebabkan oleh kurang memadainya pengetahuan tentang dokumen-dokumen ini. Namun seperti yang Kami nyatakan sejak semula, dengan keinginan yang kian mendalam dan membara, Kami hendak membantu orang-orang berniat baik dengan memperlihatkan kemurahan dan kasih terbesar kepada mereka. Oleh sebab itulah Kami memerintahkan agar Ordinal Anglikan, yang merupakan pokok permasalahan esensial dari seluruh perkara ini, sekali lagi diselidiki dengan teramat saksama.
Dalam ritus yang digunakan untuk melaksanakan dan menyelenggarakan setiap sakramen, patut dibuat pembedaan antara bagian yang bersifat seremonial (keupacaraan) dan yang bersifat esensial (kehakikatan), lazimnya disebut materi dan formula. Setiap orang tahu bahwa sakramen-sakramen Hukum Baru, sebagai tanda lahiriah yang menghasilkan rahmat tak kasatmata, haruslah menandakan rahmat yang mereka hasilkan, dan menghasilkan rahmat yang mereka tandakan. Meski pertandaan ini harus ada pada seluruh ritus esensialnya – maksudnya, pada materi dan formulanya – namun demikian, penentu utama pertandaan itu adalah formulanya; sebab materi sendiri merupakan bagian yang tidak tentu, namun ditentukan oleh formulanya. Dan hal ini tampak semakin jelas dalam Sakramen Imamat, sebuah sakramen yang materinya, sejauh yang harus Kami pertimbangkan di sini, adalah penumpangan tangan. Penumpangan tangan sendiri bahwasanya tidak menandakan sesuatu yang pasti, dan sama-sama digunakan pula baik untuk Tahbisan-Tahbisan tertentu maupun untuk Sakramen Penguatan (Krisma). Namun kata-kata yang sampai belakangan ini dipandang secara umum oleh kaum Anglikan sebagai formula laik untuk melaksanakan tahbisan imamat, yakni, Terimalah Roh Kudus (Accipe Spiritum Sanctum) sama sekali tidak menandakan secara pasti tahbisan imamat atau rahmat dan kuasanya, yakni kuasa “untuk mengonsekrasikan dan mempersembahkan tubuh dan darah sejati Tuhan”[16] dalam kurban yang bukan semata-mata perayaan kurban yang terlaksana di Salib.[17] Memang benar bahwa di kemudian hari, pada formula ini telah ditambahkan kata-kata “untuk jabatan dan karya imam”,[18] dst.; namun ini justru menunjukkan bahwa kaum Anglikan sendiri menyadari bahwa formula pertamanya itu cacat dan tidak memadai. Namun seandainya pun penambahan ini dapat memberikan penandaan yang layak kepada formulanya, penambahannya terlambat dibuat, sebab sudah berlalu satu abad sejak diadopsinya Ordinal Eduardina, karena, akibat telah punahnya hierarki, tiada lagi kuasa yang tersisa untuk melakukan penahbisan. Sia-sialah upaya memperjuangkan validitas Tahbisan Anglikan yang baru-baru ini dikerahkan dengan mencari bantuan dari doa-doa lain yang termuat dalam Ordinal yang sama. Sebab, agar kita dapat mengesampingkan alasan-alasan lain yang menunjukkan betapa tidak memadainya formula-formula ritus Anglikan untuk tujuan yang hendak dicapai, hendaknya semua orang menjadi puas dengan argumen yang satu ini: segala sesuatu dalam ritus Katolik yang jelas mengutarakan jabatan dan tugas-tugas imamat, telah dihapus secara sengaja dari formula-formula ritus Anglikan.[19] Dengan demikian, formula itu tidak dapat dianggap layak maupun memadai untuk sakramen tersebut, karena formula itu mengabaikan hal esensial yang harus ditandakannya.
Perihal yang sama itu pun berlaku kepada konsekrasi Keuskupan. Sebab pada formula, “Terimalah Roh Kudus”,[20] kata-kata “untuk jabatan dan karya uskup”, dst. tidak hanya ditambahkan di masa kemudian, namun kata-kata ini, seperti yang akan Kami nyatakan sekarang, harus dipahami dengan makna yang berbeda dari yang disandang kata-kata tersebut dalam ritus Katolik. Dari mengutip doa prefasi “Allah yang Mahakuasa”[21] pun, tidak dituai faedah apa-apa, dengan sebab dari doa ini, telah begitu pula dihilangkan kata-kata yang menunjukkan imamat teragung (summum sacerdotium). Di sini, tidak relevan pula untuk menyelidiki apabila Keuskupan merupakan penyempurnaan imamat ataukah suatu Tahbisan yang berbeda dari imamat, ataukah ketika dianugerahkan, secara per saltum ujar mereka, yakni kepada orang yang bukan imam, Keuskupan itu membuahkan hasilnya atau tidak. Namun, Keuskupan tentu saja, seturut institusi Kristus, benar-benar termasuk bagian dari Sakramen Imamat dan merupakan imamat dengan derajat lebih tinggi, yakni, yang menurut ajaran para Bapa yang kudus serta adat liturgi kita, disebut sebagai imamat teragung, puncak pelayanan suci (summum sacerdotium, sacri ministerii summa). Maka, terjadilah bahwa karena Sakramen Imamat dan imamat (sacerdotium) sejati milik Kristus telah dibuang sama sekali dari ritus Anglikan, dan akibatnya imamat (sacerdotium) itu sama sekali tidak dianugerahkan secara sungguh dan valid dalam konsekrasi Keuskupan ritus yang sama, lantas karena alasan itu jugalah, Keuskupan pun sama sekali tidak dapat dianugerahkan secara sungguh dan valid oleh ritus tersebut; dan hal ini semakin berlaku demikian, karena tanggung jawab utama Keuskupan mencakup menahbiskan para pelayan untuk Ekaristi Mahakudus dan kurban.
Untuk memahami Ordinal Anglikan secara lengkap dan akurat, selain yang telah kita catat soal beberapa bagiannya, yang paling relevan adalah mempertimbangkan secara cermat keadaan-keadaan saat dokumen itu dulu dikarang dan diotorisasi secara publik. Akan menjemukan kalau detail-detailnya ditelisik; kita pun tidak perlu berbuat demikian, sebab sejarah dari masa itu sudah bertutur kata secara cukup fasih soal perseteruan para pengarang Ordinal itu terhadap Gereja Katolik, soal kaki tangan yang terlibat bersama mereka dari sekte-sekte heterodoks serta tujuan akhir yang hendak mereka gapai. Sadar betul akan hubungan yang niscaya antara iman dan ibadat, antara hukum percaya dan hukum berdoa (legem credenda et legem supplicandi), dan dengan dalih ingin kembali ke formula asal, mereka merusak tata liturgi dalam berbagai cara demi menuruti doktrin-doktrin sesat para pembaru. Oleh sebab itulah di seluruh Ordinalnya, tidak disebutkan secara jelas tentang kurban, tentang konsekrasi, tentang imamat (sacerdotium) dan tentang kuasa mengonsekrasikan serta mempersembahkan kurban, namun juga, seperti yang sudah Kami sebutkan, tiap-tiap bekas dari hal-hal ini, yang dahulunya termuat dalam doa-doa tertentu dari ritus Katolik yang sebelumnya tidak mereka tolak seutuhnya, telah ditiadakan dan dihapus secara sengaja. Dengan demikian, terwujudlah dengan jelas sifat asli – atau semangat asli, demikianlah sebutannya – dari Ordinal tersebut. Maka dari itu, kalau sudah rusak dari asalnya, dan karena itu sama sekali tidak memadai untuk menganugerahkan Tahbisan, lantas mustahil Ordinal itu menjadi memadai seiring dengan berjalannya waktu, karena sama sekali belum ada perubahan yang terjadi. Sia-sialah upaya yang sejak zaman Karolus I, telah dikerahkan oleh beberapa orang demi menerima adanya semacam kurban atau imamat pada tambahan-tambahan yang dibuat pada Ordinal. Sia-sia pula perbantahan di kalangan sebagian kecil badan Anglikan yang dibentuk belakangan ini, bahwa Ordinal itu dapat dipahami dan ditafsirkan dengan makna yang sehat dan ortodoks. Kami tegaskan bahwa upaya-upaya semacam itu dahulu dan sekarang dilakukan secara sia-sia. Alasannya demikian: setiap kata dalam Ordinal Anglikan (seperti keadaannya saat ini) yang cenderung bersifat ambigu, tidak dapat dipahami dengan makna yang sama seperti maknanya dalam ritus Katolik. Sebab seperti yang sudah kita lihat, sekali diperkenalkannya ritus baru yang menimbulkan hilangnya daya pada Sakramen Imamat atau yang menyebabkan tidak diakuinya sakramen tersebut, dan yang padanya segala gagasan tentang konsekrasi dan kurban telah ditolak, rumusan “Terimalah Roh Kudus”, tidak lagi berdaya guna; sebab Roh ditanamkan dalam jiwa beserta rahmat sakramen, dan kata-kata “untuk jabatan dan karya imam atau uskup” serta kata-kata serupa tidak lagi berdaya guna, namun tinggal kata-kata belaka tanpa realitas yang telah ditetapkan Kristus.
Beberapa penafsir Ordinal Anglikan yang lebih cerdik telah menyadari bobot argumen ini, dan mereka secara terbuka menggunakan argumen tersebut untuk melawan mereka yang memahami Ordinal itu dengan makna baru dan secara sia-sia menyematkan pada Tahbisan yang dianugerahkan secara demikian, suatu nilai dan daya guna yang tidak dimilikinya. Terbantahkan pula oleh argumen ini, perdebatan orang-orang yang berpikir bahwa doa, “Ya Allah yang Mahakuasa, pemberi segala hal baik”[22] yang ditemukan pada awal aksi ritualnya, mungkin bersifat memadai sebagai formula Tahbisan yang sah, sekalipun dengan hipotesis bahwa do aitu dapat dipandang memadai dalam sebuah ritus Katolik yang disetujui oleh Gereja.
Pada cacat formula inheren ini, tersemat pula cacat intensi; dua elemen yang sama-sama esensialnya untuk sakramen. Gereja tidak menilai soal benak dan intensi, sejauh bersifat batiniah; namun sejauh terwujud secara lahiriah, Gereja wajib menilai soal itu. Ketika siapa saja telah dengan sungguh-sungguh dan benar menggunakan formula dan materi secara laik yang diwajibkan untuk menyelenggarakan atau menganugerahkan sakramen, oleh sebab fakta itu sendiri, orang tersebut dianggap melakukan yang dilakukan oleh Gereja. Asas ini merupakan landasan bertumpunya doktrin bahwa bahwa sebuah sakramen benar-benar dianugerahkan melalui pelayanan seorang bidah atau orang tak dibaptis, asalkan ritus Katolik digunakan. Sebaliknya, jika ritusnya diubah, dengan intensi nyata untuk menghadirkan suatu ritus yang tak disetujui Gereja dan untuk menolak yang dilakukan Gereja serta yang tergolong hakikat sakramen seturut institusi Kristus, lantas jelas bahwa intensi yang diperlukan tak hanya tiada pada sakramen itu, namun intensi itu juga merusak sakramen tersebut dan berlawanan dengannya.
Semua perkara ini sudah lama dan berhati-hati dipertimbangkan oleh diri Kami sendiri dan oleh Saudara-Saudara Kami yang Terhormat, Para Hakim Dewan Agung. Dengan suka hati Kami telah mengadakan pertemuan khusus bagi para Hakim tersebut pada Feria V, di tanggal ke-16 bulan Juli lalu, pada hari raya Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel. Dengan kebulatan suara, mereka setuju bahwa perkara yang disajikan di hadapan mereka itu sudah sejak dulu dihakimi dengan pengetahuan penuh Takhta Apostolik, dan bahwa diskusi serta penyelidikan ulang perkara-perkaranya hanya membantu untuk semakin memperjelas hikmat serta keakuratan yang menyertai pembuatan Keputusan tersebut. Namun demikian, Kami menganggap baik untuk menunda keputusannya demi mendapat waktu, baik demi menimbang-nimbang pantas tidaknya serta tepat waktu atau tidaknya Kami membuat deklarasi baru yang bersifat otoritatif pada perkara itu, maupun untuk berdoa dengan penuh kerendahan hati agar dilimpahkan bimbingan ilahi lebih penuh. Kemudian, menimbang persoalan disiplin yang meski sudah diputuskan ini, telah diungkit-ungkit kembali oleh orang tertentu sebagai bahan diskusi, entah apa alasannya, dan karena itu, mungkin berkembang kesalahan berbahaya pada benak banyak orang yang bisa beranggapan bahwa mereka memiliki Sakramen tersebut serta hasil-hasil Tahbisan ketika hal-hal ini sama sekali tak ada, tampak baik bagi Kami dalam Tuhan untuk mengumumkan putusan Kami.
Masih harus Kami katakan, bahwa meskipun Kami telah memberi terang pada perkara berbobot besar ini dalam nama sang Gembala Agung dan dalam kasih akan Dia, dalam diri-Nya pula Kami memanggil mereka yang dengan hati tulus menginginkan dan mencari kepemilikan sebuah hierarki dan Tahbisan. Mungkin, sampai sekarang berharap mencapai lebih besarnya kesempurnaan kebajikan Kristiani, dan dengan bakti yang lebih besar menyelidiki Kitab-Kitab ilahi, dan melipatgandakan semangat mereka dalam doa, mereka namun demikian telah merasa ragu dan rindu untuk mengikuti suara Kristus, yang telah sejak lama mewanti-wanti mereka secara batiniah. Sekarang, mereka dengan jelas melihat arah diri-Nya dalam kebaikan-Nya mengundang mereka dan yang arah dihendaki-Nya agar mereka datangi. Dengan kembali pulang ke kandang domba-Nya yang tunggal nan esa, akan mereka peroleh berkat-berkat yang mereka cari, dan karena itu pertolongan-pertolongan untuk mencapai keselamatan yang Gereja telah Dia tetapkan sebagai penyedianya, Gereja yang istilahnya, adalah penjaga dan penyebar Penebusan-Nya tanpa terputus di antara bangsa-bangsa. Dan bahwasanya, mereka akan menimba air dalam sukacita dari mata air sang Juru Selamat; sakramen-sakramen-Nya yang ajaib, sebagai sarana jiwa-jiwa yang setia kepada-Nya beroleh pengampunan doa secara sungguh serta pulihnya persahabatan dengan Allah, akan memberi makan dan menguatkan mereka dengan Roti surgawi, dan melimpahkan pertolongan-pertolongan teramat kuasa bagi mereka demi keselamatan mereka. Semoga Allah Damai Sejahtera, Allah segala penghiburan, dalam kelemahlembutan-Nya yang tak terbatas memperkaya dan memenuhi dengan semua berkat ini, mereka yang sungguh-sungguh mendambakan berkat-berkat itu. Kami ingin mengarahkan nasihat-nasihat Kami serta keinginan-keinginan Kami secara khusus kepada mereka yang adalah pelayan agama dalam komunitas mereka masing-masing. Mereka adalah pria yang unggul keterpelajarannya serta otoritasnya berkat jabatan mereka, dan yang mendambakan kemuliaan Allah serta keselamatan jiwa-jiwa. Hendaknya mereka menjadi yang pertama tunduk penuh suka kepada panggilan ilahi dan menaatinya serta menyediakan teladan mulia bagi orang lain. Tentunya, dengan sukacita yang amat besar, Bunda mereka, Gereja, akan menyambut mereka dan dengan segenap kasih serta perhatiannya, akan menyayangi semua orang yang, oleh jiwa-jiwa mereka yang murah hati di tengah-tengah cobaan dan kesulitan, dibimbing pulang ke pangkuannya. Kata-kata pun tak sanggup mengungkapkan pengakuan yang akan diraih keberanian penuh bakti ini bagi mereka, dari pihak perkumpulan-perkumpulan para saudara di seluruh dunia Katolik, ataupun betapa besarnya harapan atau kepercayaan yang akan dengan penuh jasa mereka dapat di hadapan Kristus sebagai Hakim mereka, maupun pahala yang akan didapatkannya dari Dia dalam kerajaan surgawi! Dan Kami sendiri, dengan setiap cara yang sah, akan terus membina rekonsiliasi mereka dengan Gereja, yang di dalamnya, orang-orang dan khalayak, sebagaimana yang Kami inginkan, dapat menemukan sumber penghiburan berlimpah. Sementara itu, dengan kerahiman yang lembut dari Tuhan Allah kita, Kami meminta dan memohon kepada semua orang agar setia berjuang mengikut Langkah terbuka rahmat serta kebenaran ilahi.
Kami mendekretkan agar Surat-Surat ini serta segala sesuatu yang termuat di dalamnya, tidak diragukan validitasnya ataupun ditolak atas alasan kesalahan atau segala cacat lain soal subrepsi atau obrepsi dari intensi Kami, namun dokumen-dokumen ini sekarang dan ke depannya akan selalu valid dan berlaku, dan harus ditaati tanpa diganggu gugat baik secara yuridis atau dengan cara lainnya, oleh semua orang dari derajat dan preeminensi apa pun; Kami nyatakan batal dan tidak valid, segala sesuatu yang dalam perkara-perkara ini mungkin kebetulan diusahakan secara berlawanan, entah secara sengaja maupun tak sengaja, oleh siapa saja dengan otoritas atau dalih apa saja, kendati segala sesuatu yang bertentangan.
Kami menghendaki agar salinan-salinan Surat-Surat ini, bahkan yang tercetak sekalipun, dipercayai sebagai ungkapan kehendak Kami jikalau salinan-salinan tersebut disajikan, asalkan ditandatangani oleh notaris dan dimeterakan oleh orang yang termasuk dalam jabatan gerejawi.
Diberikan di Roma, di Gereja Santo Petrus, tahun Penjelmaan Tuhan seribu delapan ratus sembilan puluh enam, tanggal ides bulan September, tahun kesembilan belas Masa Kepausan Kami.
C. card. de Ruggiero.
A. card. Bianchi,
Pro-Datarius.
VISA
De Curia I. De Aquila e Vicecomitibus.
Loco † Plumbi
Reg. in Secret. Brevium.
I. Cugnoni.
Catatan kaki:
Surat bulla Apostolicae Curae Paus Leo XIII diterjemahkan dari sumber-sumber berikut:
Sumber utama berbahasa Inggris:
The Great Encyclical Letters of Pope Leo XIII [Surat-Surat Ensiklik Agung Paus Leo XIII], Imprimatur Jno. M. Farley (New York, 4 Agustus 1908), New York, Cincinnati, Chicago, Benziger Brothers, 1903, hal. 392-406.
Sumber utama berbahasa Prancis & Latin, untuk nama-nama pada akhir dokumen:
Lettres apostoliques de S. S. Léon XIII, encycliques, brefs, etc., T. IV, Paris, A. Roger et F. Chernoviz, Éditeurs, hal. 259-279.
[1] Heb. xiii. 20.
[2] rite et legitime promoti
[3] non promoti ad sacros ordines
[4] si digni et idonei reperti fuissent promoveri
[5] promoveri
[6] minus rite et non servata forma Ecclesiae consueta
[7] … qui ad ordines ecclesiasticos … ab alio quam ab episcopo rite et recte ordinato promote fuerunt, eosdem ordines … de novo suscipere teneantur.
[8] tam ordines quam beneficia ecclesiastica nulliter et de facto obtinuerant.
[9] nulliter
[10] irrito actu nulloque effectu
[11] invalide
[12] beneficia ecclesiastica
[13] vitio infirmante
[14] [Catatan penulis ke dalam bahasa Inggris: Istilah Feria V. di sini bernilai teknis. Pertemuan-pertemuan biasa Dewan Agung untuk ratifikasi dekret lazimnya berlangsung pada hari Rabu, dan ditandai dengan Feria IV. Namun, sesi-sesi khusus dan khidmat yang membahas perkara-perkara lebih penting, berlangsung di hadirat Sri Paus sendiri yang memimpin sesi-sesi tersebut, dan Sri Paus dengan demikian dalam suatu cara istimewa membuat keputusan-keputusannya sendiri. Sesi-sesi khusus ini berlangsung pada hari Kamis, dan ditandai dengan Feria V. ]
[15] Joannes Clemens Gordon ex integro et absolute ordinetur ad omnes ordines etiam sacros et praecipue presbyteratus, et quatenus non fuerit confirmatus, prius sacramentum Confirmationis suscipiat.
[16] consecrandi et offerendi verum corpus et sanguinem Domini. Konsili Trente, Sesi XXIII., de Sacr. Ord., Kanon 1.
[17] nuda commemoratio sacrificii in Cruce peracti. Ibid., Sesi XXII., de sacrif. Missae, Kanon 3.
[18] ad officium et opus presbyteri.
[19] Nam, ut cetera praetereantur quae eas demonstrent in ritu anglicano minus sufficientes proposito, unum hoc argumentum sit instar omnium, de ipsis consulto detractum esse quidquid in ritu catholico dignitatem et officia sacerdotii perspicue designat.
[20] Accipe Spiritum Sanctum.
[21] Omnipotens Deus.
[22] Omnipotens Deus, bonorum omnium largitor
Artikel-Artikel Terkait
Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 4 mingguBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 4 mingguBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 4 mingguBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 4 mingguBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 2 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 2 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 4 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 4 bulanBaca lebih lanjut...Kami menerima semua dogma Gereja Katolik tanpa terkecuali, dan kami memandang mereka yang menerima semua dogma Gereja dan belum terpisah darinya, sebagai orang Katolik; itulah bagaimana kami bersekutu dengan Gereja...
Biara Keluarga Terkudus 5 bulanBaca lebih lanjut...