Islam: Pedofilia Itu OK

Dr. Ahmad Al-Mu’bi

Petugas Pemimpin Pernikahan Saudi

Dr. Ahmad Al-Mu’bi: “Pernikahan sebenarnya adalah dua hal: pertama, kita berbicara tentang kontrak pernikahan itu sendiri. Ini adalah hal yang satu, sedangkan, pelaksanaan pernikahan tersebut – yaitu, hubungan badan dengan sang istri untuk pertama kalinya – adalah hal yang lain. Tidak ada batas umum minimum untuk memasuki pernikahan. Anda dapat memiliki kontrak pernikahan bahkan dengan anak perempuan berumur satu tahun, apalagi dengan anak perempuan sembilan, tujuh, atau delapan tahun. Ini semata-mata hanya sebuah kontrak (yang menunjukkan) persetujuan. Sang wali dalam kasus ini haruslah sang ayah, karena pendapat sang ayah itu wajib. Maka, anak perempuan itu menjadi istri... Tetapi apakah anak perempuan itu sudah siap berhubungan badan atau tidak? Apakah umur yang tepat untuk berhubungan badan untuk pertama kalinya? Hal ini berbeda-beda tergantung lingkungan dan tradisi. Di Yaman, anak perempuan dinikahi pada umur sembilan, sepuluh, sebelas, delapan, atau tiga belas, sedangkan di negara-negara lain, mereka dinikahi pada umur 16. Beberapa negara telah menetapkan hukum yang melarang hubungan badan sebelum anak perempuan itu berumur delapan belas.

Nabi Muhammad adalah teladan yang kami ikuti. Ia mengambil Aisha sebagai istrinya sewaktu ia [Aisha] berumur enam tahun tetapi ia berhubungan badan dengannya hanya setelah ia berumur sembilan tahun.”

Pewawancara: “Sewaktu ia berumur enam tahun...”

Dr. Ahmad Al-Mu’bi: “Ia menikahinya pada umur enam tahun, dan ia melaksanakan pernikahan tersebut, dengan berhubungan badan dengannya untuk pertama kalinya sewaktu ia [Aisha] berumur sembilan tahun. Kami menganggap Nabi Muhammad sebagai  teladan kami.”

Pewawancara:  “Pertanyaan saya untuk anda adalah apakah pernikahan seorang anak laki-laki berumur 12 tahun dengan seorang anak perempuan berumur 11 tahuna adalah suatu pernikahan yang logis, yang diperbolehkan oleh hukum Islam.”

Dr. Ahmad Al-Mu’bi: “Jika walinya adalah sang ayah... Terdapat dua jenis perwalian. Jika sang wali adalah sang ayah, dan ia menikahkan putrinya kepada seorang pria yang berkedudukan tepat, pernikahan itu jelas valid. Orang-orang berada di dalam berbagai keadaan. Ambillah contoh seorang pria yang memiliki dua, tiga, empat anak perempuan. Ia tidak memiliki seorang istri, tetapi ia perlu melakukan perjalanan. Tidakkah lebih baik untuk menikahkan anak  perempuannya kepada seorang pria, yang akan melindungi dan menyokong anak perempuannya, dan sewaktu ia mencapai umur yang tepat, berhubungan badan dengannya? Siapakah yang berkata bahwa semua pria itu serigala buas?”