Bidah & Kemurtadan Signifikan dari Anti-Paus Fransiskus dari Februari & Maret 2019

Sambutan Fransiskus, 1 Februari 2019 kepada Komisi Gabungan Internasional untuk Dialog Teologis antara “Gereja Katolik  dan Ortodoks Oriental”

 “Saya senang, setiap tahun kedua, untuk menyambut anda ke Roma pada kesempatan dialog anda yang pada tahun lalu diadakan di Tahta Suci Etchmiadzin atas undangan Gereja Apostolik Armenia. Melalui diri anda, saya menyampaikan salam saya kepada Saudara-Saudara saya yang terhormat dan terkasih, para Kepala Gereja Ortodoks Oriental. Saya berterima kasih atas kata-kata yang baik dari Paduka Rahmat Uskup Kyrillos, Wakil Presiden Komisi yang baru. Saya pastikan untuk menghaturkan doa dan harapan terbaik saya untuk karyanya. Dengan rasa syukur, saya juga mengingat pendahulunya, Metropolitan Anba Bishoy tercinta, yang merupakan Wakil Presiden pertama dan yang baru saja meninggal dunia. Saya bergabung bersama anda dalam doa untuk dirinya… Kehidupan banyak orang kudus di Gereja kita adalah benih-benih perdamaian yang ditaburkan di negeri-negeri itu; mereka sekarang berbunga di surga… Benih persekutuan ini, juga berkat karya anda yang penting, telah berkembang dan terus disirami dengan darah para saksi kesatuan, oleh begitu banyak darah yang ditumpahkan oleh para martir zaman kita: para anggota Gereja-Gereja yang berbeda yang dipersatukan oleh penderitaan yang sama demi nama Yesus, yang kini berbagi kemuliaan yang sama. Saudara-saudara yang terkasih, selagi saya memperbarui rasa terima kasih saya yang tulus atas kunjungan Anda, dengan mengandalkan perantaraan para martir ini, saya memohonkan bagi Anda dan pelayanan Anda berkat Tuhan. Dan sekarang, jika anda berkenan, kita dapat berdoa Bapa Kami…”[1]

Fransiskus menyebut "Gereja" orang "Ortodoks" di Armenia "Kudus". Fransiskus kemudian merujuk kepada dua uskup “Ortodoks” (Kyrillos dan Bishoy) dan menyebut mereka “Paduka Rahmat” dan “yang terkasih”. Fransiskus menyebut mereka sebagai “Saudara-saudara saya yang terhormat dan terkasih”. Di dalam sejarah Katolik, para Paus sejati menyebut para uskup Katolik sebagai “saudara-saudara yang terhormat”. Fransiskus kemudian mengajarkan bidah bahwa terdapat martir dari “Gereja yang berbeda”. Fransiskus mengakhiri dengan memohonkan “berkat Tuhan” atas para pemimpin non-Katolik yang bidah dan skismatis.

4 Februari 2019 – Fransiskus dan Imam Agung Islam menandatangani deklarasi gabungan: “Dokumen tentang Persaudaraan Umat Manusia”:

“Dari diskusi persaudaraan kami yang terbuka, dan dari pertemuan yang mengungkapkan harapan yang mendalam di dalam masa depan yang cemerlang untuk seluruh umat manusia, terbentuk ide akan Dokumen tentang Persaudaraan Umat Manusia ini. Ini adalah suatu teks yang telah dipikirkan secara jujur dan matang sehingga dapat menjadi deklarasi gabungan atas aspirasi-aspirasi yang baik dan dari hati... Kemajemukan dan kebhinekaan agama, warna, kelamin, ras dan bahasa dikehendaki oleh Allah di dalam hikmat-Nya, yang olehnya Ia menciptakan umat manusia. Hikmat ilahi ini adalah sumber yang darinya mengalir hak kebebasan beriman dan kebebasan untuk menjadi berbeda.”[2]

Tentang teks deklarasi gabungan ini, Fransiskus berkata: “ini adalah suatu teks yang telah dipikirkan secara jujur dan matang”. Nah, deklarasi gabungan tersebut mempromosikan dan mengajarkan bidah bahwa “kemajemukan dan kebhinekaan agama... dikehendaki oleh Allah”. Fransiskus adalah seorang pemurtad.

Sambutan Fransiskus, 4 Februari 2019, pada saat pertemuan antaragama:

“Saya memberikan rasa syukur yang mendalam kepada Yang Mulia Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum dan Doktor Ahmad Al-Tayyib, Imam Agung dari Al-Azhar, untuk kata-kata mereka. Saya berterima kasih kepada Dewan Penatua untuk pertemuan yang baru saja kami lakukan di Mesjid Agung Sheikh Zayed... Sebagai umat beriman, kita terpanggil untuk berkomitmen kepada martabat yang sama bagi semua orang, di dalam nama Yang Maharahim, yang menciptakan kita dan yang di dalam nama-Nya, perdamaian dari konflik dan persaudaraan di dalam kebhinekaan haruslah dicari... Kemajemukan dan kebhinekaan agama, warna, kelamin, ras dan bahasa dikehendaki oleh Allah di dalam hikmat-Nya yang olehnya Ia menciptakan umat manusia. Hikmat ilahi ini adalah sumber yang darinya mengalir hak kebebasan kepercayaan dan kebebasan untuk menjadi berbeda (Dokumen tentang Persaudaraan Umat Manusia)... Telah datang waktunya di mana agama-agama harus berupaya secara aktif, dengan keperkasaan dan keberanian, dan tanpa berpura-pura, untuk membantu keluarga manusia untuk memperdalam kapasitas untuk perdamaian, visi harapan... Agama-agama dunia juga memiliki tugas untuk mengingatkan kita bahwa ketamakan untuk laba menjadikan hati tidak bernyawa... Agama harus menjadi suara orang-orang yang terlemah... Mereka harus terus waspada bagaikan prajurit dari persaudaraan di dalam malam pertentangan. Mereka harus menjadi peringatan yang aktif terhadap umat manusia.”[3]

Fransiskus menyebut para Muslim sebagai “umat beriman” dan lalu mengulangi bidahnya yang keterlaluan bahwa agama-agama yang berbeda “harus berupaya secara aktif, dengan keperkasaan dan keberanian untuk memperdalam kapasitas untuk perdamaian, visi harapan”. Fransiskus lalu berkata bahwa agama-agama sesat “harus terus waspada bagaikan prajurit dari persaudaraan di dalam malam pertentangan. Mereka harus menjadi peringatan yang aktif terhadap umat manusia”

Konferensi pers Fransiskus, 5 Februari 2019, pada penerbangan dari Abu Dhabi:

Fransiskus ditanya oleh seorang wartawan tentang kesannya akan negara Uni Emirat Arab, suatu negara di mana Islam adalah “agama resmi”.[4] Fransiskus: “Bagi saya, ini adalah negara yang terbuka, dan tidak tertutup. Perihal keagamaan pula: Islamnya adalah Islam yang terbuka... Pertemuan dengan para orang bijak Islam, [Majelis Penatua] suatu hal yang mendalam”...

[Pertanyaan] “Bagaimanakan Deklarasi tentang Persadaraan Umat Manusia ini akan diterapkan di masa depan?”

[Fransiskus] “Dokumen tersebut telah dipersiapkan dengan renungan dan doa yang memang begitu banyak. Imam Agung serta timnya, dan saya dengan tim saya, berdoa begitu banyak untuk membuat Dokumen ini... Dan jika kita sebagai umat beriman tidak dapat berjabatan tangan, berpelukan, mencium satu sama lain, dan berdoa, maka iman kita akan terkalahkan. Dokumen ini mengalir dari iman akan Allah... Ini adalah Dokumen yang terbentuk dalam selang waktu hampir satu tahun, dengan bolak-balik, dengan doa... Tetapi dokumen itu menjadi matang dengan demikian, secara berhati-hati, agar tidak melahirkan anak sebelum waktunya, agar dapat menjadi dewasa... Tetapi ada suatu hal, ya, yang hendak saya katakan. Saya menegaskan secara terbuka hal ini: dari sudut pandang Katolik, Dokumen ini tidak bergeser satu milimeter pun dari Konsili Vatikan II. Tidak. Dokumen ini dirancang di dalam semangat Konsili Vatikan II... Para sejarahwan berkata bahwa agar suatu Konsili dapat berakar, diperlukan waktu 100 tahun. Kita sudah setengah jalan... Saya telah mendengar dari beberapa orang Muslim bahwa dokumen itu [Dokumen tentang Persaudaraan Umat Manusia] akan dipelajari di universitas-universitas, setidaknya di Al-Azhar, dan di sekolah-sekolah.”[5]

Fransiskus berkata bahwa pertemuannya dengan “orang bijak Islam” adalah “suatu hal yang mendalam”. Sekali lagi Fransiskus menyebut para Muslim sebagai “umat beriman”. Fransiskus menunjukkan bahwa “Dokumen” tersebut yang ia tandatangani bersama sang pemimpin Islam “dipersiapkan dengan renungan dan doa yang memang begitu banyak”. Ia lalu berkata: “Ini adalah Dokumen yang terbentuk dalam selang waktu hampir satu tahun, dengan bolak-balik”. Hal ini membantah ide bahwa Fransiskus tidak tahu banyak tentang dokumen yang ia tandatangani.

Audiens Umum, Fransiskus, 6 Februari 2019:

“… Imam Agung Al-Azhar dan diri saya menandatangani Dokumen tentang Persaudaraan Manusia, di mana bersama-sama kami menyatakan panggilan umum bagi semua pria dan wanita untuk menjadi saudara dan saudari karena kita adalah putra dan putri Allah… Dokumen ini akan dipelajari di sekolahan dan universitas di banyak negara. Tapi saya juga menyarankan anda untuk membacanya, mengenalinya… Di zaman seperti kita sekarang, di mana terdapa godaan yang kuat untuk melihat konflik yang berkelanjutan antara peradaban Kristen dan Islam, dan juga untuk menganggap agama sebagai sumber konflik, kami ingin memberikan suatu tanda yang tersembunyi, jelas dan tegas, bahwa memang mungkin adanya untuk bersatu; mungkin adanya untuk saling menghormati… dunia Kristen dan Islam menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai bersama: kehidupan, keluarga, rasa keagamaan.”[6]

Pidato Fransiskus, 25 Februari 2019 kepada seorang delegasi dari “Keuskupang Agung Ortodoks dari Atena”:

“Saudara-Saudari yang Terkasih dalam Kristus...  salam hangat dan persaudaraan dari diri saya kepada Paduka yang Terberkati Hieronymos II, yang beberapa hari lalu, pada tanggal 16 Februari merayakan ulang tahun kesebelas dari penakhtaannya. Saya meminta Bapa yang adalah pemberi dari segala karunia yang baik (cf. Jas 1:17) untuk menganugerahkan kepadanya kesehatan, kedamaian, dan sukacita rohani... Sekali lagi, saya berterima kasih kepada anda atas kunjungan anda, dan saya meminta kepada Tuhan untuk menganugerahkan kepada anda berkat-berkat-Nya yang berlimpah. Saya memohon kepada anda untuk menjaga suatu tempat bagi saya di dalam doa-doa anda.”[7]

Fransiskus meminta kepada Allah untuk menganugerahkan “sukacita rohani” kepada pemimpin “Ortodoks” dan mendukung kesebelas tahunnya dalam kepemimpinannya atas suatu gereja sesat.

Pidato Fransiskus 8 Maret 2019 kepada peserta Konferensi "Agama dan Tujuan Pembangunan yang Berkesinambungan":

“Yang Mulia, Para pemimpin dari tradisi agama-agama dunia yang terkasih… Santo Yohanes Paulus II sudah berbicara tentang perlunya mendorong dan mendukung ‘konversi ekologis’ (Katekese, 17 Januari 2001). Kata ini sangat kuat: konversi ekologis. Agama-agama memiliki suatu peran penting dalam hal ini. Demi perubahan yang benar menuju masa depan yang berkesinambungan, kita harus mengenali kesesatan, dosa, kesalahan, dan kegagalan kita' yang mengarah pada 'pertobatan yang tulus dan keinginan untuk berubah'; dengan demikian, kita akan didamaikan dengan orang lain, dengan ciptaan… Agama dapat membantu kita di sepanjang jalan perkembangan integral yang autentik, yang merupakan nama baru bagi perdamaian (cf. Paulus VI, Populorum Progressio, 26 Maret 1967, 76-77) .”[8]

Fransiskus merujuk kepada para pemimpin agama palsu sebagai "para pemimpin yang terkasih". Fransiskus mempromosikan "konversi ekologis" dan berkata bahwa orang-orang perlu berdamai  "dengan ciptaan”.

Francis 17 Maret 2019 Refleksi "pada saat Angelus":

"... kesedihan bagi para korban serangan mengerikan pada dua mesjid di Christchurch, Selandia Baru ... Saya berdoa untuk orang-orang yang telah meninggal serta kerabat mereka. Saya dekat dengan saudara dan saudari Muslim kita dan dengan seluruh komunitas itu.”[9]

Fransiskus berkata bahwa ia berdoa untuk orang-orang Muslim "yang telah meninggal". Keyakinan pada Yesus dan iman Katolik sama sekali tidak diperlukan, menurut sang Anti-Paus pemurtad.

Sambutan Fransiskus 30 Maret 2019 kepada "Rakyat, Otoritas, Perwakilan Sipil dan Korps Diplomatik Maroko":

"Juga penting bahwa fanatisme dan ekstremisme dilawan oleh solidaritas dari pihak dari semua umat beriman, berdasarkan nilai-nilai bersama yang luhur yang mengilhami tindakan kita ... Kita tahu betapa pentingnya untuk memberikan persiapan yang sesuai untuk para pemimpin agama di masa depan, jika kita hendak membangkitkan semangat yang benar-benar religius di dalam hati generasi-generasi yang mendatang ... Itulah sebabnya kebebasan berhati nurani dan kebebasan beragama - yang tidak hanya terbatas kepada kebebasan beribadah, tetapi memungkinkan semua orang untuk hidup sesuai dengan keyakinan keagamaan mereka - secara tak terpisahkan terkait dengan martabat manusia. Sehubungan dengan hal ini, terdapat kebutuhan yang konstan untuk melangkah maju di luar toleransi semata demi menghormati dan menghargai orang lain. Hal ini mensyaratkan dan menerima orang lain dalam keyakinan agama mereka yang khas dan memperkaya satu sama lain melalui kebhinekaan kita ... Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim, COP 22, yang juga diadakan di sini di Maroko, sekali lagi menunjukkan bahwa banyak negara sadar akan kebutuhan untuk melindungi planet ini di mana Tuhan telah menempatkan diri kita untuk hidup dan berkontribusi kepada suatu konversi ekologis sejati ... "[10]

Fransiskus sekali lagi menyebut pengikut agama sesat "umat beriman". Fransiskus mempromosikan "persiapan yang sesuai" untuk para pemimpin Islam di masa depan, dll. agar mereka dapat "membangkitkan semangat yang benar-benar religius di dalam hati generasi-generasi yang mendatang". Ini adalah kemurtadan. Francis kemudian meminta orang-rang untuk memiliki "rasa hormat" bagi mereka yang mengikuti berbagai agama sesat. Fransiskus berkata bahwa jika kita melakukan hak ini, kita akan "memperkaya satu sama lain". Fransiskus sang bidah kemudian menyerukan "konversi ekologis sejati".

Fransiskus, 30 Maret 2019, teks "Seruan untuk Yerusalem" Ditandatangani oleh Fransiskus "dan Raja Maroko":

"Kami menganggap penting untuk melestarikan kota suci Yerusalem / Al-Quds Acharif sebagai warisan bersama umat manusia dan terutama para pengikut agama monoteis, sebagai tempat pertemuan dan sebagai simbol koeksistensi penuh damai, di mana rasa hormat serta dialog timbal balik dapat dikembangkan ... Untuk tujuan ini, karakter multi-agama yang spesifik, dimensi spiritual dan identitas budaya tertentu dari Yerusalem / al-Quds Acharif harus dilindungi dan dipromosikan. Maka, adalah harapan kami, bahwa di kota suci, kebebasan penuh untuk akses bagi para pengikut dari tiga agama monoteis dan hak mereka untuk beribadah akan dijamin, sehingga di Yerusalem / al-Quds Acharif agama-agama tersebut dapat mengangkat doa-doa mereka kepada Allah , Pencipta segalanya, demi masa depan perdamaian dan persaudaraan di bumi.

Rabat, 30 Maret 2019

Yang Mulia Raja Mohammed VI

Amir al-mu'minin

Paduka Suci Paus Francis”[11]

Fransiskus mempromosikan bahwa harus terdapat "karakter multi-agama" bagi Yerusalem. Fransiskus percaya bahwa berbagai agama sesat harus berada di kota itu dan agama-agama sesat itu "harus dilindungi dan dipromosikan". Fransiskus berkata bahwa dia ingin hal ini terjadi sehingga "para pengikut dari tiga agama monoteis" akan dapat "mengangkat doa-doa mereka kepada Allah".

Sambutan Fransiskus, 31 Maret 2019 pada pertemuan dengan “Imam, Kaum Religius, Orang-Orang yang Dikonsekrasikan dan Dewan Ekumenis Gereja-Gereja”:

“Saya juga hendak memberi salam kepada para anggota Dewan Ekumenis Gereja-Gereja, suatu tanda persekutuan yang dialami di sini di Maroko antara umat Kristiani dari berbagai pengakuan iman… Dalam kata lain, jalan-jalan dari misi bukanlah lewat proselitisme. Saya mohon, jalan-jalan ini bukanlah lewat proselitisme! Mari mengingat Benediktus XVI: “Gereja tidak tumbuh lewat proselitisme, melainkan lewat ketertarikan, lewat kesaksian’. Jalan-jalan misi bukanlah lewat proselitisme, yang selalu menuntun kepada jalan buntu… Kita adalah umat Kristiani karena kita telah dikasihi dan ditemui, dan bukan karena hasil dari proselitisme. Perihal menjadi seorang Kristiani adalah mengetahui bahwa kita telah diampuni…”[12]

Fransiskus menyatakan bahwa ia adan sektenya “bersekutu” dengan “umat Kristiani dari berbagai pengakuan iman”. Fransiskus berkata bahwa proselitisme (upaya untuk mengonversikan orang-orang) adalah suatu “jalan buntu”. Inilah apa pendapat Fransiskus tentang upaya untuk mengonversikan orang-orang non-Katolik kepada iman Katolik. Fransiskus berkata bahwa upaya-upaya ini “selalu” menuntun kepada “jalan buntu”. Fransiskus adalah bidah terang-terangan. Fransiskus lalu berkata bahwa “menjadi seorang Kristiani adalah mengetahui bahwa kita telah diampuni”. Ini juga adalah bidah.

Fransiskus, 31 Maret 2019, “konferensi pers dalam penerbangan dari Rabat ke Roma”:

“Sekali lagi saya ingin tegaskan: di setiap agama selalu ada kelompok 'integralis' yang tidak mau maju, yang hidup dalam kenangan pahit, konflik masa lalu… seseorang dapat memahami, misalnya, bahwa pada hari ini kita telah menghapuskan hukuman mati dari Katekismus Gereja Katolik, tiga ratus tahun setelah membakar pada bidah hidup-hidup. Karena Gereja telah bertumbuh dalam kesadaran moral dan rasa hormat terhadap pribadi manusia. Kebebasan beribadah juga semakin berkembang, dan kita harus terus bertumbuh. Ada umat Katolik yang tidak menerima apa yang dikatakan Vatikan II tentang kebebasan beribadah, kebebasan berhati nurani. Ada umat Katolik yang tidak menerima hal ini. Kami juga memiliki masalah ini. Namun kesadaran saudara-saudari Muslim kita juga tumbuh di beberapa negara… Ini adalah cara-cara untuk melangkah maju dalam kebebasan berhati nurani dan kebebasan beribadah.”[13]

Fransiskus mempromosikan "kebebasan beribadah" dan "kebebasan berhati nurani", yang telah dikutuk oleh berbagai Paus.

Bidah terkini Fransiskus

Catatan kaki:

[1] L’Osservatore Romano,  8 Februari 2019, hal. 4. Versi Bahasa Inggris.

[2] L’Osservatore Romano, 8 Februari 2019, hal. 8,10. Versi Bahasa Inggris.

[3] L’Osservatore Romano, 8 Februari 2019, hal. 11,12. Versi Bahasa Inggris.

[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Uni_Emirat_Arab

[5] L’Osservatore Romano, 15 Februari 2019, hal. 6. Versi Bahasa Inggris.

[6] L’Osservatore Romano, 8 Februari 2019, hal. 3. Versi Bahasa Inggris.

[7] L’Osservatore Romano, 15 Maret 2019, hal. 9. Versi Bahasa Inggris.

[8] L’Osservatore Romano, 15 Maret 2019, hal. 4-5. Versi Bahasa Inggris.

[9] L’Osservatore Romano, 22 Maret 2019, hal. 12. Versi Bahasa Inggris.

[10] L’Osservatore Romano, 5 April 2019, hal. 7, 12. Versi Bahasa Inggris.

[11] L’Osservatore Romano, 5 April 2019, hal. 13. Versi Bahasa Inggris.

[12] L’Osservatore Romano, 5 April 2019, hal. 9. Versi Bahasa Inggris.

[13] L’Osservatore Romano, 5 April 2019, hal. 14. Versi Bahasa Inggris.